PANDANGAN FILSAFAT PAUL TILLICH MENGENAI UJIAN DAN PENCOBAAN DALAM KEHIDUPAN KEKRISTENAN

 


MAKALAH

PANDANGAN FILSAFAT PAUL TILLICH MENGENAI UJIAN DAN PENCOBAAN DALAM KEHIDUPAN KEKRISTENAN

 


Oleh:

Samuel Risa Smith Batubara

N.I.M 215.ST.12.18

 

Mata Kuliah: FILSAFAT

Dosen Pengampu: Dr. Stevanus Parinussa, M.Th

 

 

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TABERNAKEL INDONESIA

Surabaya

2018 - 2019


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

            Banyak orang sekarang melihat pencobaan dan ujian sebagai sesuatu yang buruk atau harus dihindari bahkan lari. Ujian dan pencobaan yang dialami masyarakat bahkan orang percaya semakin membuat mereka jauh dari pada Tuhan, bukan membuat mereka semakin dekat dengan Tuhan. Dalam surat Yakobus memberikan saya informasi penulisan surat Yakobus surat ini memperkenalkan saya kepada dirinya Yakobus, hamba Allah dan Tuhan Yesus. Tema surat Yakobus sendiri adalah “Kedewasaan Rohani” langkah awal yang sangat baik dan dibutuhkan untuk memulai mempelajari surat ini dan memeriksa keadaan rohani/hati masing-masing melalui ujian dan pencobaan yang datang dalam kehidupan kekristenan untuk melihat dimana kita sedang berada. Dan melakukan perbandingan melalui pemikiran Paul Tillich. 

Mengenal suatu hal tanpa melihat latar belakang dan hubungan sejarahnya akan menghasilkan pengertian yang sepotong serta tidak akan diperoleh kebenaran. Berusaha menjangkau hubungan sejarah akan dapat memberikan pengertian yang lebih kaya dan lengkap, sehingga mendapatkan makna yang sebenarnya. Peristiwa baru tidak dilepaskan dari peristiwa lama. Zaman yang baru merupakan kelanjutan dan produk zaman yang lama.

Akhir-akhir ini banyak orang Kristen melihat pencobaan atau ujian sebagai suatu yang buruk atau harus dihindari bahkan lari. Hal ini bukanlah waktu yang baik, melainkan waktu yang buruk. Orang percaya harus memiliki pandangan yang benar akan hal ini sesuai dengan penyataan firman Tuhan. Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai metode korelasi. Ia menerangkan arti metodenya sebagai upaya menjelaskan isi iman Kristen melalui pertanyaan-pertanyaan eksitensial dan jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal balik. Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata dari kedua belah pihak, Allah berbuat, manusia menyambutnya, dan Allah menanggapi sambutan manusia itu.

1.1  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana Riwayat hidup Paul Tillich.

2.     Pokok-pokok pikiran penting (Teologi) dari Paul Tillich.

3.     Apakah Pengertian ujian dan pencobaan.

4.     Apakah Penyebab ujian dan pencobaan yang dialami kekristenan.

5.     Sikap menghadapi ujian dan pencobaan yang datang dalam kehidupan kekristenan.

1.2  Tujuan Penelitian

1.     Memberikan pengertian yang benar dalam menghadapai masalah bagi kekristenan masa kini.

2.     Menerapkan langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan orang percaya dalam menghadapi ujian dan pencobaan.

3.     Menemukan jalan keluar bagi setipa orang percaya yang mengalami ujian dan pencobaan.

 

BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Riwayat Hidup Paul Tillich

Tillich dilahirkan dalam sebuah keluarga pendeta Lutheran di Starzeddel (di kabupaten Guben yang kini termasuk wilayah Polandia). Ia belajar teologi di Universitas Berlin dan Breslau. Selama Perang Dunia Pertama, ia masuk tentara sebagai pendeta tentara. Dari tahun 1919, ia mengajar teologi dan filsafat di Universitas Berlin dan Frankfurt. Namun, pada tahun 1933 ia dipecat oleh kaum Nazi karena keterlibatannya dengan gerakan sosialis. Ia pergi ke Amerika Serikat dan (berkat pertolongan Reinhold Niebuhr), ia menjadi professor filsafat teologi di Union Theological Seminary Di New York sampai ia pension pada tahun 1955. Kemudian ia mengajar di Harvard dan Chicago University sampai ia meninggal pada tahun 1965. Masa-masa akhir hidup Paul Tillich dipenuhi dengan kesibukan akademis. [1]

