FAITHFUL TO BE
VICTORIOUS
Kehidupan yang setia
Perjalanan kehidupan seorang yang dikatakan setia bukanlah perjalanan
kehidupan yang instant. Proses akan dijalani. Dalam kehidupan pernikahan
bukanlah pasangan yang baru menjalani pernikahan selama 1-2 tahun yang menjadi
buah bibir setia kepada pasangannya, melainkan mereka yang dapat mempertahankan
kesetiaan pernikahannya melewati tahun pernikahan berlian (60 tahun) bahkan
sampai maut yang memisahkan di antara pasangan nikah suami isteri. Ini hanya
salah satu contoh perihal kesetiaan pernikahan yang dapat dilihat, bahwa
seorang suami dikatakan setia kepada isterinya. Tidak hanya selalu hadir pada
saat isteri membutuhkannya namun juga bertanggung jawab mempertahankan kesetiaannya
sebagai seorang suami, mendidik anak-anaknya, mempertahankan keutuhan dan
kemandirian keluarganya. Semuanya itu membutuhkan rentang waktu yang panjang
untuk mengarungi perjuangan bersama dalam mempertahankan sebuah pernikahan.
Dr. Donald K. Smith, seorang profesor bidang komunikasi Internasional
di Western Seminary Portland, Oregon sekaligus founder dari Daystar University
di Nairobi menulis demikian:
Frequently, the way God deals with humanity is iluminated in Scripture through the use of word-pictures from agriculture. Agriculture itself is a process, always extending over time. ... God’s work is not completed instantly. Growth and increase are his work alone, yet they are clearly processes requiring time. Every step leading to the harvest is part of a long and countinuing process by which generation after generation learns of him, responds, and then tells the next generation (1992:48).
Dalam Wahyu 17:14b “Mereka bersama-sama dengan Dia juga akan menang, yaitu mereka yang terpanggil, yang telah dipilih dan yang setia." Terlihat jelas ada proses yang dijalani mulai dari terpanggil, kemudian dipilih, dan yang setia, yang semuanya bersama-sama dengan Kristus.
Dipanggil
Rasul Paulus menegaskan bahwa panggilan itu adalah panggilan sorgawi yang kudus (Flp. 3:14; 2 Tim. 1:9) dan bukan berdasarkan apa yang telah dikerjakan oleh mereka yang dipanggil melainkan atas rencana Tuhan sendiri. Sedangkan rasul Petrus menambahkan bahwa panggilan itu meningkat menjadi pilihan yang masih berdiri tegap dengan tidak meninggalkan kekudusan (1 Pet. 2:9). Lebih lanjut rasul Petrus menasihatkan agar panggilan dan pilihan itu harus menjadi teguh, supaya tidak jatuh (2 Pet. 1:10). Kekudusan menjadi ruang lingkup yang hakiki dalam proses panggilan dan pilihan. Peperangan yang terjadi di Wahyu 17:14 adalah peperangan melawan pihak yang sama sekali mengabaikan perihal kekudusan sehingga disebut Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur.
Menjadi sebuah pertanyaan sampai dimana ukuran kekudusan yang diperkenan oleh Tuhan? Karena tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan (Ibr. 12:14). Ukuran kekudusan itu harus dari Tuhan sendiri, tidak memakai ukuran/standart yang dipikirkan oleh manusia. Keberadaan manusia yang berdosa dapat dikatakan sebagai keadaan seseorang yang tidak dapat memenuhi ukuran yang menyenangkan Allah (Charles C.Ryrie, 1991). Harus ada pribadi lain di luar diri manusia yang sanggup menolong manusia dalam menyenangkan Allah, dan pribadi itu adalah Roh Kudus. Karena Roh Kudus berasal dari Allah Bapa (Yoh. 15:26; 1 Yoh. 5:7) serta memiliki kesatuan hakikat dan kesetaraan otoritas dengan Allah Bapa dan Allah Anak (Paul Enns, 2003). Yohanes pasal 14 dan 16 menjelaskan pekerjaan Roh Kudus, namun Yohanes 15 mengajarkan hidup yang sesudah dipenuhi Roh Kudus adalah hidup yang berbuah. Tanpa Roh Kudus tidak ada orang yang sungguh-sungguh bisa hidup suci, memiliki buah yang sungguh-sungguh, kuasa dan perlengkapan untuk berani memberitakan Injil (Stephen Tong, 1992). Kekudusan menjadi hal yang sangat penting dan peran Roh Kudus menjadi mutlak dalam kehidupan setiap pribadi yang terpanggil dan dipilih. Dr. Stephen Tong menyatakan bahwa harus dapat membedakan antara hati yang bertobat dan buah pertobatan. Hati pertobatan dilihat oleh Tuhan, namun buah pertobatan yang merupakan tanda hidup dilihat oleh sesama manusia. Bila hati beriman pada Tuhan namun perilaku bertentangan dengan iman maka bukan saja tidak mempermuliakan Tuhan, tapi memberi kesempatan bagi orang yang belum percaya kepada Kristus untuk mengumpat, memfitnah dan menganiaya orang percaya (1992:17).
