DICTUM “EXTRA ECCLESIAM NULLA SALUS” DALAM SEJARAH MENUJU PERKEMBANGAN GEREJA INKLUSIF


            Pada sejarah Gereja Purba, Gereja Kristus mendasarkan dirinya pada semangat yang diwariskan oleh Yesus Kristus kepada Para Rasul. Para Rasul menjadi gembala dan pemimpin jemaat-jemaat Kristus. Mereka harus menghadapi pengejaran, penderitaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kelompok orang-orang tua Yahudi dan ahli-ahli Taurat. Hingga akhirnya muncul Paulus sebagai pribadi yang pada awalnya mengejar dan menyiksa para pengikut Kristus berubah menjadi seorang rasul yang ulung berkat perjumpaannya dengan Kristus dalam perjalanan di Damsyik (Kis 9:1-19). Berkat Paulus inilah, di Antiokhia para pengikut Yesus disebut Kristen (Kis 11:26).

            Gereja yang bertumbuh tidak hanya mengalami penderitaan dari kaum-kaum Yahudi dan ahli-ahli Taurat. Mereka juga terancam dengan kebijakan kekaisaran yang memerintah saat itu. Khususnya pada zaman pemerintahan kaisar Nero. Umat Kristiani mengalami penderitaan yang amat besar. Akan tetapi, setelah munculnya Kaisar Konstantinus Agung (306-337), agama Kristiani lebih diakui sejak Diokletianus dan agama Kristen diterima di dalam kekaisaran.[1]

Setelah  mengalami penderitaan dan penganiayaan hingga era bapa-bapa Gereja, Gereja Kristus berkembang dengan pesat. Akan tetapi, tantangan yang muncul di sini bukanlah penyiksaan terhadap pengikut Kristiani, melainkan paham-paham keliru yang disebarkan oleh para bida’ah. Kaum-kaum bida’ah dianggap sebagai ancaman karena mereka berusaha untuk memecah-mecah Gereja dan mengaburkan paham iman yang diyakini oleh jemaat Kristus. Berkat adanya kaum bida’ah ini, muncul berbagai tokoh-tokoh teolog yang berusaha menggabungkan pengetahuan filosofis dan teologis sebagai bentuk untuk mempertanggungjawabkan iman sekaligus menanggapi tantangan-tantangan bida’ah yang ada. Setiap orang yang mengajarkan kesesatan dianggap berada di luar Gereja. Mereka yang berada di luar ajaran Gereja yang khas dan otentik menyalahi aturan dan tidak layak menerima Kerjaan Allah. Dalam hal ini pula, muncul tokoh yang amat berpengaruh dalam sejarah Gereja, yaitu Siprianus menyemarakkan semangat “extra ecclesiam nulla salus.” Dictum ini akhirnya memberikan pengaruh yang besar bahkan hingga abad XX.[2]

      Munculnya kaum-kaum teolog ini pula yang memberikan gambaran baru wajah Gereja. Masa ini biasa disebut dengan abad pertengahan. Dalam ranah ilmu pengetahuan dan filsafat, zaman abad pertengahan disebut juga sebagai abad kegelapan (Dark Age). Peranan teolog yang lebih mementingkan pelajaran teologi daripada filsafat dan ilmu-ilmu alam membuat ilmu pengetahuan menjadi terkungkung dan tidak bisa berkembang.[3] Kaum teolog tidak lagi melihat bahwa filsafat adalah ilmu yang berfaedah. Selain itu, dengan adanya perlindungan dari kekaisaran dan memiliki tempat dan peranan penting dalam hal-hal duniawi, Gereja memiliki hak eksklusif sehingga terjadi penggabungan antara sistem kekaisaran dan sistem Gerejawi.

      Abad pertengahan juga digoncang dengan peristiwa besar, yaitu skisma yang dimulai oleh Luther. Sekalipun bukan Luther sendiri yang memulai secara langsung. Ide atau gagasan Luther inilah yang membuat Gereja terpisah (skisma besar) menjadi lebih dari satu denominasi. Munculnya protestantisme, Calvinist dan golongan reforman lainnya membuat Gereja semakin getol untuk menerapkan gagasan bahwa di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan.[4]

      Dictum dan gagasan tersebut terus berjalan hingga munculnya Konsili Vatikan II yang merubah sudut pandang Gereja untuk lebih bersikap ekumenik dan inklusif. Konsili Vatikan II yang dibuka oleh Paus Yohanes XIII memberi angin segar bagi Gereja (aggiornamento). Para konsiliaris inilah yang akhirnya membuka wajah Gereja yang baru. Di mana Gereja menemukan bahwa ada kebenaran yang diilhami oleh Allah di luar Gereja.[5] Sejak saat inilah Gereja mulai terbuka terhadap dunia dan pandangan agama-agama lain. Meskipun demikian, Gereja tetap memegang kekhasannya sebagai satu-satunya Gereja yang memancarkan Gereja Kristus yang hadir di dunia.

