SEJARAH PERJUMPAAN METHODIST DENGAN SUKU BANGSA INDONESIA


A.    LATAR BELAKANG DAN POSISI TEOLOGI PENGARANG
Pdt. Dr. Richard Maruli Daulay lahir di Lumban Hulae, Tapanuli Utara, pada tanggal 13 Desember 1952. Tamat sarjana teologi dari fakultas theologia Universitas HKBP Nommensen Pematang siantar (sekarang STT HKBP) tahun 1978. 
Setelah melayani sebagai guru Injil selama dua setengah tahun, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta GMI tahun 1981. Menyelesaikan program doctor of theology (Th.D) pada South East Asia Graduate School Of Theology  (SEA-GST) tahun 1995 bidang sejarah gereja, kini ia ditugaskan menjadi pengajar di institute theologia alkitabiah GMI (ITA GMI) Bandar Baru.

B.    Tema Utama
Membahas tentang sejarah perjumpaan Methodisme dengan orang Batak dan orang Tionghoa di Indonesia pada tahun 1905-1955.
C.    Susunan Sub Tema
                                          I.         Identitas kelompok etnis Tionghoa dan Batak Toba
1.     Identitas kelompok etnis Tionghoa
2.     Identitas kelompok etnis Batak Toba
3.     Perbandingan budaya orang Tionghoa dengan orang Batak
                                        II.         Identitas metodisme yang dibawa ke Indonesia 
4.     Ajaran (doktrin) Methodisme
5.     Wawasan pelayanan Methodist 
                                      III.         Periode konsolidasi: pemusatan misi Methodist di Sumatera (1928-1950)
                                      IV.         Periode otonomi: berbagai konflik antara orang Batak dan Tionghoa (1964-1995).

D.    Kelebihan Dan Kekurangan Buku

1.     Kelebihan 
·       Buku ini memberikan penjelasan yang sangat lengkap tentang sejarah dan perkembangan mengenai Methodist, serta sejarah perjumpaan Methodist dengan orang Batak dan orang Tionghoa. 
·       Penulis memaparkan tentang bukunya dengan data-data yang akurat disertai banyak sumber-sumber.
·       Buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto para perintis serta foto-foto bangunan gedung gereja Methodist mula-mula.

2.     Kekurangan 
·       Pemakaian bahasa yang terlalu rumit
·       Terdapat beberapa penulisan kata yang salah, antara lain ditabiskan seharusnya adalah ditahbiskan, thologia seharusnya adalah theologia.

BAB I
IDENTITAS KELOMPOK ETNIS TIONGHOA DAN BATAK TOBA

A.    Identitas Kelompok Etnis Tionghoa
Menurut catatan Junus Yahya, didunia ini terdapat 1180 juta orang Tionghoa, sebagian besar tinggal di Negara Tiongkok dan sekitar 30 juta telah merantau ke sekitar 130 negara. Menurut data tahun 1991, di kawasan Asia Tenggara (Nan Yang) terdapat 20 juta orang Tionghoa. Orang Tionghoa dibentuk oleh tiga ajaran yakni: Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Ketiga ajaran ini disebut Han San Wei Yi (tiga agama yang hakikatnya satu). Orang Tionghoa memiliki corak hidup yang bersifat materialistic, menonjolkan kesusilaan, mementingkan pengabdian anak kepada orangtua

B.    Identitas kelompok etnis Batak Toba
      Masyarakat suku Batak dapat dikenal dari trilogy identitasnya yang menonjol, yaitu adatnya,bahasanya, dan marganya. Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang utuh, yang walaupun dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Dalam falsafah Batak Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang terdiri dari hula-hula, dongan tubu dan boru. Ketiga dimensi identitas ini merupakan suatu keutuhan , namun lambat laun unsur marga merebut kedudukan sentral dalam unsur sentral Habatahon. Alasannya adalah arus modernisasi dan pengaruh Kekristenan serta Islam telah mengganggu keutuhan adat bahkan menghilangkan sebagian besar dari muatan adat itu. Demikian juga bahasa Batak harus bergumul untuk mempertahankan diri dari desakan bahasa nasional yang secara dinamis telah mendominasi eksistensi bahasa Batak dalam sebagian besar lapangan kehidupan orang Batak. Tetapi unsur marga nampaknya merupakan satu-satunya nilai budaya Batak yang mampu bertahan sebagai identitas umum orang Batak. 
      Selain trilogi identitas tadi, orang Batak juga dikenal memiliki nilai budaya yang menempatkan: hamoraon, hagabeon, hasangapon (kekayaan, keturunan, dan kemuliaan) yang merupakan cita-cita tertinggi setiap insan Batak. Jika dikaji lebih dalam, esensi dari nilai budaya diatas adalah cita-cita untuk memperoleh kuasa (power) yang merupakan perwujudan dari harajaon yang bertolak belakang dari pemahaman bahwa setiap insan Batak adalah raja. Untuk meraih cita-cita itulah orang Batak melakukan migrasi keberbagai tempat yang menjanjikan harapan untuk menjadi kaya atau setidak-tidaknya melebihi status social yang dimiliki sebelumnya.

