Harga Sebuah Nazar (Sebuah Studi Terhadap Pelajaran Tafsir Perjanjian Lama dari umat dan tokoh Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29 – 40)

 


Harga Sebuah Nazar

(Sebuah Studi Terhadap Pelajaran Tafsir Perjanjian Lama dari umat dan tokoh Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29 – 40)


BAB  1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang Masalah

Ketika saya sedang melakukan tugas stage sebagai mahasiswa Sekolah Teologi di STTIA Surabaya Indonesia, saya menemui banyak teman dan jemaat dengan berbagai-bagai pergumulan hidup mereka. Pergumulan hidup itu antara lain adalah kesulitan ekonomi, sakit yang tak kunjung sembuh, kehidupan rumah tangga yang bisa dikatakan sudah tidak harmonis, pergaulan pemuda yang mengkhawatirkan orang tua dan masih banyak lagi. Belum lagi pergumulan yang terkait dengan keinginan dan cita-cita jemaat dalam kehidupan mereka masing-masing. Setiap orang harus berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk dapat menggapai impian dan cita-citanya. Ketika seseorang sedang berjanji maka akan ada yang harus ia korbankan dalam perjuangannya itu, misalnya saja jika seseorang ingin lulus dan mendapat gelar sarjana dari universitas tempat ia menuntut ilmu maka dia harus berjuang melewati proses perkuliahan, ujian, dan penulisan skripsi. Seiring dengan hal itu maka dia juga akan mengorbankan materi berupa uang untuk dapat membiayai semua perkuliahannya. Jadi dapat saya katakana bahwa dalam setiap hal yang diinginkan jemaat itu ada pengorbanan yang harus dilakukannya demi mencapai keinginannya tersebut. Pengorbanan itu dapat berupa waktu, tenaga, pikiran, dan materi atau uang. Pengorbanan yang dilakukan adalah semata-mata demi mencapai keinginan tersebut.

Pergumulan-pergumulan, harapan, cita-cita masing-masing orang pun ternyata mempengaruhi keimanan mereka kepada Tuhan. Dalam khotbah-khotbah yang didengar jemaat di gereja, mereka diajarkan untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi persoalan hidup mereka. Tuhan akan menolong setiap orang yang sungguh-sungguh datang kepada-Nya. Tak jarang juga seseorang menjanjikan sesuatu kepada Tuhan agar Tuhan berpihak kepadanya. Manusia bertaruh kepada Allah, demi mendapatkan apa yang diinginkannya, demi keluar dari permasalahan yang menggerogoti hidupnya.

Dalam kehidupan umat Kristen ada sesuatu yang disebut nazar. Orang bernazar untuk memperoleh sesuatu. Ada hal yang ditawarkan sebagai pengganti jika apa yang dia minta itu dikabulkan. Misalnya orang bernazar jika ia berhasil masuk perguruan tinggi negeri maka dia akan memberikan uang persembahan ucapan syukur untuk kelulusannya kepada Gereja. Bahkan beberapa mahasiswa teologi yang saya temui mengatakan bahwa mereka masuk ke Fakultas Teologi awalnya adalah karena bernazar. Di masa lampau dia mengadakan perjanjian dengan Tuhan dan Tuhan telah mengabulkan permintaanya maka sekarang mereka masuk Fakultas Teologi. Yang dipersembahkan adalah sesuatu yang dinilai berharga dan setiap orang sangat berusaha menepati nazarnya.

Dalam Alkitab, kita menemui kisah-kisah tentang para tokoh Alkitab yang bernazar kepada Tuhan. Salah satu tokoh itu adalah Yefta. Yefta bernazar kepada Tuhan dalam Hakim-Hakim 11:30 untuk mempersembahkan apapun yang keluar dari pntu rumahnya sebagai milik Tuhan, dan akan dipersembahkan dalam bentuk korban bakaran. Dan yang keluar dari pintu rumahnya itu adalah anak perempuannya sendiri, anaknya satu-satunya. Pada masa itu, Yefta,  orang Gilead, anak perempuan sundal, pemimpin gerombolan di daerah Tob (Hakim-Hakim 11:1-3), di seberang sungai Yordan dijemput oleh tua-tua Gilead karena Gilead diperangi bani Amon[1]. Pada saat hendak berperang, Yefta bernazar kepada Tuhan, katanya: “jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa yang keluar dari pintu rumahku, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” (Hakim-Hakim 11:30-31).

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tindakan Yefta ini merupakan kebiasaan orang Israel dalam bernazar? Apakah yang dimaksud dengan Nazar bagi orang Israel? Apa yang dimaksudkan bernazar dalam hukum Taurat? Dalam Perjanjian Lama, ditemukan kata yang mengacu pada nazar. Orang atau barang atau binatang yang digunakan untuk memenuhi nazar itu disebut Nazir[2]. Nazar terjadi antara manusia dengan Tuhan, dan akibatnya bisa berkepanjangan atau bahkan bisa turun temurun.

Dalam Alkitab, nazar adalah janji yang sungguh-sungguh kepada Allah (Mazmur 76: 12), mempersembahkan korban-korban (Imamat 7:16 ; 22:18; Bilangan 15:3) atau sebagai tindakan merendahkan diri (Bilangan 30:13), sebagai “imbalan” atas pemenuhan isi perjanjian pihak Allah dengan manusia (yang bernazar). Dalam bagian lain, nazar menunjukkan sebuah janji antara Allah dan manusia yang dilakukan oleh manusia dan siap menepatinya (Kejadian 28:20-22), pantangan terhadap sesuatu (Mazmur 132:2-5). Jadi, nazar adalah janji diri sendiri untuk berbuat atau melakukan sesuatu jika maksud tercapai; namun janji yang dilakukan berlaku secara mengikat dan penuh dengan nilai-nilai sacral karena terjadi di antara hubungan manusia dengan Allah. seperti yang dilakukan oleh Yefta, ia berjanji untuk mempersembahkan apa/siapa saja yang pertama kali keluar pintu rumahnya untuk menyambutnya ketika pulang dari peperangan sebagai korban bakaran kepada Tuhan. Dengan demikian hal yang diucapkan dalam nazar atau janji atau sumpah selalu ada kata-kata seperti ini; “lalu/maka/kemudian bernazarlah ….. ; “jika Allah …..”

