Dengan
perkembangan teknologi, komunikasi antar manusia mangkin canggih saja. Dulu,
untuk tahu kabar kekasihnya yang diluar kota, orang menulis surat dan baru
terima sekian hari kemudian. Yang didapat hanya tulisan, kadang ditambah foto. Lalu
orang bisa menelpon, yang didapat hanya suara tapi langsung terjadi. Muncullah
internet, dimana kita bisa mengirim email berwujud tulisan dan gambar yang bisa
langsung diterima. Kini, orang melakukan video call, dimana ia bisa mendengar
suara dan melihat wajah langsung. Tapi itu, tetap belum utuh. Kita tetap belum
bisa menyentuh atau mencium aromanya, misalnya. Saya yakin akan ada inovasi
selanjutnya yang berusaha memenuhi ini.
Hal
yang utuh selalu dicari. Secangih-canggihnya tekonologi, komunikasi paling
memuaskan adalah komunikasi secara langsung karena disitu kita bisa berjumpa
orang secara utuh. Kita tak akan suka mendapat honor, misalnya, tapi tidak
utuh. Sudah dipotong sana-sini. Kita tak akan puas membaca buku yang halamannya
robek sebagian hingga tak bisa terbaca, nonton flim yang terpotong 10 menit,
diberi pujian namun disambung dengan kata “tapi” (mis: pekerjaan anda bagus,
tapi..) dll. Di pasal ini, kita membaca pesan Tuhan kepada jemaat di berbagai
kota. Kali ini adalah pesan kepada jemaat di Sadis, Filadelfa, dan Laodikia.
Jemaat Sardis kaya dan tampak rajin beribadah. Tapi Tuhan berkata, kerohanian
mereka sudah mati (ay.1). jemaat Laodikia kaya dan berkelimpahan tapi hal itu
membuat mereka sombong dan tak lagi mengandalkan Tuhan (ay.17). kondisi
berkebalikan dialami jemaat Filadelfia yang meski lemah (ay.8), tetapi mereka
taat, tekun, dan berharap penuh pada Tuhan (ay.10).
Di
mata Tuhan, jemaat Filadelfialah yang berkenan bagi-Nya. Bagi Tuhan, apa yang
sekedar tampak di luar, entah itu kerajinan dalam beribadah atau kehidupan yang
tampak diberkati secara jasmani, tidak berarti apa-apa jika apa yang di
dalamnya tidak benar. Tuhan menginginkan sesuatu yang utuh, bukan polesan atau
pencitraan belaka. Jangan pernah mengira kita bisa memperdayai-Nya. Jadilah
oang Kristen yang utuh, yang imannya bukan sekedar di mulut tapi juga di hati
dan pikiran. Bukan yang sekedar pandai memperkatakan firman tapi juga meresapi
dan melakukannya.
0 Comments