Harga Sebuah Nazar
(Sebuah Studi Terhadap Pelajaran
Tafsir Perjanjian Lama dari umat dan tokoh Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29 – 40)
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ketika
saya sedang melakukan tugas stage sebagai
mahasiswa Sekolah Teologi di STTIA Surabaya Indonesia, saya menemui banyak
teman dan jemaat dengan berbagai-bagai pergumulan hidup mereka. Pergumulan
hidup itu antara lain adalah kesulitan ekonomi, sakit yang tak kunjung sembuh,
kehidupan rumah tangga yang bisa dikatakan sudah tidak harmonis, pergaulan
pemuda yang mengkhawatirkan orang tua dan masih banyak lagi. Belum lagi
pergumulan yang terkait dengan keinginan dan cita-cita jemaat dalam kehidupan
mereka masing-masing. Setiap orang harus berjuang untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, untuk dapat menggapai impian dan cita-citanya. Ketika
seseorang sedang berjanji maka akan ada yang harus ia korbankan dalam
perjuangannya itu, misalnya saja jika seseorang ingin lulus dan mendapat gelar
sarjana dari universitas tempat ia menuntut ilmu maka dia harus berjuang
melewati proses perkuliahan, ujian, dan penulisan skripsi. Seiring dengan hal
itu maka dia juga akan mengorbankan materi berupa uang untuk dapat membiayai
semua perkuliahannya. Jadi dapat saya katakana bahwa dalam setiap hal yang
diinginkan jemaat itu ada pengorbanan yang harus dilakukannya demi mencapai
keinginannya tersebut. Pengorbanan itu dapat berupa waktu, tenaga, pikiran, dan
materi atau uang. Pengorbanan yang dilakukan adalah semata-mata demi mencapai
keinginan tersebut.
Pergumulan-pergumulan,
harapan, cita-cita masing-masing orang pun ternyata mempengaruhi keimanan
mereka kepada Tuhan. Dalam khotbah-khotbah yang didengar jemaat di gereja,
mereka diajarkan untuk mengandalkan Tuhan dalam menghadapi persoalan hidup
mereka. Tuhan akan menolong setiap orang yang sungguh-sungguh datang
kepada-Nya. Tak jarang juga seseorang menjanjikan sesuatu kepada Tuhan agar
Tuhan berpihak kepadanya. Manusia bertaruh kepada Allah, demi mendapatkan apa
yang diinginkannya, demi keluar dari permasalahan yang menggerogoti hidupnya.
Dalam
kehidupan umat Kristen ada sesuatu yang disebut nazar. Orang bernazar untuk
memperoleh sesuatu. Ada hal yang ditawarkan sebagai pengganti jika apa yang dia
minta itu dikabulkan. Misalnya orang bernazar jika ia berhasil masuk perguruan
tinggi negeri maka dia akan memberikan uang persembahan ucapan syukur untuk
kelulusannya kepada Gereja. Bahkan beberapa mahasiswa teologi yang saya temui
mengatakan bahwa mereka masuk ke Fakultas Teologi awalnya adalah karena
bernazar. Di masa lampau dia mengadakan perjanjian dengan Tuhan dan Tuhan telah
mengabulkan permintaanya maka sekarang mereka masuk Fakultas Teologi. Yang
dipersembahkan adalah sesuatu yang dinilai berharga dan setiap orang sangat berusaha
menepati nazarnya.
Dalam
Alkitab, kita menemui kisah-kisah tentang para tokoh Alkitab yang bernazar
kepada Tuhan. Salah satu tokoh itu adalah Yefta. Yefta bernazar kepada Tuhan
dalam Hakim-Hakim 11:30 untuk mempersembahkan apapun yang keluar dari pntu
rumahnya sebagai milik Tuhan, dan akan dipersembahkan dalam bentuk korban
bakaran. Dan yang keluar dari pintu rumahnya itu adalah anak perempuannya
sendiri, anaknya satu-satunya. Pada masa itu, Yefta, orang Gilead, anak perempuan sundal, pemimpin
gerombolan di daerah Tob (Hakim-Hakim 11:1-3), di seberang sungai Yordan
dijemput oleh tua-tua Gilead karena Gilead diperangi bani Amon[1].
Pada saat hendak berperang, Yefta bernazar kepada Tuhan, katanya: “jika Engkau
sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu kedalam tanganku, maka apa yang
keluar dari pintu rumahku, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku
mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” (Hakim-Hakim 11:30-31).
Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah apakah tindakan Yefta ini merupakan kebiasaan
orang Israel dalam bernazar? Apakah yang dimaksud dengan Nazar bagi orang
Israel? Apa yang dimaksudkan bernazar dalam hukum Taurat? Dalam Perjanjian
Lama, ditemukan kata yang mengacu pada nazar. Orang atau barang atau binatang
yang digunakan untuk memenuhi nazar itu disebut Nazir[2].
Nazar terjadi antara manusia dengan Tuhan, dan akibatnya bisa berkepanjangan
atau bahkan bisa turun temurun.
Dalam
Alkitab, nazar adalah janji yang sungguh-sungguh kepada Allah (Mazmur 76: 12),
mempersembahkan korban-korban (Imamat 7:16 ; 22:18; Bilangan 15:3) atau sebagai
tindakan merendahkan diri (Bilangan 30:13), sebagai “imbalan” atas pemenuhan
isi perjanjian pihak Allah dengan manusia (yang bernazar). Dalam bagian lain,
nazar menunjukkan sebuah janji antara Allah dan manusia yang dilakukan oleh
manusia dan siap menepatinya (Kejadian 28:20-22), pantangan terhadap sesuatu
(Mazmur 132:2-5). Jadi, nazar adalah janji diri sendiri untuk berbuat atau
melakukan sesuatu jika maksud tercapai; namun janji yang dilakukan berlaku
secara mengikat dan penuh dengan nilai-nilai sacral karena terjadi di antara
hubungan manusia dengan Allah. seperti yang dilakukan oleh Yefta, ia berjanji
untuk mempersembahkan apa/siapa saja yang pertama kali keluar pintu rumahnya
untuk menyambutnya ketika pulang dari peperangan sebagai korban bakaran kepada
Tuhan. Dengan demikian hal yang diucapkan dalam nazar atau janji atau sumpah
selalu ada kata-kata seperti ini; “lalu/maka/kemudian bernazarlah ….. ; “jika
Allah …..”