Nazar ditunjukan sebagai hasrat ingin memberikan yang terbaik kepada Allah sebagai ekspresi ucapan syukur atas kebaikan yang telah diterima dari Allah atau sesuatu yang berharga untuk membuktikan kesetian kepada Allah dengan cara pematangan atau menahan hasrat yang berorientasi pada diri sendiri dan menyesuaikan dengan kehendak Allah. [3]

 

1.2 Rumusan Masalah   

Ketika Allah membawa umat Israel keluar dari Mesir, ia memberikan Hukum Taurat untuk mengatur kehidupan mereka terutama dalam hubungan Allah dengan manusia. Dalam hubungan dengan Allah termasuk di dalamnya mengenai bagaimana manusia bisa melayani Allah, membangun komunikasi dab konsekuensi-konsekuensi yang ada. Salah satunya adalah tentang nazar. Kebiasaan bernazar bagi orang Israel dimulai sejak Yakub di Bet’el (Ibrani : Rumah Allah).[4] Dan akhirnya ketika bangsa Israel keluar dari Mesir, dalam perjalanan menuju Kanaan, Allah memberikan aturan-aturan yang berhubungan dengan hal membuat dan memenuhi nazar dalam Bilangan pasal 6.

Latar belakang teks Alkitab di atas merupakan makna nazar bagi orang Israel dalam hal bernazar dan bagaimana memenuhinya. Sekalipun demikian nazar bukanlah suatu yang diharuskan bagi setiap orang Israel. Tetapi apabila ada orang yang hendak bernazar, alangkah baiknya ia tidak hanya menggunakan iman, tetapi juga menggunakan akal sehingga hal itu tidak menjadi sesuatu yang tidak berkenan bagi Tuhan, selain itu, hal-hal lain yang layak ialah yang merupakan milik Tuhan seperti anak sulung, buah bungaran, persepuluhan (Imamat 27:26).[5] Sebaliknya ada hal-hal yang tidak boleh dinazarkan yaitu sesuatu yang merupakan kekejian bagi Allah (Ulangan 33:11), tidak boleh dinazarkan atau dikuduskan bagi Allah.

Sesungguhnya dalam teks Alkitab yang lain mengemukakan bahwa nazar itu sendiri pada dirinya tidaklah mengandung suatu apapun (Mazmur 51:16) dan dapat diucapkan oleh seorang pengkhianat (2 Samuel 15:7) atau seorang sundal yang berpura-pura saleh (Amsal 7:14). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nazar merupakan inisiatif dari manusia untuk melakukan sesuatu yang bersifat mengikat sehingga ia dapat membuktikan bahwa dirinya juga dapat dipercayai atau juga anggapan yang paling rendah ialah hanya untuk menyenangkan hatinya sendiri.

Dari kutipan-kutipan ayat Alkitab tentang nazar seperti yang telah diuraikan di atas, maka dalam penulisan makalah ini saya ingin mengangkat sebuah permasalahan yaitu mengenai harga sebuah nazar. Kita bisa melihat pada akhirnya buah dari nazar yang diucapkan Yefta adalah dia harus mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran kepada Tuhan. Namun, apabila melihat segala Firman yang melarang orang Israel mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran kepada Tuhan, maka hal ini tidak dapat diterima. Allah sendiri tidak mengijinkannya untuk mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran sekalipun sebuah nazar bukanlah suatu guyonan atau permainan kata-kata yang kosong.[6]

Bagaimana sebenarnya keterkaitan Tuhan dengan nazar itu? Anak perempuan Yefta adalah salah satu dari sekian banyak karakter perempuan tak bernama dalam kitab Hakim-Hakim. Cerita tentang anak perempuan Yefta ini sangat menyedihkan. Dia adalah seorang yang ditawarkan ayahnya sendiri sebagai korban bakaran kepada Allah dalam pemenuhan sebuah nazar. Dan yang lebih mengejutkan adalah dia tidak memprotes hal tersebut, dia menerima takdir yang dibuat itu oleh nazar ayahnya sendiri. Robert G. Boling memberikan komentar yang berbeda. Ia menyejajarkan peristiwa ini dengan Abraham ketika mempersembahkan Ishak, dan Yefta merupakan orang kedua yang melakukan persembahan anak. Yefta mengucapkan nazarnya setelah Roh Allah turun atas dia oleh sebab itu dia yakin bahwa Tuhan pasti memeliharanya. Namun pada saat anak perempuannya menemuinya, Roh Allah tidak datang lagi untuk menguatkan Yefta. Masalahnya ialah bahwa nazarnya tidak bisa dibatalkan.[7] Apakah dapat dikatakan bahwa pristiwa Roh Allah turun ke atas Yefta adalah untuk menguatkan dia menghadapi peperangan bukan untuk menginspirasikan dalam membuat nazar sehingga ia sangat terkejut ketika yang menemuinya adalah anak perempuannya satu-satunya?[8] Yefta menawarkan kebebasan kepada Tuhan untuk mengambil apa saja, namun di luar dirinya. Yefta mencoba berdagang dengan yang Ilahi. Ia berpikir realistis-egoistis, untung rugi bertaruh. Ia tak pernah membayangkan bahwa anak perempuannya satu-satunya yang justru datang menyambut dia dengan rebana, nyanyi dan tawa mengekspresikan kerinduan, kebanggaan, sukacita atas kemenangan sang ayah dari peperangan untuk kemudian ia menjadi tumbal di luar perkiraan. Yefta sangat sedih tetapi ia tidak bisa keluar dari nazarnya. Ia harus mnerima konsekuensi dari nazarnya yang tidak hati-hati.[9] Tuhan tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan pengorbanan itu. allah tidak melakukan intevensi apa pun ketika hal itu terjadi, tak sama seperti yang dilakukan Allah saat Abraham hendak mengorbankan Ishak dalam cerita di Kejadian 22. Apakah peristiwa ini tepat seperti dugaan Boling?

