Ujian Menurut Kitab Ayub Dan Relevansinya Bagi Kehidupan Orang Percaya Masa Kini


UJIAN MENURUT KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MASA KINI




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan permasalahan yang timbul, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah: Pertama, untuk menjelaskan tentang dampak ujian bagi kehidupan orang percaya masa kini menurut Kitab Ayub bahwasannya untuk mengetahui kedaulatan Allah atas iblis berdasarkan kitab Ayub. Kedua, untuk mengetahui relevansi dari kedaulatan Allah terhadap iblis bagi kehidupan orang percaya.

Kitab Ayub merupakan salah satu kitab hikmat yang mengisahkan tentang seorang yang saleh bernama Ayub yang diizinkan Tuhan untuk kehilangan segala harta benda dan kesehatannya supaya imannya dimurnikan. Banyak orang sekarang melihat ujian sebagai suatu yang buruk atau harus dihindari bahkan lari. Hal ini bukanlah waktu yang baik, melainkan waktu yang buruk. Orang percaya harus memiliki pandangan yang benar akan hal ini sesuai dengan penyataan firman Tuhan.

Ayub sendiri telah mengalami berbagai ujian dalam kehidupannya. Jadi, hal yang diungkapkan di sini bukan sekedar teori, melainkan sesuatu yang secara praktis telah dialami Ayub. Ia telah menang atas ujian-ujian yang dialaminya. Kini, pengalaman imannya tersebut dibagikan kepada orang percaya supaya semua orang percaya bisa mengalami kemenangan yang sama. Dalam menghadapi masalah Ayub sendiri menilai ujian dari sisi lain. Ia menilai semua permasalahan yang ada dari segi hasil yang akan didapat nanti. Artinya orang Kristen atau semua orang percaya tidak boleh melihat situasi yang sedang terjadi. Orang Kristen atau orang Percaya harus mampu melihat jauh kedepan, yaitu proses itu selesai. Sebagai orang Kristen kita harus bisa melihat kedepan, pada hasil. Hal inilah yang dijelaskan Ayub melalu suratan Ayub ini. [1] Berdasarkan hasil uraian penulis dalam karya ilmiah tentang ujian menurut Kitab Ayub dan Relevansinya bagi kehidupan orang percaya masa kini, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: Iblis adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah yang memiliki kepandaian dan kekuasaan yang melebihi manusia. Sehingga dengan kuasa yang dimilikinya, Iblis dapat mendatangkan bencana alam, sakit penyakit, merampas berkat, bahkan sampai mengambil nyawa manusia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ujian Menurut Kitab Ayub

Secara umum suatu peristiwa yang dialami orang percaya sehingga mendapat masalah atau kesukaran hingga musibah dapat dibagi dua yaitu mengalami ujian dan sedang mengalami pencobaan. Pencobaan dan ujian itu terjadi dalam kehidupan kekristenan kita, seorang Kristen bisa saja sedang mengalami pencobaan dan bisa saja sedang mengalami ujian, dari manakah sumbernya dan apakah ciri-ciri/sifatnya dan apakah tujuannya? Pada dasarnya secara umum pencobaan bersumber dari keinginan setan/iblis yang menggoda jiwa kita. Keinginan ini bersifatnya jahat dan membahayakan manusia dalam arti jatuh kedalam perbuatan dosa. Dan pada umumnya tujuannya mencobai manusia dan menjatuhkan manusia kedalam dosa hingga mendapat maut. Orang yang tidak dapat mengendalikan jiwanya, keinginannya ketika dicobai maka akan mudah jatuh kedalam dosa. Dikatakan seorang sedang mendapat pencobaan dan jika ia tidak kuat bisa saja mendatangkan dosa dan maut akibat dosa. [2]

