MAKALAH
PANDANGAN FILSAFAT PAUL TILLICH MENGENAI UJIAN DAN
PENCOBAAN DALAM KEHIDUPAN KEKRISTENAN
Oleh:
Samuel Risa
Smith Batubara
N.I.M
215.ST.12.18
Mata Kuliah: FILSAFAT
Dosen
Pengampu: Dr. Stevanus Parinussa, M.Th
SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI TABERNAKEL INDONESIA
Surabaya
2018 - 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak
orang sekarang melihat pencobaan dan ujian sebagai sesuatu yang buruk atau
harus dihindari bahkan lari. Ujian dan pencobaan yang dialami masyarakat bahkan
orang percaya semakin membuat mereka jauh dari pada Tuhan, bukan membuat mereka
semakin dekat dengan Tuhan. Dalam surat Yakobus memberikan saya informasi
penulisan surat Yakobus surat ini memperkenalkan saya kepada dirinya Yakobus,
hamba Allah dan Tuhan Yesus. Tema surat Yakobus sendiri adalah “Kedewasaan
Rohani” langkah awal yang sangat baik dan dibutuhkan untuk memulai mempelajari
surat ini dan memeriksa keadaan rohani/hati masing-masing melalui ujian dan
pencobaan yang datang dalam kehidupan kekristenan untuk melihat dimana kita
sedang berada. Dan melakukan perbandingan melalui pemikiran Paul Tillich.
Mengenal suatu hal tanpa melihat latar belakang dan
hubungan sejarahnya akan menghasilkan pengertian yang sepotong serta tidak akan
diperoleh kebenaran. Berusaha menjangkau hubungan sejarah akan dapat memberikan
pengertian yang lebih kaya dan lengkap, sehingga mendapatkan makna yang
sebenarnya. Peristiwa baru tidak dilepaskan dari peristiwa lama. Zaman yang
baru merupakan kelanjutan dan produk zaman yang lama.
Akhir-akhir ini banyak orang Kristen melihat pencobaan atau ujian sebagai suatu yang buruk atau harus dihindari bahkan lari. Hal ini bukanlah waktu yang baik, melainkan waktu yang buruk. Orang percaya harus memiliki pandangan yang benar akan hal ini sesuai dengan penyataan firman Tuhan. Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai metode korelasi. Ia menerangkan arti metodenya sebagai upaya menjelaskan isi iman Kristen melalui pertanyaan-pertanyaan eksitensial dan jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal balik. Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata dari kedua belah pihak, Allah berbuat, manusia menyambutnya, dan Allah menanggapi sambutan manusia itu.
1.1 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Riwayat
hidup Paul Tillich.
2.
Pokok-pokok
pikiran penting (Teologi) dari Paul Tillich.
3.
Apakah Pengertian
ujian dan pencobaan.
4.
Apakah Penyebab
ujian dan pencobaan yang dialami kekristenan.
5. Sikap menghadapi ujian dan pencobaan yang datang dalam kehidupan kekristenan.
1.2 Tujuan
Penelitian
1.
Memberikan
pengertian yang benar dalam menghadapai masalah bagi kekristenan masa kini.
2.
Menerapkan
langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan orang percaya dalam menghadapi
ujian dan pencobaan.
3.
Menemukan jalan
keluar bagi setipa orang percaya yang mengalami ujian dan pencobaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat
Hidup Paul Tillich
Tillich dilahirkan dalam sebuah keluarga pendeta
Lutheran di Starzeddel (di kabupaten Guben yang kini termasuk wilayah
Polandia). Ia belajar teologi di Universitas Berlin dan Breslau. Selama Perang
Dunia Pertama, ia masuk tentara sebagai pendeta tentara. Dari tahun 1919, ia
mengajar teologi dan filsafat di Universitas Berlin dan Frankfurt. Namun, pada
tahun 1933 ia dipecat oleh kaum Nazi karena keterlibatannya dengan gerakan
sosialis. Ia pergi ke Amerika Serikat dan (berkat pertolongan Reinhold
Niebuhr), ia menjadi professor filsafat teologi di Union Theological Seminary
Di New York sampai ia pension pada tahun 1955. Kemudian ia mengajar di Harvard dan
Chicago University sampai ia meninggal pada tahun 1965. Masa-masa akhir hidup Paul
Tillich dipenuhi dengan kesibukan akademis. [1]
2.2 Metode
Berteologi Paul Tillich
Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang
dinamai metode korelasi. Ia menerangkan arti metodenya secagai upaya
menjelaskan isi iman Kristen melalui pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan
jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal-balik.[2]
Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling
bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya
yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tetapi dalam
penyataan atau perkenalan-Nya dengan manusia Allah berhubungan dengan manusia.
Tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya
saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu
pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata
dari kedua belah pihak, Allah bebuat, manusia menyambut, dan Allah menaggapi
sambutan manusia itu.[3]
2.3
Pokok-pokok Pikiran Penting (Teologi) dari Paul Tillich
Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah
sejarah, yaitu sejarah dalam arti yang luas. sejarah sebagai persoalan mengenai
arti dan hakikat segala realitas yang terjadi, ditandai oleh pandangannya
tentang sejarah. Ajarannya mengenai segala yang ada bukan statis, melainkan
dinamis. Apa saja yang disebut sesuatu, menurut Paul Tillich ingin bereksitensi,
ingin memasuki waktu dan perubahan-perubahan di dalam waktu. Karena itu, tidak
ada perbedaan antara ide dan eksitensi. Kebenaran berdiri di tengah-tengah
segala yang terjadi. Kebenaran tidak pernah selesai. Kebenaran senantiasa
bersifat terbuka. Kebenaran senantiasa berusaha melewati dirinya sendiri,
senantiasa dalam perjalanan menuju pada prealisasian konkert.
2.3
Pengertian Ujian dan Pencobaan
Secara umum suatu peristiwa yang dialami orang percaya
sehingga dapat masalah atau kesukaran hingga musibah dapat dibagi dua yaitu
mengalami ujian dan sedang mengalami pencobaan. Dalam hal ini secara umum
disampaikan pada kita terkait dengan hal tindakan dan perbuatan.
Kalau kita melihat dalam suratan Yakobus 1:3-4
mengatakan. Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila
kamu jatuh dalam berbagai pencobaan. (4) Sebab kamu tau, bahwa ujian terhadap
imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dalam hal ini secara umum pencobaan dan
ujian dapat dibedakan berdasarkan: 1. Beda secara sumber 2. Beda secara sifat
3. Beda secara tujuan.
Pencobaan dan ujian terjadi dalam kehidupan
kekristenan kita, seorang Kristen bisa saja sendang mengalami pencobaan dan
bisa saja sedang mengalami ujian dari manakah sumbernya dan apakah
ciri-ciri/sifatnya dan apakah tujuannya? Pada dasarnya secara umum pencobaan
bersumber dari keinginan setan/iblis yang menggoda jiwa kita. Keinginan ini
bersifat jahat dan membahayakan manusia dalam arti jauh kedalam perbuatan dosa.
Dan pada umumnya tujuannya mencobai manusia dan menjatuhkan manusia kedalam
dosa hingga mendapat maut. Orang yang tidak dapat mengendalikan jiwanya,
keinginannya ketika ia dicobai maka akan mudah jatuh kedalam dosa. Dikatakan
seorang sedang mendapat pencobaan dan jika ia tidak kuat bisa saja mendatangkan
dosa dan maut akibat dosa. (bnd. Yakobus 1:13-15).
2.4
Penyebab Ujian dan Pencobaan yang di Alami Kekristenan
Godaan dan ujian yang dihadapi orang percaya merupakan
kesempatan untuk pencobaan dan bukan penyebab dari pencobaan itu. Penyebab dari
pencobaan ada dalam diri manusia. Ujian dan godaan yang datang dari luar dapat
menjadi penyebab pencobaan dalam diri manusia. Penulis menjelaskan pencobaan
yang muncul dalam diri manusia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
hal ini:
1.