Dalm hal memenuhi nazar, Yefta mengikuti permintaan anaknya[10] seperti yang dikatakan bahwa anak perempuan Yefta menghargai apa yang telah dinazarkan ayahnya dan menyarankan ayahnya melakukannya.[11] Kalau hal itu bertentangan dengan apa yang telah diperintahkan kepada orang Israel, saya menduga sepertinya penulis kitab Hakim-Hakim ini ingin menunjukkan sesuatu yang lain mengenai nazar ini. Apakah yang kira-kira ingin disampaikan oleh penulis kitab Hakim-Hakim ini kepada pembacanya?

Dalam relevansinya dan kehidupan sekarang dalam menghadapi penderitaan manusia dan alam, apakah nazar kepada Tuhan dapat berguna? Apakah nazar akan memikat hati Tuhan untuk berbelas kasih terhadap segala penderitaan manusia, atau manusia hanya perlu berpasrah diri kepada Tuhan dan menunggu Tuhan memberikan kelegaan atau mengusahakan apa yang bisa dilakukan manusia? Apakah nazar semata-mata hanya untuk mendapat belas kasih Allah atau sebagai bentuk persembahan manusia atas kesadarannya bahwa cinta kasih Allah tetap menyertai hidupnya? Lalu bagaimana seharusnya jemaat memaknai harga yang harus dibayarkan dalam nazar?

 

1.3 Batasan Permasalahan

Saya menyadari bahwa sebuah teks atau narasi tidak hanya membawa satu tema tertentu saja. Di dalam sebuah teks pastilah tersirat berbagai pandangan dan tema teologis yang ingin disampaikan oleh pengarang teks tersebut kepada pembacanya. Demikian juga teks kitab Hakim-Hakim 11:29-40 ini. Karena itulah, saya ingin membatasi tulisan ini dengan tema yang relevan dengan permasalahan yang hendak dibahas. Saya akan memfokuskan perhatian pada tema yang berbicara tentang nazar dan bagaimana hal itu direalisasikan dalam kehidupan kekristenan saat ini.

 

1.4 Rumusan Judul

Dari permasalahan yang diangkat di atas maka saya memutuskan untuk memberi judul pada tulisan ini, yaitu:

Harga Sebuah Nazar

(Sebuah Studi Terhadap Pelajaran Tafsir Perjanjian Lama dari umat dan tokoh Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29 – 40)

 

1.5 Alasan Pemilihan Judul

            Saya memilih judul diatas karena:

1.     Dianggap relevan dengan kehidupan umat Kristen sekarang ini, dimana di tengah-tengah kesukaran hidupnya mereka sering bertaruh kepada Allah, mempertaruhkan sesuatu yang mungkin saja belum tentu bisa mereka tepati. Apakah pertaruhan itu merupakan sesuatu yang berguna untuk dilakukan atau tidak?

2.     Pemahaman tentang nazar perlu dikritisi ulang, dengan belajar dari kisah Yefta dan tindakan Allah diharapkan dapat semakin membuka pemahaman umat Kristen tentang nazar.

3.     Dari segi penafsiran Alkitab, maka narasi ini merupakan narasi yang kompleks dan sangat menarik. Kisah nazar Yefta ini adalah salah satu kisah paling tragis yang diceritakan dalam Alkitab, dan karenanya saya merasa perlu menafsir teks ini dengan menggunakan tafsir naratif.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Polemik – Polemik Tafsir Mengenai Teks Hakim-Hakim 11:29-12:7

2.1.1 Polemik Mengenai Yefta dan Nazarnya

            David M Gunn memulai dengan menjelaskan pandangan Josephus, seorang sejarawan Yahudi (37-100 M) dan pengarang Psuedo-Philo. Josephus dan Pseudo-Philo mengajukan kecaman yang tegas terhadap Yefta. Mereka menilai nazar Yefta telah menyebabkan kemarahan Tuhan.[12] Yefta mengatakan “[…] apapun yang keluar dari pintu rumahku saat aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” (Hak.11:31). Menurut mereka, Tuhan akan bertanya bagaimana jika yang Yefta jumpai pertama kali adalah anjing apakah ia juga akan mempersembahkannya bagi Tuhan?[13] Kritikan terhadap Yefta dilanjutkan oleh penafsir-penafsir berikutnya, termasuk Yohanes Calvin (1509-1564 M) dengan pertanyaan bahwa nazar Yefta adalah kegegabahan yang menjebak dirinya sendiri ke dalam situasi yang buruk.[14]

            Apabila Josephus, Pseudo-Philo dan Yohanes Calvin mengecam Yefta, maka Ambrosius dan Thomas Morell justru mengajukan pembelaan terhadap Yefta. Pertama, Ambrosius (339-397 M). Ia menyatakan bahwa nazar Yefta bukan nazar yang disengaja, hanya tak terpikirkan. Ia mengapresiasi Yefta sebab pada akhirnya ia menyesali nazarnya namun tetap mewujudkannya dengan kesalehan yang takut dan penuh penghormatan pada Allah, dan dirinya sendiri (yang ditnadai mengoyakkan bajunya) menjadi rujukan pada tradisi tahunan untuk menagisi anaknya.[15] Menurut David M Gunn, berdasarkan alas an tersbut Ambrosius tidak menyalahkan Yefta karena keteguhan terhadap Nazarnya.[16]

            Kedua, interprestasi dari penulis lagu Thomas Morell (1703-1784 M) yang menuliskan dalam syair lagu rohani berjudul “Jephthah” karya G.F Handell (1685-1758 M), bahwa kisah Yefta berakhir bahagia (happy ending).[17] Hal yang menarik adalah interprestasi ini didialogkan dengan drama Vondel dan Euripides yang menghasilkan struktur nazar dengan pemaknaan yang unik. Intinya, Yefta harus mendedikasikan puterinya bagi Allah dalam kemurniaan dan keperawanan selama-lamanya, tetapi gadis itu bukanlah sasaran yang direncanakan Yefta sejak semula untuk menjadi objek pengorbanan. Digambarkan bahwa malaikat menjamin Yefta dengan berkata: “Roh Kudus yang mendiktekan nazarmu”.[18] Interprestasi dalam seni lagu dan drama ini mengimplikasikan bahwa terdapat peran Ilahi yang mempengaruhi Yefta untuk mengucapkan kalimat nazarnya.