C.    Perbandingan Budaya Orang Tionghoa Dengan Orang Batak
1.     Perbedaan  
      Perbedaan yang paling menonjol antar kedua etnis ini adalah mengenai kedudukan social-politik. Kedudukan Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu masalah nasional yang disebabkan oleh adanya istilah golongan pribumi dan golongan non pribumi. Dalam kamus politik Indonesia memberikan indikasi bahwa antara kelompok etnis Tionghoa dengan penduduk asli Indonesia. Diakibatkan oleh istilah golongan pribumi dan non pribumi tadi.
       Sama seperti sikap kelompok etnis-etnis lain di Indonesia, etnis Batak melihat orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga Negara nomor dua. Meski diatas kertas sebagai warga Negara Indonesia masing-masing memiliki hak yang sama, namun pada prakteknya orang Tionghoa masih tetap sebagai masyarakat kelas dua. Pandangan orang pribumi, termasuk golongan orang Batak, bahwa orang Tionghoa merupakan warga Negara kelas dua adalah suatu stereotip etnis yang menimbulkan tindakan yang diskriminatif terhadap kelompok etnis Tionghoa. Dalam bidang politik, pertahanan keamanan (HANKAM), pendidikan, dsb, kelompok Tionghoa selalu dinomor duakan. Hingga sekarang orang Tionghoa selalu diperlakukan oleh golongan pribumi, termasuk orang Batak sebagai “sapi perahan” dalam keadaan aman dan menjadi “kambing hitam” dalam keadaan rawan. 
      Sebaliknya orang Tionghoa memandang golongan pribumi termasuk orang Batak, sebagai manusia yang tidak dapat dipercaya, pemalas dan pemeras. Sikap orang Tionghoa pada zaman kolonial yang menganggap golongan pribumi sebagai golongan rendah (inferior) dalam batas-batas tertentu masih terbawa-bawa hingga sekarang. Di Sumatera Utara, citra orang Batak, khususnya mereka yang bekerja di instansi pemerintahan, di mata orang Tionghoa sangat negatif, karena orang Batak sering memeras uang dari orang Tionghoa. 
      Dibidang nilai budaya, orang Tionghoa sangat mengutamakan kesusilaan (moral), kebajikan dan keharmonisan, sedangkan orang Batak sangat menonjolkan nialai “kuasa”. Implikasi nilai budaya ini Nampak dalam kehidupan sehari-hari, bahwa orang Tionghoa tidak suka menonjolkan diri, tidak suka duduk didepan, kurang menyukai formalitas karena dianggap tidak efisien, tidak menyukai konflik, berpakaian ala kadarnya walau tetap rapid an tidak suka bicara banyak. Sedangkan orang Batak sangat suka menonjolkan diri, selalu ingin duduk di tempat terhormat, menyukai formalitas, suka berkonflik, sering berpakaian berlebih-lebihan dan cenderung banyak bicara. Dari segi sifat-sifat dasar yang berakar pada nilai budaya yang ada, kedua kelompok etnis ini memiki potensi konflik yang cukup besar.
2.     Persamaan
      Persamaan umumnya ialah bahwa etnis Tionghoa dan etnis Batak adalah sama-sama warga Negara Indonesia yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama. Etnis Batak dan Tionghoa terutama yang tinggal di daerah Sumatera bagian Timur, memiliki beberapa persamaan identitas. Yaitu baik orang Batak maupun Tionghoa sama-sama memiliki identitas marga. Dari segi makanan, kedua kelompok etnis ini sama-sama menggemari daging babi, bahkan sering memeaki itu sebagai makanan yang formal dalam pesta dan upacara adat atau agama. 