Konteks Sejarah Extra Ecclesiam Nulla Salus

            Extra ecclesiam nulla salus (ECNS) pada awalnya memang diperkenalkan atau dimotori oleh Siprianus dalam menghadapi kaum-kaum bidaah yang sedang berkembang khususnya pada zaman Gereja awal. Untuk menegakkan dan mempersatukan Gereja dalam satu pandangan ilahi dan meyakini bahwa Yesus Kristus sungguh Allah yang tertuang dalam credo, Siprianus berusaha untuk menetapkan dan melawan kaum bidaah. Dictum ini juga ditujukan kepada setiap orang agar berpegang pada iman dan ajaran ilahi yang satu dan khas.

            Dengan meyakini bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, umat Kristen diarahkan agar tetap memegang ajaran yang benar dan tepat dalam terang ilahi Sang Kristus. Konsep kesatuan dan keselamatan hanya di dalam diri Yesus Kristus sudah ada dalam tradisi Gereja. St. Ignasius Antiokhia dalam suratnya kepada umat di Philadelpia menjelaskan bahwa setiap orang yang membuat skisma tidak akan mendapat kerajaan Allah. St. Yustinus Martir juga menegaskan bahwa hanya dalam diri Kristus yang dirayakan dalam ekaristi kita dapat mengenal dan memperoleh keselamatan berkat belaskasihan-Nya. St. Iraneus juga menjelaskan bahwa ajaran dan pandangan dari para Rasul adalah ajaran dasar keselamatan yang benar dan utama bagi keselamatan umat Kristen. St. Hieronimus (347-420) menyatakan bahwa Para bidat atau heretik mendatangkan hukuman atas mereka sendiri, sebab mereka dengan pilihan mereka sendiri menarik diri dari Gereja, penarikan diri yang, karena mereka sadari, mengandung hukuman. Demikian pula St. Agustinus (354-431) menyatakan kasih Tuhan dicurahkan kepada kita oleh Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita” (Rom 5:5) adalah kasih yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang terpisah dari persekutuan Gereja Katolik. Dan untuk alasan ini meskipun mereka dapat “berbicara dengan bahasa-bahasa manusia maupun malaikat” (1Kor 13:1-3), hal itu tak berguna baginya. Sebab orang yang tidak mengasihi kesatuan Gereja tidaklah memiliki kasih Tuhan…” (De Baptismo 3:10,13; CSEL 51:212).[6]

            Gagasan-gagasan iman tersebut juga tidak lepas dari pengalaman sejarah dan ajaran Para Rasul sebagai para murid Yesus yang menerima ajaran secara langsung. Pengalaman dan kesaksian ini pulalah yang membawa keyakinan bahwa hanya di dalam Kristuslah sumber segala keselamatan.

Konteks Gereja Perdana

            Gereja Perdana dimulai sejak Kristus sendiri membagun Gereja-Nya Para Rasul sebagai dasar awalnya. Konsep eksklusivisme pada awal pewartaan Para Rasul bisa dilihat saat perjumpaan antara Petrus dan Paulus dalam Konsili Pertama di Yerusalem yang membahas perihal sunat, pewartaan Injil kepada orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Dalam Kisah Para Rasul  Kis 11:1-30 juga digambarkan bahwa sebagian besar pengikut Kristus, bahkan Para Rasul sendiri berpendapat bahwa pewartaan Injil pertama-tama harus diberitakan kepada kaum sebangsa (Yahudi). Paham eksklusif yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi berdasarkan adat dan tradisi nenek moyang membuat mereka berpendapat bahwa setiap orang yang hendak menjadi pengikut Kristus haruslah mengikuti ajaran dan tatacara adat dan tradisi Yahudi. Begitu pula dengan orang-orang non-Yahudi, pada awalnya mereka diwajibkan untuk sunat (Kis 15:1-5).

            Mungkin juga dapat dipahami bahwa sunat merupakan bentuk baptis bagi orang-orang non-Yahudi untuk menjadi pengikut Kristus. Akan tetapi, ketika kedatangan Paulus dan melalui pengalaman sapaan Tuhan kepada Petrus akan pengalaman perjumpaan dengan Kornelius (Kis 11:3-27) menampakkan bahwa keselamatan tidak hanya kepada orang-orang Yahudi saja, tetapi semua bangsa. Mulai dari peristiwa inilah, eksklusivisme orang-orang Yahudi yang mengikuti Kristus mulai diarahkan dan didasarkan pada pemahaman bahwa orang-orang yang di luar adat mereka pun diselamatkan.

            Puncak dari konteks perdebatan ini adalah saat sidang di Yerusalem (Kis 16). Sidang ini membahas tentang pewartaan Injil kepada semua bangsa dan perihal bagaimana mengikuti Yesus. Banyak golongan Yahudi yang tidak setuju dengan pewartaan kepada non-Yahudi. Sikap gettho dan eksklusif agar keselamatan hanya untuk orang-orang Yahudi saja masih kuat di dalam benak mereka. Pandangan bahwa keselamatan diperuntukkan bagi orang Yahudi membuat konsep pewartaan Injil hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi dan hanya orang-orang yang mengikuti tradisi dan ajaran warisan Musa-lah mereka bisa memperoleh keselamatan. Karena ada paham keselamatan bahwa siapapun yang mengikuti hukum dan tradisi nenek moyang (Musa) bisa memperoleh keselamatan, maka mereka melihat bahwa orang-orang non-Yahudi jika ingin menjadi pengikut Kristus musti sunat. Sebab melalui sunatlah mereka masuk dalam golongan Yahudi.