2.2 Metode Berteologi Paul Tillich

Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai metode korelasi. Ia menerangkan arti metodenya secagai upaya menjelaskan isi iman Kristen melalui pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal-balik.[2] Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tetapi dalam penyataan atau perkenalan-Nya dengan manusia Allah berhubungan dengan manusia. Tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata dari kedua belah pihak, Allah bebuat, manusia menyambut, dan Allah menaggapi sambutan manusia itu.[3]

2.3 Pokok-pokok Pikiran Penting (Teologi) dari Paul Tillich

Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah sejarah, yaitu sejarah dalam arti yang luas. sejarah sebagai persoalan mengenai arti dan hakikat segala realitas yang terjadi, ditandai oleh pandangannya tentang sejarah. Ajarannya mengenai segala yang ada bukan statis, melainkan dinamis. Apa saja yang disebut sesuatu, menurut Paul Tillich ingin bereksitensi, ingin memasuki waktu dan perubahan-perubahan di dalam waktu. Karena itu, tidak ada perbedaan antara ide dan eksitensi. Kebenaran berdiri di tengah-tengah segala yang terjadi. Kebenaran tidak pernah selesai. Kebenaran senantiasa bersifat terbuka. Kebenaran senantiasa berusaha melewati dirinya sendiri, senantiasa dalam perjalanan menuju pada prealisasian konkert.

2.3 Pengertian Ujian dan Pencobaan

Secara umum suatu peristiwa yang dialami orang percaya sehingga dapat masalah atau kesukaran hingga musibah dapat dibagi dua yaitu mengalami ujian dan sedang mengalami pencobaan. Dalam hal ini secara umum disampaikan pada kita terkait dengan hal tindakan dan perbuatan.

Kalau kita melihat dalam suratan Yakobus 1:3-4 mengatakan. Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh dalam berbagai pencobaan. (4) Sebab kamu tau, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dalam hal ini secara umum pencobaan dan ujian dapat dibedakan berdasarkan: 1. Beda secara sumber 2. Beda secara sifat 3. Beda secara tujuan.

Pencobaan dan ujian terjadi dalam kehidupan kekristenan kita, seorang Kristen bisa saja sendang mengalami pencobaan dan bisa saja sedang mengalami ujian dari manakah sumbernya dan apakah ciri-ciri/sifatnya dan apakah tujuannya? Pada dasarnya secara umum pencobaan bersumber dari keinginan setan/iblis yang menggoda jiwa kita. Keinginan ini bersifat jahat dan membahayakan manusia dalam arti jauh kedalam perbuatan dosa. Dan pada umumnya tujuannya mencobai manusia dan menjatuhkan manusia kedalam dosa hingga mendapat maut. Orang yang tidak dapat mengendalikan jiwanya, keinginannya ketika ia dicobai maka akan mudah jatuh kedalam dosa. Dikatakan seorang sedang mendapat pencobaan dan jika ia tidak kuat bisa saja mendatangkan dosa dan maut akibat dosa. (bnd. Yakobus 1:13-15).