            Ketiga, pandangan yang melihat pengorbanan puteri Yefta sebagai gambaran pengorbanan Yesus Kristus. Agustinus murid Ambrosius (354-430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1274 M) seorang teolog Dominican memaknai pengorbanan puteri Yefta sebagai gambaran darah pengorbanan Kristus.[19] Keduanya memang mengajukan kritik terhadap nazar pembelaan terhadap Yefta. Agustinus misalnya melihat Yefta dan Gideon yang sama-sama menerima Roh Allah dan sama-sama khilaf dan ujian Allah sebagai pelajaran bahwa Allah juga memakai yang bercacat dalam pekerjaan-Nya.[20] Sementara Thomas Aquinas terang-terangan mengajukan argumentasi pmebelaan, meskipun pada saat yang sama mengkritisi Yefta.[21] Pendekatan tipologi Agustinus dan Aquinas menempatkan kisah Yefta dalam pandangan dogma Kristen. David M Gunn menyimpulkan pendekatan tipologi yang mereka gagas tersebut demikian:

            ”Typologically speaking, Jephthah continues to prefigure Christ, or sometimes God the Father. Who offered up his only offspring, and the daughter to prefigure Christ’s humanity, or sometimes the Church, offered during persecution. At the same time, however, Jephthah is generally comdemned both for making the vow and for keeping it.”[22]

            Meskipun mengkritisi nazar Yefta, namun menurut saya, pendekatan tipologi yang menggambarkan Yefta sebagai figure yang melambangkan Allah Bapa dan puteri Yefta sebagai lambing kemanusiaan Kristus membuat kisah pengorbanan seorang anak gadis tersebut seolah menjadi hal yang normal menurut doktrin Kristen yang mereka pahami kala itu.

            Unsur lain menjadi polemik adalah mengenai wujud pemenuhan nazar Yefta. Ada penafsir yang mengusulkan bahwa pengorbanan yang dimaksud adalah penyembelihan sebagaimana dilakukan pada hewan bakaran, sedangkan penafsir lain mengusulkan bahwa pengorbanan yang dimaksud adalah hidup berselibat spanjang umur. Pemahaman bahwa putei Yefta sungguh-sungguh disembelih, salah satunya datang dari kritukus Prancis, Voltaire (1694-1778 M) yang melihat bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dapat mnginjinkan pengorbanan darah manusia.[23] Penjelasan Toni W. Cartledge mengenai nazar dalam Perjanjian Lama mengisyaratkan pembenarannya pada penyembelihan puteri Yefta. Menurutnya, menjadi kebiasaan di zaman Perjanjian Lama bahwa persembahan nazar harus sama nilainya dengan permohonan nazar dan puteri Yefta sebagai contoh dimana pengorbanannya menggaungkan darah kekerasan dari kemenangan yang diperoleh ayahnya.[24]

 

            Argumentasi bahwa puteri Yefta tidak sungguh-sungguh mati misalnya datang dari penyair dan cendekiawan Abraham ben Meier ibn Ezra (1092 ‑ 1167 M). ia meyakini bahwa Yefta tidak sungguh‑sungguh mengorbankan puterinya sebagai korban bakaran melainkan membengun baginya rumah untuk hidup dengan tekun dalam keperawanannya sebagai persembahan hidup bagi Allah.[25] Pendapat ini juga didukung oleh teolog puritan William Perkins (1558‑1602 M) yang memahami bahwa Yefta memutuskan untuk mendedikasikan puterinya kepada Allah seperti (sebagaimana layaknya) seorang nazir.[26]

            Mengakui salah satu usulan tersebut memiliki kerumitan masing-masing. Usulan pertama setidaknya mengandung pertanyaan terkait konsistentsi Yahwe dalam menerima korban manusia. Pada kisah Abraham Ia mengintervensi Abraham dan mengganti Ishak dengan domba jantan tapi dalam kasus Yefta Ia diam. Usulan kedua menimbulkan kerumitan tekstual sebab Yefta telah bersumpah akan mempersembahkan sebagai korban bakaran kepada TUHAN apa yang keluar dari pintu rumahnya saat ia kembali.[27]

            Berbagai spekulasi telah muncul terkait masalah tersebut, misalnya diskusi para nabi dalam kaitan dengan aturan tentang nazar gegabah dalam Imamat 5 dan aturan membayar nazar terutama tentang manusia dalam Imamat 27, bahwa nazar Yefta bertentangan dengan hukum tentang nazar.[28] Spekulasi lain juga dapat muncul jika mempertimbangkan usulan Philip J.king dan Lawrence E. Stager yang menemukan, biak dari sumber arkeologi maupun teks PL (mis. Mikha 6:6‑8), bahwa pada waktu tertentu pengorbanan anak sebagai korban bakaran adalah ibadat resmi.[29] Cartledge melihat bahwa pengorbanan puteri Yefta menggagungkan darah kekerasan yang telah ia peroleh sebagai kemenangan dalam perang.[30]

2.2 Polemik Mengenai Puteri Yefta dan Sikap Tuhan

            Polemik tafsir juga terjadi ada sosok puteri Yefta. Paling tidak ada tiga pandangan penafsir mengenai dirinya. Pertama, usulan yang menyayangkan  bahwa dia teraksa menjadi korban atas kesalahan ayahnya. [31]Pandangan ini melihat bahwa anak itu seutuhnya adalah korban nazar Yefta. Pandangan kedua mengatakan bahwa meskiun ia harus menjadi korban namun ia merelekan dirinya demi ayahnya.[32] Tampak bahwa pandangan ini menempatkan anak itu sebagai teladan iman dan pahlawan. Dan pandangan ketiga mengatakan bahwa sebelumnya ia sudah tau mengenai nazar ayahnya dan dia sengaja memberikan dirinya sebagai korban.[33] Dalam pandangan ini, anak Yefta adalah subyek yang merencanakan agar dirinya menjadi korban; Artinya Yefta tidak bersalah. Sekilas pandangan ketiga ini cukup logis jika melihat ekspresi Yefta yang mengoyak bajunya dan menuduh mencelakakan dirinya.[34] Tetapi kemungkinan itu masih harus diperiksa lebih lanjut mengingat bahwa di ayat 37 anak Yefta memohon agar ayahnya memberinya keleluasaan untuk menangisi kegadisannya bersama teman‑temanya. Keterangan ini dapat menjadi indikasi ketidakastian gadis itu sebelumnya.