            Konflik sidang Yerusalem merupakan awal pewartaan kepada segala bangsa. Dengan konsep pemikiran Paulus dan teologi kasih yang menyatakan bahwa keselamatan bagi segala bangsa, akhirnya Petrus pun melihat bahwa keselamatan juga diarahkan dan musti diberikan kepada segala bangsa. Dari hal inilah dapat dilihat bahwa konsep pemikiran tentang eksklusivitas Gereja Perdana mampu membawa inklusivitas untuk terbuka kepada bangsa-bangsa lain. Sekalipun pada dasarnya dapat pula dikatakan bahwa Gereja tetap eksklusif dengan menyatakan bahwa keselamatan hanya didapatkan di dalam Kristus, namun sikap inklusif juga muncul dengan adanya keterbukaan untuk pewartaan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Sikap ini juga didukung dengan adanya perutusan Kristus untuk pergi ke seluruh dunia wartakan Injil kepada segala makhluk (Mat 28:19-20).[7]

Konteks Bapa-Bapa Gereja – Munculnya Kekaisaran Kristen 

            Bapa-bapa Gereja dengan maksud untuk mempertahankan keabsahan dan kesatuan ajaran Gereja yang benar dengan tegas melakukan perlawanan terhadap kaum-kaum bidaah. Bidaah-bidaah ini terdiri dari dua zona waktu. Pertama, lanjutan dari perlawanan Gereja zaman Para Rasul yang terdiri dari gnostisisme (melihat sistem kepercayaan dalam mana keselamatan bergantung sepenuhnya pada pengetahuan khusus atau pencerahan batin tentang Allah yang membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan kejahatan; montanisme (gerakan kharismatis dan apokaliptis dan paham tentang persoalan trinitaris Ilahi.[8] Kedua pada masa Bapa-bapa Gereja, Gereja berusaha melawan bidaah-biadaah, Novatianisme, Arianisme, Donatisme, dan Acasianisme. Bidaah-bidaah ini mengganggu kesatuan iman Gereja dengan menyeleweng dari dogma Gereja atau iman Gereja bahwa Yesus adalah Allah dan manusia. Bukan manusia yang mendapat kodrat Ilahi atau saat dilahirkan mendapat kodrat Allah, melainkan sejak semula Yesus Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia.[9]

            Eksklusivisme Gereja dalam hal ini bertujuan amat baik, yaitu berusaha untuk melindungi Gereja dari perpecahan dan serangan-serangan ajaran sesat. Di sisi lain, ada golongan yang berusaha untuk melepaskan diri dari Gereja karena tidak sepaham dengan ajaran yang ditetapkan, misalnya: Novatianisme.[10] Pada masa ini, Gereja melaksanakan lima konsili ekumenis pertama untuk mengatasi heresy dan skisma terkait dengan pernyataan iman (credo) serta memperkuat kesatuan Gereja sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus.[11]

            Konsili-konsili ekumenis pertama inilah yang membuat Gereja semakin eksklusif dengan pandangan imannya terkait dengan konsep Trinitaris. Akan tetapi, tujuan dari penetapan ini, sekalipun mengandung unsur eksklusif, dogma yang diajarkan dalam konsili-konsili pertama bertujuan untuk menetapkan dasar iman secara tepat dan benar sesuai dengan anugerah iman Roh Kudus yang tercurah dalam pengungkapan iman manusiawi.

            Dari berbagai bapa-bapa Gereja yang ada, berikut daftar Bapa-bapa Gereja Agung:[12]

1.      Dari Gereja Barat:

a.       Ambrosius, Uskup Milan menentang Nestorianisme dan menganggap bahwa ajaran Nestorian tidak tepat;

b.      Hieronimus merupakan seorang imam sekaligus teolog dan terkenal sebagai pujangga Gereja;

c.       Agustinus adalah seorang Uskup dan teolog besar. Kisah hidupnya dari seorang yang semula dinilai tak bermoral kemudian bertobat dan bahkan membuat tulisan-tulisan pembelaan iman terhadap serangan-serangan bidaah. Ajaran yang termuat dalam tulisannya hingga sekarang ini sering menjadi rujukan para teolog untuk memperoleh landasan dan gagasan dogmatis.

d.      Gregorius Agung merupakan bapa Gereja terakhir di masanya. Ia melawan bidah Eutisius. Gregorius Agung merupakan santo yang diakui oleh banyak denominasi Gereja termasuk Lutheran, Calvinist dan Gereja ritus Latin.