2.4 Penyebab Ujian dan Pencobaan yang di Alami Kekristenan

Godaan dan ujian yang dihadapi orang percaya merupakan kesempatan untuk pencobaan dan bukan penyebab dari pencobaan itu. Penyebab dari pencobaan ada dalam diri manusia. Ujian dan godaan yang datang dari luar dapat menjadi penyebab pencobaan dalam diri manusia. Penulis menjelaskan pencobaan yang muncul dalam diri manusia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:

1.     Allah bukan Penyebab Pencobaan

Tuhan bukan sumber pencobaan penulis akan menjelaskan hal ini secara lebih terperinci. Tuhan sama sekali tidak dapat dicobai oleh hal-hal jahat atau oleh orang-orang jahat karena hakikat-Nya ialah kudus. Kejahatan tidak bisa bahkan tidak berdaya menghadapi-Nya dan tidak dapat mencobai-Nya. Ia pun tidak pernah mencobai orang untuk kejahatan karena hal itu bertentangan dengan kekudusan-Nya. Kejahatan adalah sesuatu yang assign bagi Allah. Sebgaimana Allah adalah terang dan dalam-Nya tidak ada kegelapan, demikian juga Allah itu kudus, dosa dan kejahatan tidak ada dalam dirinya.

2.     pencobaan yang Sebenarnya adalah Keinginan dari Diri Sendiri

penyebab yang sebenarnya dari pencobaan adalah diri manusia. Hal ini yang membuat persoalan sedemikian rumit. Manusia tidak sama dengan Allah yang tidak bisa mencobai dirinya sendiri. Dalam Alkitab khususnya surat Yakobus dikatakan bahwa “Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri”. Apakah yang dimaksud dengan ‘keinginan”? Allah menciptakan manusia dengan hasrat untuk berbeda, memiliki, dan menikmati. Kebutuhan dasar manusia tersebut pada dasarnya adalah baik. Hal itu diberikan kepada manusia untuk dapat hidup dalam persekutuan. Tuhan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan dasar untuk mengarahkan manusia kepada Allah. Tuhan memberikan kepada manusia kebutuhan-ke butuhan dasar yang sehat. Namun, karena manusia telah jatuh dalam dosa, pemenuhan kebutuhan dasar ini terlepas dari Tuhan dan tidak mengarahkan kepada Tuhan. Manusia tidak lagi mengharapkan pemenuhan kebutuhannya dari Tuhan, tetapi dari Iblis.

3.     Akibat Pencobaan

Reaksi berantai akan terjadi dalam diri manusia ketika ia menanggapi godaan yang ada. Reaksi ini akan sangat sulit dihentikan ayat 15 menjelaskan reaksi ini yang digambarkan dalam proses pembuahan, kehamilan, dan kelahiran. Frasa “Dan apabila keinginan itu telah dibuahi” (Yak. 1:15) menekankan bahwa telah terjadi pertemuan dan persetujuan (kehendak) yang terjadi dalam diri manusia tersebut. Proses pembuahan secara otomatis diikuti proses kehamilan. ‘Anak yang dikandung” adalah dosa. Proses ini memerlukan waktu hingga “si anak” tersebut terlihat. Namun, sebgaimana manusia dari sejak pembuahannya adalah manusia, demikian juga dosa adalah dosa sejak terjadinya pembuahan, keinginan, dan kehendak.

4.     Hasil Pencobaan

Dosa bukan akhir dari mata rantai reaksi akibat pencobaan, melainkan kematian (keinginan-dosa-kematian). Hasil dari dosa adalah kematian. Hal yang dimaksudkan disini adalah kematian kekal secara rohani (Rm. 6:23), yaitu keterpisahan kekal dari Allah. Penulis menggambarkan situasi yang dihadapi setiap orang (baik Kristen ataupun bukan) hari demi hari (mau atau tidak mau). Manusia tapan Kristus dapat meraih berbagai kemenangan atas pencobaan, tapi kemenangan mutlak tidak dapat ia proleh. Pengikut Kristus dapat menang atas pencobaan karena Tuhan telah menang. Kemenangan yang didapatkan ini adalah kemenangan mutlak. Namun, bagaimana hal ini dapat terjadi? Orang-orang percaya harus memerhatikan dual hal, yaitu hakikat Sang pencipta dan hakikat ciptaan baru.