Allah bukan
Penyebab Pencobaan
Tuhan bukan sumber pencobaan penulis akan menjelaskan
hal ini secara lebih terperinci. Tuhan sama sekali tidak dapat dicobai oleh
hal-hal jahat atau oleh orang-orang jahat karena hakikat-Nya ialah kudus.
Kejahatan tidak bisa bahkan tidak berdaya menghadapi-Nya dan tidak dapat
mencobai-Nya. Ia pun tidak pernah mencobai orang untuk kejahatan karena hal itu
bertentangan dengan kekudusan-Nya. Kejahatan adalah sesuatu yang assign bagi
Allah. Sebgaimana Allah adalah terang dan dalam-Nya tidak ada kegelapan,
demikian juga Allah itu kudus, dosa dan kejahatan tidak ada dalam dirinya.
2.
pencobaan yang
Sebenarnya adalah Keinginan dari Diri Sendiri
penyebab yang sebenarnya dari pencobaan adalah diri
manusia. Hal ini yang membuat persoalan sedemikian rumit. Manusia tidak sama
dengan Allah yang tidak bisa mencobai dirinya sendiri. Dalam Alkitab khususnya
surat Yakobus dikatakan bahwa “Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya
sendiri”. Apakah yang dimaksud dengan ‘keinginan”? Allah menciptakan manusia
dengan hasrat untuk berbeda, memiliki, dan menikmati. Kebutuhan dasar manusia
tersebut pada dasarnya adalah baik. Hal itu diberikan kepada manusia untuk
dapat hidup dalam persekutuan. Tuhan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan
dasar untuk mengarahkan manusia kepada Allah. Tuhan memberikan kepada manusia
kebutuhan-ke butuhan dasar yang sehat. Namun, karena manusia telah jatuh dalam
dosa, pemenuhan kebutuhan dasar ini terlepas dari Tuhan dan tidak mengarahkan
kepada Tuhan. Manusia tidak lagi mengharapkan pemenuhan kebutuhannya dari
Tuhan, tetapi dari Iblis.
3.
Akibat Pencobaan
Reaksi berantai akan terjadi dalam diri manusia ketika ia menanggapi godaan yang ada. Reaksi ini akan sangat sulit dihentikan ayat 15 menjelaskan reaksi ini yang digambarkan dalam proses pembuahan, kehamilan, dan kelahiran. Frasa “Dan apabila keinginan itu telah dibuahi” (Yak. 1:15) menekankan bahwa telah terjadi pertemuan dan persetujuan (kehendak) yang terjadi dalam diri manusia tersebut. Proses pembuahan secara otomatis diikuti proses kehamilan. ‘Anak yang dikandung” adalah dosa. Proses ini memerlukan waktu hingga “si anak” tersebut terlihat. Namun, sebgaimana manusia dari sejak pembuahannya adalah manusia, demikian juga dosa adalah dosa sejak terjadinya pembuahan, keinginan, dan kehendak.
4.
Hasil Pencobaan
Dosa bukan akhir
dari mata rantai reaksi akibat pencobaan, melainkan kematian
(keinginan-dosa-kematian). Hasil dari dosa adalah kematian. Hal yang
dimaksudkan disini adalah kematian kekal secara rohani (Rm. 6:23), yaitu
keterpisahan kekal dari Allah. Penulis menggambarkan situasi yang dihadapi
setiap orang (baik Kristen ataupun bukan) hari demi hari (mau atau tidak mau).
Manusia tapan Kristus dapat meraih berbagai kemenangan atas pencobaan, tapi
kemenangan mutlak tidak dapat ia proleh. Pengikut Kristus dapat menang atas
pencobaan karena Tuhan telah menang. Kemenangan yang didapatkan ini adalah
kemenangan mutlak. Namun, bagaimana hal ini dapat terjadi? Orang-orang percaya
harus memerhatikan dual hal, yaitu hakikat Sang pencipta dan hakikat ciptaan
baru.