Setia
juga mempunyai arti ‘yang dapat dipercayai’. Alkitab Perjanjian Baru
mengajarkan perihal ‘setia’ yaitu:
·
Hanya ada
satu pribadi yang menjadi teladan dalam kesetiaan
Yesus Kristus adalah teladan yang sempurna dalam
kesetiaanNya.
(Rom. 3:3; 1 Kor. 1:9; 10:13; 2 Kor. 1:18; 2 Tes. 3:3; 2
Tim. 2:13; Ibr. 3:6; Ibr. 11:11;
1 Pet. 4:19; 1 Yoh. 1:9; Why. 1:5)
·
Setia adalah
pengabdian kepada satu pribadi
“Tak seorangpun dapat
mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang
dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak
mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah
dan kepada Mamon." (Mat 6:24).
Kesetiaan tanpa sebuah
pengabdian bukanlah kesetiaan. Kasih dan kebencian memainkan perannya dalam
pengabdian. Dimana ada pengabdian kepada Mamon, disitulah kasih kepada Mamon
ada dan perilaku tidak mengindahkan Allah bahkan sampai membenciNya, terjadi
bersamaan. Materialisme telah menjadi ilah bagi banyak orang saat ini. Harta
benda ditinggikan menduduki tempat utama dalam kehidupan dan segenap perhatian
tercurah padanya, perhatian yang seharusnya diberikan kepada Allah semata.
Alkitab memberikan pengajaran bahwa obsesi kepada harta benda adalah bentuk
dari penyembahan berhala. Dan Allah membenci penyembahan berhala (Billy Graham,
2012).
Kesalahan berikutnya
adalah anggapan bahwa sasaran kehidupan orang percaya yang ditetapkan Tuhan
adalah kesejahteraan materi atau kepopuleran, seperti yang didefinisikan oleh
dunia. Kesetiaan kepada Tuhan tidak memberikan jaminan keberhasilan dalam
karier bahkan pelayanan. Yohanes Pembaptis juga setia, tetapi dipenggal
kepalanya. Paulus seorang yang setia, tetapi berakhir di penjara. Di mata
Tuhan, tokoh-tokoh iman bukanlah mereka yang mencapai kesejahteraan, sukses dan
berkuasa dalam kehidupan, melainkan yang menjalani hidupnya dengan pengertian bahwa
ada penugasan sementara dari Tuhan serta melayani dengan setia oleh sebab mengharapkan
upah yang dijanjikan dalam kekekalan (Rick Warren, 2002).
·
Setia itu
dimulai dari bertanggung jawab dalam perkara kecil
Kisah dalam Matius 25:14-30 dan Lukas 19:12-27 kesetiaan itu dimulai dengan memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil. Tidak sedikit orang mau menerima tanggung jawab perkara kecil, justru yang terbangun adalah persepsi yang negatif terhadap pemberi tugas. Saat seseorang mengabaikan tanggung jawab perkara kecil, sesungguhnya orang itu adalah pemalas dan jahat (Mat. 25:24-26).
