Pada sejarah Gereja Purba, Gereja
Kristus mendasarkan dirinya pada semangat yang diwariskan oleh Yesus Kristus
kepada Para Rasul. Para Rasul menjadi gembala dan pemimpin jemaat-jemaat
Kristus. Mereka harus menghadapi pengejaran, penderitaan dan penyiksaan yang
dilakukan oleh kelompok orang-orang tua Yahudi dan ahli-ahli Taurat. Hingga
akhirnya muncul Paulus sebagai pribadi yang pada awalnya mengejar dan menyiksa
para pengikut Kristus berubah menjadi seorang rasul yang ulung berkat
perjumpaannya dengan Kristus dalam perjalanan di Damsyik (Kis 9:1-19). Berkat
Paulus inilah, di Antiokhia para pengikut Yesus disebut Kristen (Kis 11:26).
Gereja yang bertumbuh tidak hanya
mengalami penderitaan dari kaum-kaum Yahudi dan ahli-ahli Taurat. Mereka juga
terancam dengan kebijakan kekaisaran yang memerintah saat itu. Khususnya pada
zaman pemerintahan kaisar Nero. Umat Kristiani mengalami penderitaan yang amat
besar. Akan tetapi, setelah munculnya Kaisar Konstantinus Agung (306-337),
agama Kristiani lebih diakui sejak Diokletianus dan agama Kristen diterima di
dalam kekaisaran.[1]
Setelah mengalami penderitaan dan penganiayaan hingga
era bapa-bapa Gereja, Gereja Kristus berkembang dengan pesat. Akan tetapi,
tantangan yang muncul di sini bukanlah penyiksaan terhadap pengikut Kristiani,
melainkan paham-paham keliru yang disebarkan oleh para bida’ah. Kaum-kaum
bida’ah dianggap sebagai ancaman karena mereka berusaha untuk memecah-mecah
Gereja dan mengaburkan paham iman yang diyakini oleh jemaat Kristus. Berkat
adanya kaum bida’ah ini, muncul berbagai tokoh-tokoh teolog yang berusaha
menggabungkan pengetahuan filosofis dan teologis sebagai bentuk untuk
mempertanggungjawabkan iman sekaligus menanggapi tantangan-tantangan bida’ah
yang ada. Setiap orang yang mengajarkan kesesatan dianggap berada di luar
Gereja. Mereka yang berada di luar ajaran Gereja yang khas dan otentik
menyalahi aturan dan tidak layak menerima Kerjaan Allah. Dalam hal ini pula,
muncul tokoh yang amat berpengaruh dalam sejarah Gereja, yaitu Siprianus
menyemarakkan semangat “extra ecclesiam
nulla salus.” Dictum ini akhirnya memberikan pengaruh yang besar bahkan
hingga abad XX.[2]
Munculnya
kaum-kaum teolog ini pula yang memberikan gambaran baru wajah Gereja. Masa ini
biasa disebut dengan abad pertengahan. Dalam ranah ilmu pengetahuan dan
filsafat, zaman abad pertengahan disebut juga sebagai abad kegelapan (Dark Age). Peranan teolog yang lebih
mementingkan pelajaran teologi daripada filsafat dan ilmu-ilmu alam membuat
ilmu pengetahuan menjadi terkungkung dan tidak bisa berkembang.[3]
Kaum teolog tidak lagi melihat bahwa filsafat adalah ilmu yang berfaedah.
Selain itu, dengan adanya perlindungan dari kekaisaran dan memiliki tempat dan
peranan penting dalam hal-hal duniawi, Gereja memiliki hak eksklusif sehingga
terjadi penggabungan antara sistem kekaisaran dan sistem Gerejawi.
Abad pertengahan juga digoncang dengan
peristiwa besar, yaitu skisma yang dimulai oleh Luther. Sekalipun bukan Luther
sendiri yang memulai secara langsung. Ide atau gagasan Luther inilah yang
membuat Gereja terpisah (skisma besar) menjadi lebih dari satu denominasi.
Munculnya protestantisme, Calvinist dan golongan reforman lainnya membuat
Gereja semakin getol untuk menerapkan gagasan bahwa di luar Gereja (Katolik)
tidak ada keselamatan.[4]
Dictum dan gagasan tersebut terus berjalan hingga munculnya Konsili Vatikan II yang merubah sudut pandang Gereja untuk lebih bersikap ekumenik dan inklusif. Konsili Vatikan II yang dibuka oleh Paus Yohanes XIII memberi angin segar bagi Gereja (aggiornamento). Para konsiliaris inilah yang akhirnya membuka wajah Gereja yang baru. Di mana Gereja menemukan bahwa ada kebenaran yang diilhami oleh Allah di luar Gereja.[5] Sejak saat inilah Gereja mulai terbuka terhadap dunia dan pandangan agama-agama lain. Meskipun demikian, Gereja tetap memegang kekhasannya sebagai satu-satunya Gereja yang memancarkan Gereja Kristus yang hadir di dunia.