2.5 Sikap
Menghadapi Ujian dan Pencobaan yang Datang Dalam Kehidupan Kekristenan
Penulis disini menjelaskan pendekatan psikologis
mengenal kejatuhan manusia dalam dosa. Menekankan bahwa pencobaan memiliki
dimensi positif bagi orang percaya. namun, hal itu hanya berlaku bagi mereka
yang menghadapi pencobaan dengan sikap yang benar, oleh karena itu,
berbahagialah orang yang bertahan secara aktif dalam pencobaan. Orang yang
berani menghadapi pencobaan melihat pencobaan sebagai alat uji akan menunjukkan
ketahanan iman.
a) Sikap yang
Benar
Hal yang perlu ditekankan disini atau hal yang harus
diketahui adalah isu yang dikemukakan bukan apakah orang percaya bisa atau
tidak bisa jatuh dalam pencobaan. Penekenan disini adalah kata “apabila”
menunjuk pada pengertian pada waktu terjadi. Jadi, hal ini menegaskan akan
sesuatu yang pasti akan terjadi. Hal ini merupakan teguran keras bagi mereka
yang berpikir bahwa menjadi orang Kristen akan adem-ayem tanpa masalah dan
persoalan. Pandangan yang seperti ini adalah pandangan yang tidak realistis,
bukan menyesatkan. Penulis disini memberikan peringatan kepada orang percaya
dan nasihat untuk menghadapi pencobaan. Dalam surat Yakobus sendiri berkata,
“Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan.” Hal yang dimaksud dalam istilah
“Anggaplah” adalah penilaian. Jadi, ketika seorang percaya jatuh dalam
pencobaan, ia harus bisa menilai pencobaan itu dengan benar. Ia harus menilai
pencobaan dari sisi Roma 8:28 dan Matius 5:11-13. Penulis juga disini
menasehati para pembaca untuk menilai pencobaan dengan benar, bahwa hal itu
akan mendatangkan kedewasaan rohani.
b) Pengertian
yang Benar
Pengertian yang benar akan hakikat pencobaan mutlak
diperlukan untuk menghadapi pencobaan dengan kesukaan. Pengertian ini tidak
akan menghilangkan atau menyingkirkan pencobaan, tetapi menolong menghadapinya.
1.
Iman akan selalu
diuji
Alkitab menyajikan banyak contoh dimana iman akan
terus diuji, misalnya Abraham. Iman orang percaya di uji oleh Tuhan untuk
mempererat persekutuannya dengan Tuhan. Namun, iblis mencobai iman orang
percaya untuk memisahkan orang percaya dari persekutuan dengan Tuhan. Ujian
iman membuktikan apakah orang percaya tersebut sungguh telah dilahirkan
kembali.
2.
Pencobaan bukan
melawan orang percaya, tetapi bekerja demi kebaikan orang percaya
Kata pencobaan disini maksudnya adalah uji, diperiksa,
atau di tes. Yakobus menjelaskan bahwa pencobaan adalah alat uji dari iman.
Jadi, iman hanya dapat di uji melalui pencobaan. Pencobaan menentukan atau
membuktikan kualitas yang sebenarnya dari iman. Jadi, pencobaan sesungguhnya
bukanlah melawan orang percaya, melainkan menolong untuk memeriksa keadaan yang
sesungguhnya dari orang percaya itu. Tujuan akhir dari pencobaan (ujian) adalah
kesempurnaan (kedewasaan rohani0, atau lebih tepat penuh dengan segala sifat
ilahi.
3.
Pencobaan
menolong orang percaya dalam pendewasaan rohani
Apakah yang hendak dicapai Tuhan dalam kehidupan manusia dengan pencobaan? Apakah yang merupakan ciri khas orang Kristen yang dewasa? Ciri khasnya adalah kesabaran dan ketekunan artinya kemampuan untuk jalan terus dalam iman, walaupun dalam kesulitan orang-orang Kristen yang dewasa adalah mereka yang sabar dan tekun. Kesabaran dan ketekunan adalah kunci untuk segala berkat Tuhan yang lain. Orang percaya harus belajar menantikan Tuhan dan Tuhan melakukan hal-hal yang besar melalui hal tersebut untuknya. Hal ini dapat dilakukan orang percaya bukan karena Ia menyenangi pencobaan atau menyukai penderitaan, melainkan mengetahui bahwa hasil dari pencobaan membawanya kepada kedewasaan iman dan kemuliaan Tuhan.