·
Kesetiaan
adalah buah Roh Kudus
Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-23a). Kesetiaan tidak berdiri sendiri, melainkan terikat menjadi satu kesatuan dengan 8 (delapan) sikap/watak lainnya. Adakah pribadi yang sanggup menghasilkan buah Roh ? Tidak ada pribadi yang sanggup menghasilkan buah Roh tersebut bila menggunakan kekuatan sendiri, hanya bila hidupnya dipimpin, dikendalikan dan dipenuhi oleh Roh Kudus (Kis.4:31; Gal.5:16, 25). Sebab manusia berdosa ini kecenderungannya melakukan keinginan-keinginan daging yang berlawanan dengan keinginan Roh Kudus (Gal.5:17). Ketika Roh Kudus tinggal di dalam seseorang, Ia akan menghasilkan buah tersebut. Tugas pribadi tersebut hanyalah menyuburkan tanah hatinya melalui kesetiaan dan penyerahan diri yang tulus, sehingga Roh Kudus menemukan tanah yang disukai untuk menghasilkan buah. Menjadi kewajiban umat Kristen menjaga kehidupannya jauh dari dosa agar Roh dapat memproduksi buah-Nya dalam dirinya (Billy Graham, 2012). “Dari buahnyalah setiap pohon dikenal” (Luk. 6:44)
Yudas Iskariot adalah pribadi yang mulanya dipanggil dan dipilih oleh Tuhan Yesus sendiri menjadi rasul-Nya (Luk. 6:13-16). Dalam kegiatan kerasulannya, Yudas Iskariot bersama rasul yang lain diberi kuasa, mengusir roh-roh jahat, melenyapkan segala penyakit dan kelemahan serta memberitakan Kerajaan Allah (Mat. 10:1-4; Luk. 9:1-2). Namun Alkitab juga menyatakan Yudas Iskariot adalah seorang pencuri (Yoh. 12:6) - orang yang tidak dapat dipercaya, tidak setia, lebih mengabdi kepada tiga puluh uang perak (Mat. 26:15) dan akhirnya mengkhianati Yesus. Yudas Iskariot bukanlah pribadi yang setia walaupun telah menjalani proses panggilan dan pilihan.
Kehidupan yang berkemenangan
Seorang atlet yang memperoleh medali emas sebagai simbol juara pada sebuah pertandingan, dalam masa persiapan sebelum bertanding melakukan pengorbanan yang tidak ringan. Ia harus fokus melatih diri baik fisik dan mental dalam kurun waktu cukup lama. Bahkan latihan-latihan yang dilakukan tersebut diharapkan menjadi habit dalam pola hidup kesehariannya. Sedang Alkitab mengajarkan bahwa seorang atlet yang berlomba harus mampu menguasai dirinya dalam segala sesuatu (1 Kor. 9:25a). Penguasaan diri memegang peran penting dalam diri seorang atlet. Dalam sebuah kutipan, Plato menyatakan bahwa ‘kemenangan paling utama dan paling puncak adalah kemenangan atas dirimu’. Dan kemenangan besar dalam sebuah pertandingan atau peperangan akan diperoleh bila pengorbanan yang dilakukan juga besar.
Kemenangan terbesar
Tidak ada kemenangan terbesar sepanjang sejarah di bumi ini sampai
dengan saat ini maupun di masa yang akan datang, melebihi kemenangan kebangkitan
Kristus atas maut. Maut yang adalah sengat dosa tidak berkuasa lagi, ditelan
oleh kemenangan kebangkitan Kristus (1 Kor. 15:55-57). Oleh sebab dosalah
manusia terpisah dari Allah, dan semua orang telah berdosa. Segala sesuatu yang
melanggar hukum Allah adalah dosa (1 Yoh. 3:4). “Dosa dapat didefinisikan
sebagai apa saja yang ada di dalam ciptaan yang tidak menyatakan atau yang
bertentangan dengan sifat kudus Sang Pencipta” (J. Oliver Buswell, 1962).
Alkitab tidak mengajarkan bahwa dosa sama sekali dihapuskan dari umat Kristiani dalam kehidupan ini, melainkan Alkitab mengajarkan bahwa dosa tidak lagi berkuasa atas umat ketebusanNya. Barangsiapa yang lahir dari Allah tidak lagi berbuat dosa. Setiap waktu, kekuatan umat Kristiani untuk menaklukkan rintangan dan berkemenangan bersumber dari Kristus (Billy Graham, 2012).
KebangkitanNya merupakan kuasa penyelamatan untuk manusia dari dosa. Kristus menjadi pelopor kebangkitan orang mati. Tidak ada nabi atau pendiri agama mana pun yang pernah bangkit dari kematiannya secara kekal dengan menubuatkan sendiri kematian dan kebangkitannya. Manusia biasa tidak dapat melakukannya kecuali Kristus karena Ia adalah Allah, Ia adalah manusia (Trivena Ambarsari, 2002).
Bila Kristus tidak mengalami kebangkitan, maka Ia tidak akan hidup
untuk melakukan semua pelayananNya. PelayananNya berakhir pada saat
kematianNya. Tidak ada seorang Imam Besar, Pengantara, Pembela atau Kepala gereja. Bahkan tidak akan ada
pribadi yang memberi kekuatan bagi umat ketebusanNya (Charles C. Ryrie, 1991).
Sebaliknya, kemenangan demi kemenangan bersama Kristus akan terjadi di
masa-masa yang akan datang.