2.       Dari Gereja Timur/Ritus Latin:

a.       Basilius Agung bersama dengan Gregorius dari Nazianze melawan Eunomius. Karangan terkenal yang telah dibuatnya adalah Ad adolescents.[13]

b.      Athanasius adalah uskup Alexandria yang melawan konsep Trinitaris Arianisme.

c.       Gregorius dari Nazianze merupakan rekan sekerja Basilius Agung.

d.      Yohanes Krisostomus dikenal sebagai uskup yang bermulut emas (Chrisostomus). Sebagai pengkhotbah yang ulung dan doktor teologi yang amat terkenal, ia terus-menerus berusaha untuk melawan paham Arianisme.

Konteks Gereja Abad Pertengahan[14]

            Awal abad pertengahan diawali dengan peristiwa terpecahnya Kekaisaran Romawi dan karena serangan-serangan kaum barbar (yang tidak menggunakan bahasa Latin). Gereja basis Yunani tidak mengalami bahaya perang di masa itu sebab hanya kekaisaran Roma berbahasa Latin-lah yang menjadi sasarang penyerangan bangsa-bangsa barbar. Kebanyakan bangsa barbar menganut paham Arianisme. Paham yang ditolak oleh kaum Kristen Ortodox ini berkonflik dengan pengikut Arius. Oleh karena perbedaan ajaran ini pula, ketika bangsa barbar dengan ajaran Arian menyerang, target pertama penyerangan adalah kelompok Kristen Ortodox (sekarang dikenal sebagai Katolik). Bangsa-bangsa yang menganut ajaran Arius adalah bangsa Vandal, Visigoth dan Jerman. Pernyebutan bangsa barbar oleh kaum Latin secara sederhana menyatakan bahwa Gereja bersikap eksklusif. Sementara itu, penulisan dan karya-karya Kitab Suci yang tidak berbahasa Latin ditolak oleh pihak pemerintahan gereja di masa itu.

            Konsili-konsili pada abad ini sangat getol dalam membela dan mempertahankan pengetahuan teologi dogmatik iman Gereja. Sebagai contoh, konsili-konsili yang digelar bertujuan untuk menanggapi isu-isu Kristologis:

1.      Konsili ekumenis III, Efesus I (431) mengecam pandangan Nestorius tentang kodrat Kristus : dua kodrat dan dua pribadi sementara itu, Gereja memiliki dogma bahwa Yesus adalah dua kodrat satu pribadi.

2.      Konsili ekumenis IV, Kalsedon mengutuk bahwa ajaran monofisitisme adalah salah.

3.      Konsili ekumenis V, Konstantinopel II sekali lagi mengutuk nestorianisme.

4.      Konsili ekumenis VI, Konstantinopel III mengecam monotelitisme.

Paham-paham teologis yang keliru dan dibahas dalam konsili tersebut tidak hanya menentang pandangan tetapi dengan eksklusif menolak pribadi-pribadi atau pengikut ajarannya. Hal  ini sangat disayangkan bila ada pribadi-pribadi yang hendak kembali pada pangkuan Gereja yang satu dan benar. Hal ini pula yang mengakibatkan Siprianus harus menerima penolakan dan wafat di pengasingan.

Pada zaman ini muncul pula agama baru, yaitu Islam yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW (610). Pada awalnya kedatangan Islam tidak terlalu mencolok bagi perkembangan Kristiani. Akan tetapi, karena munculnya konflik kekuasaan dan paham teologis kedua agama (Kristiani dan Islam) mengalami perang yang berkepanjangan yang dikenal dengan perang salib. Ketegasan sikap Gereja terhadap ajaran Islam sangat keras. Bahkan Gereja sendiri mengutuk dan memaksakan setiap penganut Islam harus mengikuti aturan dan adat Kristiani. Umat Muslim pun juga diwajibkan untuk membayar pajak lebih besar jika mereka tinggal di wilayah kekaisaran Kristen.

Pertikaian berdarah antara Islam dan Kristen memang telah berakhir abad XIII. Akan tetapi, pertikaian dari sejarah masa lalu tidak bisa dilupakan begitu saja. Hal ini pun masih dapat dirasakan hingga abad XXI. Sayangnya daripada kehendak untuk membangun serta menyemarakkan persaudaraan ada banyak pula pribadi atau kelompok yang cenderung untuk bersikap eksklusif demi kepentingan diri sendiri atau kolektif semata. Hal ini pula yang menimbulkan kesulitan untuk melihat bahwa di luar agama atau kepercayaan yang diyakini ada keselamatan. Paham ini pulalah yang membuat Gereja menjadi lembaga yang amat eksklusif pada zaman abad pertengahan.

Konteks Revolusi Protestantisme[15]

            Revolusi dan skisma besar abad XVI (tepatnya sejak tahun 1517) dimulai oleh Musa bangsa Jerman, Martin Luther. Kritik Martin Luther dan pendukungnya memaksa Gereja harus melakukan pembaruan secara internal melalui konsili Trento. Kekhasan konsili Trento bercorak doktriner dan pastoral dengan tujuan agar iman umat Kristen pada masa itu tidak terombang-ambing oleh ajaran-ajaran baru. Pembaruan inilah yang membuat Gereja melakukan ekspansi misioner secara besar-besaran. Salah satu misionaris terkenal di zaman ini adalah Fransiskus Xaverius-Serikat Yesus.