2.6 Analisa
Pendekatan Paul Tillich dalam dunia akademis adalah
keprihatinan yang besar dalam menghubungkan berita Alkitab dengan situasi
zamannya. Sehubungan dengan apa yang disebutkan “prinsip korelasi”,
penyanggahan Paul Tillich adalah bahwa harus ada suatu pertalian antara
pemikiran dan masalah-masalah manusia dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh
iman agamawi. Bagaimana kita menemukan jawaban-jawaban yang kita butuhkan?
Menurut saya, Paul Tillich mendorong kita untuk mendefenisikan ulang makna
agama. Agama bukanlah sekedar kepercayaan-kepercayaan atau perbuatan-perbuatan
tertentu. Seseorang disebut beragama bilamana dia “berprihatin secara
mendasar”. Keprihatinan yang mendasar adalah keprihatinan yang lebih diutamakan
dari keprihatinan kehidupan lainnya.[4]
Keprihatinan yang seperti ini mengangkat manusia keluar dari dirinya sendiri.
Pandangan Paul Tillich tentang persoalan teologi,
nilai teologi dan tujuan teologi, lebih menunjukkan sebuah pendekatan terhadap
hal yang kita yakini memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan atau
menyelamatkan keberadaan kita, keseluruhan realitas manusia, struktur, makna
dan tujuan bereksistensi. [5]
Gagasan Paul Tillich mengenai Allah, digambarkan
dengan kata “ada” (being). Allah
bukanlah suatu benda. Allah melampaui yang “ada” dan semua benda. Allah adalah
“ada” itu sendiri, kuasa dari “ada”, dasar dari “ada”. Bahkan menurut Paul
Tillich, Allah adalah jawaban simbolis manusia bagi usaha pencarian keberanian
yang dapat mengatasi kecemasan manusia dalam kedudukannya di perbatasan antara
“ada” dan “tidak ada”.[6]
Pemikiran Paul Tillich yang memahami manusia adalah
makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk
yang berdosa, tentunya penulis sangat setuju. Sebab Alkitab menceritakan bahwa
manusia itu baik atau sempurna. Manusia diciptakan oleh Allah. Ia adalah
ciptaan. Ia adalah makhluk. Ia bukan Allah. Kenyataan bahwa manusia adalah
makhluk dan bukan titisan atau tetesan dewa-dewi tidak mengurangi harkat dan
martabatnya. Sebab semua yang diciptakan oleh Allah itu baik. “Allah melihat
bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:10, 12, 17). “Baik”, disini berarti baik
ditinjau dari tiga dimensi: individual, fungsional dan relasional. Baik secara
individual, artinya pada dirinya ia baik, indah, berharga. Baik secara
fungsional, artinya ia dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan maksud dan tujuan
yang di tetapkan Sang Pencipta. Baik secara relasional, artinya semua dan
setiap makhluk itu terjalin satu sama lain di dalam sistem relasi yang serasi, timbal
balik dan saling menunjang. Tidak hanya itu yang dinyatakan oleh Allah mengenai
kebaikan manusia. Sebab manusia bukan saja bagian dari ciptaan Allah.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil uraian penulisan dalam penelitian pandangan filsafat Paul Tillich
mengenai ujian dan pencobaan dalam kehidupan kekristenan dan implikasinya dalam
kehidupan kekritenan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama,
pencobaan merupakan ujian atau godaan, yaitu menguji iman, ketabahan, kesetiaan
dan ketaatan seseorang, dan setiap orang percaya akan mengalami pencobaan yang
berbeda-beda. Dalam hal ini, pencobaan seringkali dihubungkan dengan masalah
seperti halnya penderitaan, musibah atau becana dan segala keadaan yang tidak
mengenakkan dan tidak menyenangkan, akan tetapi dari pambahasan penelitian ini,
dapat ditemukan bahwa pencobaan bukan hanya penderitaan tetapi juga kesenangan
dunia (godaan keinginan daging) yang sama-sama bisa menggoyahkan iman seseorang.