BAB II
IDENTITAS METHODISME

1.     Permulaan Methodisme Di Amerika
Tahun 1760-an orang-orang Methodist dari Irlandia dan Skotlandia bermigrasi ke Amerika yang sekaligus menjadi perintis persekutuan Methodist di Amerika. Tokoh pertama yang dianggap sebagai pelopor permulaan Methodist di Amerika adalah Robert Strawbridge, seorang pengkotbah awam yang berasal dari Irlandia dan berdomisili di Maryland sebagai petani. Mula-mula sebuah kelas (kelas kecil) terdiri dari tujuh anggota diorganisai untuk mengadakan pertemuan dirumahnya sendiri. Tak lama setelah itu, berkembang menjadi dua kelas yang kemudian dijadikan menjadi persekutuan. Pada tahun 1764 sebuah kapel didirikan di Maryland, dan kapel inilah yang dianggap sebagai gedung gereja Methodist pertam di Amerika. 
      Tokoh kedua setelah Robert Strawbridge adalah Philip Embury, yang telah mendapat surat izin berkotbah dari Jhon Wesley sewaktu di Irlandia. Setelah tiba di Amerika dengan pekerjaan sebagai tukang, dia bukannya berkotbah lagi, tetapi bermain judi, sampai satu waktu tertangkap basah oleh sepupunya Barbara Heck. Barbara Heck merampas kartu-kartu itu dan membakarnya dan mendesak Embury untuk berkotbah lagi. Pada tahun 1766 Barbara Heck membuka kebaktian pertama yang terdiri dari 5 orang, bertempat dirumah Embury. Persekutuan inilah yang menjadi cikal bakal Gereja Methodist di New York. Tahun 1768 sebuah temapat kebaktian dibangun, dan diresmikan tanggal 30 Oktober tahun itu juga oleh Embury dan menjadi gedung gereja Methodist pertama di New York. 
      Ketiga, Thomas Webb, seorang perwira tentara Inggris yang bertugas di Amerika. Dia adalah seorang pengkotbah Methodist yang bertobat karena mendengar kotbah John Wesley di Inggris. Sewaktu bertugas di New York dia ikut bersama Embury mengorganisasikan pekerjaan Methodist disana. Tahun 1767 dia pindah ke Philadelpia dan mengorganisasikan kebaktian Methodist. Jasa lain Webb yang patut dicatat adalah mendorong persekutuan Methodist di New York untuk menjalin hubungan dan tetap meminta nasihat John Wesley mengenai pelayanan dan masa depan gerakan Methodist di Amerika. Webb selalu menyaksikan bahwa dia adalah “anak rohani” John Wesley.

2.     Organisasi Gereja Methodist Di Amerika 
      i. Gereja Lokal 
      Sebelum gereja Methodist menjadi gereja independent di Amerika 1784 dan di Inggris 1795 belum dikenal istilah jemaat (local church). Istilah yang dipakai untuk kelompok-kelompok Methodist adalah society (perhimpunan), yang lazim disebut united society. Kata united hendak  menyatakan kesatuan perhimpunan itu. Perhimpunan adalah gabungan dari beberapa kelas. Untuk memelihara jiwa-jiwa yang baru bertobat agar dapat terus bertumbuh secara rohani menuju kesempurnaan. 
      Menurut pemahaman gereja Methodist, gereja lokal itu adalah bagian paling dasariah dalam gereja. Dalam jemaatlah iman Kristen diikrarkan oleh setiap anggotanya. Dalam jemaat jugalah orang mendengar Firman Allah setiap hari Minggu, menerima sakramen, serta melaksanakan tugas panggilannya sebagai orang Kristen. Dengan kata lain dasar dari gereja keseluruhan adalah gereja lokal. 
      Mengenai keanggotaan gereja Methodist mengenal dua jenis anggota yakni: anggota penuh dan anggota persiapan. Anggota persiapan ialah semua orang yang lahir dalam keluarga Methodist tetapi belum mengikrarkan janji keanggotaannya. Anggota penuh ialah mereka yang telah mengikrarkan janji keanggotaannya di hadapan jemaat yang berisi empat pernyataan: (1)mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, (2) mengakui iman Kristen seperti tertulis di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, (3) berjanji untuk menghidupi hidup Krisstiani serta menjadi anggota jemaat Kristus yang setia, (4) tetap setia kepada gereja Methodist serta membantunya melalui doa, kehadiran di gereja, persembahan dan pelayanan. 
      Setiap gereja lokal dilayani oleh seorang pendeta jemaat yang ditempatkan oleh Bishop. Gereja Methodist menganut sistem sending pastor, bukan calling pastor. Seorang pendeta Methodist melayani suatu jemaat, bukanlah atas undangan gereja lokal, tetapi adalah atas penempatan dari Bishop setelah berkonsultasi dengan para Pemimpin Distrik dan dengan yang bersangkutan.