            Pertanyaan yang juga penting adalah mengenai reaksi Allah dalam peristiwa ini. Keterangan pada pasal 11:29 adalah bahwa Roh Allah menghinggapi Yefta sebelum bernazar dan Allah menyerahkan bani Amon kedalam tangan Yefta (Hak.11:31). Setelah peristiwa ini sikap Allah tidak lagi ditemukan secara eskplisit dalam narasi. Apakah Allah setuju atau mengecam tindakan Yefta ataupun puterinya tidak dijelaskan. Pertanyaan lain yang terkait dengan itu adalah apakah kemenangan yang diberikan Allah kepada Yefta adalah jawaban terhadap nazarnya atau seutuhnya adalah inisiatif Allah tanpa intevensi Yefta?

            Tidak mudah untuk memahami sikap Allah sebab ppenulis melalui narrator kisah Yefta tidak memberi keterangan mengenai sikap Allah. Kemungkinan ia tidak menganggap penting sikap Allah, atau ia tahu bahwa hal tersebut tidak akan ditanyakan oleh pembacanya, atau mungkin ia sengaja membuat hal itu menjadi misteri untuk maksud tertentu, ataukah memang ia sendiri tidak tahu apa sikap Allah.

            Kalau demikian sumber cerita ini patut diselidiki lebih jauh terutama terkait dengan kepentingan penulis melalu kisah ini. Ada keterangan pada pasal 11:40 bahwa dari tahun ke tahun anak-anak perempuan Israel selama empat hari setahun meratapi anak perempuan Yefta, orang Gilead itu. Apakah narasi ini ditulis hanya dengan maksud untuk menjelaskan latar belakang tradisi ratapan itu karena Yefta adalah hakim yang kepahlawanannya tersimpan baik dalam memori kolektif orang Israel, ataukah sepenuhnya penulis atau editor teks Hakim-Hakim 11:29-12:7 hanya memanfaatkan cerita yang berkembang ini untuk tujuan tertentu?

2.3 Pertanyaan Tentang Motif Pembantaian Orang Efraim di Tepi Sungai Yordan

            Riwayat Yefta yang tidak kalah menarik adalah pembantaian sadis yang dilakukannya bersama orang-orangnya terhadap orang-orang Efraim di tepi sungai Yordan. Bagi saya, motif di balik pembantaian ini penting dianalisis sebab orang Gilead sama sekali tidak memberi ampun kepada orang Efraim yang telah kalah dan ingin menyebrang pulang kerumahnya. Analisis ini penting bagi saya sebagai pembaca Alkitab di Indonesia untuk meningkatkan pemahaman mengenai konfilik dan kekerasan dalam teks-teks Alkitab.

            Pada pasal 12:6 “menyembelih” dari kata Ibrani juga dipakai prosesi penyembelihan hewan ataupun korban bakaran, misalnya dalam Imamat 1:5. Kta itu juga dipakai ketika Abraham hendak menyembelih Ishak untuk dipersembahkan di mezbah untuk Allah.[35] Latar belakang pembantaian sadis tersebut tidak begitu jelas dalam teks kecuali tuduhan orang-orang Efraim bahwa Yefta berperang melawan Amon tanpa melibatkan mereka dan karena orang-orang Gilead adalah pelarian Efraim.

            Agak membingungkan jika dua alasan tersebut di atas memotivasi tindakan sadis yang dilakukan Yefta dan orang-orangnya. Pada permulaan cerita dijelaskan bahwa kemarahan datang dari orang-orang Efraim, namun pembantaian justru dilakukan Yefta dan orang-orangnya. Apakah mungkin ada faktor lain yang tidak diterangkan secara eksplisit oleh penulis melalui narator kitab Hakim-hakim 12:1-7? Atau mungkinkah pada teks itu sendiri terdapat clue yang mengarahkan pembaca Hakim-hakim memahami pembantaian tersebut? Sebagai pembaca kontemporer diperlukan kajian lebih lanjut mengenai latar belakang konflik yang berakhir dengan penyembelihan ini. Pertanyaan yang tidak kalah penting ialah mengapa pembantaian antar sesama Israel tersebut diceritakan secara vulgar dalam narasi ini?

            Kembali ke kata “menyembelih” yang disebut sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa kata ini merupakan istilah kultus. Menarik bahwa sepanjang Hakim-Hakim pasal 11 hingga pasal 12:1-7 tindakan dan istilah yang terkait dengan kultus ditemukan beberapa kali. Beberapa contoh misalnya: Pasal 11:11 “[…] Tetapi Yefta membawa seluruh perkaranya itu kehadapan Tuhan menjadi korban bakaran; Pasal 11:39 bahwa Yefta memenuhi nazarnya; dan kata “menyembelih” pada pasal 12:6. Jika memperhatikan indikasi tersebut maka aspek-aspek kultus dalam narasi ini penting diteliti terutama sebab bahasa-bahasa kultus ini diletakkan dalam narasi tragedi anak gadis Yefta dan peperangan antara orang-orang Efraim dan orang-orang Gilead.

            Dalam peristiwa peperangan antara orang-orang Efraim dan orang-orang Gilead, menarik bahwa logat atau aksen menjadi tand yang dipakai untuk mengenali musuh. Orang-orang Efraim tidak dapat mengucapkan kata syibolet dengan sempurna shingga berbunyi sibolet. Tampaknya kedua kata itu mengandung arti berbeda. Syibolet berarti aliran sungai sedangkan sibolet tidak begitu jelas artinya tapi sering dihubungkan dengan biji jagung atau gandum.[36] Apakah ini berarti bawha perbedaan antara orang-orang Efraim dan orang-orang Gilead memang begitu tajam? Apakah kata itu hanya sekedar kode pembeda atau mengandung makna tertentu bagi penulis dan pembacanya?