Konteks Sejarah Extra Ecclesiam Nulla
Salus
Extra
ecclesiam nulla salus (ECNS) pada awalnya memang diperkenalkan atau
dimotori oleh Siprianus dalam menghadapi kaum-kaum bidaah yang sedang
berkembang khususnya pada zaman Gereja awal. Untuk menegakkan dan mempersatukan
Gereja dalam satu pandangan ilahi dan meyakini bahwa Yesus Kristus sungguh
Allah yang tertuang dalam credo,
Siprianus berusaha untuk menetapkan dan melawan kaum bidaah. Dictum ini juga
ditujukan kepada setiap orang agar berpegang pada iman dan ajaran ilahi yang
satu dan khas.
Dengan
meyakini bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, umat Kristen diarahkan
agar tetap memegang ajaran yang benar dan tepat dalam terang ilahi Sang
Kristus. Konsep kesatuan dan keselamatan hanya di dalam diri Yesus Kristus
sudah ada dalam tradisi Gereja. St. Ignasius Antiokhia dalam suratnya kepada
umat di Philadelpia menjelaskan bahwa setiap orang yang membuat skisma tidak
akan mendapat kerajaan Allah. St. Yustinus Martir juga menegaskan bahwa hanya
dalam diri Kristus yang dirayakan dalam ekaristi kita dapat mengenal dan
memperoleh keselamatan berkat belaskasihan-Nya.
St. Iraneus juga menjelaskan bahwa ajaran dan pandangan dari para Rasul adalah
ajaran dasar keselamatan yang benar dan utama bagi keselamatan umat Kristen.
St. Hieronimus (347-420) menyatakan bahwa Para bidat atau heretik mendatangkan
hukuman atas mereka sendiri, sebab mereka dengan pilihan mereka sendiri menarik
diri dari Gereja, penarikan diri yang, karena mereka sadari, mengandung
hukuman. Demikian pula St. Agustinus (354-431) menyatakan kasih Tuhan
dicurahkan kepada kita oleh Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita” (Rom 5:5)
adalah kasih yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang terpisah dari
persekutuan Gereja Katolik. Dan untuk alasan ini meskipun mereka dapat
“berbicara dengan bahasa-bahasa manusia maupun malaikat” (1Kor 13:1-3), hal itu
tak berguna baginya. Sebab orang yang tidak mengasihi kesatuan Gereja tidaklah
memiliki kasih Tuhan…” (De Baptismo 3:10,13; CSEL 51:212).[6]
Gagasan-gagasan iman tersebut juga tidak lepas dari pengalaman sejarah dan ajaran Para Rasul sebagai para murid Yesus yang menerima ajaran secara langsung. Pengalaman dan kesaksian ini pulalah yang membawa keyakinan bahwa hanya di dalam Kristuslah sumber segala keselamatan.
Konteks Gereja Perdana
Gereja Perdana dimulai sejak Kristus
sendiri membagun Gereja-Nya Para Rasul sebagai dasar awalnya. Konsep
eksklusivisme pada awal pewartaan Para Rasul bisa dilihat saat perjumpaan
antara Petrus dan Paulus dalam Konsili Pertama di Yerusalem yang membahas
perihal sunat, pewartaan Injil kepada orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Dalam
Kisah Para Rasul Kis 11:1-30 juga
digambarkan bahwa sebagian besar pengikut Kristus, bahkan Para Rasul sendiri
berpendapat bahwa pewartaan Injil pertama-tama harus diberitakan kepada kaum
sebangsa (Yahudi). Paham eksklusif yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi
berdasarkan adat dan tradisi nenek moyang membuat mereka berpendapat bahwa
setiap orang yang hendak menjadi pengikut Kristus haruslah mengikuti ajaran dan
tatacara adat dan tradisi Yahudi. Begitu pula dengan orang-orang non-Yahudi,
pada awalnya mereka diwajibkan untuk sunat (Kis 15:1-5).
Mungkin juga dapat dipahami bahwa
sunat merupakan bentuk baptis bagi orang-orang non-Yahudi untuk menjadi
pengikut Kristus. Akan tetapi, ketika kedatangan Paulus dan melalui pengalaman
sapaan Tuhan kepada Petrus akan pengalaman perjumpaan dengan Kornelius (Kis
11:3-27) menampakkan bahwa keselamatan tidak hanya kepada orang-orang Yahudi
saja, tetapi semua bangsa. Mulai dari peristiwa inilah, eksklusivisme orang-orang
Yahudi yang mengikuti Kristus mulai diarahkan dan didasarkan pada pemahaman
bahwa orang-orang yang di luar adat mereka pun diselamatkan.
Puncak dari konteks perdebatan ini
adalah saat sidang di Yerusalem (Kis 16). Sidang ini membahas tentang pewartaan
Injil kepada semua bangsa dan perihal bagaimana mengikuti Yesus. Banyak
golongan Yahudi yang tidak setuju dengan pewartaan kepada non-Yahudi. Sikap gettho dan eksklusif agar keselamatan
hanya untuk orang-orang Yahudi saja masih kuat di dalam benak mereka. Pandangan
bahwa keselamatan diperuntukkan bagi orang Yahudi membuat konsep pewartaan
Injil hanya berlaku bagi orang-orang Yahudi dan hanya orang-orang yang
mengikuti tradisi dan ajaran warisan Musa-lah mereka bisa memperoleh
keselamatan. Karena ada paham keselamatan bahwa siapapun yang mengikuti hukum
dan tradisi nenek moyang (Musa) bisa memperoleh keselamatan, maka mereka
melihat bahwa orang-orang non-Yahudi jika ingin menjadi pengikut Kristus musti
sunat. Sebab melalui sunatlah mereka masuk dalam golongan Yahudi.