3.     Kepemimpinan 
      Methodist dipimpin oleh seorang Bishop. Bishop bertugas untuk mengawasi kehidupan rohani gereja, jalannya roda administrasi dan organisasi gereja. Selain itu tugas terpenting seorang Bishop ialah membuat penempatan pendeta untuk melayani suatu gereja atau lembaga terkait, termasuk mengangkat dan menempatkan pemimpin distrik.
4.     Ajaran (doktrin) Methodist 
      Kendati John Wesley adalah seorang teolog sebelum dan sesudah Methodisme lahir, perhatian utamanya bukan masalah-masalah dosmatis melainkan masalah-masalah praktis: bagaimana supaya manusia bertobat, beriman, hidup suci dan menuju kesempurnaan, serta akhirnya memperoleh keselamatan. 
      Membimbing manusia untuk beriman dan mengalami iman itu dalam hidup sehari-hari menjadi tema terpenting dari kotbah-kotbahnya. Karena itu ia menciptakan ajaran-ajaran atau dogma yang baru, hanya memberi penekanan pada sejumlah pokok-pokok tertentu dari ajaran-ajaran yang sudah ada dalam arus protestanisme.

BAB III
PERIODE PERINTISAN: PEKERJAAN METHODIST DIBERBAGAI DAERAH DAN KELOMPOK ETNIS DI HINDIA-BELANDA (1905-1928)

1.     Misi Ke Kalangan Orang Tionghoa
      Dari segi pemakaian bahasa orang Tionghoa di Sumatera Utara terdiri dari tiga golongan yaitu penutur bahasa Melayu (Tionghoa peranakan dari Jawa), Inggris (Tionghoa baba dari Penang atau Singapura) dan Tionghoa totok yang baru dating dari Tiongkok). Orang Tionghoa baba dan peranakan umumnya berdagang sedangkan orang Tionghoa totok mula-mula bekerja di perkebunan, karena golongan ini dating atau didatangkan untuk itu. Lambat laun jumlah orang totok menjadi lebih besar dari pada peranakan karena setiap tahun arus migrasi dari Tiongkok ke Sumatera Utara terus meningkat. Kaum totok mula-mula bekerja diperkebunan, setelah mendapatkan modal, banyak yang pindah ke Medan dan membuka usaha dagang. Orang Tionghoa Penang dan Singapura merasa kelompoknya lebih bergengsi, mungkin karena pandai berbahasa Inggris. Sementara orang Tionghoa totok menganggap kedua kelompok yang lain itu tidak murni dan tidak dapat dipercaya. Pada mulanya diantara sesama orang Tionghoa itu tidak ada kesatuan, setidaknya sebelum gerakan nasionalisme Tiongkok merambat ke Sumatera Utara.