2.5 Sikap Menghadapi Ujian dan Pencobaan yang Datang Dalam Kehidupan Kekristenan

Penulis disini menjelaskan pendekatan psikologis mengenal kejatuhan manusia dalam dosa. Menekankan bahwa pencobaan memiliki dimensi positif bagi orang percaya. namun, hal itu hanya berlaku bagi mereka yang menghadapi pencobaan dengan sikap yang benar, oleh karena itu, berbahagialah orang yang bertahan secara aktif dalam pencobaan. Orang yang berani menghadapi pencobaan melihat pencobaan sebagai alat uji akan menunjukkan ketahanan iman.

a)    Sikap yang Benar

Hal yang perlu ditekankan disini atau hal yang harus diketahui adalah isu yang dikemukakan bukan apakah orang percaya bisa atau tidak bisa jatuh dalam pencobaan. Penekenan disini adalah kata “apabila” menunjuk pada pengertian pada waktu terjadi. Jadi, hal ini menegaskan akan sesuatu yang pasti akan terjadi. Hal ini merupakan teguran keras bagi mereka yang berpikir bahwa menjadi orang Kristen akan adem-ayem tanpa masalah dan persoalan. Pandangan yang seperti ini adalah pandangan yang tidak realistis, bukan menyesatkan. Penulis disini memberikan peringatan kepada orang percaya dan nasihat untuk menghadapi pencobaan. Dalam surat Yakobus sendiri berkata, “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan.” Hal yang dimaksud dalam istilah “Anggaplah” adalah penilaian. Jadi, ketika seorang percaya jatuh dalam pencobaan, ia harus bisa menilai pencobaan itu dengan benar. Ia harus menilai pencobaan dari sisi Roma 8:28 dan Matius 5:11-13. Penulis juga disini menasehati para pembaca untuk menilai pencobaan dengan benar, bahwa hal itu akan mendatangkan kedewasaan rohani.

b)    Pengertian yang Benar

Pengertian yang benar akan hakikat pencobaan mutlak diperlukan untuk menghadapi pencobaan dengan kesukaan. Pengertian ini tidak akan menghilangkan atau menyingkirkan pencobaan, tetapi menolong menghadapinya.

1.     Iman akan selalu diuji

Alkitab menyajikan banyak contoh dimana iman akan terus diuji, misalnya Abraham. Iman orang percaya di uji oleh Tuhan untuk mempererat persekutuannya dengan Tuhan. Namun, iblis mencobai iman orang percaya untuk memisahkan orang percaya dari persekutuan dengan Tuhan. Ujian iman membuktikan apakah orang percaya tersebut sungguh telah dilahirkan kembali.

2.     Pencobaan bukan melawan orang percaya, tetapi bekerja demi kebaikan orang percaya

Kata pencobaan disini maksudnya adalah uji, diperiksa, atau di tes. Yakobus menjelaskan bahwa pencobaan adalah alat uji dari iman. Jadi, iman hanya dapat di uji melalui pencobaan. Pencobaan menentukan atau membuktikan kualitas yang sebenarnya dari iman. Jadi, pencobaan sesungguhnya bukanlah melawan orang percaya, melainkan menolong untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya dari orang percaya itu. Tujuan akhir dari pencobaan (ujian) adalah kesempurnaan (kedewasaan rohani0, atau lebih tepat penuh dengan segala sifat ilahi.

3.     Pencobaan menolong orang percaya dalam pendewasaan rohani

Apakah yang hendak dicapai Tuhan dalam kehidupan manusia dengan pencobaan? Apakah yang merupakan ciri khas orang Kristen yang dewasa? Ciri khasnya adalah kesabaran dan ketekunan artinya kemampuan untuk jalan terus dalam iman, walaupun dalam kesulitan orang-orang Kristen yang dewasa adalah mereka yang sabar dan tekun. Kesabaran dan ketekunan adalah kunci untuk segala berkat Tuhan yang lain. Orang percaya harus belajar menantikan Tuhan dan Tuhan melakukan hal-hal yang besar melalui hal tersebut untuknya. Hal ini dapat dilakukan orang percaya bukan karena Ia menyenangi pencobaan atau menyukai penderitaan, melainkan mengetahui bahwa hasil dari pencobaan membawanya kepada kedewasaan iman dan kemuliaan Tuhan.