Konflik sidang Yerusalem merupakan awal pewartaan kepada segala bangsa. Dengan konsep pemikiran Paulus dan teologi kasih yang menyatakan bahwa keselamatan bagi segala bangsa, akhirnya Petrus pun melihat bahwa keselamatan juga diarahkan dan musti diberikan kepada segala bangsa. Dari hal inilah dapat dilihat bahwa konsep pemikiran tentang eksklusivitas Gereja Perdana mampu membawa inklusivitas untuk terbuka kepada bangsa-bangsa lain. Sekalipun pada dasarnya dapat pula dikatakan bahwa Gereja tetap eksklusif dengan menyatakan bahwa keselamatan hanya didapatkan di dalam Kristus, namun sikap inklusif juga muncul dengan adanya keterbukaan untuk pewartaan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Sikap ini juga didukung dengan adanya perutusan Kristus untuk pergi ke seluruh dunia wartakan Injil kepada segala makhluk (Mat 28:19-20).[7]
Konteks Bapa-Bapa Gereja
– Munculnya Kekaisaran Kristen
Bapa-bapa Gereja dengan maksud untuk
mempertahankan keabsahan dan kesatuan ajaran Gereja yang benar dengan tegas
melakukan perlawanan terhadap kaum-kaum bidaah. Bidaah-bidaah ini terdiri dari
dua zona waktu. Pertama, lanjutan dari perlawanan Gereja zaman Para Rasul yang
terdiri dari gnostisisme (melihat sistem kepercayaan dalam mana keselamatan
bergantung sepenuhnya pada pengetahuan khusus atau pencerahan batin tentang
Allah yang membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan kejahatan; montanisme
(gerakan kharismatis dan apokaliptis dan paham tentang persoalan trinitaris
Ilahi.[8]
Kedua pada masa Bapa-bapa Gereja, Gereja berusaha melawan bidaah-biadaah,
Novatianisme, Arianisme, Donatisme, dan Acasianisme. Bidaah-bidaah ini
mengganggu kesatuan iman Gereja dengan menyeleweng dari dogma Gereja atau iman
Gereja bahwa Yesus adalah Allah dan manusia. Bukan manusia yang mendapat kodrat
Ilahi atau saat dilahirkan mendapat kodrat Allah, melainkan sejak semula Yesus
Kristus sungguh Allah dan sungguh manusia.[9]
Eksklusivisme Gereja dalam hal ini
bertujuan amat baik, yaitu berusaha untuk melindungi Gereja dari perpecahan dan
serangan-serangan ajaran sesat. Di sisi lain, ada golongan yang berusaha untuk
melepaskan diri dari Gereja karena tidak sepaham dengan ajaran yang ditetapkan,
misalnya: Novatianisme.[10]
Pada masa ini, Gereja melaksanakan lima konsili ekumenis pertama untuk
mengatasi heresy dan skisma terkait dengan pernyataan iman (credo) serta memperkuat kesatuan Gereja
sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus.[11]
Konsili-konsili ekumenis pertama
inilah yang membuat Gereja semakin eksklusif dengan pandangan imannya terkait
dengan konsep Trinitaris. Akan tetapi, tujuan dari penetapan ini, sekalipun
mengandung unsur eksklusif, dogma yang diajarkan dalam konsili-konsili pertama
bertujuan untuk menetapkan dasar iman secara tepat dan benar sesuai dengan
anugerah iman Roh Kudus yang tercurah dalam pengungkapan iman manusiawi.
Dari berbagai bapa-bapa Gereja yang
ada, berikut daftar Bapa-bapa Gereja Agung:[12]
1. Dari
Gereja Barat:
a. Ambrosius,
Uskup Milan menentang Nestorianisme dan menganggap bahwa ajaran Nestorian tidak
tepat;
b. Hieronimus
merupakan seorang imam sekaligus teolog dan terkenal sebagai pujangga Gereja;
c. Agustinus
adalah seorang Uskup dan teolog besar. Kisah hidupnya dari seorang yang semula
dinilai tak bermoral kemudian bertobat dan bahkan membuat tulisan-tulisan
pembelaan iman terhadap serangan-serangan bidaah. Ajaran yang termuat dalam
tulisannya hingga sekarang ini sering menjadi rujukan para teolog untuk
memperoleh landasan dan gagasan dogmatis.
d. Gregorius
Agung merupakan bapa Gereja terakhir di masanya. Ia melawan bidah Eutisius.
Gregorius Agung merupakan santo yang diakui oleh banyak denominasi Gereja
termasuk Lutheran, Calvinist dan Gereja ritus Latin.
2. Dari Gereja Timur/Ritus Latin:
a. Basilius
Agung bersama dengan Gregorius dari Nazianze melawan Eunomius. Karangan
terkenal yang telah dibuatnya adalah Ad
adolescents.[13]
b. Athanasius
adalah uskup Alexandria yang melawan konsep Trinitaris Arianisme.
c. Gregorius
dari Nazianze merupakan rekan sekerja Basilius Agung.
d. Yohanes Krisostomus dikenal sebagai uskup yang bermulut emas (Chrisostomus). Sebagai pengkhotbah yang ulung dan doktor teologi yang amat terkenal, ia terus-menerus berusaha untuk melawan paham Arianisme.