Nazar
ditunjukan sebagai hasrat ingin memberikan yang terbaik kepada Allah sebagai
ekspresi ucapan syukur atas kebaikan yang telah diterima dari Allah atau
sesuatu yang berharga untuk membuktikan kesetian kepada Allah dengan cara
pematangan atau menahan hasrat yang berorientasi pada diri sendiri dan
menyesuaikan dengan kehendak Allah. [3]
1.2 Rumusan Masalah
Ketika
Allah membawa umat Israel keluar dari Mesir, ia memberikan Hukum Taurat untuk
mengatur kehidupan mereka terutama dalam hubungan Allah dengan manusia. Dalam
hubungan dengan Allah termasuk di dalamnya mengenai bagaimana manusia bisa
melayani Allah, membangun komunikasi dab konsekuensi-konsekuensi yang ada.
Salah satunya adalah tentang nazar. Kebiasaan bernazar bagi orang Israel
dimulai sejak Yakub di Bet’el (Ibrani : Rumah Allah).[4]
Dan akhirnya ketika bangsa Israel keluar dari Mesir, dalam perjalanan menuju
Kanaan, Allah memberikan aturan-aturan yang berhubungan dengan hal membuat dan
memenuhi nazar dalam Bilangan pasal 6.
Latar
belakang teks Alkitab di atas merupakan makna nazar bagi orang Israel dalam hal
bernazar dan bagaimana memenuhinya. Sekalipun demikian nazar bukanlah suatu
yang diharuskan bagi setiap orang Israel. Tetapi apabila ada orang yang hendak
bernazar, alangkah baiknya ia tidak hanya menggunakan iman, tetapi juga
menggunakan akal sehingga hal itu tidak menjadi sesuatu yang tidak berkenan
bagi Tuhan, selain itu, hal-hal lain yang layak ialah yang merupakan milik
Tuhan seperti anak sulung, buah bungaran, persepuluhan (Imamat 27:26).[5]
Sebaliknya ada hal-hal yang tidak boleh dinazarkan yaitu sesuatu yang merupakan
kekejian bagi Allah (Ulangan 33:11), tidak boleh dinazarkan atau dikuduskan
bagi Allah.
Sesungguhnya
dalam teks Alkitab yang lain mengemukakan bahwa nazar itu sendiri pada dirinya
tidaklah mengandung suatu apapun (Mazmur 51:16) dan dapat diucapkan oleh seorang
pengkhianat (2 Samuel 15:7) atau seorang sundal yang berpura-pura saleh (Amsal
7:14). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nazar merupakan inisiatif dari
manusia untuk melakukan sesuatu yang bersifat mengikat sehingga ia dapat
membuktikan bahwa dirinya juga dapat dipercayai atau juga anggapan yang paling
rendah ialah hanya untuk menyenangkan hatinya sendiri.
Dari
kutipan-kutipan ayat Alkitab tentang nazar seperti yang telah diuraikan di atas,
maka dalam penulisan makalah ini saya ingin mengangkat sebuah permasalahan
yaitu mengenai harga sebuah nazar. Kita bisa melihat pada akhirnya buah dari
nazar yang diucapkan Yefta adalah dia harus mempersembahkan anaknya sebagai
korban bakaran kepada Tuhan. Namun, apabila melihat segala Firman yang melarang
orang Israel mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran kepada Tuhan, maka
hal ini tidak dapat diterima. Allah sendiri tidak mengijinkannya untuk
mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran sekalipun sebuah nazar bukanlah
suatu guyonan atau permainan kata-kata yang kosong.[6]
Bagaimana
sebenarnya keterkaitan Tuhan dengan nazar itu? Anak perempuan Yefta adalah
salah satu dari sekian banyak karakter perempuan tak bernama dalam kitab
Hakim-Hakim. Cerita tentang anak perempuan Yefta ini sangat menyedihkan. Dia
adalah seorang yang ditawarkan ayahnya sendiri sebagai korban bakaran kepada
Allah dalam pemenuhan sebuah nazar. Dan yang lebih mengejutkan adalah dia tidak
memprotes hal tersebut, dia menerima takdir yang dibuat itu oleh nazar ayahnya
sendiri. Robert G. Boling memberikan komentar yang berbeda. Ia menyejajarkan
peristiwa ini dengan Abraham ketika mempersembahkan Ishak, dan Yefta merupakan
orang kedua yang melakukan persembahan anak. Yefta mengucapkan nazarnya setelah
Roh Allah turun atas dia oleh sebab itu dia yakin bahwa Tuhan pasti
memeliharanya. Namun pada saat anak perempuannya menemuinya, Roh Allah tidak
datang lagi untuk menguatkan Yefta. Masalahnya ialah bahwa nazarnya tidak bisa
dibatalkan.[7]
Apakah dapat dikatakan bahwa pristiwa Roh Allah turun ke atas Yefta adalah
untuk menguatkan dia menghadapi peperangan bukan untuk menginspirasikan dalam
membuat nazar sehingga ia sangat terkejut ketika yang menemuinya adalah anak
perempuannya satu-satunya?[8]
Yefta menawarkan kebebasan kepada Tuhan untuk mengambil apa saja, namun di luar
dirinya. Yefta mencoba berdagang dengan yang Ilahi. Ia berpikir
realistis-egoistis, untung rugi bertaruh. Ia tak pernah membayangkan bahwa anak
perempuannya satu-satunya yang justru datang menyambut dia dengan rebana,
nyanyi dan tawa mengekspresikan kerinduan, kebanggaan, sukacita atas kemenangan
sang ayah dari peperangan untuk kemudian ia menjadi tumbal di luar perkiraan.
Yefta sangat sedih tetapi ia tidak bisa keluar dari nazarnya. Ia harus mnerima
konsekuensi dari nazarnya yang tidak hati-hati.[9]
Tuhan tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan pengorbanan itu. allah tidak
melakukan intevensi apa pun ketika hal itu terjadi, tak sama seperti yang
dilakukan Allah saat Abraham hendak mengorbankan Ishak dalam cerita di Kejadian
22. Apakah peristiwa ini tepat seperti dugaan Boling?
Dalm
hal memenuhi nazar, Yefta mengikuti permintaan anaknya[10]
seperti yang dikatakan bahwa anak perempuan Yefta menghargai apa yang telah
dinazarkan ayahnya dan menyarankan ayahnya melakukannya.[11]
Kalau hal itu bertentangan dengan apa yang telah diperintahkan kepada orang
Israel, saya menduga sepertinya penulis kitab Hakim-Hakim ini ingin menunjukkan
sesuatu yang lain mengenai nazar ini. Apakah yang kira-kira ingin disampaikan
oleh penulis kitab Hakim-Hakim ini kepada pembacanya?
