Halal Bi Halal: Alasan dan Manfaatnya Bagi Masyarakat Muslim Indonesia Khususnya di Indonesia


Abstrak

Halal bi halal adalah salah satu acara khas yang di lakukan masyarakat muslim rumpun Melayu Indonesia untuk merayakan hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan pada bulan Ramadhan. Mereka melakukan acara ini dengan sebuah alasan dasar, yaitu ingin berkumpul bersama keluarga,  saudara, kerabat, dan para tetangga. Pada saat itu, mereka saling membuka hati unuk memaafkan segala kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja. Kegiatan halal nil halal ini memiliki manfaat sebagai media untuk saling berkumpul,  saling memberi kasih sayang,  serta berbagi cerita pengalaman. Dengan demikian, tingkat persaudaraan dan persatuan di antara mereka makin kuat seperti yang ditekankan dalam ajaran agama Islam.

            Kata kunci: halal bi halal, persaudaraan, persatuan, Islam

I. Pendahuluan

1.1  Latar Belakang

Setiap muslim menyadari bahwa dosa yang paling sering dilakukan manusia adlah kesalahan terhadap sesamanya. Seorang manusia dapat memiliki rasa permusuhan, pertikaian, dan saling menyakiti. Idul Fitri merupakan momen penting untuk saling memaafkan, baik secara individu maupun kelompok. Menurut Dr. Quraish Shibab (Shibab, 1992: 317), budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal bi halal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di negara-negara rumpun Melayu, khususnya di Indonesia, dan telah menjadi tradisi. Bahkan, acara halal bi halal selalu marak pada setiap perayaan Idul Fitri. Dalam kesempatan ini, semua yang berkhendak unutk berhalal bi halal meminta maaf atas kekhilafan yang dibuat. Hala bi halal pada Idul Fitri, khusunya bagi umat muslim di Jakarta, mampu menembus berabgai sekat, baik tingkat sosial-ekonomi, etnisitas, keagamaan, maupun ideologi politik. Ada halal bi halal RT, desa kelurahan; ada halal bi halal kantor atau perusahaan; ada halal bi halal pegawai, guru, atau dokter; ada pula halal bi halal partai. Walaupun  umat muslim terbesar di berbagai belahan dunia, acara halal bil halal hanya di lakukan oleh masyarakat rumpun melayu Indonesia. Sementara masyarakat muslim lainnya tidak mengenal kegiatan ini.

             Berdasarkan fenomena di atas, menarik untuk diketahui apa sesungguhnya acara halal bil halal bagi umat muslim rumpun melayu Indonesia, khususnya di Jakarta, melalui sebuah penelitian lapangan. selain itu, menarik pula untuk diketahui apakah acara tersebut hanya dilakukan oleh umat muslim rumpun Melayu,seperti yang dikemukakan Dr. Quraish Shibab dalam bukunya yang berjudul membumikan Al-quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan Masyarakat(1992: 317). Karena itu, sebuah penelitian lapangan dengan topik ”Halal Bi Halal: Alasan dan Manfaatnya bagi Masyarakat Muslim Indonesia, khusunya Jakarta” di lakukan.

 

1.2  Masalah

Halal bi halal merupakan acara yang unik karena hanya di lakukan oleh masyarakat muslim rumpun Melayu, yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat muslim Melayu Indonesia. Menilik fenomena ini, muncul sebagai masalah :

1.     Sebenarnya, apa yang menjadi alasan masyarakat muslim Indonesia khususnya di Jakarta, mengadakan acara halal bi halal ?

2.     Apa manfaat diadakannya acara tersebut bagi mereka ?

3.     Bagaimana cara mereke mengadakan acara tersebut ?

4.     Apakah acara tersebut dilakukan oleh sekelompok etnis tertentu ?


1.3  Tujuan Penelitian

Penelitian di lakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui alasan yang sebenarnya mengapa masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Jakarta, mengadakan acara halal bi halal.

2. Mengetahui manfaat diadakannya acara halal bi halal bagi mereka.

3. Mengetahui bagaimana mereka mengadakan acar halal bi halal .

4. Mengetahui apakah acara tersebut dilakukan oleh sekelompok etnis tertentu.

 

1.4  Manfaat Penelitian

            Penelitian ini bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui acara halal bi halal sebagi salah satu budaya muslim rumpun Melayu Indonesia. Selain itu, penelitian ini akan menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin berbaur dengan masyarakat muslim rumpun Melayu Indonesia, khususnya pada saat Lebaran.