Konteks Gereja Abad
Pertengahan[14]
Awal abad pertengahan diawali dengan
peristiwa terpecahnya Kekaisaran Romawi dan karena serangan-serangan kaum
barbar (yang tidak menggunakan bahasa Latin). Gereja basis Yunani tidak
mengalami bahaya perang di masa itu sebab hanya kekaisaran Roma berbahasa
Latin-lah yang menjadi sasarang penyerangan bangsa-bangsa barbar. Kebanyakan
bangsa barbar menganut paham Arianisme. Paham yang ditolak oleh kaum Kristen
Ortodox ini berkonflik dengan pengikut Arius. Oleh karena perbedaan ajaran ini
pula, ketika bangsa barbar dengan ajaran Arian menyerang, target pertama
penyerangan adalah kelompok Kristen Ortodox (sekarang dikenal sebagai Katolik).
Bangsa-bangsa yang menganut ajaran Arius adalah bangsa Vandal, Visigoth dan
Jerman. Pernyebutan bangsa barbar oleh kaum Latin secara sederhana menyatakan
bahwa Gereja bersikap eksklusif. Sementara itu, penulisan dan karya-karya Kitab
Suci yang tidak berbahasa Latin ditolak oleh pihak pemerintahan gereja di masa
itu.
Konsili-konsili pada abad ini sangat
getol dalam membela dan mempertahankan pengetahuan teologi dogmatik iman
Gereja. Sebagai contoh, konsili-konsili yang digelar bertujuan untuk menanggapi
isu-isu Kristologis:
1. Konsili
ekumenis III, Efesus I (431) mengecam pandangan Nestorius tentang kodrat Kristus
: dua kodrat dan dua pribadi sementara itu, Gereja memiliki dogma bahwa Yesus
adalah dua kodrat satu pribadi.
2. Konsili
ekumenis IV, Kalsedon mengutuk bahwa ajaran monofisitisme adalah salah.
3. Konsili
ekumenis V, Konstantinopel II sekali lagi mengutuk nestorianisme.
4. Konsili
ekumenis VI, Konstantinopel III mengecam monotelitisme.
Paham-paham teologis yang keliru dan dibahas dalam
konsili tersebut tidak hanya menentang pandangan tetapi dengan eksklusif
menolak pribadi-pribadi atau pengikut ajarannya. Hal ini sangat disayangkan bila ada
pribadi-pribadi yang hendak kembali pada pangkuan Gereja yang satu dan benar.
Hal ini pula yang mengakibatkan Siprianus harus menerima penolakan dan wafat di
pengasingan.
Pada zaman ini muncul pula agama baru, yaitu Islam yang
dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW (610). Pada awalnya kedatangan Islam tidak
terlalu mencolok bagi perkembangan Kristiani. Akan tetapi, karena munculnya
konflik kekuasaan dan paham teologis kedua agama (Kristiani dan Islam)
mengalami perang yang berkepanjangan yang dikenal dengan perang salib.
Ketegasan sikap Gereja terhadap ajaran Islam sangat keras. Bahkan Gereja
sendiri mengutuk dan memaksakan setiap penganut Islam harus mengikuti aturan
dan adat Kristiani. Umat Muslim pun juga diwajibkan untuk membayar pajak lebih
besar jika mereka tinggal di wilayah kekaisaran Kristen.
Pertikaian berdarah antara Islam dan Kristen memang
telah berakhir abad XIII. Akan tetapi, pertikaian dari sejarah masa lalu tidak
bisa dilupakan begitu saja. Hal ini pun masih dapat dirasakan hingga abad XXI.
Sayangnya daripada kehendak untuk membangun serta menyemarakkan persaudaraan
ada banyak pula pribadi atau kelompok yang cenderung untuk bersikap eksklusif
demi kepentingan diri sendiri atau kolektif semata. Hal ini pula yang menimbulkan
kesulitan untuk melihat bahwa di luar agama atau kepercayaan yang diyakini ada
keselamatan. Paham ini pulalah yang membuat Gereja menjadi lembaga yang amat
eksklusif pada zaman abad pertengahan.
Konteks Revolusi
Protestantisme[15]
Revolusi dan skisma besar abad XVI
(tepatnya sejak tahun 1517) dimulai oleh Musa bangsa Jerman, Martin Luther.
Kritik Martin Luther dan pendukungnya memaksa Gereja harus melakukan pembaruan
secara internal melalui konsili Trento. Kekhasan konsili Trento bercorak
doktriner dan pastoral dengan tujuan agar iman umat Kristen pada masa itu tidak
terombang-ambing oleh ajaran-ajaran baru. Pembaruan inilah yang membuat Gereja
melakukan ekspansi misioner secara besar-besaran. Salah satu misionaris
terkenal di zaman ini adalah Fransiskus Xaverius-Serikat Yesus.
Aspek teologi keselamatan dan
doktrin untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah sangat besar di zaman ini.