Dalam
relevansinya dan kehidupan sekarang dalam menghadapi penderitaan manusia dan
alam, apakah nazar kepada Tuhan dapat berguna? Apakah nazar akan memikat hati
Tuhan untuk berbelas kasih terhadap segala penderitaan manusia, atau manusia hanya
perlu berpasrah diri kepada Tuhan dan menunggu Tuhan memberikan kelegaan atau
mengusahakan apa yang bisa dilakukan manusia? Apakah nazar semata-mata hanya
untuk mendapat belas kasih Allah atau sebagai bentuk persembahan manusia atas
kesadarannya bahwa cinta kasih Allah tetap menyertai hidupnya? Lalu bagaimana
seharusnya jemaat memaknai harga yang harus dibayarkan dalam nazar?
1.3 Batasan Permasalahan
Saya
menyadari bahwa sebuah teks atau narasi tidak hanya membawa satu tema tertentu
saja. Di dalam sebuah teks pastilah tersirat berbagai pandangan dan tema
teologis yang ingin disampaikan oleh pengarang teks tersebut kepada pembacanya.
Demikian juga teks kitab Hakim-Hakim 11:29-40 ini. Karena itulah, saya ingin
membatasi tulisan ini dengan tema yang relevan dengan permasalahan yang hendak
dibahas. Saya akan memfokuskan perhatian pada tema yang berbicara tentang nazar
dan bagaimana hal itu direalisasikan dalam kehidupan kekristenan saat ini.
1.4 Rumusan Judul
Dari
permasalahan yang diangkat di atas maka saya memutuskan untuk memberi judul
pada tulisan ini, yaitu:
Harga Sebuah Nazar
(Sebuah Studi Terhadap Pelajaran
Tafsir Perjanjian Lama dari umat dan tokoh Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29 – 40)
1.5
Alasan Pemilihan Judul
Saya memilih judul diatas karena:
1. Dianggap
relevan dengan kehidupan umat Kristen sekarang ini, dimana di tengah-tengah
kesukaran hidupnya mereka sering bertaruh kepada Allah, mempertaruhkan sesuatu
yang mungkin saja belum tentu bisa mereka tepati. Apakah pertaruhan itu
merupakan sesuatu yang berguna untuk dilakukan atau tidak?
2. Pemahaman
tentang nazar perlu dikritisi ulang, dengan belajar dari kisah Yefta dan
tindakan Allah diharapkan dapat semakin membuka pemahaman umat Kristen tentang
nazar.
3. Dari
segi penafsiran Alkitab, maka narasi ini merupakan narasi yang kompleks dan
sangat menarik. Kisah nazar Yefta ini adalah salah satu kisah paling tragis
yang diceritakan dalam Alkitab, dan karenanya saya merasa perlu menafsir teks
ini dengan menggunakan tafsir naratif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Polemik – Polemik Tafsir
Mengenai Teks Hakim-Hakim 11:29-12:7
2.1.1 Polemik Mengenai Yefta dan
Nazarnya
David M Gunn memulai dengan
menjelaskan pandangan Josephus, seorang sejarawan Yahudi (37-100 M) dan
pengarang Psuedo-Philo. Josephus dan Pseudo-Philo mengajukan kecaman yang tegas
terhadap Yefta. Mereka menilai nazar Yefta telah menyebabkan kemarahan Tuhan.[12]
Yefta mengatakan “[…] apapun yang keluar dari pintu rumahku saat aku kembali
dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan
mempersembahkannya sebagai korban bakaran.” (Hak.11:31). Menurut mereka, Tuhan
akan bertanya bagaimana jika yang Yefta jumpai pertama kali adalah anjing
apakah ia juga akan mempersembahkannya bagi Tuhan?[13]
Kritikan terhadap Yefta dilanjutkan oleh penafsir-penafsir berikutnya, termasuk
Yohanes Calvin (1509-1564 M) dengan pertanyaan bahwa nazar Yefta adalah
kegegabahan yang menjebak dirinya sendiri ke dalam situasi yang buruk.[14]
Apabila Josephus, Pseudo-Philo dan
Yohanes Calvin mengecam Yefta, maka Ambrosius dan Thomas Morell justru
mengajukan pembelaan terhadap Yefta. Pertama, Ambrosius (339-397 M). Ia menyatakan
bahwa nazar Yefta bukan nazar yang disengaja, hanya tak terpikirkan. Ia
mengapresiasi Yefta sebab pada akhirnya ia menyesali nazarnya namun tetap
mewujudkannya dengan kesalehan yang takut dan penuh penghormatan pada Allah,
dan dirinya sendiri (yang ditnadai mengoyakkan bajunya) menjadi rujukan pada
tradisi tahunan untuk menagisi anaknya.[15]
Menurut David M Gunn, berdasarkan alas an tersbut Ambrosius tidak menyalahkan
Yefta karena keteguhan terhadap Nazarnya.[16]
Kedua, interprestasi dari penulis
lagu Thomas Morell (1703-1784 M) yang menuliskan dalam syair lagu rohani
berjudul “Jephthah” karya G.F Handell (1685-1758 M), bahwa kisah Yefta berakhir
bahagia (happy ending).[17]
Hal yang menarik adalah interprestasi ini didialogkan dengan drama Vondel dan
Euripides yang menghasilkan struktur nazar dengan pemaknaan yang unik. Intinya,
Yefta harus mendedikasikan puterinya bagi Allah dalam kemurniaan dan
keperawanan selama-lamanya, tetapi gadis itu bukanlah sasaran yang direncanakan
Yefta sejak semula untuk menjadi objek pengorbanan. Digambarkan bahwa malaikat
menjamin Yefta dengan berkata: “Roh Kudus yang mendiktekan nazarmu”.[18]
Interprestasi dalam seni lagu dan drama ini mengimplikasikan bahwa terdapat
peran Ilahi yang mempengaruhi Yefta untuk mengucapkan kalimat nazarnya.