2.     Misi ke kalangan orang Batak
Perjumpaan Methodist dengan orang Batak Toba terjadi dalam dua front. Yaitu:
      I. Panggilan Makedonia dari Pardembanan
      Tokoh utama dalam kerangka misi Methodist di kalangan orang Batak Pardembanan adalah Nagori Manurung, yang pada zaman itu sering dipanggil dengan tuan, suatu gelar yang disandangnya sebagai anak Raja Pardembanan. Nagori bertemu dengan sekelompok penginjil (evangelis) RMG pada tahun 1907 dan pertemuan ini membuat Nagori tertarik dengan Kekristenan. Dan tahun 1910 Nagori menulis sepucuk surat kepada Bishop Oldham di Singapura, memohon seorang guru untuk ditempatkan di Pardembanan
      Pada bulan Februari 1921 Pdt. Lamsana Lumban Tobing dan Miliater Pohan kerabat dekatnya tiba di desa Bangun Dolok, Pardembanan dan membuka sekolah sambil melanjutkan pengajaran untuk keluarga Nagori. Tanggal 21 Juli 1921 Rev. Oechsli didampingi Pdt. Lamsana membaptiskan Nagori dan keluarga sebanyak 8 orang. Nama Musa ditambah oleh Oechsli kepada Nagori yang mengandung harapan bahwa Nagori akan menuntun orang Batak Pardembanan ke dalam hidup Kekristenan.
      Nagori Musa menjadi seorang “penginjil awam” volunter yang setiap hari berkeliling dari desa ke desa untuk menyaksikan imannya yang baru itu serta menceritakan kepada penduduk Pardembanan tentang kemajuan-kemajuan yang dialami orang Kristen itu. Sayangnya, cita-cita Nagori Musa untuk menjadi pekerja resmi Methodist tidak sempat terwujud, karena tanggal 13 Desember 1927 ia meninggal dunia. Pada tahun 1927 ada tiga jemaat di Pardembanan dengan 29 anggota penuh, 18 anak-anak yang dibaptis dan 40 pendengar.
   II. Misi Kepada Orang Batak Di Perantauan Dan Hubungan Dengan RMG
      Sejak jemaat Methodist pertama berdiri di Medan tahun 1910, maka sebagian dari orang-orang Batak yang ada di Medan menggabungkan diri dengan jemaat Methodist. Bishop J.E. Robinson yang mengawasi jemaat Methodist di Medan membujuk orang-orang Batak di Medan supaya bergabung dengan misi Methodist.
BAB IV
PERIODE KONSOLIDASI: PEMUSATAN MISI METHODIST DI SUMATERA
      Periode 1928-1964 pekerjaan Methodist di Sumatera sarat dengan kegiatan reorganisasi konsolidasi. Misi Methodist di Sumatera disibukkan dengan upaya-upaya pembenahan diri. Dari tahun 1928 hingga tahun 1950-an sebagian besar waktu, tenaga dan pemikiran para misionaris Methodist di Sumatera Utara tercurah pada upaya-upaya penyatuan jemaat-jemaat Methodist Batak dengan Gereja Batak dan jemaat-jemaat Methodist Tionghoa dengan konferensi Tionghoa dengan konferensi Tionghoa dari gereja Methodist di Malaysia.

      Dengan kata lain, pada kurun waktu itu tidak ada niat badan Misi Methodist mendirikan gereja Methodist yang independen di Sumatera, setidak-tidaknya di kalangan orang Batak. Baru pada tahun 1950-an gereja Methodist di Sumatera mulai melakukan terobosan baru. Pendirian seminari: sumatera Methodist Chinese Bible School untuk kalangan distrik Tionghoa di Medan dan Sekolah Pendeta/Sekolah Guru Injil (SGI) untuk jemaat-jemaat di Kisaran. Pada tahun 1950-an merupakan salah satu indikasi adanya perkembangan. Tahun 1955 ketika misi Methodist di Indonesia berusia 50 tahun, jumlah anggota penuh barulah 6947. Tetapi tahun 1964 ketika GMI menjadi gereja otonom sudah beranggotakan 11031, yang menunjukkan terjadinya loncatan kenaikan sebesar 58% selama 10 tahun.

      Pada saat proses konsolidasi pemusatan misi Methodist di Sumatera tahun 1930-an, kondisi sosial-ekonomi jemaat di Medan sangat buruk, sehingga banyak orang Tionghoa kembali ke Tiongkok atau ke Negara tetangga Malaysia. Kondisi ini sangat berpengaruh kepada jemaat Methodist Tionghoa. Misalnya jemaat di Medan pada tahun 1928 mempunyai 95 orang anggota penuh, tetapi tahun 1932 berkurang menjadi 60 orang.

                                                                       BAB V
PERIODE OTONOMI (1964-1995)
      Gagasan menjadikan gereja Methodist Indonesia menjadi gereja yang otonom (mandiri) telah muncul sejak tahun 1950-an. Menyambut gagasan otonomi itu terdapat dua sikap di kalangan warga gereja Methodist. Sebagian menginginkan proses otonomi dilakukan secepatnya tanpa mengikuti prosedur yang diatur dalam disiplin gereja. Berlawanan dengan pendapat itu, lebih banyak anggota gereja yang menghendaki agar proses menuju otonomi itu ditempuh secara konstitusional. Perbedaan pendapat ini bermuara pada perpecahan yang melahirkan gereja Methodist merdeka Indonesia (GMMI) pada bulan Februari 1964.