2.6 Analisa

Pendekatan Paul Tillich dalam dunia akademis adalah keprihatinan yang besar dalam menghubungkan berita Alkitab dengan situasi zamannya. Sehubungan dengan apa yang disebutkan “prinsip korelasi”, penyanggahan Paul Tillich adalah bahwa harus ada suatu pertalian antara pemikiran dan masalah-masalah manusia dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh iman agamawi. Bagaimana kita menemukan jawaban-jawaban yang kita butuhkan? Menurut saya, Paul Tillich mendorong kita untuk mendefenisikan ulang makna agama. Agama bukanlah sekedar kepercayaan-kepercayaan atau perbuatan-perbuatan tertentu. Seseorang disebut beragama bilamana dia “berprihatin secara mendasar”. Keprihatinan yang mendasar adalah keprihatinan yang lebih diutamakan dari keprihatinan kehidupan lainnya.[4] Keprihatinan yang seperti ini mengangkat manusia keluar dari dirinya sendiri.

Pandangan Paul Tillich tentang persoalan teologi, nilai teologi dan tujuan teologi, lebih menunjukkan sebuah pendekatan terhadap hal yang kita yakini memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan keberadaan kita, keseluruhan realitas manusia, struktur, makna dan tujuan bereksistensi. [5]

Gagasan Paul Tillich mengenai Allah, digambarkan dengan kata “ada” (being). Allah bukanlah suatu benda. Allah melampaui yang “ada” dan semua benda. Allah adalah “ada” itu sendiri, kuasa dari “ada”, dasar dari “ada”. Bahkan menurut Paul Tillich, Allah adalah jawaban simbolis manusia bagi usaha pencarian keberanian yang dapat mengatasi kecemasan manusia dalam kedudukannya di perbatasan antara “ada” dan “tidak ada”.[6]

Pemikiran Paul Tillich yang memahami manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa, tentunya penulis sangat setuju. Sebab Alkitab menceritakan bahwa manusia itu baik atau sempurna. Manusia diciptakan oleh Allah. Ia adalah ciptaan. Ia adalah makhluk. Ia bukan Allah. Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk dan bukan titisan atau tetesan dewa-dewi tidak mengurangi harkat dan martabatnya. Sebab semua yang diciptakan oleh Allah itu baik. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:10, 12, 17). “Baik”, disini berarti baik ditinjau dari tiga dimensi: individual, fungsional dan relasional. Baik secara individual, artinya pada dirinya ia baik, indah, berharga. Baik secara fungsional, artinya ia dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan maksud dan tujuan yang di tetapkan Sang Pencipta. Baik secara relasional, artinya semua dan setiap makhluk itu terjalin satu sama lain di dalam sistem relasi yang serasi, timbal balik dan saling menunjang. Tidak hanya itu yang dinyatakan oleh Allah mengenai kebaikan manusia. Sebab manusia bukan saja bagian dari ciptaan Allah.


KESIMPULAN

            Berdasarkan hasil uraian penulisan dalam penelitian pandangan filsafat Paul Tillich mengenai ujian dan pencobaan dalam kehidupan kekristenan dan implikasinya dalam kehidupan kekritenan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

            Pertama, pencobaan merupakan ujian atau godaan, yaitu menguji iman, ketabahan, kesetiaan dan ketaatan seseorang, dan setiap orang percaya akan mengalami pencobaan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, pencobaan seringkali dihubungkan dengan masalah seperti halnya penderitaan, musibah atau becana dan segala keadaan yang tidak mengenakkan dan tidak menyenangkan, akan tetapi dari pambahasan penelitian ini, dapat ditemukan bahwa pencobaan bukan hanya penderitaan tetapi juga kesenangan dunia (godaan keinginan daging) yang sama-sama bisa menggoyahkan iman seseorang. Tetapi pencobaan bukan untuk dihindari melainkan dihadapi, dengan iman seseorang dapat bertahan dan menjadi dewasa dalam pertumbuhan rohaninya.