            Aspek teologi keselamatan dan doktrin untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah sangat besar di zaman ini. Sekalipun tendensi dan regula untuk mendirikan serikat baru telah dilarang, kehadiran serikat Yesus dalam misi dan kharisma khas untuk melayani Paus membuat serikat ini bertumbuh dengan subur. Pemahaman ini pulalah yang membawa orang-orang Kristen mengarahkan pandangannya ke tanah misi dan menjadikan Gereja sebagai sarana keselamatan universal bagi bangsa-bangsa. Hal inilah yang sekiranya menjadi cikal-bakal disebutnya Gereja katolik yang memiliki semangat dan kekhasan universal keselataman bagi semua bangsa.

            Selain itu, tindakan Gereja dengan sistem inkuisisi memang dapat menekan laju perkembangan protestantisme di Eropa. Akan tetapi tindakan ini sangat disayangkan mengingat bahwa sikap eksklusif Gereja mengakibatkan penderitaan bahkan kematian bagi banyak orang terkait iman yang sama, yaitu iman akan Yesus Kristus. Pada masa ini pula, peristilahan persekutuan imam atau presbiter muncul dan diterapkan bagi setiap pelayanan Gereja. Golongan presbiter inilah yang kemudian secara getol memperjuangkan Gereja Kristen dengan menekan umat Protestan dengan lebih keras. Tentu, hal ini amat disayangkan sebab idealism yang menyatakan bahwa Gereja sebagai sumber keselamatan justru malah menyiksa dan menimbulkan jatuhnya korban yang amat banyak.

Abad XVII-XVIII[16]

            Peperangan 30 tahun yang terjadi di Eropa tidak lepas dari kontroversi antara iman Kristiani dan kaum reformasi. Selama kurun waktu itu, keyakinan-keyakinan religius yang sempit dari berbagai kelompok, khususnya Katolik dan Protestan memicu pertumpahan darah, dan memakan banyak korban. Perang ini, sekalipun memiliki landasan agama, tidak dapat dipungkiri mengandung unsur perebutan kekuasaan antara kerajaan Kristen Roma dengan kaum Calvinist, maupun Lutheran.

            Pandangan masing-masing agama yang eksklusif membutakan iman untuk melihat secara lebih mendalam arti iman akan Kristus yang sesungguhnya. Demi tujuan untuk memuliakan Tuhan, seringkali golongan yang menyebut dirinya yang paling benar dapat menggunakan kekerasan untuk menghancurkan yang dianggapnya tidak benar. Prof. Eddy menegaskan bahwa:”

“Semua peperangan ini dibakar oleh fanatisme sempit pelbagai ortodoksi – Katolik Roma, Lutheran dan Reformed. Bagi setiap ortodoksi, setiap detail ajaran merupakan sesuatu yang penting dan oleh karena itu, tidak satu penyimpangan pun dari ortodoksi (kendati paling kecil sekalipun) akan diizinkan. Akibatnya bukan hanya peperangan yang telah disebutkan, tetapi juga munculnya pelbagai perdebatan yang tidak berkesudahan di antara orang katolik, Lutheran dan Reformed. Semua pihak merasa sulit mencapai kesepakatan, bahkan tradisi-tradisi emreka sendiri kemudian juga tidak terdamaikan.”[17]

               

                Di sini semakin jelas bahwa sikap eksklusif masing-masing pihak mengakibatkan masing-masing pihak untuk terbuka satu sama lain, khususnya dalam menciptakan perdamaian. Hal ini juga menjadi cikal bakala munculnya rasionalisme dan kelahiran filsuf-filsuf baru untuk menemukan pencerahan dan kebenaran. Zaman ini-lah yang kemudian disebut oleh filsafat sebagai zaman aufklerung atau abad pencerahan budi (dimulai oleh Rene Descartes).

            Karena munculnya konflik yang terus-menerus dalam Gereja, banyak orang yang mulai keluar dari Gereja dengan mengambil jalan spiritualitasnya sendiri. Mereka bertekad untuk mencari Tuhan, tidak lagi di dalam Gereja, melainkan dlam kehidupan batin dan pribadi. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan eksodus bagi warga Eropa untuk menemukan suaka baru, yaitu Amerika Utara dengan harapan berhasil membangun komunitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip Injil termasuk dalam hal toleransi terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan atau tidak sejalan dengan iman yang dimiliki.

Abad XIX-XX[18]

            Perkembangan Gereja dalam dictum extra ecclesiam nulla salus tidak lagi terlalu menggema di dalam Gereja. Justru dengan hadirnya modernitas, Gereja mulai terbuka dengan mengingat bahwa aspek kemanusiaan lebih diutamakan daripada doktrin-doktrin teologis semata. Dengan adanya modernitas dan demokrasi di dalam sistem pemerintahan dunia. Gereja tidak lagi bisa memaksakan orang lain untuk memeluk agama Kristiani. Di sisi lain, Gereja musti mengakui hak setiap pribadi untuk memeluk agama yang diyakininya.