 1.5 Ruang Lingkup dan Metode Penelitian

       Ruang Lingkup penelitian ini adalah umat muslim yang tinggal di daerah Pejanten, Jakarta Selatan, sejumlah 50 orang.

      Dalam melakukan penilitian, metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah penelitian lapangan dengan teknik penyebaran kuesioner secara acak kepada masyarakat Jakarta dan teknik wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat di Jakarta. 

II.  Analisis

2.1  Makna Halal bi Halal

      Menurut Dr. Quraish shibab (1992: 317), halal bi halal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab ’halal’ memiliki dua makna. Pertama memiliki arti ’diperkenankan’. Dalam pengertian pertama ini, kata ’halal’ adalah lawan dari kata ’haram’. Kedua, berarti ’baik’. Dalam pengertian kedua, berarti ’baik’. Dalam pengertian kedua, kata ’halal’ terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Jadi, makna halal dalam tulisan ini adalah ’diperkenankan’, yaitu yang baik dan yang menyenangkan.

      Meskipun kata halal bil halal ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang penulis ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal bil halal yang merupakan hasil kreativitas umat muslim di Indonesia. Halal bil halal, tidak lain, adalah refleksi ajaran Islam di tengah masyarakt Muslim Indonesia dan sudah menjadi tradisi khas dan unik dari bangsa ini. Melalui acara halal bil halal, ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih saying terefleksikan dengan baik. Dalam pengertian yang lebih luas, halal bil halal adalah acara maaf-maafan pada hari Lebaran. Keberadaaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa dan yang dilandasi iman.

      Berangkat dari makna halal bi halal seperti tersebut di atas pesan universal Islam untuk selalu bebuat baik, memaafkan orang lain, dan saling berbagi kasih sayang hendaknya tetap menjadi warna masyarakat muslim Indonesia. Akhirnya, islam di wilayah ini adalah Islam rahmatan lil alamiin.

2.2  Landasan Teologis Halal Bi Halal

      Sebagai sebuah tradisi khas, apakah halal bi halal memiliki landasan teologis? Dalam Alquran (Ali imron 134-135), diperintahkan bagi seorang muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain. Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling memaafkan, halal bi halal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalu aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan suatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan.

      Melaksanakan halal bi halal seharusnya tidak hanya dengan memaafkan yang biasanya hanya memlalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain. Perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak hanya di lakukan saat Lebaran, tetapi harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal bi halal yang merupakan tradisi khas tersebut merefleksikan bahwa islam di Negara ini sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba dalam kebajikan. Ini sesuai dengan firman Allah, ”Dan bagi tiap-tiap umat kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan.” (Qs Al-baqarah [2]:148)

      Titik tekan ayat di atas pada berbuat kebaikan dan prilaku berorientasi nilai. Prilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (swt), ”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu sudah kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang  sabar dalam kesempitan, benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang betakwa” (Qs Al-baqarah [2]:177).

2.3  Hasil kuesioner Penelitian, Wawancara, dan Pembahasan

2.3.1  Informasi Umum

        Pada bulan Juni tahun 2006, 50 warga Muslim Pejanten terpilih secara acak menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang alasan dan manfaat diadakannya acara halal bi halal. Jumlah responden ini merupakan campuran orang dari bermacam umur, jenis kelamin, dan bidang pekerjaan (staf administrasi, karyawan dan lain-lain). Jumlah wanita dan pria yang menjawab kuesioner penilitian ini hampir sama, yaitu 29 responden pria dan 21 responden wanita. Selain itu, berdasarkan latar belakang etnis, diketahui sejumlah 23 responden berasal dari suku Sunda, 19 responden berasal dari suku Jawa, dan 8 responden berasal dari Sumatra ( suku Minangkabau, Melayu Riau, dan Palembang).

2.3.2    Pengetahuan tentang Halal bi Halal

      Dari 50 responden, semua menjawab tahu kata hala bi halal dan semua menjawab bahwa mereka tahu kata halal bi hala dari keluarga. Namun, ketika menjawab apakah mereka tahu makna kata itu, jawaban yang terkumpul beragam: 50 responden menjawab bahwa makna halal bi halal adalah ‘berkumpul bersama keluarga’ ‘mengunjungi sana saudara’, ‘mengunjungi teman dan tetangga’, ‘saling memaafkan’. Selain itu, mereka juga menjawab bahwa halal bi hala adalah ‘meningkatkan rasa persaudaraan’ (32 responden0, ‘meningkatkan rasa persatuan antar muslim’ (23 responden), dan ‘sudah tradisi’ (29 responden).