Ketiga, pandangan yang melihat
pengorbanan puteri Yefta sebagai gambaran pengorbanan Yesus Kristus. Agustinus
murid Ambrosius (354-430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1274 M) seorang teolog
Dominican memaknai pengorbanan puteri Yefta sebagai gambaran darah pengorbanan
Kristus.[19]
Keduanya memang mengajukan kritik terhadap nazar pembelaan terhadap Yefta.
Agustinus misalnya melihat Yefta dan Gideon yang sama-sama menerima Roh Allah
dan sama-sama khilaf dan ujian Allah sebagai pelajaran bahwa Allah juga memakai
yang bercacat dalam pekerjaan-Nya.[20]
Sementara Thomas Aquinas terang-terangan mengajukan argumentasi pmebelaan,
meskipun pada saat yang sama mengkritisi Yefta.[21]
Pendekatan tipologi Agustinus dan Aquinas menempatkan kisah Yefta dalam
pandangan dogma Kristen. David M Gunn menyimpulkan pendekatan tipologi yang
mereka gagas tersebut demikian:
”Typologically speaking, Jephthah
continues to prefigure Christ, or sometimes God the Father. Who offered up his
only offspring, and the daughter to prefigure Christ’s humanity, or sometimes
the Church, offered during persecution. At the same time, however, Jephthah is
generally comdemned both for making the vow and for keeping it.”[22]
Meskipun mengkritisi nazar Yefta,
namun menurut saya, pendekatan tipologi yang menggambarkan Yefta sebagai figure
yang melambangkan Allah Bapa dan puteri Yefta sebagai lambing kemanusiaan
Kristus membuat kisah pengorbanan seorang anak gadis tersebut seolah menjadi
hal yang normal menurut doktrin Kristen yang mereka pahami kala itu.
Unsur lain menjadi polemik adalah
mengenai wujud pemenuhan nazar Yefta. Ada penafsir yang mengusulkan bahwa
pengorbanan yang dimaksud adalah penyembelihan sebagaimana dilakukan pada hewan
bakaran, sedangkan penafsir lain mengusulkan bahwa pengorbanan yang dimaksud
adalah hidup berselibat spanjang umur. Pemahaman bahwa putei Yefta
sungguh-sungguh disembelih, salah satunya datang dari kritukus Prancis,
Voltaire (1694-1778 M) yang melihat bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dapat
mnginjinkan pengorbanan darah manusia.[23]
Penjelasan Toni W. Cartledge mengenai nazar dalam Perjanjian Lama
mengisyaratkan pembenarannya pada penyembelihan puteri Yefta. Menurutnya,
menjadi kebiasaan di zaman Perjanjian Lama bahwa persembahan nazar harus sama
nilainya dengan permohonan nazar dan puteri Yefta sebagai contoh dimana
pengorbanannya menggaungkan darah kekerasan dari kemenangan yang diperoleh
ayahnya.[24]
Argumentasi bahwa puteri Yefta tidak
sungguh-sungguh mati misalnya datang dari penyair dan cendekiawan Abraham ben
Meier ibn Ezra (1092 ‑ 1167 M). ia meyakini bahwa Yefta tidak sungguh‑sungguh
mengorbankan puterinya sebagai korban bakaran melainkan membengun baginya rumah
untuk hidup dengan tekun dalam keperawanannya sebagai persembahan hidup bagi
Allah.[25] Pendapat
ini juga didukung oleh teolog puritan William Perkins (1558‑1602 M) yang
memahami bahwa Yefta memutuskan untuk mendedikasikan puterinya kepada Allah
seperti (sebagaimana layaknya) seorang nazir.[26]
Mengakui salah satu usulan tersebut
memiliki kerumitan masing-masing. Usulan pertama setidaknya mengandung
pertanyaan terkait konsistentsi Yahwe dalam menerima korban manusia. Pada kisah
Abraham Ia mengintervensi Abraham dan mengganti Ishak dengan domba jantan tapi
dalam kasus Yefta Ia diam. Usulan kedua menimbulkan kerumitan tekstual sebab
Yefta telah bersumpah akan mempersembahkan sebagai korban bakaran kepada TUHAN
apa yang keluar dari pintu rumahnya saat ia kembali.[27]
Berbagai spekulasi telah muncul
terkait masalah tersebut, misalnya diskusi para nabi dalam kaitan dengan aturan
tentang nazar gegabah dalam Imamat 5 dan aturan membayar nazar terutama tentang
manusia dalam Imamat 27, bahwa nazar Yefta bertentangan dengan hukum tentang
nazar.[28] Spekulasi
lain juga dapat muncul jika mempertimbangkan usulan Philip J.king dan Lawrence
E. Stager yang menemukan, biak dari sumber arkeologi maupun teks PL (mis. Mikha
6:6‑8), bahwa pada waktu tertentu pengorbanan anak sebagai korban bakaran
adalah ibadat resmi.[29]
Cartledge melihat bahwa pengorbanan puteri Yefta menggagungkan darah kekerasan
yang telah ia peroleh sebagai kemenangan dalam perang.[30]
2.2 Polemik Mengenai Puteri Yefta
dan Sikap Tuhan
Polemik
tafsir juga terjadi ada sosok puteri Yefta. Paling tidak ada tiga pandangan
penafsir mengenai dirinya. Pertama, usulan yang menyayangkan bahwa dia teraksa menjadi korban atas
kesalahan ayahnya. [31]Pandangan
ini melihat bahwa anak itu seutuhnya adalah korban nazar Yefta. Pandangan kedua
mengatakan bahwa meskiun ia harus menjadi korban namun ia merelekan dirinya
demi ayahnya.[32]
Tampak bahwa pandangan ini menempatkan anak itu sebagai teladan iman dan
pahlawan. Dan pandangan ketiga mengatakan bahwa sebelumnya ia sudah tau
mengenai nazar ayahnya dan dia sengaja memberikan dirinya sebagai korban.[33]
Dalam pandangan ini, anak Yefta adalah subyek yang merencanakan agar dirinya
menjadi korban; Artinya Yefta tidak bersalah. Sekilas pandangan ketiga ini
cukup logis jika melihat ekspresi Yefta yang mengoyak bajunya dan menuduh
mencelakakan dirinya.[34]
Tetapi kemungkinan itu masih harus diperiksa lebih lanjut mengingat bahwa di
ayat 37 anak Yefta memohon agar ayahnya memberinya keleluasaan untuk menangisi
kegadisannya bersama teman‑temanya. Keterangan ini dapat menjadi indikasi
ketidakastian gadis itu sebelumnya.