            Munculnya perkembangan teknologi melalui revolusi industry, Gereja sadar bahwa sikap eksklusivitas perlu dikembangkan, tetapi dengan cara yang lain. Mengingat bahwa di masa ini terjadi perang dunia yang memakan banyak korban. Gereja di sana terpanggil untuk melayani kemanusiaan. Oleh karena itu, pada abad-abad ini muncul ratusan tarekat-tarekat atau kongregasi religius untuk kepentingan misi. Tarekat dan serikat yang muncul di era ini lebih mementingkan misi dan pergi keluar negeri untuk mewartakan Injil. Sistem pewartaaan yang dilakukan pun sedikit berbeda. Jika melihat abad XV-XVI ciri pewartaan Gereja lebih mengutamakan baptisan, misi abad ini lebih mengutamakan karya karitatif yang mana semangatnya adalah tetap membawa Kristus dalam karya misi dan karya-karya sosial. Tentu dalam hal ini Gereja tetap mengingat bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh melalui Kristus.

            Gereja juga mengalami perubahan yang besar dengan adanya Konsili Vatikan II yang dipelopori oleh Yohanes XXIII. Berkat Konsili ini, Gereja berusaha kembali menyatukan umat Kristus yang telah hilang. Persekutuan dan sikap inklusif mulai dibangun kembali oleh Gereja. Dalam konsili ini, Yohanes XXIII tidak lupa mengundang Gereja ritus latin sekaligus Gereja Ortodox (Timur) untuk memberi masukan kepada Gereja sekaligus membangun semangat ekumenisme sebagai pengikut Kristus.

            Kehadiran Konsili Vatikan II bagaikan angina segar bagi perkembangan Gereja abad XX-XXI. Melalui dekrit LG 1, Gereja memandang bahwa siapapun berhak atas keselamatan. LG 8 bahwa Gereja Kristus terpancar dan ada dalam Gereja Katolik. Sekalipun ada nada eksklusif, namun ini menjadi suatu pertanda bahwa Gereja Katolik sebagai sarana karya keselamatan Yesus Kristus kepada umat manusia membuka dirinya untuk karya keselamatan jiwa-jiwa bagi seluruh umat manusia tanpa memandang agama, suku, budaya, bahasa. Hal ini juga disadari oleh Karl Rahner bahwa umat beragama lain yang dikatakan sebagai Kristen anonym juga berhak memperoleh keselamatan, bahkan mereka dapat memperoleh keselamatan jika seluruh perbuatan mereka memancarkan kehendak ilahi Tuhan Yesus Kristus yang tertuang dalam Injil.       

Wajah Eksklusif Jiwa Inklusif

            Konteks sejarah yang telah diuraikan di atas memang menampakkan bahwa secara keseluruhan bahwa Gereja memiliki wajah Eksklusif dengan berpangkal pada dogma bahwa Kristus adalah satu-satunya terang dan sumber keselamatan.[19] Sebagai sumber keselamatan, Kristus hadir di dalam Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi seluruh jiwa-jiwa.[20] Keyakinan dan iman mutlak atas dogma ini tidak serta merta membuat Gereja buta akan keselamatan di luar komunitas. Justru, Gereja semakin terbuka untuk melihat dunia sekelilingnya dan mencari tentang keselamatan-keselamatan yang ditawarkan oleh agama-agama lain.[21]

            Gereja menyadari bahwa kesatuan Umat Allah dalam kesatuan Yesus Kristus sebagai imam, guru dan raja adalah sumber keselamatan. LG 13 dengan tegas menyatakan bahwa semua orang dipanggil kepada Umat Allah yang baru. Demi tujuan itu pulalah Allah mengutus Roh Putra-Nya, Tuhan yang menghidupkan, yang bagi seluruh Gereja dan masing-masing serta segenap orang beriman mejadi asas penghimpun dan pemersatu dalam ajaran para Rasul dan persekutuan dalam pemecahan roti, dan doa-doa.      

            Persekutuan umat Gereja diartikan secara baru oleh DKV II sebagai Umat Beriman Katolik (LG 14). Persekutuan inilah yang menyatakan bahwa setiap anggota Gereja, melalui baptis memiliki Roh Kristus dan dipanggil serta digabungkan dalam pelayanan Imam Agung dalam persekutuan dengan Kristus. Panggilan ini pulalah yang membuat Gereja terbuka terhadap perutusan Kristus. Dalam LG 15, setiap umat yang dipanggil seturut semangat dan persekutuan Roh Kudus menghormati keputusan tiap-tiap pribadi atas agama dan kepercayaan yang dimiliki. Akan tetapi, dengan tetap membawa iman dan doktrin bahwa sebagai pengikut Kristus dengan semangat perutusan dalam Mat 25:20-28, umat Kristiani tetap memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mewartakan Kristus kepada segala bangsa. Kendatipun demikian, dengan membawa pembaruan Konsili Vatikan II, Gereja tidak lagu memaksakan kehendaknya kepada penganut lain untuk masuk ke dalam Gereja. Inilah panggilan modern dan terbuka Gereja Katolik untuk tidak lagi memaksakan kehendak dirinya, namun terbuka pada kebaikan yang ada di luar Gereja.