      Dari hasil ini disimpulkan bahwa semua responden mengetahui dan memahami makna kata halal bi halal sebagai acara kunjungan untuk berkumpul bersama dan saling memaafkan yang sudah menjadi tradisi sehingga rasa persaudaraan dan persatuan di antara mereka dapa mengikat.

      Pertanyaan ‘Apakah anda selalu melakukan acara halal bi halal?’ di jawab ‘ya’ oleh 41 responden dan ‘Tidak selalu’ oleh 9 responden. Jawaban tersebut berhubungan dengan jawaban atas pertanyaan ‘Sebenarnya menurut Anda, perluka acara halal bi halal itu?’ yang di jawab ‘Ya’ oleh 41 responden dan ‘Tidak’ oleh 9 responden. Alasan mereka bahwa acara halal bi halal itu perlu juga beragam, yaitu ‘ karena baik untuk menjaga rasa persaudaraan dan persatuan antar muslim’ (31 responden), ‘karena taradisi yang haru dipertahankan’ (25 responden), karena baik dan sesuai ajaran Islam’ (30 responden), ‘karena lama tidak berkumpul/rindu’ (41 responden), ‘karena saat yang tepat untuk berbagi cerita tentang pengalaman dan sebagainya’ (7 responden), dan ‘karena saat yang tepat untuk saling memaafkan, (37 responden). Sementara itu, mereka yang menjawab bahwa acara halal bi halal tidak perlu memberikan penjelasan, seperti ‘malas karena letaknya jauh’ (5 responden) dan ‘tidak ada yang menemani untuk pergi kesana’ (4 responden). Selanjutnya, alasan mereka melakukan acara halal bi halal adalah ‘karena sudah tradisi’ (50 responden), ‘ingin menjaga ras persaudaraan dan persatuan di lingkungan sekitar’ (41 responden), ‘karena ada dalam ajaran Islam’ (31 responden), dan ‘karena rindu untuk berkumpul lagi dengan kelurga, sanak saudara, dan teman, (47 orang).

      Hasil kuesioner ini menarik karena ternyata ada responden yang keberatan mengikuti aca halal bi halal dengan alasan ‘jaraknya jauh’ dan ‘tidak ada teman untuk pergi kesana’. Hal ini juga didukung dari wawancara yang dilakukan. Seorang responden yang juga bersedia diwawancarai memberi penjelasan mengenai hal ini.

      Saya piker itu tergantung orang. Kalau saya sendiri tidak merasa perlu ikut acara halal bi halal kalau acaranya jauh dari rumah terus istri saya juga malas pergi. Lagi pula, orang-orang yang datang juga sudah ketemu sama saya. Jadi, saya malas ikut. Tapi,kalau acara itu penting untuk karier saya, tentu saja saya bela-belain datang.

      Pendapar responden yang diwawancarai ini juga mendukung hasil kuesioner untuk pertanyaan ‘Seandainya saudara tidak dapat mengikuti acara hala bi hala yang dilaksanakan di rumah kakek/ayah Saudara, bagaimana perasaan saudara?’ Dari pertanyaan itu, diperoleh jawaban ‘sedih’ sejumlah 45 responden dan ‘biasa saja’ sejumlah 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menganggap perlu untuk ikut dalam aca halal bi halal.

      Adapun cara mereka melakukan acara halal bi halal juga bergantung pada tradisi yang ada. Hal ini terungkap dari hasil kuesioner untuk pertanyaan ‘Bagaimana acara halal bi halal itu diadakan?’ Semua responden (50 orang) menjawa bahwa mereka melakukan acara tersebut seperti yang dilakukan sebelumnya oleh orang kebanyakan, yaitu berkumoul bersama saling memaafkan, bersilaturahmi, dan berbagi cerita serta pengalaman. Acara ini hanya untuk menyatukan kelurga besar walaupun di antara mereka ada yang sering bertemu setiap harinya. Mereka tidak terlalu peduli bagaimana acara halal bi halal itu diadakan. Menurut mereka, yang penting berkumpul bersama. Pada dasarnya, jawaban mereka (50 responden) sama, yaitu hanya mengikuti tradisi berkumpul bersama untuk bersilaturahmi.