Nilai pekerjaan Yesus Kristus di masa lampau, kini maupun di masa depan tergantung pada kebangkitanNya karena berhubungan dengan penggenapan nubuatan-nubuatan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Chris Marantika, 2008).
Pengorbanan terbesar
Adanya kebangkitan Kristus didahului dengan kematian Kristus demi
keselamatan umat manusia. Tidak ada pengorbanan terbesar yang pernah terjadi di
bumi ini selain pengorbanan Kristus yang mati di kayu salib. Dia yang tidak
mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena manusia, agar di dalam Dia
manusia dibenarkan oleh Allah (2 Kor. 5:21).
Semua doktrin dan dogma kekristenan akan menjadi tidak berarti bila
terlepas dari kematian Kristus. Penciptaan dunia, inkarnasi Kristus,
kebangkitan, kedatangan kedua kali sampai adanya sorga dan bumi baru tidak
mempunyai makna bila Kristus tidak mati. Pada salib, setiap insan yang bernafas
dapat menyaksikan penyataan kebenaran dan kebenaran Allah yang berpadu dengan kasih-Nya
(Chris Marantika, 2008).
Dalam perjalanan menuju kematianNya walaupun Dia Allah, tak ada keinginan sedikitpun untuk menganggap dirinya setara dengan Allah. Justru sebaliknya dengan mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri dan taat sampai mati di kayu salib. Mengosongkan diri (kenosis) bukan berarti Kristus melepaskan semua aspek keallahanNya, melainkan tidak mempertahankan, tidak menggunakan status keallahanNya dan menjadi manusia agar dapat mati (Ryrie, 1991). Itulah yang Alkitab ajarkan kepada umat ketebusanNya saat ini, yang dipanggil, dipilih dan yang setia agar menaruh pikiran dan perasaan yang sama dengan Kristus (Flp. 2:5-8). Ketaatan Kristus kepada Bapa sampai mati di kayu salib membawa impak yang besar dalam kehidupan umat manusia (Rom. 5:19).
Dengan caraNya yang tak terbatas, mengubah hati dan pikiran umat ketebusanNya, Kristus membayar hukuman bagi dosa-dosa di masa lalu, di masa kini dan di masa mendatang. Itulah mengapa Dia mati di kayu salib (Billy Graham, 2012).
Kesimpulan
Kehidupan modern sekarang ini identik dengan keinginan menggapai
kemenangan dengan menghalalkan segala cara yang bertujuan agar berjalan dengan
singkat, mengabaikan proses. Sebaliknya sebagai pribadi yang sudah terpanggil
dan dipilih dalam rencanaNya yang kudus, seharusnya makin mengerti akan
kesetiaan yang berada dalam suatu proses kehidupan. Wisudawan/wisudawati yang terkasih, teladanilah
Kristus sebagai pribadi yang setia, pengabdian hidupmu dalam pelayanan
sepenuhnya hanya tertuju untuk Dia serta kemuliaanNya bukan semata-mata pada uang
walaupun dalam kehidupan keseharian uang dibutuhkan. Bertanggungjawablah dan
selesaikan tugas-tugas pelayanan yang terlihat kecil di mata orang. Belajar
tunduk dan taatilah akan keinginan Roh Kudus bukan keinginan daging. Maka hidup
orang yang dipanggil, dipilih dan setia dalam kekudusan akan hidup
berkemenangan. Tuhan Yesus memberkati.
But thanks be to God! He gives us the victory
through our Lord Jesus Christ.
- 1 Korintus 15:57 -
Daftar Pustaka
Ambarsari, Trivena. Doktrin
Kristus. Surabaya: Momentum Christian Literature, 2002.
Buswell, J. Oliver. A Systematic
Theology of the Christian Religion. Grand Rapids: Zondervan, 1962.
Enns, Paul. The Moody Handbook
of Theology. Malang: Literatur SAAT, 2003.
Graham, Billy. Unto The Hils. Bandung:
PT Visi Anugerah Indonesia, 2012.
Marantika, Chris. Kristologi.
Yogyakarta: Iman Press, 2008.
Ryrie, Charles C. Teologi Dasar
1. Yogyakarta: ANDI, 1991.
Smith, Donald K. Creating
Understanding. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1992.
Tong, Stephen. Hidup Kristen
Yang Berbuah. Surabaya: Momentum Christian Literature, 1992.
Warren, Rick. The Purpose Driven
Life. Metro Manila: OMF Literature Inc., 2002.
0 Comments