      Sejak GMI otonom hingga sekarang masalah stuktur kepemimipinan gereja (GMI) belum solid dan masih merupakan salah satu masalah pokok GMI. Penyebab labilnya sitem organisasi GMI adalah lemahnya pemahaman tentang ajaran-ajaran dan teologi Methodist diatas mana system pemerintahan (struktur organisasi) itu dibangun.

BAB VI 
KONKLUSI, EVALUASI DAN REFLEKSI

A.    Masalah Teologi Methodist 
Pemahaman GMI tentang teologi Methodist bersumber dari Alkitab, tradisi, akal-budi dan pengalaman sebagai model teologi Methodist masih sangat miskin. Doktrin Methodist berfokus pada prevenient grace, justifying grace dan sanctifying grace belum meluas dikenal dalm GMI termasuk oleh pekerjanya. Asas-asas kepercayaan Methodist dan pedoman hidup orang-orang Methodiat yang tercantum dalam disiplin belum dijabarkan dalam GMI, seperti dilakukan di Gereja Methodist di Amerika. 

B.    Masalah Etnis Sebagai Masalah Misiologis Dan Teologis 
      Hakikat gereja seperti yang tertulis di dalam Galatia 3:28 yang menyoroti realitsa etnis: tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, belum terwujud dalam GMI. Unsur etnis masih sangat kuat berbicara dalam GMI, baik pada pihak Tionghoa maupun pada pihak Batak. Inilah yang harus diubah dan dibarui, supaya orang Batak dan Tionghoa dalam GMI dapat betul-betul menjadi mitra yang kreatif yang dapat menjadi model bagi gereja-gereja lain di Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa bahasa memegang peranan kunci dalam rangka menuju kesatuan dan perkembangan dalam suatu gereja. Dalam dunia religius, bahasa ibu (mother tongue) adalah sarana komunikasi yang paling menentukan. Jika dalam berpolitik, berdagang dan belajar misalnya, bahasa nasional cukup memadai sebagai sarana komunikasi. Tetapi ketika manusia bermeditasi, beribadah dan menangis, bahasa ibulah yang muncul. 
      Perbedaan bahasa dan etnis ini kerap menimbulkan masalah dan perpecahan antar golongan etnis. Yang perlu dipahami oleh GMI adalah memahami ulang keberadaannya sebagai gereja yang unik di Indonesia, paling tidak di Sumatra Utara yang anggotanya terdiri dari berbagai kelompok etnis, khususnya kelompok pribumi  dan non-pribumi (Batak dan Tionghoa).