2.4 Kisah Yefta dan Konteks Indonesia

            E. G Singgih mengingatkan bahwa dalam upaya tafsir, “kita hanya bisa menangkap makna sebuah teks dari masa lalu, kalau kita berangkat dari masa kini”.[37] Singgih sesungguhnya ingin meningkatkan penafsir mengenai pentingnya menyadari konteks dunia di mana penafsir berada lalu mendialogkan konteks itu dengan teks. Implikasinya adalah teks Alkitab dapat menghasilkan makna yang bermanfaat bagi pembaca di setiap zaman. Dalam kesadaraan itu, saya menganggap penting untuk memperhatikan beberapa situasi sosial masyarakat Indonesia yang saya pandang memiliki kesesuaian dengan kisah Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29-12:7.

            Pertama, konteks kejemukan. Masyarakat Indonesia telah bersepakat menjadi satu bangsa tetapi hidup dalam realitas kemajemukan suku, agama ras, dan antar-golongan (SARA). Realitas ini memiliki kemiripan dengan keadaan bangsa Israel menurut tulisan dalam Perjanjian Lama. Orang Israel terdiri atas dua belas suku namun mengaku sebagai satu bangsa. Dalam teks Hakim-Hakim 12:1-7 diceritakan peperangan yang terjadi di antara sesama orang Israel, yaitu orang Efraim dan orang Gilead.

            Di Indonesia, kemajemukan seperti pedang bermata dua. Pada satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan tetapi pada sisi yang lain menjadi tantangan. Kemajemukan membuat orang Indonesia dapat mempelajari banyak hal dan dapat saling memperkaya. Kemajemukan tersebut juga menjadi daya Tarik bagi bangsa-bangsa lain untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan di Indonesia atau sekedar menikmatinya sebagai obyek wisata. Sayangnya, kemajemukan di Indonesia telah menimbulkan koknflik identitas di beberapa tempat. Narasi Jan S. Aritonang mengenai konflik-konflik Poso, Ambon dan Kalimantan pada tahun 1998 hingga 2002 memperlihatkan suasana yang menyedihkan, menegangkan sekaligus mengenaskan. Ribuan orang mengungsi dalam perasaan takut, sementara rumah-rumah dibakar. Penemuan mayat-mayat tanpa kepala menunjukkan sadism yang dilakukan terhadap orang lain yang di anggap musuh.[38] Jumlah korban meninggal karena konflik-konflik tersebut diperkirakan mencapai ribuan orang. Catatan Aritonang yang paling penting adalah bahwa situasi politik di daerah-daerah tersebut sangat mempengaruhi meledaknya konflik fisik dan isu SARA itu.[39] Merujuk pada keterangan Aritonang tersebut, dapat dikatakan bahwa kemajemukan identitas SARA telah dimanfaatkan sebagai alat politk kepentingan yang berujung pada konflik berdarah.

            Memori konflik dengan isu perbedaan identitas kembali mengemuka pada perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jakarta Oktober 2016 hingga April 2017 lalu. Ungkapan-ungkapan kebencian atas nama identitas juga ditebar secara massif di media sosial. Meskipun kepolisian telah tegas menindak para penebar kebencian, tetapi tulisan-tulisan di media sosial masih dipenuhi sindiran-sindiran kebencian terhadap yang lain.[40] Laporan  berita online Kompas dan temuan Wahidinsitute memaparkan temuan-temuan sikap intoleransi anak-anak di sekolah.[41] Data-data ini mengindikasikan dua hal. Pertama, perbedaan indentitas SARA ditunggangi sebagai kendaraan politik electoral. Kedua, kebencian terhadap orang lain yang berbeda identitas tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa tapi juga di kalangan anak-anak, generasi bangsa.

            Konflik-konflik berlatar belakang perbedaan identitas di atas mengingatkan pada situasi masyarakat Indonesia pada priode penjajahan. Politik divide et impera yang di tetapkan pemerintah kolonial Belanda menanamkan prasangka bahkan kebencian terhadap mereka yang berbeda indentitas SARA. Meskipun pasca kemerdekaan gagasan persatuan bangsa terus dikumandangkan, namun pransangka, kebencian dan konflik atas nama identitas masih terjadi hingga saat ini. Di kalangan orang-orang Kristen sendiri telah mengakar prasangka terhadap Islam. Julianus Mojau menyebut prasangka tersebut sebagai mentalitas Islamic phobia.[42] Dengan demikian pola taktik politik divide et impera yang digagas pemerintah kolonial masih tampak hingga saat ini melalu taktik politisasi kemajemukan indentitas SARA di Indonesia.

            Kedua, konteks ketidak adilan dan diskriminasi. Belakangan ini banyak kasus persekusi yang dilakukan oleh oknum ataupun kelompok tertentu terhadap orang atau kelompok lain yang dianggap berbeda identitas dan ideology dengannya. Tidak jarang kaum perempuan dan anak menjadi korban baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis. Keadaan demikian dapat diperjumpakan dengan teks Hakim-Hakim 11:29-12:7 yang bercerita mengenai penderitaan yang harus diterima oleh Puteri Yefta karena nazar ayahnya dan perang antara orang Efraim dengan Yefta (bersama orang Gilead) yang menggunakan bahasa (symbol indentitas) dalam proses pembantaian di tepi sungai Yordan.

            Ketiga, konteks religiositas dan politik serta kaitannya dengan praktik nazar. Orang Indonesia mengaku sebagai bangsa yang religius. Adanya enam agama dan ratusan aliran kepercayaan yang telah diakui oleh negara adalah tanda bahwa masyarakat Indonesia sangat religius. Praktik nazar di kalangan orang Kristen di Indonesia merupakan bagian dari penghayatan religiositas tersebut. Penganut agama Kristen (mungkin juga Islam) mengenal nazar dari tradisi Kitab Sucinya. Tetapi agama-agama lokal sebelum Kristen telah mengenal praktik nazar. Harun Hadiwijono misalnya, menemukan bahwa praktik bernazar dilakukan juga oleh masyarakat suku Dayak Ngaju di Kalimantan.[43] Unsur-unsur dalam religiusitas lokal tersebut berjumpa dengan agama-agama global yang juga mengandung penghayatan-penghayatan demikian. Apa yang ingin saya terangkan disini adalah kenyataan bahwa nazar bukanlah hal yang aneh bagi masyarakat Indonesia melainkan menjadi salah satu bagian dari praktik religiositasnya.