            Dengan wajah yang nampaknya eksklusif dengan sistem hierarkis yang communal, ternyata Gereja menampakkan sisi inklusif dengan terbuka terhadap budaya-budaya lain dan bahkan sistem negara-negara lain. Hal ini sungguh berbeda dengan sikap Gereja pra KVII yang cenderung mengutuk sikap budaya bangsa-bangsa lain non-Kristiani. Nampaknya sikap Gereja sekarang ini dengan keterbukaannya lebih mengutamakan untuk memperlihatkan Kristus dengan tindakan daripada hanya fokus pada pewartaan. Oleh karena itu, Gereja masa kini disebut pula memiliki wajah eksklusif, namun jiwa inklusif.

Membangun Semangat Inklusif Pasca Konsili Vatikan II

            Dictum “extra ecclesiam nulla salus” sudah tidak menggema di dalam Gereja sekarang ini. Dictum ini bagaikan sejarah yang menjadi pelajaran untuk keterbukaan Gereja. Mark Heim menjelaskan bahwa kebanyakan inklusif adalah pluralis atau dengan kata lain inklusif Gereja dikatakan sebagai seorang yang mampu bersikap plural dan memiliki sikap saling menghormati satu sama lain.[22] B.S. Mardiaatmaja juga menegaskan bahwa kehidupan pluralis sekarang ini lebih diperjuangkan dibandingkan hidup secara eksklusif. Hal ini amat perlu diperjuangkan mengingat bahwa maraknya terorisme dan penggunaan atribut-atribut agama untuk mengatasi konflik-konflik kepentingan yang berlaku di dalam kehidupan dunia ini.[23]

            Dalam hal ini Gereja yang memiliki misi untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa berusaha dengan segiat mungkin untuk mengatasi konflik dengan membawa ajran cinta kasih Kristus demi terciptanya kedamaian di dunia ini. Misi Ad Gentes art. 2,3 dan 4 secara eksplisit menjelaskan bahwa keselamatan perlu diperjuangkan dan karya kasih Allah mutlak bagi keselamatan jiwa-jiwa. Mengingat bahwa semangat radikalisme mencuat dengan kedok agama serta terorisme selalu membahana di dunia ini, khususnya Timur Tengah, kesaksian akan nilai-nilai Injili dan kasih Tuhan adalah mutlak dibangun dan diperjuangkan. Semangat ini tidak lain adalah semangat inklusif.

            Semangat inklusif pertama-tama perlu dibangun sejak dini. Gereja dengan lembaga serikat kanak-kanak misioner memberikan ruang deliberatif dan dialog etis bagi setiap anak-anak untuk dapat berelasi dengan pribadi-pribadi yang berbeda agama.[24] Dengan prinsip dan semangat inklusif, Gereja berusaha untuk menemukan Kristus dalam segala hal. Panggilan ini pun melibatkan setiap pribadi untuk menemukan kehendak Tuhan tidak hanya dalam gereja, melainkan dalam setiap perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda agama, pendapat bahkan dialog dengan alam.[25]

            Semangat inklusif inilah yang membuat Gereja menyadari bentuk baru pasca Konsili Vatikan II. Dari yang semula bersifat hierarkis, kini Gereja bercirikan komunal (NA). Gereja sebagai persekutuan umat beriman menyatakan dengan tegas bahwa ciri komunal melibatkan imam tidak lagi sebagai pemimpin yang musti dilayani. Para klerus adalah gembala yang sekaligus menjadi pelayan. Para klerus tidak lagi mendapat privilese khusus (kecuali dalam hal sakramen), tetapi menjadi setara dengan umat awam sebagai anggota umat beriman yang bersama-sama membangun kesatuan Tubuh Mistik Kristus (Mysticy Corporis Christi).

            Pada akhirnya, dengan membawa semangat Konsili Vatikan II, Gereja tidak lagi mengandalkan dictum “extra ecclesiam nulla salus” tetapi dengan tegas menyatakan bahwa sekalipun iman akan Gereja Katolik memancarkan kebenaran tunggal bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat utama, Gereja tidak menutup kemungkinan bahwa di luar dari ini terdapat kebenaran-kebenaran akan keselamatan ilahi.

Akhir Kata

            Gereja memiliki sejarah yang membangun terkait dengan dictum “extra ecclesiam nulla salus”. Sekalipun sempat mengalami pertumpahan darah dan skisma terkait dengan pertikaian ini, Gereja, tahap demi tahap tumbuh menjadi komunitas yang lebih dewasa yang mana iman akan Kristus sebagai sumber keselamatan tetap dijunjung tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap eksklusif di dalam Gereja tetap ada, justru hal ini sangat diperlukan khususnya dalam mempertanggungjawabkan iman kepercayaan kita akan Yesus Kristus sang penyelamat bersama dengan Bapa dan berkat dari Roh Kudus.