2.2  Latar belakang Kitab Ayub

Kisah tentang Ayub diceritakan terjadi pada masa sebelum bangsa Israel ada. Ayub disebutkan dalam kitab Yehezkiel (14:14, 20), bersama dengan Nuh, sebagai orang yang setia zaman purba. Pada masa Ayub, kekayaan diukur berdasarkan jumlah ternak dan pelayan yang dimiliki seseorang. Bukan uang, karena uang memang tidak digunakan secara umum pada waktu itu. Para musuh Ayub, orang Syeba dan Kasdim (Ayub 1:15, 17), yang disebutkan dalam (Ayub 42:8) cerita ini mrupakan kurban yang umum pada zaman purba dan bukan kurban yang disyaratkan oleh para imam Israel di kemudian hari. Kitab ini mempermasalahkan penderitaan pribadi, bukan penderitaan suatu bangsa, yaitu mengenai kebebasan Allah mengizinkan orang tidak bersalah mengalami penderitaan dan kerelaan untuk menerimanya tanpa kehilangan iman. [3]

Sastra hikmat dari Timur menampilkan beberapa karangan yang berpusat pada soal-soal filosofis umum yang sama. Karya orang Sumer yang diberi judul “Manusia dan Allahnya” adalah sebuah monolog oleh seorang yang tidak dimengerti mengapa ia menderita. Pada akhirnya, dosanya ditunjukkan kepadanya dan oleh karena itu disimpulkan bahwa tidak ada penderitaan yang tidak semestinya dialami.

2.3  Kondisi Keluarga Ayub

1.     Berkat yang diperoleh Ayub dari Allah (1:2-3)

Allah telah begitu memberkati Ayub, yakni 10 orang anak dan ternak dalam jumlah yang sangat banyak sebagai ukuran kekayaan seseorang pada waktu itu. Anak-anak harus dilihat sebagai berkat Allah, karena itu mereka harus diberi pengajaran dan keteladanan yang baik, serta doa-doa bagi mereka. Ayub telah melaksanakan tugas ini sebagai seorang ayah dan sekaligus imam bagi keluarganya. Ayub memiliki 10 orang anak: 7 orang laki-laki dan 3 orang putri. Selain angka ini harus diartikan secara literal, angka-angka ini juga mempunyai makna kesempurnaan, yaitu bagaimana Allah telah begitu memberkati Ayub secara utuh. Mengenai angka-angka untuk jumlah ternak Ayub tidak boleh dimengerti sebagai angka persis. Bila jadi sedikti lebih atau sedikit kurang dari itu. Tetapi yang jelas bahwa Ayub dilaporkan sebagai orang yang paling kaya di daerahnya.[4]

2.     Kebiasaan Anak-anak Ayub (ay.4)

Sejak dari zaman dahulu orang muda khususnya suka mengadakan atau menghadiri pesta, menikmati makanan dan minuman yang lezat, dan bersenang-senang. Orang muda biasanya ingin menikmati hal-hal yang indah, menyenangkan hati, tanpa peduli bagaimana dampak negative dan kegiatan itu. [5]Seringkali suasana itu membuat orang lupa diri, nafsu dan emosi tak terkontrol lagi, yang penting puas. Sebenarnya pesta itu sendiri tidaklah salah, karena pesta juga bisa sebagai ucapan syukur, dan ingin menikmati berkat Tuhan. Tetapi jika diwarnai dengan hal-hal yang negative, hanya untuk pemuas nafsu, dan menjadi lupa diri, itu yang menjadi masalah. Manusia yang hidup dalam kemewahan dan makan kekenyangan bisa jatuh dalam dosa kesombongan dan mengutuku Allah (Amsal 30:9; Ulangan 8:12).

Kata pertama dari ayat ini wehalku menunjukkan bahwa kegiatan pesta anak-anak Ayub bukan hanya sesekali dilakukan, tetapi merupakan kebiasaan, atau dapat dikatakan sudah menjadi pola hidup mereka. Hal ini membuktikan bahwa memang Ayub adalah orang yang sangat kaya. Ayub menyadari gaya hidup yang sedemikian dari anak-anaknya, sehingga sebagai seorang ayah yang bertanggung jawab, dia harus melaksanakan otoritasnya sebagai rasa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan dan demi kebaikan anak-anaknya.[6]

3.     Pendidikan Rohani Ayub terhadap anak-anaknya (1:5)

Adalah suatu kebiasaan yang sangat baik, dimana Ayub tidak hanya memperhatikan hal-hal lahiriah bagi anak-anaknya, tetapi dia sadar bahwa ada tanggung jawab rohani di hadapan Allah. Demikianpun Ayub tidak memperhatikan kerohaniannya sendiri, tetapi juga kerohanian seluruh keluarganya. Ayub sebagai teladan kepala keluarga yang bertanggung jawab, yang berlaku sebagai imam bagi keluarganya. Inilah pembuktian diri Ayub yang hidup “takut akan Allah” yakni dengan menghormati kekudusan Allah. Tentu kebiasaan rohani ini dipertahankan oleh anak-anaknya, sebagai teladan yang baik.