Tetapi pencobaan bukan untuk dihindari melainkan dihadapi, dengan iman
seseorang dapat bertahan dan menjadi dewasa dalam pertumbuhan rohaninya.
Kedua, setiap pencobaan baik dari luar
maupun dari dalam semuanya bertujuan untuk menguji iman seseorang, orang yang
tahan uji terhadap pencobaan (ujian) akan menghasilkan ketekunan yaitu
ketekunan yang sempurna dan utuh, dan orang yang bertahan dalam pencobaan
(godaan) akan memperoleh mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah. Maka setiap
orang yang lulus dari setiap pencobaan akan dikatakan berbahagia. Dalam
menghadapi setiap pencobaan seorang membutuhkan hikmat untuk menolongnya
menghadapi setiap pencobaan tersebut. Himat yang dibutuhkan bukanlah hikmat
dunia melainkan hikmat yang dari pada Allah sendiri, yang diminta kepada Allah
dengan iman tanpa kebimbangan karena Allah akan memberi dengan murah hati.
Hikmat yang dari Allah akan menolong orang percaya untuk mengantisipasi setiap
pencobaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Sinaga, Martin Lukito, Paul
Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000.
Lane, Tony, Runtut Pijar:
Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993.
Soedarmo, R., Kamus Istilah
Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.
Conn, Harvie M., Teologia Kontemporer, Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 1991.
Darmaputera, Eka, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam
Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergaulan
Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2001.
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2004.
Singgih, Emanuel Gerrit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja
Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2003.
Cahyono, Suharjo B. Meraih
Kekuatan Penyembuhan Diri yang Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia, 2011.
Ciptawilangga,
Yunus. Pencobaan Terberat. Bandung:
Kalam Hidup, 2016
Darmaputra,
Eka. Iman dalam Perbuatan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012.
Benyamin,
Samuel. Perjanjian Baru Sejarah,
Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.
[1] Tony
Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm 234. Alasan Paul Tillich dipecat, karena dalam
bukunya The Socialist Decision ia
menyerang Nazisme. Bahkan ia sendiri memelopori pendirian jurnal sosialis.
Dalam jumlah itu, ia menyerang Nazisme dengan menekankan bahwa ideology dan
mitos Nazi yang berdasarkan pada darah dan ras, adalah suatu keadaan kembalinya
orang Jerman pada kekafiran yang membuktikan suatu penolakan akan Tuhan. Lihat
Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm.
6.
[2]
Ibid., hlm. 10. Untuk penguraian singkat akan perhatian
Paul Tillich dan teologinya, dapat dilihat dalam buku karya Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 99-102.
[3] Ibid., hlm. 99.
Korelasi ini berlaku bagi pengalaman religius, maupun bagi pengetahuan
teologis. Religi dipakai dalam arti yang mutlak positif. Religi diartikan
sebagai penerimaan penyataan atau wahyu Allah. Di dalam penyataan atau wahyu
Ilahi ini senantiasa ada dua unsur, yaitu unsur yang objektif, ialah Allah
menyatakan atau memperkenalkan diri: unsur yang subjektif, ialah manusia
menerima penyataan atau wahyu Allah itu. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak
ada penyataan atau wahyu Allah tanpa religi, dan sebaliknya tiada religi tanpa
penyataan atau wahyu Ilahi. Penyataan atau wahyu Ilahi terjadi di dalam daging,
artinya di dalam realitas yang konkret dan historis dalam suatu stuasi rohani
dan sosial tertentu. Religi itu wadah penyataan atau wahyu Allah diterima. Ada
religi alkiabiah disamping religi-religi yang lain. Mengenai korelasi di bidang
pengetahuan dikatakan demikian, bahwa korelasi itu direalisasikan dalam kerja
timbal-balik antara pertanyaan dan jawaban, artinya Allah menjawab
petanyaan-pertanyaan manusia, dan berdasarkan kesan yang diterima dari
jawaban-jawaban Allah itu manusia menanyakan lagi hal-hal yang ingin
ditanyakan. Lihat ibid., hlm. 99-100.
[4] Ibid., hlm. 107.
[5] Bnd.
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 123-124
[6] Harvie M.
Conn, op.cit., hlm. 107-108.
0 Comments