Sekalipun tendensi dan regula untuk mendirikan serikat baru telah dilarang,
kehadiran serikat Yesus dalam misi dan kharisma khas untuk melayani Paus
membuat serikat ini bertumbuh dengan subur. Pemahaman ini pulalah yang membawa
orang-orang Kristen mengarahkan pandangannya ke tanah misi dan menjadikan
Gereja sebagai sarana keselamatan universal bagi bangsa-bangsa. Hal inilah yang
sekiranya menjadi cikal-bakal disebutnya Gereja katolik yang memiliki semangat
dan kekhasan universal keselataman bagi semua bangsa.
Selain itu, tindakan Gereja dengan sistem inkuisisi memang dapat menekan laju perkembangan protestantisme di Eropa. Akan tetapi tindakan ini sangat disayangkan mengingat bahwa sikap eksklusif Gereja mengakibatkan penderitaan bahkan kematian bagi banyak orang terkait iman yang sama, yaitu iman akan Yesus Kristus. Pada masa ini pula, peristilahan persekutuan imam atau presbiter muncul dan diterapkan bagi setiap pelayanan Gereja. Golongan presbiter inilah yang kemudian secara getol memperjuangkan Gereja Kristen dengan menekan umat Protestan dengan lebih keras. Tentu, hal ini amat disayangkan sebab idealism yang menyatakan bahwa Gereja sebagai sumber keselamatan justru malah menyiksa dan menimbulkan jatuhnya korban yang amat banyak.
Abad XVII-XVIII[16]
Peperangan 30 tahun yang terjadi di
Eropa tidak lepas dari kontroversi antara iman Kristiani dan kaum reformasi.
Selama kurun waktu itu, keyakinan-keyakinan religius yang sempit dari berbagai
kelompok, khususnya Katolik dan Protestan memicu pertumpahan darah, dan memakan
banyak korban. Perang ini, sekalipun memiliki landasan agama, tidak dapat
dipungkiri mengandung unsur perebutan kekuasaan antara kerajaan Kristen Roma
dengan kaum Calvinist, maupun Lutheran.
Pandangan masing-masing agama yang
eksklusif membutakan iman untuk melihat secara lebih mendalam arti iman akan
Kristus yang sesungguhnya. Demi tujuan untuk memuliakan Tuhan, seringkali
golongan yang menyebut dirinya yang paling benar dapat menggunakan kekerasan
untuk menghancurkan yang dianggapnya tidak benar. Prof. Eddy menegaskan bahwa:”
“Semua peperangan
ini dibakar oleh fanatisme sempit pelbagai ortodoksi – Katolik Roma, Lutheran
dan Reformed. Bagi setiap ortodoksi, setiap detail ajaran merupakan sesuatu
yang penting dan oleh karena itu, tidak satu penyimpangan pun dari ortodoksi
(kendati paling kecil sekalipun) akan diizinkan. Akibatnya bukan hanya
peperangan yang telah disebutkan, tetapi juga munculnya pelbagai perdebatan
yang tidak berkesudahan di antara orang katolik, Lutheran dan Reformed. Semua
pihak merasa sulit mencapai kesepakatan, bahkan tradisi-tradisi emreka sendiri
kemudian juga tidak terdamaikan.”[17]
Di sini semakin jelas bahwa sikap
eksklusif masing-masing pihak mengakibatkan masing-masing pihak untuk terbuka
satu sama lain, khususnya dalam menciptakan perdamaian. Hal ini juga menjadi
cikal bakala munculnya rasionalisme dan kelahiran filsuf-filsuf baru untuk menemukan
pencerahan dan kebenaran. Zaman ini-lah yang kemudian disebut oleh filsafat
sebagai zaman aufklerung atau abad
pencerahan budi (dimulai oleh Rene Descartes).
Karena munculnya konflik yang terus-menerus dalam Gereja, banyak orang yang mulai keluar dari Gereja dengan mengambil jalan spiritualitasnya sendiri. Mereka bertekad untuk mencari Tuhan, tidak lagi di dalam Gereja, melainkan dlam kehidupan batin dan pribadi. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan eksodus bagi warga Eropa untuk menemukan suaka baru, yaitu Amerika Utara dengan harapan berhasil membangun komunitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip Injil termasuk dalam hal toleransi terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan atau tidak sejalan dengan iman yang dimiliki.
Abad XIX-XX[18]
Perkembangan Gereja dalam dictum extra ecclesiam nulla salus tidak lagi
terlalu menggema di dalam Gereja. Justru dengan hadirnya modernitas, Gereja
mulai terbuka dengan mengingat bahwa aspek kemanusiaan lebih diutamakan
daripada doktrin-doktrin teologis semata. Dengan adanya modernitas dan
demokrasi di dalam sistem pemerintahan dunia. Gereja tidak lagi bisa memaksakan
orang lain untuk memeluk agama Kristiani. Di sisi lain, Gereja musti mengakui
hak setiap pribadi untuk memeluk agama yang diyakininya.