2.4  Tujuan Penulisan

Tujuan kitab Ayub adalah menyelidiki keadilan perlakuan Allah terhadap orang yang benar. Penyelidikan ini mengusut dua pokok utama. Pertama, iblis secara tidak langsung menyatakan dalam psl. 1:9-11 bahwa kebijakan Allah dalam memberkati orang benar justru menghalangi perkembangan yang sejati. Berkat menyebabkan orang-orang mau hidup benar karena keuntungan yang akan mereka peroleh. Iblis beranggapan bahwa tidak ada orang yang mau hidup benar tanpa pamrih, dan hal itu tak mungkin ada dalam sistem yang dijalankan Allah. Dalam kasus ini, kebijaksanaan Allah yang diuji, bukan Ayub. Kedua, Ayub bertanya-tanya bagaimana mungkin Allah dapat membiarkan orang benar menderita.

2.5  Sturuktur isi Kitab Ayub
a)     Pasal 1-2: Sidang Ilahi Setan mencoba Ayub, walupun demikian, Ayub tetap setia kepada Allah
b)    Pasal 3-27: Perdebatan antra Ayub dengan kawan-kawan, yaitu Elifas, Zofar dan Bildad. Menurut kawan-kawannya, Ayub menderita karena dosa-dosanya.
c)     Pasal 28-31: Hikmat (hokmah) dipuji. Ayub membela diri bahwa ia tidak bersalah
d)    Pasal 32-37: Elihu, kawan yang keempat, muncul dengan mengatakan bahwa selain Allah bisa memberi penderitaan, agar orang yang berdosa itu bertobat, maka Allah juga bisa memberi penderitaan kepada orang saleh untuk mencobai mereka.
e)     Pasal 38-42: Allah sendiri datang dan menjawab: Aku adalah pencipta segala sesuatu, makanya Aku adalah terlalu besar untuk dimengerti manusia. Lantas Ayub mengaku bahwa ia orang kecil saya yang memang tidak bisa mengerti kebebasan Allah.
f)     Pasal 42:7-14: Allah mengatakan bahwa kawan-kawannya itu tidak benar dan Ayub memperoleh kembali kesehatan, kekayaan dan kebahagiannya. [7]

2.6  Sikap Menghadapi Ujian yang Datang dalam Kehidupan Orang Percaya

a)     Sikap yang Benar
Hal yang perlu ditekankan disini atau hal yang harus diketahui adalah isu yang dikemukakan bukan apakah orang percaya bisa atau tidak bisa jatuh dalam ujian. Penekanan disini adalah kata “apabila” menunjuk pada pengertian pada waktu terjadi. Jadi, hal ini menegaskan akan sesuatu yang pasti akan terjadi. Hal ini merupakan teguran keras bagi mereka yang berpikir bahwa menjadi orang Kristen akan adem-ayem tanpa masalah dan persoalan. Pendangan yang seperti ini adalah pandangan yang tidak realistis, bukan menyesatkan.

b)    Pengertian yang Benar
Pengertian yang benar akan hakikat ujian mutlak diperlukan untuk menghadapi pencobaan dengan kesukaan. Pengertian ini tidak akan menghilangkan atau menyingkirkan ujian, tetapi menolong menghadapinya.

1.     Iman akan selalu diuji
Alkitab menyajikan banyak contoh dimana iman akan terus diuji, misalnya Abraham. Iman orang percaya diuji oleh Tuhan untuk mempererat persekutuannya dengan Tuhan. Namun, iblis mencobai iman orang percaya untuk memisahkan orang percaya dari persekutuan dengan Tuhan. Ujian iman membuktikan apakah orang percaya tersebut sungguh telah dilahirkan kembali.