            Belakangan ini praktik nazar yang semula merupakan bagian dari penghayatan religius telah dipakai dalam ranah politik elektoral. Misalnya saja ada orang yang bernazar mencukur rambutnya atau berjalan kaki sejauh ratusan kilo meter bila elit politik yang diusungnya memenangkan kontetasi politik.[44] Bahkan ada orang yang bernazar akan memotong bagian tubuhnya atau bertelanjang jika pilihan politiknya benar atau menang. Tampaknya nazar telah menjadi istilah yang dipakai secara royal dan sangat mungkin digunakan dalam berbagai-bagai kepentingan.

2.5 Mencari Pendekatan Terhadap Teks Hakim-Hakim 11:29-12:7

            Para penafsir telah berupaya menganalisis aspek etis dalam teks. Para penafsir pada umunya berupaya memberi penilaian etis terhadap tindakan Yefta dan menguak teka-teki dalam teks seperti: Sikap Tuhan terhadap nazar dan korban nazar Yefta, apa sesungguhnya yang diharapkan yefta sebagai korban nazar, dan benarkah puteri Yefta menjadi korban bakaran. Beberapa pendekatan yang telah dipakai antara lain; Tafsir inter-tekstual sebagaimana dilakukan Josephus dan para rabi Yahudi yang lain dengan menhubungkan teks Yefta. Yohanes Calvin membaca teks Yefta dengan prespektif moral-etik. Pendekatan lain adalah mendialogkan drama Vondel dan Euipades sebagaimana tampak dalam syair lagu karya Handell.

            Menurut saya polemik-polemik yang muncul dari kalangan para penafsir disebabkan karena mereka hanya memperlihatkan aspek intrinsik/sinkronik teks tanpa menganalisis motif-motif ideology yang membentuk teks. Penafsir umumnya kurang memberi perhatian pada motivasi atau ideology Yefta serta tujuan penulisan, sehingga penilaian terhadap Yefta berhenti pada penilaian moral dan etika klultus saja.[45] Menurut saya, motif ideologis penting dianalisis agar kesan tragis dan membingungkan pada teks dapat dipahami menurut konteks pembaca/penafsir. Dalam upaya tafsir ini saya berusaha untuk melepaskan diri polemic tafsir berkepanjangan dikalangan penafsir dan berfokus pada fungsi teks bagi penulisnya dan pemaknaan terhadap maksud penulis tersebut menurut konteks Keindonesiaan penafsir.

 

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

            Kesimpulan yang saya ambil dari nazar Yefta adalah setiap umat manusia siapa saja orang nya baik muda maupun tua bolehlah ia bernazar sesuai dengan kemampuannya, dan nazar yang telah di janjikan nya haruslah di tepati sesuai dengan apa yang telah di janjikannya dalam nazar tersebut. Sama halnya dengan berutang, semua orang boleh berutang asal sanggup membayar apa yang telah dipinjamnya kepada orang yang telah memberi pinjaman dan memakai pinjaman tersebut dengan maksud dan tujuan yang baik, jika disalah gunakan maka akan berdampak bagi peminjam uang tersebut, begitu juga dengan nazar yang telah kita janjikan kepada Tuhan, bila kita tepati maka Tuhan akan selalu memberkati kita dalam segala hal dan mendatangkan kebaikan bila nazar yang kita lakukan memiliki maksud dan tujuan yang baik.

             Pandangan saya bahwa benar Yefta sungguh-sungguh mempersembahkan anaknya untuk korban bakaran. Alasannya seklaipun Yefta seorang Hakim tetapi persetujuan Allah atas seseorang di satu bidang tidak menjamin persetujuannya di segala bidang. Contohnya Daud, seorang yang diurapi tetapi tidak semua tindakannya bisa menjadi teladan bagi orang percaya. Yefta mengetahui hukum Musa tetapi tidak menajamin bahwa apa yang ia tahu selalu ia lakukan. Jika pengorbanan Yefta itu diartikan dengan penyerahan anaknya untuk kehidupan melajang, tak satu kata pun dalam bacaan itu yang mengatakannya. Sebenarnya Yefta bisa membayar pengganti korban anaknya itu dengan uang (Im 27:1-8) tetapi Yefta tidak melakukannya. Pandangan yang menolak bahwa Yefta sungguh-sungguh mempersembahkan anaknya untuk korban bakaran. Alsannya adalah sebab berkali-kali Allah dengan keras melarang mempersembahkan manusia sebagai korban bakaran (Im 18:21; 20:2-5; Ul 12:31; 18:10). Tentu sama sekali tidak pernah terbanyangkan oleh Yefta atau orang Israel mana pun bahwa dia dapar menyenangkan Allah dengan kekejian. Apalagi Yefta adalah seorang Hakim. Yang dilakukan Yefta dalam mempersembahkan anaknya itu lebih menunjuk kepada praktek penyerahan anak untuk melayani Tuhan seumur hidupnya. Andai saja Yefta melakukan tindakan keji, maka namanya tidak akan pernah dicatat sebagai salah satu pahlawan Iman (Ibr 11).

 

Datar Pustaka

 

1.     Walter A. Elwell, ed, BAKER : Encyclopdia of The Bible, vol 2 J-Z (Michigan: Baker Book House, 1998)

2.     E. E. Ellis, dkk, Nazar dalam Ensikopedi Alkitab Masa Kini,

3.     J. Vermon McGee, Joshua and Judges, (California: El Camino Press La Verne, 1976)

4.     Robert G. Boling, Judges – Anchor Bible, (Garden City: Doubleday & Company, 1975)

5.     Matthew Henry, Commentary on The Whole Bible (Rick Mayers Company: 1706)

6.     John Willis T, The Message of O. T. History, Vol. II, (Texas: Biblical Research Press, 1997)

7.     Dan Kent G, Layment’s Bible Book Commentary: Joshua, Judges, Ruth, Vol. 4, (Nashville: Brosdman Press, 1980)

8.     David M Gunn, Judges, (Blackwell Publishing, 2005), hal. 134. Lihat juga Arthur Bratley, “Let the Lord the Judge be Judge: Hobbes and Locke on Jepthan, Liberalism and Martyrdom”, dalam Law, Culture and the Humanities 1– 20 © The Author(s) 2017, h.4.,sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/1743872117708352 journals.sagepub.com/home/lch, diakses 25 April 2019.