      Selanjutnya, ketika diminta untuk menjawab ‘Tahukah Saudara acara halal bi halal tidak ada di negeri muslim lainnya, selain Indonesia?’, yang menjawab ‘Ya’ ada 38 responden, sisanya 12 responden menjawab ‘Tidak’. Yang mejawab “Ya” menjelaskan bahwa mereka tahu mengenai informasi ‘dari keluarga’ (19 responden) ‘dari sekolah (buku,guru)’ (10 responden), dan dari media massa’ (9 responden). Setelah dilakukan pengecekan, yang menjawab ‘Tidak’ berasal dari suku Jawa (7 responden) dan Sunda (5 responden). Untuk mengetahui permasalahan ini dengan lebih jelas, dilakukan wawancara kepada seorang sosiolog Islam, Bapak A. Mudjab Mahali.

      Memang ada yang tidak tahu kalau acara halal bi halal ini hanya dilakukan di sini, tidak dilakukan di negara muslim lainnya. Ini disebabkan pengertian mereka tentang hal halal bi halal diperoleh dari kebiasaan yang mereka temukan sejak kecil. Mereka piker ini adalah kebudayaan umat muslim. Padahal acara halal bi halal ini bukan tradisi Islam. Memang, di islam dianjurkan untuk bersilahturahmi. Tapi, silahturahmi di sini dilakukan dengan suatu perayaan yang memerlukan waktu dan biaya, sedangkan di Islam tidak demikian. Coba saja perhatikan kalau ada acara halal bi halal yang di lakukan di kantor atau di sekolah. Semua harus berkumpul pada waktu tertentu dan pasti ada hidangan tertentu. Ini tentu saja berpengaruh bagi mereka yang tidak punya waktu, biaya, atau apapun pada saat itu. Kalau di Islam yang sesungguhnya, silahturahmi dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu Idul Fitri.

      Selanjutnya, untuk pertayaan ‘Apakah acara halal bi halal juga bisa diikuti oleh umat non-Islam?’ sejumlah 46 responden menjawab ‘Ya’ dengan alasan ‘karena rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia’ (11 responden), ‘karena tradisi ini bukan hanya milik orang muslim,’ (2 responden), ‘karena baik dan sesuai ajaran Islam’ (15 responden), ‘karena ada sanak saudara atau teman yang nonmuslim dan ingin bersenang-senang bersama’ (19 responden) , dan ‘karena sikap toleransi umat Islam kepada umat non-Islam’ (7 responden). Kemudian, yang menjawab ‘Tidak’ sejumlah 4 responden dengan alasan bahwa mereka dapat lebih jelas dengan memperhatikan pendapat Bapak A. Mudjab Mahali, seorang sosiolog Islam, dalam sebuah wawancara. Ini sesuai dengan surat Al-Kafirun yang menyatakan bahwa:

      Sebenarnya, umat Islam sangat toleran kepada umat non-Islam. Seperti yang dilakukan oleh nabi besar Muhammad Saw., umat non-Islam dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan mereka. Pada saat itu, umat Islam tidak melarang mereka. Ini sesuai dengan surat Al-Kafirun yang menyatakan bahwa “Tuhanmu adalah Tuhanmu,Tuhanku adalah Tuhanku; agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku”…

III.  Simpulan dan Saran

      Dari analisis di atas, dapat di simpulkan sebagai berikut. Pertama, sebenarnya, alasan masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Jakarta, yang diwakili oleh 50 responden, mengadakan acara halal bi halal unutk silahturahmi agar rasa persaudaraan dan rasa persatuan di antara mereka dapat meningkat dengan melakukan tradisi kunjungan untuk berkumpul bersama dan saling memaafkan. Kedua, manfaat diadakannya acara tersebut bagi mereka untuk menjaga rasa persaudaraan dan persatuan antar muslim yang sesuai dengan ajaran Islam dan saat yang tepat untuk berbagi cerita dan saling memaafkan. Ketiga, cara mereka melakukan acara halal bi halal seperti yang dilakukan sebelumnya oleh orang kebanyakan, yaitu berkumpul bersama untuk saling memaafkan, bersilahturahmi, dan berbagi cerita serta pengalaman. Keempat, acara halal bi halal tidak dilakukan oleh sekelompok etnis tertentu, yaitu rumpun Melayu, tetapi juga dilakukan oleh mereka yang bersuku Jawa dan Sunda. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi ini sudah menyebar ke suku lainnya.

      Dari kesimpulan di atas diketahui bahwa acara halal bi halal ini sebuah tradisi yang penting untuk silahturahmi. Diharapkan tradisi ini dapat terus dilaksanakan agar persatuan dan persaudaraan antarmuslim dapat terjalin dengan baik. Diharapkan pula, tradisi ini lebih menyebar dilakukan oleh umat muslim sedunia.

Post a Comment

0 Comments