            Kedua, setiap pencobaan baik dari luar maupun dari dalam semuanya bertujuan untuk menguji iman seseorang, orang yang tahan uji terhadap pencobaan (ujian) akan menghasilkan ketekunan yaitu ketekunan yang sempurna dan utuh, dan orang yang bertahan dalam pencobaan (godaan) akan memperoleh mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah. Maka setiap orang yang lulus dari setiap pencobaan akan dikatakan berbahagia. Dalam menghadapi setiap pencobaan seorang membutuhkan hikmat untuk menolongnya menghadapi setiap pencobaan tersebut. Himat yang dibutuhkan bukanlah hikmat dunia melainkan hikmat yang dari pada Allah sendiri, yang diminta kepada Allah dengan iman tanpa kebimbangan karena Allah akan memberi dengan murah hati. Hikmat yang dari Allah akan menolong orang percaya untuk mengantisipasi setiap pencobaan.

 

DAFTAR PUSTAKA


Sinaga, Martin Lukito, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000.

Lane, Tony, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993.

Soedarmo, R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.

Conn, Harvie M., Teologia Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.

Darmaputera, Eka, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergaulan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.

Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004.

Singgih, Emanuel Gerrit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003. 

Cahyono, Suharjo B. Meraih Kekuatan Penyembuhan Diri yang Tak Terbatas. Jakarta: Gramedia, 2011.

Ciptawilangga, Yunus. Pencobaan Terberat. Bandung: Kalam Hidup, 2016

Darmaputra, Eka. Iman dalam Perbuatan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Benyamin, Samuel. Perjanjian Baru Sejarah, Pengantar dan Pokok-pokok Teologisnya. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.



[1] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm 234. Alasan Paul Tillich dipecat, karena dalam bukunya The Socialist Decision ia menyerang Nazisme. Bahkan ia sendiri memelopori pendirian jurnal sosialis. Dalam jumlah itu, ia menyerang Nazisme dengan menekankan bahwa ideology dan mitos Nazi yang berdasarkan pada darah dan ras, adalah suatu keadaan kembalinya orang Jerman pada kekafiran yang membuktikan suatu penolakan akan Tuhan. Lihat Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm. 6.

[2] Ibid., hlm. 10. Untuk penguraian singkat akan perhatian Paul Tillich dan teologinya, dapat dilihat dalam buku karya Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 99-102.

[3] Ibid., hlm. 99. Korelasi ini berlaku bagi pengalaman religius, maupun bagi pengetahuan teologis. Religi dipakai dalam arti yang mutlak positif. Religi diartikan sebagai penerimaan penyataan atau wahyu Allah. Di dalam penyataan atau wahyu Ilahi ini senantiasa ada dua unsur, yaitu unsur yang objektif, ialah Allah menyatakan atau memperkenalkan diri: unsur yang subjektif, ialah manusia menerima penyataan atau wahyu Allah itu. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak ada penyataan atau wahyu Allah tanpa religi, dan sebaliknya tiada religi tanpa penyataan atau wahyu Ilahi. Penyataan atau wahyu Ilahi terjadi di dalam daging, artinya di dalam realitas yang konkret dan historis dalam suatu stuasi rohani dan sosial tertentu. Religi itu wadah penyataan atau wahyu Allah diterima. Ada religi alkiabiah disamping religi-religi yang lain. Mengenai korelasi di bidang pengetahuan dikatakan demikian, bahwa korelasi itu direalisasikan dalam kerja timbal-balik antara pertanyaan dan jawaban, artinya Allah menjawab petanyaan-pertanyaan manusia, dan berdasarkan kesan yang diterima dari jawaban-jawaban Allah itu manusia menanyakan lagi hal-hal yang ingin ditanyakan. Lihat ibid., hlm. 99-100.

[4] Ibid., hlm. 107.

[5] Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 123-124

[6] Harvie M. Conn, op.cit., hlm. 107-108.

Post a Comment

0 Comments