Munculnya perkembangan teknologi
melalui revolusi industry, Gereja sadar bahwa sikap eksklusivitas perlu
dikembangkan, tetapi dengan cara yang lain. Mengingat bahwa di masa ini terjadi
perang dunia yang memakan banyak korban. Gereja di sana terpanggil untuk melayani
kemanusiaan. Oleh karena itu, pada abad-abad ini muncul ratusan tarekat-tarekat
atau kongregasi religius untuk kepentingan misi. Tarekat dan serikat yang
muncul di era ini lebih mementingkan misi dan pergi keluar negeri untuk
mewartakan Injil. Sistem pewartaaan yang dilakukan pun sedikit berbeda. Jika
melihat abad XV-XVI ciri pewartaan Gereja lebih mengutamakan baptisan, misi
abad ini lebih mengutamakan karya karitatif yang mana semangatnya adalah tetap
membawa Kristus dalam karya misi dan karya-karya sosial. Tentu dalam hal ini
Gereja tetap mengingat bahwa keselamatan hanya bisa diperoleh melalui Kristus.
Gereja juga mengalami perubahan yang
besar dengan adanya Konsili Vatikan II yang dipelopori oleh Yohanes XXIII.
Berkat Konsili ini, Gereja berusaha kembali menyatukan umat Kristus yang telah
hilang. Persekutuan dan sikap inklusif mulai dibangun kembali oleh Gereja.
Dalam konsili ini, Yohanes XXIII tidak lupa mengundang Gereja ritus latin
sekaligus Gereja Ortodox (Timur) untuk memberi masukan kepada Gereja sekaligus
membangun semangat ekumenisme sebagai pengikut Kristus.
Kehadiran Konsili Vatikan II bagaikan angina segar bagi perkembangan Gereja abad XX-XXI. Melalui dekrit LG 1, Gereja memandang bahwa siapapun berhak atas keselamatan. LG 8 bahwa Gereja Kristus terpancar dan ada dalam Gereja Katolik. Sekalipun ada nada eksklusif, namun ini menjadi suatu pertanda bahwa Gereja Katolik sebagai sarana karya keselamatan Yesus Kristus kepada umat manusia membuka dirinya untuk karya keselamatan jiwa-jiwa bagi seluruh umat manusia tanpa memandang agama, suku, budaya, bahasa. Hal ini juga disadari oleh Karl Rahner bahwa umat beragama lain yang dikatakan sebagai Kristen anonym juga berhak memperoleh keselamatan, bahkan mereka dapat memperoleh keselamatan jika seluruh perbuatan mereka memancarkan kehendak ilahi Tuhan Yesus Kristus yang tertuang dalam Injil.
Wajah Eksklusif Jiwa Inklusif
Konteks sejarah yang telah diuraikan
di atas memang menampakkan bahwa secara keseluruhan bahwa Gereja memiliki wajah
Eksklusif dengan berpangkal pada dogma bahwa Kristus adalah satu-satunya terang
dan sumber keselamatan.[19]
Sebagai sumber keselamatan, Kristus hadir di dalam Gereja sebagai sakramen
keselamatan bagi seluruh jiwa-jiwa.[20]
Keyakinan dan iman mutlak atas dogma ini tidak serta merta membuat Gereja buta
akan keselamatan di luar komunitas. Justru, Gereja semakin terbuka untuk melihat
dunia sekelilingnya dan mencari tentang keselamatan-keselamatan yang ditawarkan
oleh agama-agama lain.[21]
Gereja menyadari bahwa kesatuan Umat
Allah dalam kesatuan Yesus Kristus sebagai imam, guru dan raja adalah sumber
keselamatan. LG 13 dengan tegas menyatakan bahwa semua orang dipanggil kepada
Umat Allah yang baru. Demi tujuan itu pulalah Allah mengutus Roh Putra-Nya,
Tuhan yang menghidupkan, yang bagi seluruh Gereja dan masing-masing serta
segenap orang beriman mejadi asas penghimpun dan pemersatu dalam ajaran para
Rasul dan persekutuan dalam pemecahan roti, dan doa-doa.
Persekutuan umat Gereja diartikan
secara baru oleh DKV II sebagai Umat Beriman Katolik (LG 14). Persekutuan
inilah yang menyatakan bahwa setiap anggota Gereja, melalui baptis memiliki Roh
Kristus dan dipanggil serta digabungkan dalam pelayanan Imam Agung dalam
persekutuan dengan Kristus. Panggilan ini pulalah yang membuat Gereja terbuka
terhadap perutusan Kristus. Dalam LG 15, setiap umat yang dipanggil seturut
semangat dan persekutuan Roh Kudus menghormati keputusan tiap-tiap pribadi atas
agama dan kepercayaan yang dimiliki. Akan tetapi, dengan tetap membawa iman dan
doktrin bahwa sebagai pengikut Kristus dengan semangat perutusan dalam Mat
25:20-28, umat Kristiani tetap memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
mewartakan Kristus kepada segala bangsa. Kendatipun demikian, dengan membawa
pembaruan Konsili Vatikan II, Gereja tidak lagu memaksakan kehendaknya kepada
penganut lain untuk masuk ke dalam Gereja. Inilah panggilan modern dan terbuka
Gereja Katolik untuk tidak lagi memaksakan kehendak dirinya, namun terbuka pada
kebaikan yang ada di luar Gereja.