Pertanyaan yang juga penting adalah
mengenai reaksi Allah dalam peristiwa ini. Keterangan pada pasal 11:29 adalah
bahwa Roh Allah menghinggapi Yefta sebelum bernazar dan Allah menyerahkan bani
Amon kedalam tangan Yefta (Hak.11:31). Setelah peristiwa ini sikap Allah tidak
lagi ditemukan secara eskplisit dalam narasi. Apakah Allah setuju atau mengecam
tindakan Yefta ataupun puterinya tidak dijelaskan. Pertanyaan lain yang terkait
dengan itu adalah apakah kemenangan yang diberikan Allah kepada Yefta adalah
jawaban terhadap nazarnya atau seutuhnya adalah inisiatif Allah tanpa intevensi
Yefta?
Tidak mudah untuk memahami sikap
Allah sebab ppenulis melalui narrator kisah Yefta tidak memberi keterangan
mengenai sikap Allah. Kemungkinan ia tidak menganggap penting sikap Allah, atau
ia tahu bahwa hal tersebut tidak akan ditanyakan oleh pembacanya, atau mungkin
ia sengaja membuat hal itu menjadi misteri untuk maksud tertentu, ataukah
memang ia sendiri tidak tahu apa sikap Allah.
Kalau demikian sumber cerita ini
patut diselidiki lebih jauh terutama terkait dengan kepentingan penulis melalu
kisah ini. Ada keterangan pada pasal 11:40 bahwa dari tahun ke tahun anak-anak
perempuan Israel selama empat hari setahun meratapi anak perempuan Yefta, orang
Gilead itu. Apakah narasi ini ditulis hanya dengan maksud untuk menjelaskan latar
belakang tradisi ratapan itu karena Yefta adalah hakim yang kepahlawanannya
tersimpan baik dalam memori kolektif orang Israel, ataukah sepenuhnya penulis
atau editor teks Hakim-Hakim 11:29-12:7 hanya memanfaatkan cerita yang
berkembang ini untuk tujuan tertentu?
2.3 Pertanyaan Tentang Motif
Pembantaian Orang Efraim di Tepi Sungai Yordan
Riwayat
Yefta yang tidak kalah menarik adalah pembantaian sadis yang dilakukannya
bersama orang-orangnya terhadap orang-orang Efraim di tepi sungai Yordan. Bagi
saya, motif di balik pembantaian ini penting dianalisis sebab orang Gilead sama
sekali tidak memberi ampun kepada orang Efraim yang telah kalah dan ingin
menyebrang pulang kerumahnya. Analisis ini penting bagi saya sebagai pembaca
Alkitab di Indonesia untuk meningkatkan pemahaman mengenai konfilik dan
kekerasan dalam teks-teks Alkitab.
Pada pasal 12:6 “menyembelih” dari
kata Ibrani juga dipakai prosesi penyembelihan hewan ataupun korban bakaran,
misalnya dalam Imamat 1:5. Kta itu juga dipakai ketika Abraham hendak
menyembelih Ishak untuk dipersembahkan di mezbah untuk Allah.[35]
Latar belakang pembantaian sadis tersebut tidak begitu jelas dalam teks kecuali
tuduhan orang-orang Efraim bahwa Yefta berperang melawan Amon tanpa melibatkan
mereka dan karena orang-orang Gilead adalah pelarian Efraim.
Agak membingungkan jika dua alasan
tersebut di atas memotivasi tindakan sadis yang dilakukan Yefta dan
orang-orangnya. Pada permulaan cerita dijelaskan bahwa kemarahan datang dari
orang-orang Efraim, namun pembantaian justru dilakukan Yefta dan
orang-orangnya. Apakah mungkin ada faktor lain yang tidak diterangkan secara
eksplisit oleh penulis melalui narator kitab Hakim-hakim 12:1-7? Atau
mungkinkah pada teks itu sendiri terdapat clue
yang mengarahkan pembaca Hakim-hakim memahami pembantaian tersebut? Sebagai
pembaca kontemporer diperlukan kajian lebih lanjut mengenai latar belakang
konflik yang berakhir dengan penyembelihan ini. Pertanyaan yang tidak kalah
penting ialah mengapa pembantaian antar sesama Israel tersebut diceritakan
secara vulgar dalam narasi ini?
Kembali ke kata “menyembelih” yang
disebut sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa kata ini merupakan istilah kultus.
Menarik bahwa sepanjang Hakim-Hakim pasal 11 hingga pasal 12:1-7 tindakan dan
istilah yang terkait dengan kultus ditemukan beberapa kali. Beberapa contoh
misalnya: Pasal 11:11 “[…] Tetapi Yefta membawa seluruh perkaranya itu
kehadapan Tuhan menjadi korban bakaran; Pasal 11:39 bahwa Yefta memenuhi
nazarnya; dan kata “menyembelih” pada pasal 12:6. Jika memperhatikan indikasi
tersebut maka aspek-aspek kultus dalam narasi ini penting diteliti terutama
sebab bahasa-bahasa kultus ini diletakkan dalam narasi tragedi anak gadis Yefta
dan peperangan antara orang-orang Efraim dan orang-orang Gilead.
Dalam peristiwa peperangan antara
orang-orang Efraim dan orang-orang Gilead, menarik bahwa logat atau aksen
menjadi tand yang dipakai untuk mengenali musuh. Orang-orang Efraim tidak dapat
mengucapkan kata syibolet dengan
sempurna shingga berbunyi sibolet.
Tampaknya kedua kata itu mengandung arti berbeda. Syibolet berarti aliran sungai sedangkan sibolet tidak begitu jelas artinya tapi sering dihubungkan dengan
biji jagung atau gandum.[36]
Apakah ini berarti bawha perbedaan antara orang-orang Efraim dan orang-orang
Gilead memang begitu tajam? Apakah kata itu hanya sekedar kode pembeda atau
mengandung makna tertentu bagi penulis dan pembacanya?
2.4 Kisah Yefta dan Konteks
Indonesia
E.