2.     Ujian bukan melawan orang percaya, tetapi bekerja demi kebaikan orang percaya.
Kata pencobaan disini maksudnya adalah uji, diperiksa, atau di tes. Dalam Kitab Ayub menjelaskan bahwa pencobaan adalah alat ujian dari iman. Jadi, iman hanya dapat diuji melalui pencobaan. Pencobaan menentukan atau membuktikan kualitas yang sebenarnya dari iman. Jadi, pencobaan sesungguhnya bukanlah melawan orang percaya, melainkan menolong untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya dari orang percaya itu. Tujuan akhir dari pencobaan (ujian) adalah kesempurnaan (Kedewasaan Rohani), atau lebih tepat penuh dengan segala sifat ilahi.

3.     Pencobaan menolong orang percaya dalam proses pendewasaan rohani
Apakah yang hendak dicapai Tuhan dalam kehidupan kita dengan pencobaan? Apakah yang merupakan ciri khas orang Kristen yang dewasa? Ciri khasnya adalah kesabaran dan ketekunan artinya kemampuan untuk jalan terus dalam iman, walaupun dalam kesulitan orang-orang Kristen yang dewasa adalah mereka yang sabar dan tekun. Kesabaran dan ketekunan adalah kunci untuk segala berkat Tuhan yang lain. Orang percaya harus belajar menantikan Tuhan dan Tuhan melakukan hal-hal yang besar melalui hal tersebut untuknya. Hal ini dapat dilakukan orang percaya bukan karena Ia menyenangi pencobaan atau menyukai penderitaan, melainkan mengetahui bahwa hasil dari pencobaan membawanya kepada kedewasaan iman dan kemuliaan Tuhan.[8]

c)     Tujuan Yang Benar
Tujuan Tuhan dengan kehidupan orang percaya adalah kedewasaan rohani. Hal ini yang menyedihkan adalah orang percaya yang tidak bertumbuh dalam kerohaniannya. Ia tetap menjadi bayi rohani yang selalu menginginkan susu. Hal ini merupakan suatu yang tragis dalam kehidupan orang percaya. Sebaliknya, Tuhan bersukacita ketika melihat anak-anak-Nya bertumbuh semakin dewasa dalam kerohaniannya.[9]

Tuhan mengkhendaki setiap orang percaya dewasa rohani dan menjadi sempurna. Sempurna di sini bukan berarti hal tersebut bukanlah pengertian yang absolut. Maksud sempurna adalah memiliki karakter seperti Tuhan. Karakter Tuhan harus menjadi karakter orang percaya. Sifat dan karakter Tuhan nyata dalam kehidupan orang percaya. Hal ini harus diketahui atau dimengerti setiap orang percaya ketika menghadapi cobaan, ia bisa bersuka cita melalui pencobaan karena ia mengetahui hasil akhirnya. Jadi, sukacitanya bukan karena pencobaannya, tetapi sukacita yang mengantisipasi masa depan dari Tuhan. Hasil akhir dari pencobaan adalah “menjadi sempurna dan utuh tak kekurangan suatu apapun”.[10]

2.7 Sikap Orang Percaya Terhadap Ujian

Menghadapi berbagai-bagai ujian yang datang di dalam kehidupan bukanlah hal yang mudah, terlebih apabila ujian itu datangnya dari Iblis yang jelas mempunyai tujuan untuk menghancurkan dan membinasakan kehidupan orang percaya. Dalam hal ini, tidak sedikit orang percaya yang mengalami kegagalan dan tidak mampu bertahan di tengah-tengah pencobaan tersebut.  Karena itu diperlukan sebuah sikap yang benar di dalam meresponi datangnya pencobaan yang ditimpakan Iblis kepada orang percaya.

Orang percaya dapat saja hidup dalam sebuah hubungan dan penyembahan kepada Allah ketika semuanya berjalan lancar, tetapi bagaimana ketika keadaan berubah secara cepat, di mana pencobaan datang dengan merampas seluruh harta benda, orang-orang yang dikasihi, bahkan ketika penyakit yang berat menimpa kehidupannya, masihkah orang percaya tetap dapat memuji dan menyembah Allah?  Sekali lagi bahwa diperlukan sebuah sikap yang benar di dalam meresponi tatkala pencobaan itu datang.