Dengan wajah yang nampaknya eksklusif dengan sistem hierarkis yang communal, ternyata Gereja menampakkan sisi inklusif dengan terbuka terhadap budaya-budaya lain dan bahkan sistem negara-negara lain. Hal ini sungguh berbeda dengan sikap Gereja pra KVII yang cenderung mengutuk sikap budaya bangsa-bangsa lain non-Kristiani. Nampaknya sikap Gereja sekarang ini dengan keterbukaannya lebih mengutamakan untuk memperlihatkan Kristus dengan tindakan daripada hanya fokus pada pewartaan. Oleh karena itu, Gereja masa kini disebut pula memiliki wajah eksklusif, namun jiwa inklusif.
Membangun Semangat Inklusif Pasca Konsili
Vatikan II
Dictum “extra ecclesiam nulla salus” sudah tidak menggema di dalam Gereja
sekarang ini. Dictum ini bagaikan sejarah yang menjadi pelajaran untuk
keterbukaan Gereja. Mark Heim menjelaskan bahwa kebanyakan inklusif adalah
pluralis atau dengan kata lain inklusif Gereja dikatakan sebagai seorang yang
mampu bersikap plural dan memiliki sikap saling menghormati satu sama lain.[22]
B.S. Mardiaatmaja juga menegaskan bahwa kehidupan pluralis sekarang ini lebih
diperjuangkan dibandingkan hidup secara eksklusif. Hal ini amat perlu diperjuangkan
mengingat bahwa maraknya terorisme dan penggunaan atribut-atribut agama untuk
mengatasi konflik-konflik kepentingan yang berlaku di dalam kehidupan dunia
ini.[23]
Dalam hal ini Gereja yang memiliki
misi untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa berusaha dengan segiat mungkin
untuk mengatasi konflik dengan membawa ajran cinta kasih Kristus demi
terciptanya kedamaian di dunia ini. Misi Ad Gentes art. 2,3 dan 4 secara
eksplisit menjelaskan bahwa keselamatan perlu diperjuangkan dan karya kasih
Allah mutlak bagi keselamatan jiwa-jiwa. Mengingat bahwa semangat radikalisme
mencuat dengan kedok agama serta terorisme selalu membahana di dunia ini,
khususnya Timur Tengah, kesaksian akan nilai-nilai Injili dan kasih Tuhan
adalah mutlak dibangun dan diperjuangkan. Semangat ini tidak lain adalah
semangat inklusif.
Semangat inklusif pertama-tama perlu
dibangun sejak dini. Gereja dengan lembaga serikat kanak-kanak misioner
memberikan ruang deliberatif dan dialog etis bagi setiap anak-anak untuk dapat
berelasi dengan pribadi-pribadi yang berbeda agama.[24]
Dengan prinsip dan semangat inklusif, Gereja berusaha untuk menemukan Kristus
dalam segala hal. Panggilan ini pun melibatkan setiap pribadi untuk menemukan
kehendak Tuhan tidak hanya dalam gereja, melainkan dalam setiap perjumpaan
dengan orang-orang yang berbeda agama, pendapat bahkan dialog dengan alam.[25]
Semangat inklusif inilah yang
membuat Gereja menyadari bentuk baru pasca Konsili Vatikan II. Dari yang semula
bersifat hierarkis, kini Gereja bercirikan komunal (NA). Gereja sebagai
persekutuan umat beriman menyatakan dengan tegas bahwa ciri komunal melibatkan
imam tidak lagi sebagai pemimpin yang musti dilayani. Para klerus adalah
gembala yang sekaligus menjadi pelayan. Para klerus tidak lagi mendapat
privilese khusus (kecuali dalam hal sakramen), tetapi menjadi setara dengan
umat awam sebagai anggota umat beriman yang bersama-sama membangun kesatuan
Tubuh Mistik Kristus (Mysticy Corporis
Christi).
Pada akhirnya, dengan membawa semangat Konsili Vatikan II, Gereja tidak lagi mengandalkan dictum “extra ecclesiam nulla salus” tetapi dengan tegas menyatakan bahwa sekalipun iman akan Gereja Katolik memancarkan kebenaran tunggal bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat utama, Gereja tidak menutup kemungkinan bahwa di luar dari ini terdapat kebenaran-kebenaran akan keselamatan ilahi.
Akhir Kata
Gereja memiliki sejarah yang
membangun terkait dengan dictum “extra ecclesiam nulla salus”. Sekalipun sempat
mengalami pertumpahan darah dan skisma terkait dengan pertikaian ini, Gereja,
tahap demi tahap tumbuh menjadi komunitas yang lebih dewasa yang mana iman akan
Kristus sebagai sumber keselamatan tetap dijunjung tinggi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sikap eksklusif di dalam Gereja tetap ada, justru hal ini
sangat diperlukan khususnya dalam mempertanggungjawabkan iman kepercayaan kita
akan Yesus Kristus sang penyelamat bersama dengan Bapa dan berkat dari Roh
Kudus.