G Singgih mengingatkan bahwa dalam upaya tafsir, “kita hanya bisa menangkap
makna sebuah teks dari masa lalu, kalau kita berangkat dari masa kini”.[37] Singgih sesungguhnya ingin
meningkatkan penafsir mengenai pentingnya menyadari konteks dunia di mana
penafsir berada lalu mendialogkan konteks itu dengan teks. Implikasinya adalah
teks Alkitab dapat menghasilkan makna yang bermanfaat bagi pembaca di setiap
zaman. Dalam kesadaraan itu, saya menganggap penting untuk memperhatikan
beberapa situasi sosial masyarakat Indonesia yang saya pandang memiliki kesesuaian
dengan kisah Yefta dalam Hakim-Hakim 11:29-12:7.
Pertama, konteks kejemukan.
Masyarakat Indonesia telah bersepakat menjadi satu bangsa tetapi hidup dalam
realitas kemajemukan suku, agama ras, dan antar-golongan (SARA). Realitas ini
memiliki kemiripan dengan keadaan bangsa Israel menurut tulisan dalam
Perjanjian Lama. Orang Israel terdiri atas dua belas suku namun mengaku sebagai
satu bangsa. Dalam teks Hakim-Hakim 12:1-7 diceritakan peperangan yang terjadi
di antara sesama orang Israel, yaitu orang Efraim dan orang Gilead.
Di Indonesia, kemajemukan seperti
pedang bermata dua. Pada satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan tetapi pada
sisi yang lain menjadi tantangan. Kemajemukan membuat orang Indonesia dapat
mempelajari banyak hal dan dapat saling memperkaya. Kemajemukan tersebut juga
menjadi daya Tarik bagi bangsa-bangsa lain untuk mempelajari
kebudayaan-kebudayaan di Indonesia atau sekedar menikmatinya sebagai obyek
wisata. Sayangnya, kemajemukan di Indonesia telah menimbulkan koknflik
identitas di beberapa tempat. Narasi Jan S. Aritonang mengenai konflik-konflik
Poso, Ambon dan Kalimantan pada tahun 1998 hingga 2002 memperlihatkan suasana
yang menyedihkan, menegangkan sekaligus mengenaskan. Ribuan orang mengungsi
dalam perasaan takut, sementara rumah-rumah dibakar. Penemuan mayat-mayat tanpa
kepala menunjukkan sadism yang dilakukan terhadap orang lain yang di anggap
musuh.[38]
Jumlah korban meninggal karena konflik-konflik tersebut diperkirakan mencapai
ribuan orang. Catatan Aritonang yang paling penting adalah bahwa situasi
politik di daerah-daerah tersebut sangat mempengaruhi meledaknya konflik fisik
dan isu SARA itu.[39]
Merujuk pada keterangan Aritonang tersebut, dapat dikatakan bahwa kemajemukan
identitas SARA telah dimanfaatkan sebagai alat politk kepentingan yang berujung
pada konflik berdarah.
Memori konflik dengan isu perbedaan
identitas kembali mengemuka pada perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada)
di Jakarta Oktober 2016 hingga April 2017 lalu. Ungkapan-ungkapan kebencian
atas nama identitas juga ditebar secara massif di media sosial. Meskipun
kepolisian telah tegas menindak para penebar kebencian, tetapi tulisan-tulisan
di media sosial masih dipenuhi sindiran-sindiran kebencian terhadap yang lain.[40]
Laporan berita online Kompas dan temuan
Wahidinsitute memaparkan temuan-temuan sikap intoleransi anak-anak di sekolah.[41]
Data-data ini mengindikasikan dua hal. Pertama, perbedaan indentitas SARA
ditunggangi sebagai kendaraan politik electoral. Kedua, kebencian terhadap
orang lain yang berbeda identitas tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa
tapi juga di kalangan anak-anak, generasi bangsa.
Konflik-konflik berlatar belakang
perbedaan identitas di atas mengingatkan pada situasi masyarakat Indonesia pada
priode penjajahan. Politik divide et
impera yang di tetapkan pemerintah kolonial Belanda menanamkan prasangka
bahkan kebencian terhadap mereka yang berbeda indentitas SARA. Meskipun pasca
kemerdekaan gagasan persatuan bangsa terus dikumandangkan, namun pransangka,
kebencian dan konflik atas nama identitas masih terjadi hingga saat ini. Di
kalangan orang-orang Kristen sendiri telah mengakar prasangka terhadap Islam.
Julianus Mojau menyebut prasangka tersebut sebagai mentalitas Islamic phobia.[42]
Dengan demikian pola taktik politik divide
et impera yang digagas pemerintah kolonial masih tampak hingga saat ini
melalu taktik politisasi kemajemukan indentitas SARA di Indonesia.
Kedua, konteks ketidak adilan dan
diskriminasi. Belakangan ini banyak kasus persekusi yang dilakukan oleh oknum
ataupun kelompok tertentu terhadap orang atau kelompok lain yang dianggap
berbeda identitas dan ideology dengannya. Tidak jarang kaum perempuan dan anak
menjadi korban baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun psikis. Keadaan
demikian dapat diperjumpakan dengan teks Hakim-Hakim 11:29-12:7 yang bercerita
mengenai penderitaan yang harus diterima oleh Puteri Yefta karena nazar ayahnya
dan perang antara orang Efraim dengan Yefta (bersama orang Gilead) yang
menggunakan bahasa (symbol indentitas) dalam proses pembantaian di tepi sungai
Yordan.
Ketiga, konteks religiositas dan
politik serta kaitannya dengan praktik nazar. Orang Indonesia mengaku sebagai
bangsa yang religius. Adanya enam agama dan ratusan aliran kepercayaan yang
telah diakui oleh negara adalah tanda bahwa masyarakat Indonesia sangat
religius. Praktik nazar di kalangan orang Kristen di Indonesia merupakan bagian
dari penghayatan religiositas tersebut. Penganut agama Kristen (mungkin juga
Islam) mengenal nazar dari tradisi Kitab Sucinya. Tetapi agama-agama lokal
sebelum Kristen telah mengenal praktik nazar. Harun Hadiwijono misalnya,
menemukan bahwa praktik bernazar dilakukan juga oleh masyarakat suku Dayak
Ngaju di Kalimantan.[43]
Unsur-unsur dalam religiusitas lokal tersebut berjumpa dengan agama-agama
global yang juga mengandung penghayatan-penghayatan demikian. Apa yang ingin
saya terangkan disini adalah kenyataan bahwa nazar bukanlah hal yang aneh bagi
masyarakat Indonesia melainkan menjadi salah satu bagian dari praktik
religiositasnya.