Sebuah sikap yang benar akan muncul ketika orang percaya telah lebih dulu memiliki sebuah pengertian yang benar tentang arti pencobaan itu sendiri.  Pengertian akan memberi kemampuan kepada orang percaya untuk melihat tangan Allah yang tersembunyi di dalam gangguan-gangguan, ketidakadilan dan berbagai-bagai masalah yang muncul, sehingga respon dan sikap hati menjadi benar ketika pencobaan tersebut datang. Mengerti berarti memahami, mampu membedakan, mengetahui secara menyeluruh, merasakan dengan jelas, memiliki pemahaman yang jelas tentang arti sesuatu.

Dalam pasal 1 dan 2, jelas terlihat bahwa sebagai manusia biasa, Ayub sama sekali tidak mengetahui akan sebuah peristiwa surgawi yang terjadi sebelum pencobaan itu datang menimpa hidupnya.  Ia sama sekali tidak mengetahui adanya pertemuan antara Allah dan Iblis yang membahas tentang dirinya, tetapi Ayub mengerti dan memahami tentang prinsip-prinsip yang luas dari jalan-jalan Allah, dan itulah yang membuatnya dapat bertahan dan tetap percaya dan menyembah Allah sekalipun ia telah mengalami pencobaan yang begitu berat. Tanpa sebuah pengertian yang benar, maka respon yang terjadi atas pencobaan juga tidak mungkin benar, dan Iblislah yang diuntungkan dalam hal ini.

Reaksi yang benar terhadap ujian adalah merupakan sebuah tamparan bagi Iblis. Orang percaya yang mempunyai pengertian yang benar tentang pencobaan yang sedang menimpanya akan juga memiliki respon yang benar dalam menghadapi pencobaan tersebut.  Yonky Karman mengatakan bahwa, “dalam filsafat dan teologi ada wacana teodisi bahwa apa dan bagaimana pun penderitaan manusia, Allah selalu dipihak yang benar dan mansuia tidak perlu menyalahkan Yang Mahakuasa. “Karena itu, tindakan mengutuki Allah dan menganggap bahwa Allah telah berbuat sesuatu yang kurang patut, adalah suatu tindakan yang keliru.  Tetap memuji dan menyembah Allah dalam segala keadaan itulah sebuah kebenaran dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang yang percaya kepada Allah dan percaya bahwa Allah adalah Allah Yang Berdaulat. 

2.7  Sikap Orang Percaya Terhadap Iblis

Iblis adalah makhluk yang cerdik, ia lebih cerdik dari pada manusia. Sejak manusia pertama diciptakan, Iblis langsung menjadi musuh pertama dari manusia. Jauh sebelum itu, Iblis juga telah menjadi musuh Allah. Pekerjaannya adalah mendakwa orang-orang pilihan Allah siang dan malam. Tujuannya adalah menyesatkan orang-orang pilihan Allah, dan menjauhkan manusia dari Allah.

Sebelum mendakwa Ayub, Iblis telah terlebih dahulu mengamat-amati ayub selama beberapa waktu.[11]Rasul Petrus memberikan nasihat kepada orang percaya untuk selalu sadar dan berjaga-jaga karena Iblis yang adalah musuh orang percaya selalu berusaha mencari siapa yang dapat ditelannya (I Petr. 5:8). Bagi orang yang hidup dalam dosa, maka dosa itulah yang menjadi celah yang dapat dimasuki Iblis untuk mendatangkan pencobaan, tetapi bagi orang percaya yang hidup benar di hadapan Allah, Iblis tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali jika Allah mengijinkan Iblis untuk mendatangkan pencobaan itu.

Satu-satunya sikap yang benar dari orang percaya terhadap Iblis adalah melawan Iblis. Pemahaman ini harus dimiliki oleh semua orang percaya, sebab jika Iblis menjadi musuh Allah, maka setiap orang yang percaya kepada Allah secara otomatis akan menjadi musuh Iblis. Rasul Paulus mengatakan bahwa perjuangan orang percaya bukanlah perjuangan melawan darah dan daging, melainkan melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penguhulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara, yaitu Iblis dan pengikut-pengikutnya (Ef. 6:12). Sebab tidak mungkin bagi orang percaya untuk bersekutu dengan Allah dan sekaligus juga bersekutu dengan Iblis, dank arena seorang hamba tidak mungkin dapat mengabdi kepada dua tuan (bnd. Mat. 6:24). Menjadi lawan atau musuh Iblis berarti juga memutuskan dan tidak bisa mengadakan hubungan perjanjian dalam bentuk apapun dengan Iblis, itu juga berarti tidak membiarkan dosa masuk agar Iblis tidak punya alasan yang tepat untuk mendakwa orang percaya dihadapan Allah.


BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kitab ini adalah mengenai esensi dari penderitaan yang dialami oleh orang benar. Penderitaan tersebut untuk menunjukkan kemahakuasaan Tuhan untuk mengajar orang benar pentingya mempercayai Tuhan sepenuhnya.penderitaan tidak selalu diakibatkan oleh dosa, tetapi penderitaan juga bisa dipakai Tuhan untuk membawa manusia kepada pemahaman yang baru tentang Tuhan, menguji, memurnikan, dan memberi pelajaran atau menguatkan jiwa manusia, bahwa ketika semuanya hilang, hanya Allah yang tersisa, dan itu cukup. Intinya adalah semua segi kehidupan manusia bisa menjadi alat yang digunakan oleh Tuhan untuk mengajar manusia tentang Diri-Nya.

Semua ujian dan pencobaan yang datang dalam kehidupan orang-orang Kristen, tujuannya adalah memampukan setiap orang Kristen untuk semakin dekat kepada Tuhan, ujian dan pencobaan yang datang dalam kekristenan masa ini, membuktikan ketahanan iman yang membawa pada kesempurnaan dan kedewasaan secara rohani.

Namun jika kita mengalami pencobaan atau sering dicobai atau sedang dicobai atau sedang jatuh dalam pencobaan oleh keinginan kita sendiri maka langkah yang pertama adalah bertobat dan kembali hidup dalam persekutuan (gereja).

Berdasrkan hasil uraian penulis dalam karya ilmiah tentang Ujian dan Pencobaan Bagi Kehidupan Orang Percaya Masa Kini Menurut Kitab Ayub dan implikasinya dalam kekristenan masa kini, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebgai berikut:

Pertama, Iblis adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah yang memiliki kepandaian dan kekuasaan yang melebihi manusia. Sehingga dengan kuasa yang dimilikinya, Iblis dapat mendatangkan bencana alam, sakit penyakit, merampas berkat, bahkan sampai mengambil nyawa manusia.

Kedua, sejak kejatuhannya ke dalam dosa, Iblis menjadi pendakwa manusia di hadapan Allah siang dan malam. Pekerjaannya yang setiap saat mengelilingi dunia untuk mencari orang-orang yang dapat dibinasakannya dan mendakwanya di hadapan Allah.

Ketiga, semua manusia, termasuk orang percaya yang hidup dalam ketaatan kepada Allah juga dapat mengalami pencobaan yang dilakukan oleh iblis.

Keempat, ujian dan pencobaan datangnya dari Allah, dan Iblis adalah alat di tangan Tuhan untuk mendatangkan pencobaan kepada orang percaya.

Kelima, kedaulatan Allah atas Iblis berarti bahwa segala tindakan yang dilakukan Iblis atau manusia dan juga kepada orang percaya berada pada sepengetahuan, pengawasan, kontrol, dan selalu berada di bawah kehendak, kuasa dan kedaulatan Allah.

Keenam, pencobaan yang dilakukan Iblis tidak pernah melebihi kekuatan orang percaya, sehingga orang percaya dapat menanggungnya.

Ketujuh, pada akhirnya, pencobaan yang dilakukan oleh Iblis akan mendatangkan hormat dan kemuliaan bagi nama Tuhan.

SARAN

Setiap orang percaya perlu untuk memahami makna kedaulatan Allah terhadap Iblis. Sehingga dengan pemahaman ini iman makin diteguhkan serta menjadikan hidup orang orang percaya semakin bergantung secara penuh kepada Allah. Dalam menghadapi pencobaan yang dilakukan oleh Iblis, setiap orang percaya harus mempercayai bahwa ia dapat menanggungnya. Setiap orang percaya harus mengalami pencobaan yang dilakukan oleh iblis harus mampu melihat dengan kacamata iman bahwa ada maksud mulia Allah di dalam setiap pencobaan tersebut. Setiap orang percaya memiliki tanggung jawab pribadi untuk mempelajari firman Tuhan secara mendalam dan teratur serta hidup di dalam kebenaran firman Tuhan, sebagai senjata dan pertahanan diri dalam menghadapi pencobaan yang datang dari Iblis.