Karena sikap eksklusif ini pula, semangat inklusif juga terbentuk sebab Gereja dengan segala rasa dan hormat akan kebenaran yang ada di dalam kepercayaan ataupun agama lain tetap memiliki kekhasan dan kharisma ilahi dalam pewartaan. Dengan iman yang eksklusif, umat Kristiani senantiasa terpanggil untuk mewartakan Injil Kristus kepada segala bangsa. Oleh karena itu, sekalipun ada tendensi bahwa eksklusif cenderung radikal, namun perlu diketahui bahwa justru dengan semangat ini, hendaknya kita bisa membina diri untuk mengarahkan akar radikal pada semangat untuk mewartakan Kristus kepada segala bangsa dengan mengingat teladan Kristus untuk tidak memaksakan segala sesuatu yang kita miliki kepada orang lain. Akan tetapi, tindakan kasih untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah keutamaan yang harus melampaui perbedaan suku, agama, budaya dan bahasa. Inilah wajah eksklusif Gereja namun berjiwa inklusif.
Sumber-sumber Bacaan:
Halfmann, Janet ed. The New Catholic Encyclopedia 2nd Edition vol. 4.
Washington DC:
Thomson-Gale
in association with The Catholic University of America. 2002
Healy, Nicholas M., Church, World and the Christian Life: Practical-Prophetic Ecclesiology,
Cambridge:
Cambridge University Press. 20047.
Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa.
Yogyakarta: Kanisius. 2002
Kristiyanto, Eddy. Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Kanisius.
2003
Mardiatmaja, B. S., Bersatu Padu. Yogyakarta: Kanisius. 2017
[1] Lih. Eddy Kristiyanto, Visi
Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal.
62, 166.
[2] Nicholas M. Healy, Church,
World and the Christian Life: Practical-Prophetic Ecclesiology, Cambridge:
Cambridge University Press, 2004, hal. 17.
[3] Janet Halfmann, ed. The New
Catholic Encyclopedia 2nd Edition vol. 4, Washington DC:
Thomson-Gale in association with The Catholic University of America, hal. 259.
[4] Lih. Eddy, Visi, hal.
25-26,85, 90-96.
[5] Bdk. LG 8, LG 1.
[6] http://www.katolisitas.org/apakah-arti-eens-extra-ecclesiam-nulla-salus/ diakses pada 10 Desember 2017 pukul 20.00 WIB.
[7] Perutusan ini memberikan warna bahwa Gereja Kristus bersifat
Katolik (Partikular sekaligus Universal) yang menyatakan bahwa keselamatan
diperuntukkan bagi segala bangsa. LIh. Prof. Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa,
Yogyakarta: Kanisius, 2002. Hal. 18-22.
[8] Eddy, Gagasan, hal.
27-38.
[9] Dogma ini kemudian dikukuhkan dengan Credo konsili
Nicea-Konstantinopel.
[10] Golongan Novatianisme meyakini Trinitas sebagai konsep Allah
Kristiani. Sekalipun memiliki sistem ajaran yang sama dengan Gereja, mereka
menolak setiap orang yang telah membuat skisma dan heresy dalam Gereja. Oleh
karena itu, setiap orang yang dulu pernah menjadi anggota Gereja, tidak serta
merta bisa diterima langsung ke dalam Gereja tanpa ujian yang ketat terlebih
dahulu dan pembaptisan ulang dengan berbagai sistem ujian. Lih. Janet, The New vol. 15, hal. 359.
[11] Kelima konsili tersebut adalah: Nicaea I (325); Konstantinopel I
(381); Efesus I (431); Kalsedon I (451).
[12] Lih. Hubertus R. Drobner, Siegfried S. Schatzmann dan William
Harmless “Literature of the Period of Persecution” dalam The Fathers of the Church: a Comprehensive Introduction,
Massachusetts-Peabody: Hendrickson Publisher, hal. 130-424.
[13] Hubertus, The Fathers,
hal. 269.
[14] Bagian ini merupakan rangkuman dari Bagian Uraian atas Sintesis
Sejarah Gereja. Lih. Eddy, VIsi, hal.
56-100.
[15] Dalam bagian ini akan disampaikan secara singkat tentang sikap
eksklusif Gereja terhadap kaum protestan. Lih. Eddy, ”Reconquista dan Reformasi
Protestantisme,” Visi, hal. 90-100.
[16] Bahan ini merupakan rangkuman dari “Uraian atas Sintesis Sejarah
Gereja” bagian “Abad XVII dan XVIII” dari Prof. Eddy Kristiyanto, Visi Historis Komprehensif”,
hal.103-110.
[17] Eddy, Visi, hal. 106.
[18] Melanjutkan dari rangkuman bagian sebelumnya, tulisan ini juga
memberikan gambaran singkat tentang sikap eksklusif dan benih-beih inklusif
yang mulai muncul di abad XX. Inilah awal perkembangan Gereja menuju Konsili
Vatikan II yang membuat Gereja berubah sangat drastis. Lih. Eddy, Visi, hal. 112-129.
[19] “Terang para bangsalah Kristus itu. … Gereja itu dalam Kristus
bagaikan sakramen. … Lih. LG 1.
[20] LG 1 dan 2.
[21] “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu
serba benar dan suci. NA 2.
[22] Nicholas, Church, hal.
129.
[23] Lih. BS. Mardiaatmaja, Bersatu
Padu, Yogyakarta: Kanisius, hal. 169-194.
[24] Robert Kunzman, Grappling
with the Good, hal. 89.
[25] Nicholas, Church, hal.
130.
0 Comments