Belakangan ini praktik nazar yang
semula merupakan bagian dari penghayatan religius telah dipakai dalam ranah
politik elektoral. Misalnya saja ada orang yang bernazar mencukur rambutnya
atau berjalan kaki sejauh ratusan kilo meter bila elit politik yang diusungnya
memenangkan kontetasi politik.[44]
Bahkan ada orang yang bernazar akan memotong bagian tubuhnya atau bertelanjang
jika pilihan politiknya benar atau menang. Tampaknya nazar telah menjadi
istilah yang dipakai secara royal dan sangat mungkin digunakan dalam
berbagai-bagai kepentingan.
2.5 Mencari Pendekatan Terhadap
Teks Hakim-Hakim 11:29-12:7
Para
penafsir telah berupaya menganalisis aspek etis dalam teks. Para penafsir pada
umunya berupaya memberi penilaian etis terhadap tindakan Yefta dan menguak
teka-teki dalam teks seperti: Sikap Tuhan terhadap nazar dan korban nazar
Yefta, apa sesungguhnya yang diharapkan yefta sebagai korban nazar, dan
benarkah puteri Yefta menjadi korban bakaran. Beberapa pendekatan yang telah
dipakai antara lain; Tafsir inter-tekstual sebagaimana dilakukan Josephus dan
para rabi Yahudi yang lain dengan menhubungkan teks Yefta. Yohanes Calvin
membaca teks Yefta dengan prespektif moral-etik. Pendekatan lain adalah
mendialogkan drama Vondel dan Euipades sebagaimana tampak dalam syair lagu
karya Handell.
Menurut saya polemik-polemik yang
muncul dari kalangan para penafsir disebabkan karena mereka hanya
memperlihatkan aspek intrinsik/sinkronik teks tanpa menganalisis motif-motif
ideology yang membentuk teks. Penafsir umumnya kurang memberi perhatian pada
motivasi atau ideology Yefta serta tujuan penulisan, sehingga penilaian terhadap
Yefta berhenti pada penilaian moral dan etika klultus saja.[45]
Menurut saya, motif ideologis penting dianalisis agar kesan tragis dan
membingungkan pada teks dapat dipahami menurut konteks pembaca/penafsir. Dalam
upaya tafsir ini saya berusaha untuk melepaskan diri polemic tafsir
berkepanjangan dikalangan penafsir dan berfokus pada fungsi teks bagi
penulisnya dan pemaknaan terhadap maksud penulis tersebut menurut konteks
Keindonesiaan penafsir.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan yang saya ambil dari
nazar Yefta adalah setiap umat manusia siapa saja orang nya baik muda maupun
tua bolehlah ia bernazar sesuai dengan kemampuannya, dan nazar yang telah di
janjikan nya haruslah di tepati sesuai dengan apa yang telah di janjikannya
dalam nazar tersebut. Sama halnya dengan berutang, semua orang boleh berutang
asal sanggup membayar apa yang telah dipinjamnya kepada orang yang telah
memberi pinjaman dan memakai pinjaman tersebut dengan maksud dan tujuan yang
baik, jika disalah gunakan maka akan berdampak bagi peminjam uang tersebut, begitu
juga dengan nazar yang telah kita janjikan kepada Tuhan, bila kita tepati maka
Tuhan akan selalu memberkati kita dalam segala hal dan mendatangkan kebaikan
bila nazar yang kita lakukan memiliki maksud dan tujuan yang baik.
Pandangan saya bahwa benar Yefta
sungguh-sungguh mempersembahkan anaknya untuk korban bakaran. Alasannya
seklaipun Yefta seorang Hakim tetapi persetujuan Allah atas seseorang di satu
bidang tidak menjamin persetujuannya di segala bidang. Contohnya Daud, seorang
yang diurapi tetapi tidak semua tindakannya bisa menjadi teladan bagi orang
percaya. Yefta mengetahui hukum Musa tetapi tidak menajamin bahwa apa yang ia
tahu selalu ia lakukan. Jika pengorbanan Yefta itu diartikan dengan penyerahan
anaknya untuk kehidupan melajang, tak satu kata pun dalam bacaan itu yang
mengatakannya. Sebenarnya Yefta bisa membayar pengganti korban anaknya itu
dengan uang (Im 27:1-8) tetapi Yefta tidak melakukannya. Pandangan yang menolak
bahwa Yefta sungguh-sungguh mempersembahkan anaknya untuk korban bakaran.
Alsannya adalah sebab berkali-kali Allah dengan keras melarang mempersembahkan
manusia sebagai korban bakaran (Im 18:21; 20:2-5; Ul 12:31; 18:10). Tentu sama
sekali tidak pernah terbanyangkan oleh Yefta atau orang Israel mana pun bahwa
dia dapar menyenangkan Allah dengan kekejian. Apalagi Yefta adalah seorang
Hakim. Yang dilakukan Yefta dalam mempersembahkan anaknya itu lebih menunjuk
kepada praktek penyerahan anak untuk melayani Tuhan seumur hidupnya. Andai saja
Yefta melakukan tindakan keji, maka namanya tidak akan pernah dicatat sebagai
salah satu pahlawan Iman (Ibr 11).
Datar
Pustaka
1.
Walter A. Elwell, ed, BAKER : Encyclopdia of The Bible, vol 2 J-Z (Michigan:
Baker Book House, 1998)
2.
E.
E. Ellis, dkk, Nazar dalam Ensikopedi
Alkitab Masa Kini,
3.
J.
Vermon McGee, Joshua and Judges,
(California: El Camino Press La Verne, 1976)
4.
Robert
G. Boling, Judges – Anchor Bible,
(Garden City: Doubleday & Company, 1975)
5.
Matthew
Henry, Commentary on The Whole Bible
(Rick Mayers Company: 1706)
6.
John
Willis T, The Message of O. T. History,
Vol. II, (Texas: Biblical Research Press, 1997)
7.
Dan
Kent G, Layment’s Bible Book Commentary: Joshua, Judges, Ruth, Vol. 4,
(Nashville: Brosdman Press, 1980)
8.
David
M Gunn, Judges, (Blackwell Publishing,
2005), hal. 134. Lihat juga Arthur Bratley, “Let the Lord the Judge be Judge:
Hobbes and Locke on Jepthan, Liberalism and Martyrdom”, dalam Law, Culture and the Humanities 1– 20 © The
Author(s) 2017, h.4.,sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/1743872117708352
journals.sagepub.com/home/lch,
diakses 25 April 2019.