Daftar Pustaka

Alkitab Edisi Study, Jakarta: LAI, 2012
Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas, 2000
Adi Lukas S., Smart Book of Christianity: Perjanjian Lama, Yogyakarta: Andi 2015
Blommendaal, J., Pengantar Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2001
Hill, Andre E. dan Jhon H., Walton., Survey Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2008
Lasor, W.S., Pengantar Perjanjian Lama 2, Jakarta: BPK-GM, 2012
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1991
Abineno, J.L. Ch, Dictionary of The Christian Church, Michigan: Zondervan Publishing House, 1978.
Abineno, J.L. Ch, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.
Hadawiryana, R, Tafsiran Alkitab Masa Kini II, Jakarata: Yayasan Bina Kasih/ OMF, 1994.
Palmer, B.M, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
A.W. Tozer, Mengenal yang Mahakudus (Bandung: Kalam Hidup, 1961)
Ammerman dan Maritim, Melihat ke dalam Perjanjian Lama, Vol. 3
Arthur W. Pink, The Sovereignt of God (Surabaya: Momentum, 2005)
Atkinson, Ayub.
Baxter, Menggali Isi Alkitab 2. Ayub s/d Maleakhi.
Berkhof, Teologi Sistematika, Vol.1 (Surabaya: Momentum, 2007)
C. Groenen, Pengatar Ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1986)
C. Hassel Bullock, Kitab-kitab Puisi dalam Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2003)
C. Petter Wagner, Roh-roh Teritorial (Jakarta: Immanuel, 1994)
Caram, Mengubah Kutuk Menjadi Berkat.
Charles R. Swindoll, Ayub (Jakarta: Nafiri Gabriel, 2004)
Clarence H. Benson, Litt. D., Pengatar Perjanjian Lama: Puisi dan Nubuat. Ayun-Maleakhi (Malang: Gandum Mas, 2004)
David Atkinson, Ayub (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002)
Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2004)
G.I. Williamson, Pengakuan Iman Westminster (Surabaya: Momentum, 2006)
Herlianto, Teologi Sukses (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993)
Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama.
L.M. Ammerman dan J. Maritim, Melihat Ke Dalam Perjanjian Lama, Vol. 3 (Bandung: Kalam Hidup, 1979)
Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. Sastra dan Nubuat.
Louis Berkhof, Teologi Sistematika. Vol.1 (Surabaya: Momentum, 2007)
Margaret P. Zenlinka, Penghibur dalam Kesusahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987)
Millard J. Erikson, Teologi Kristen, Vol. 1 (Malang: Gandum Mas, 1999)
Paul G. Caram, Mengubah Kutuk Menjadi Berkat (Jakarta: Nafiri Gabriel, n.d.)
Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 1985)
Stephen Tong, Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan (Surabaya: Momentum, 2009)
Theodore H. Epp, Mengapa Orang-orang Kristen Menderita (Mimery Press, n.d.)
Tony Evans, Teologi Allah, Allah Kita Maha Agung (Malang: Gandum Mas, 1999)
William W. Orr, Misteri Iblis (Bandung: Kalam Hidup, 2000)
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009




[1] Herlianto, Teologi Sukses (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 147, 148
[2] Margaret P. Zelinka, Penghiburan Dalam Kesusahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 53.
[3] Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2004) 128.
[4] Tony Evans, Teologi Allah, Allah Kita Maha Aung (Malang: Gandum Mas, 1999), 105-106
[5] Ibid, 107.
[6] Louis Berkhof, Teologi Sistematika, Vol. 1 (Surabya: Momentum, 2007), 128
[7] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2. Ayub s/d Maleakhi (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998), 28.
[8] Berkhof, Teologi Sistematika, Vol. 1 (Surabaya: Momentum, 2007), 105.
[9] Evans, Teologi Allah, Allah Kita Maha Agung, 88
[10] Ibid, 88-89.
[11] Caram, Mengubah Kutuk Menjadi Berkat, 61.

Post a Comment

0 Comments