            Karena sikap eksklusif ini pula, semangat inklusif juga terbentuk sebab Gereja dengan segala rasa dan hormat akan kebenaran yang ada di dalam kepercayaan ataupun agama lain tetap memiliki kekhasan dan kharisma ilahi dalam pewartaan. Dengan iman yang eksklusif, umat Kristiani senantiasa terpanggil untuk mewartakan Injil Kristus kepada segala bangsa. Oleh karena itu, sekalipun ada tendensi bahwa eksklusif cenderung radikal, namun perlu diketahui bahwa justru dengan semangat ini, hendaknya kita bisa membina diri untuk mengarahkan akar radikal pada semangat untuk mewartakan Kristus kepada segala bangsa dengan mengingat teladan Kristus untuk tidak memaksakan segala sesuatu yang kita miliki kepada orang lain. Akan tetapi, tindakan kasih untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah keutamaan yang harus melampaui perbedaan suku, agama, budaya dan bahasa. Inilah wajah eksklusif Gereja namun berjiwa inklusif.

Sumber-sumber Bacaan:

 

Halfmann, Janet ed. The New Catholic Encyclopedia 2nd Edition vol. 4. Washington DC:

Thomson-Gale in association with The Catholic University of America. 2002

Healy, Nicholas M., Church, World and the Christian Life: Practical-Prophetic Ecclesiology,

Cambridge: Cambridge University Press. 20047.

Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa. Yogyakarta: Kanisius. 2002

Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

2003

Mardiatmaja, B. S., Bersatu Padu. Yogyakarta: Kanisius. 2017

 

 



[1] Lih. Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 62, 166.

[2] Nicholas M. Healy, Church, World and the Christian Life: Practical-Prophetic Ecclesiology, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hal. 17.

[3] Janet Halfmann, ed. The New Catholic Encyclopedia 2nd Edition vol. 4, Washington DC: Thomson-Gale in association with The Catholic University of America, hal. 259.

[4] Lih. Eddy, Visi, hal. 25-26,85, 90-96.

[5] Bdk. LG 8, LG 1.

[6] http://www.katolisitas.org/apakah-arti-eens-extra-ecclesiam-nulla-salus/ diakses pada 10 Desember 2017 pukul 20.00 WIB.

[7] Perutusan ini memberikan warna bahwa Gereja Kristus bersifat Katolik (Partikular sekaligus Universal) yang menyatakan bahwa keselamatan diperuntukkan bagi segala bangsa. LIh. Prof. Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 18-22.

[8] Eddy, Gagasan, hal. 27-38.

[9] Dogma ini kemudian dikukuhkan dengan Credo konsili Nicea-Konstantinopel.

[10] Golongan Novatianisme meyakini Trinitas sebagai konsep Allah Kristiani. Sekalipun memiliki sistem ajaran yang sama dengan Gereja, mereka menolak setiap orang yang telah membuat skisma dan heresy dalam Gereja. Oleh karena itu, setiap orang yang dulu pernah menjadi anggota Gereja, tidak serta merta bisa diterima langsung ke dalam Gereja tanpa ujian yang ketat terlebih dahulu dan pembaptisan ulang dengan berbagai sistem ujian. Lih. Janet, The New vol. 15, hal. 359.

[11] Kelima konsili tersebut adalah: Nicaea I (325); Konstantinopel I (381); Efesus I (431); Kalsedon I (451).

[12] Lih. Hubertus R. Drobner, Siegfried S. Schatzmann dan William Harmless “Literature of the Period of Persecution” dalam The Fathers of the Church: a Comprehensive Introduction, Massachusetts-Peabody: Hendrickson Publisher, hal. 130-424.

[13] Hubertus, The Fathers, hal. 269.

[14] Bagian ini merupakan rangkuman dari Bagian Uraian atas Sintesis Sejarah Gereja. Lih. Eddy, VIsi, hal. 56-100.

[15] Dalam bagian ini akan disampaikan secara singkat tentang sikap eksklusif Gereja terhadap kaum protestan. Lih. Eddy, ”Reconquista dan Reformasi Protestantisme,” Visi, hal. 90-100.

[16] Bahan ini merupakan rangkuman dari “Uraian atas Sintesis Sejarah Gereja” bagian “Abad XVII dan XVIII” dari Prof. Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif”, hal.103-110.

[17]  Eddy, Visi, hal. 106.

[18] Melanjutkan dari rangkuman bagian sebelumnya, tulisan ini juga memberikan gambaran singkat tentang sikap eksklusif dan benih-beih inklusif yang mulai muncul di abad XX. Inilah awal perkembangan Gereja menuju Konsili Vatikan II yang membuat Gereja berubah sangat drastis. Lih. Eddy, Visi, hal. 112-129.

[19] “Terang para bangsalah Kristus itu. … Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen. … Lih. LG 1.

[20] LG 1 dan 2.

[21] “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. NA 2.

[22] Nicholas, Church, hal. 129.

[23] Lih. BS. Mardiaatmaja, Bersatu Padu, Yogyakarta: Kanisius, hal. 169-194.

[24] Robert Kunzman, Grappling with the Good, hal. 89.

[25] Nicholas, Church, hal. 130.

Post a Comment

0 Comments