9.
Tony
W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient Near East, (Sheffield
Academic Press, 1992)
10.
Philip
J.King & Lawrence E. Stager, Life in Biblical Israel, Louisville, Kentucky:
Westminster John Knox Press, 2001, terj: Robert Setio, (Jakarta: BPK G. Mulia,
2010)
11.
Roger
Ryan, Judges, Reading: A New Biblical Commentary, (Shefield: Phoenix Press,
2007)
12.
Bible
Work version 08
13.
Emanuel
Gerrit Singgih, Dua Konteks,
Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)
14.
Jan
S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen
dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)
15.
Julianus Mojau, Meniadakan atau
Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia,
(Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2012)
16.
Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba,
(Jakarta: BPK G. Mulia, 2006)
[1] Bani Amon adalah keturunan Aram
yang tinggal di dekat sungai Yabok, sebelah timur Yordan. Dalam beberapa sumber
menyebutkan bahwa Ben-Ammi dan Lot adalah nenek moyang mereka.
[2] Nazir: orang yang dipisahkan atau
dikhususkan untuk melayani Allah; juga sebagai penggenapan nazar (dari orang
tua). Hal-hal tentang Nazir tertulis dalam Bilangan 6.
[3] Walter A. Elwell, ed, BAKER : Encyclopdia of The Bible, vol 2 J-Z (Michigan:
Baker Book House, 1998), hal. 2128
[4] Mengenai Nazar Yakub, dapat
dibaca dalam Kejadian 28:20-22. Lalu bernazarlah Yakub: “Jika Allah akan
menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan
kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat
kemabali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang
kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala yang Engkau
berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.”
[5] E. E. Ellis, dkk, Nazar dalam Ensikopedi Alkitab Masa Kini,
hal 142.
[6] J. Vermon McGee, Joshua and Judges, (California: El
Camino Press La Verne, 1976), hal 178.
[7] Robert G. Boling, Judges – Anchor Bible, (Garden City:
Doubleday & Company, 1975), hal. 206 – 210.
[8] Matthew Henry, Commentary on The Whole Bible (Rick
Mayers Company: 1706)
[9] John Willis T, The Message of O. T. History, Vol. II,
(Texas: Biblical Research Press, 1997) hal, 78.
[10] Hal ini tidak sesuai dengan
peraturan seorang Nazir. Karena anak tidak berhak mensahkan atau membatalkan
Nazar orang tuanya. Kecuali apabila anak yang bernazar, maka orang tuanya
berhak membatalkan atau menyetujui (Bilangan 30:3-5).
[11] Dan Kent G, Layment’s Bible Book
Commentary: Joshua, Judges, Ruth, Vol. 4, (Nashville: Brosdman Press, 1980)
hal. 120-121.
[12] David M Gunn, Judges, (Blackwell Publishing, 2005),
hal. 134. Lihat juga Arthur Bratley, “Let the Lord the Judge be Judge: Hobbes
and Locke on Jepthan, Liberalism and Martyrdom”, dalam Law, Culture and the Humanities 1– 20 © The Author(s) 2017,
h.4.,sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/1743872117708352
journals.sagepub.com/home/lch,
diakses 25 April 2019.
[13] David M Gunn, Judges, hal. 134
[14] David M. Gunn, Judges, hal. 142
[15] David M. Gunn, Judges, hal. 137
[16] David M. Gunn, Judges, hal. 137
[17] David M. Gunn, Judges, hal. 148
[18] David M. Gunn, Judges, hal. 148
[19] David M. Gunn, Judges, hal. 139-140
[20] David M. Gunn, Judges, hal. 140
[21] David M. Gunn, Judges, hal. 139
[22] David M. Gunn, Judges, hal. 139-140
[23] David M. Gunn, Judges, hal. 150
[24] Tony W. Cartledge, Vows In The
Hebrew Bible and The Ancient Near East, (Sheffield Academic Press, 1992), hal. 30
[25] David M. Gunn, Judges, h 150
[26] Tony W. Cartledge, Vows In The Hebrew Bible and The Ancient
Near East, (Sheffield Academic Press, 19920), h 3
[27] Hakim-Hakim 11-31
[28] David M. Gunn, Judges, h 135.
[29] Philip J.King & Lawrence E.
Stager, Life in Biblical Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox
Press, 2001, terj: Robert Setio, (Jakarta: BPK G. Mulia, 2010), h.412
[30] Tony W. Cartledge, Vows In The
Hebrew Bible and The Ancient Near East, h. 30
[31] David M. Gunn, Judges, h. 135-136
[32] David M. Gunn, Judges, h. 138.
[33] Roger Ryan, Judges, Reading: A
New Biblical Commentary, (Shefield: Phoenix Press, 2007), h.89
[34] Hakim-Hakim 11:35
[35] Kejadian 22:10
[36] Bible Work version 08
[37] Emanuel Gerrit Singgih, Dua Konteks, Tafsir-tafsir Perjanjian Lama
sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012), h ix
[38] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 540.
[39] Jan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, h. 538-544
[40] Baca postingan dan
komentar-komentar pemilik dua akun facebook dengan ribuan follower ini.
https://www.facebook.com/UstadzFelixSiauw/?fref=ts dan
https://www.facebook.com/ustadabujanda/?fref=ts diakses 8 Mei 2019
[41] http://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/14380761/asal.muasal.penelitian.kemendikbud.dan.temuan.sikap.intole
ransi.di.sekolah dan http://www.wahidinstitute.org/wi-id/indeks-opini/280-intoleransi-kaum-pelajar.html
, diakses 8 Mei 2019
[42] Julianus Mojau, Meniadakan atau
Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia,
(Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2012), h.368.
[43] Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba,
(Jakarta: BPK G. Mulia, 2006), h.66.
[44] Lihat berita di:
https://news.detik.com/berita/d-3482588/sandiaga-cukur-rambut-pendukungnya-yang-nazar-dipilgub-dki,
dan
https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-giman-jalan-kaki-malang-jakarta-demi-nazar-jokowimenang/selama-perjalanan-ke-yogya-giman-sudah-ganti-10-sandal.html,
diakses 8 Mei 2019
[45] Lihat berbagai penafsiran
sepanjang sejak abad pertama hingga abad ke-20 yang dipaparkan oleh David
M.Gunn dalam David M. Gunn, Judges, h.134-169.
0 Comments