9.     Tony W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient Near East, (Sheffield Academic Press, 1992)

10.  Philip J.King & Lawrence E. Stager, Life in Biblical Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001, terj: Robert Setio, (Jakarta: BPK G. Mulia, 2010)

11.  Roger Ryan, Judges, Reading: A New Biblical Commentary, (Shefield: Phoenix Press, 2007)

12.  Bible Work version 08

13.  Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks, Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)

14.  Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)

15.  Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2012)

16.  Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba, (Jakarta: BPK G. Mulia, 2006)



[1] Bani Amon adalah keturunan Aram yang tinggal di dekat sungai Yabok, sebelah timur Yordan. Dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa Ben-Ammi dan Lot adalah nenek moyang mereka.

[2] Nazir: orang yang dipisahkan atau dikhususkan untuk melayani Allah; juga sebagai penggenapan nazar (dari orang tua). Hal-hal tentang Nazir tertulis dalam Bilangan 6.

[3] Walter A. Elwell, ed, BAKER : Encyclopdia of The Bible, vol 2 J-Z (Michigan: Baker Book House, 1998), hal. 2128

[4] Mengenai Nazar Yakub, dapat dibaca dalam Kejadian 28:20-22. Lalu bernazarlah Yakub: “Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kemabali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.”

[5] E. E. Ellis, dkk, Nazar dalam Ensikopedi Alkitab Masa Kini, hal 142.

[6] J. Vermon McGee, Joshua and Judges, (California: El Camino Press La Verne, 1976), hal 178.

[7] Robert G. Boling, Judges – Anchor Bible, (Garden City: Doubleday & Company, 1975), hal. 206 – 210.

[8] Matthew Henry, Commentary on The Whole Bible (Rick Mayers Company: 1706)

[9] John Willis T, The Message of O. T. History, Vol. II, (Texas: Biblical Research Press, 1997) hal, 78.

[10] Hal ini tidak sesuai dengan peraturan seorang Nazir. Karena anak tidak berhak mensahkan atau membatalkan Nazar orang tuanya. Kecuali apabila anak yang bernazar, maka orang tuanya berhak membatalkan atau menyetujui (Bilangan 30:3-5).

[11] Dan Kent G, Layment’s Bible Book Commentary: Joshua, Judges, Ruth, Vol. 4, (Nashville: Brosdman Press, 1980) hal. 120-121.

[12] David M Gunn, Judges, (Blackwell Publishing, 2005), hal. 134. Lihat juga Arthur Bratley, “Let the Lord the Judge be Judge: Hobbes and Locke on Jepthan, Liberalism and Martyrdom”, dalam Law, Culture and the Humanities 1– 20 © The Author(s) 2017, h.4.,sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/1743872117708352 journals.sagepub.com/home/lch, diakses 25 April 2019.

[13] David M Gunn, Judges, hal. 134

[14] David M. Gunn, Judges, hal. 142

[15] David M. Gunn, Judges, hal. 137

[16] David M. Gunn, Judges, hal. 137

[17] David M. Gunn, Judges, hal. 148

[18] David M. Gunn, Judges, hal. 148

[19] David M. Gunn, Judges, hal. 139-140

[20] David M. Gunn, Judges, hal. 140

[21] David M. Gunn, Judges, hal. 139

[22] David M. Gunn, Judges, hal. 139-140

[23] David M. Gunn, Judges, hal. 150

[24] Tony W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient Near East, (Sheffield Academic Press, 1992),  hal. 30

[25] David M. Gunn, Judges, h 150

[26] Tony W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient Near East, (Sheffield Academic Press, 19920), h 3

 

[27] Hakim-Hakim 11-31

[28] David M. Gunn, Judges, h 135.

[29] Philip J.King & Lawrence E. Stager, Life in Biblical Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001, terj: Robert Setio, (Jakarta: BPK G. Mulia, 2010), h.412

[30] Tony W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient Near East, h. 30

[31] David M. Gunn, Judges, h. 135-136

[32] David M. Gunn, Judges, h. 138.

[33] Roger Ryan, Judges, Reading: A New Biblical Commentary, (Shefield: Phoenix Press, 2007), h.89

[34] Hakim-Hakim 11:35

[35] Kejadian 22:10

[36] Bible Work version 08

[37] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks, Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h ix

[38] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 540.

[39] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, h. 538-544

[40] Baca postingan dan komentar-komentar pemilik dua akun facebook dengan ribuan follower ini. https://www.facebook.com/UstadzFelixSiauw/?fref=ts dan https://www.facebook.com/ustadabujanda/?fref=ts diakses 8 Mei 2019

[41]   http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/14380761/asal.muasal.penelitian.kemendikbud.dan.temuan.sikap.intole ransi.di.sekolah dan http://www.wahidinstitute.org/wi-id/indeks-opini/280-intoleransi-kaum-pelajar.html , diakses 8 Mei 2019

[42] Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2012), h.368.

[43] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba, (Jakarta: BPK G. Mulia, 2006), h.66.

[44] Lihat berita di: https://news.detik.com/berita/d-3482588/sandiaga-cukur-rambut-pendukungnya-yang-nazar-dipilgub-dki, dan  https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-giman-jalan-kaki-malang-jakarta-demi-nazar-jokowimenang/selama-perjalanan-ke-yogya-giman-sudah-ganti-10-sandal.html, diakses 8 Mei 2019

[45] Lihat berbagai penafsiran sepanjang sejak abad pertama hingga abad ke-20 yang dipaparkan oleh David M.Gunn dalam David M. Gunn, Judges, h.134-169.

Post a Comment

0 Comments