C.    Simpulan 
Buku ini membahas tentang bagaimana sejarah masuknya (GMI) Gereja Methodis ke Indonesia. GMI adalah sebuah gereja yang anggotanya terdiri dari berbagai kelompok etnis: Tionghoa, Batak Toba, Jawa, Sunda, Nias, Batak Simalungun dan Batak Karo. Dari semua etnis yang ada dalam GMI, dua kelompok terbesar adalah orang Tionghoa dan orang Batak Toba.
            Dibuku ini juga dijelaskan secara kronologis perjalanan misi Methodist Hindia Belanda (HB) dari sejak awal hingga GMI menjadi gereja otonom. Orang pertama yang menyiarkan Methodism ke HB adalah Thomas Coke. Dengan berpindahnya kekuasaan atas Indonesia dari pemerintahan Bataafsche Republiek kepada Inggris tahun 1911, Thomas Coke-seorang tangan kanan Jhon Wesley melihat kesempatan sedang terbuka. Lalu ia mengikutkan Jawa sebagai sasaran program pekabaran Injil yang dirancangkannya untuk kawasan Asia. Tanggal 31 Desember 1831 Coke dan rombongan dari London menuju Asia dengan sasaran Ceylon dan Jawa. Tetapi Coke gagal merealisasikan visi itu, sebab pada tanggal 3 Mei 1814, ketika masih dalam perjalanan, dia meninggal (dalam usia 66 tahun) setelah menderita sakit beberapa hari diatas kapal yang ditumpanginya. Jenazahnya dikuburkan di Samudera Hindia. 
            Selama 74 tahun setelah Badan Misi Methodist Inggris gagal memulai pekerjaannya di HB. Tahun 1887 William F. Oldham, misionaris Methodist yang sejak tahun 1885 memulai pekerjaan Methodist di Singapura, dating ke Jawa untuk meninjau kemungkinan mengembangkan pekerjaan Methodist di Hindia Belanda. Namun karena tenaga dan dana belum tersedia, maka niat itu tidak segera dilanjutkan. Untuk tujuan yang sama pada tahun 1890 Dr.Benyamin F. West, seorang dokter zending Methodist yang telah bekerja di Singapura sejak tahun 1888, mengunjungi Pontianak (Kalimantan Barat), dan tahun 1892 ia juga mengunjugi tanah Batak. Di kedua tempat ini pekerjaan Methodist tidak segera dimulai oleh karena dana dan tenaga yang tidak memadai. Tahun 1894, Miss Sophia Blackmore, Miss Ferris, dan Mrs. Shellabear, ketiganya merupakan misionaris Methodist di Singapura. Mereka mengunjungi Palembang dengan maksud untuk mengembangkan Methodist dengan mengadakan usaha-usaha mengkomunikasikan Injil kepada masyarakat melalui brosur-brosur yang berisi cerita-cerita Alkitab. Namun tidak dapat diteruskan karena alasan dana dan tenaga.
Setelah enambelas tahun kemudian setelah Oldman meninjau pulau Jawa, barulah usaha untuk mengembangkan Methodisme ke Hindia Belanda menjadi kenyataan. Pada tahun 1905 Badan Zending Methodist yang berpusat di New York (USA) mengutus John Russel Denyes untuk memulai visi Methodist di Pulau Jawa. Mula-mula orang Tionghoa di Batavia menjadi sasaran pekerjaannya, tetapi tak lama kemudian misi Methodist juga masuk ke daerah oaring Sunda di luar Batavia. Bulan Mei 1905 Methodist mulai berkembang di Medan. Sama seperti di Jawa, mula” misi Methodist bermaksud untuk menginjili orang Tionghoa, tetapi kemudian ia mencoba untuk menginjili orang Tamil di Medan. Tahun 1906 Methodist mulai berkembang di Kalimantan Barat. 
Pada tahun 1928 pekerjaan Methodist ditutup di Jawa dan Kalimantan untuk dipusatkan di Sumatera. Sejak saat itu misi Methodist hanya bekerja dikalangan Tionghoa dan orang Batak di pulau Sumatera. Gerakan misi yang cukup berarti dikalangan Tionghoa adalah gerakan kebangunan rohani yang dilakukan oleh John Sung tahun 1930 di Medan yang membuat banyak oaring Tionghoa bertobat. Orang-orang Batak yang berada dalam asuhan Methodist yang sebagian besar berasal dari gereja Batak menjadi unsur utama. 
            Untuk mendapatkan angka yang akurat mengenai perbandingan jumlah kelompok etnis Batak dengan etnis Tionghoa dalam GMI sangatlah sulit. Karena disamping jemaat-jemaat homogeny (Batak dan Tionghoa) ada sejumlah jemaat campuran yang terdiri dari kelompok etnis lain. Pada tahun 1989, jumlah anggota jemaat GMI tercatat 54.742 jiwa (anggota penuh dan persiapan). Jumlahh ini termasuk kecil dibandingkan dengan usianya. Dari jumalah itu terdapat sekitar 6000 (12%) orang Tionghoa. Sisanya terdiri dari orang Batak Toba, Simalungun, Karo, Jawa, Nias, dsb. Orang Batak Toba merupakan kelompok paling besar, yaitu sekitar 40.000 (75%). Jika ditinjau dari segi usianya yang sudah 90 tahun, boleh dikatakan bahwa jumlah ini masih kecil. 
            Sejak tahun 1930 semua jemaat Methodist Tionghoa yang ada di Sumatera Utara diorganisir menjadi satu distrik berdasarkan kelompok etnis yang dipimpin oleh seorang distric superintendent yang biasa disingkat DS. Kendati GMI sejak GMI telah menjadi otonom telah muncul usul terutama dari pihak orang Batak supaya distrik Tionghoa dihapuskan, namun hingga tahun 1983 distrik Tionghoa tetap ada. Barulah tahun 1983 atas prakarsa Bishop Hermanus Sitorus eksistensi distrik Tionghoa (sejak tahun 1974 menjadi distrik pengembangan) dihapuskan. Penghapusan distrik pengembangan ini telah menimbulkan sejumlah akibat, baik yang positif maupun yang negatif dalam GMI.

Post a Comment

0 Comments