Autisme Dan Penanggulangannya



AUTISME DAN PENANGGULANGANNYA

Definisi Autisme
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
interaksi sosial,
komunikasi (bahasa dan bicara),
perilaku-emosi,
pola bermain,
gangguan sensorik dan motorik
perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.Daftar isi [sembunyikan]
1 Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
2 Gejala
3 Prevalensi Individu dengan autisme
4 Implikasi Diagnosa Autisme
5 Perkembangan Penelitian Autisme
6 Penanganan Autisme di Indonesia
7 Terapi Bagi Individu dengan Autisme
8 Pranala luar

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):
Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
Kesulitan bermain dengan teman sebaya
Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Gejala

Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
Chromosome 7 – speech / language chromosome
Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
2000s Litigation, school-based services

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.

Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.

Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Ciri-ciri anak autis menurut umur
Gejala anak autis bisa dilihat dari usia dini, karena itu coba perhatikan anak anda dalam setiap tahap. Terkadang orangtua tidak terlalu peka terhadap tingkah laku anak, jangan samapai terlambat. Walau autis ini tidak penyakit, tetapi gangguan kelemahan terhadap sistim saraf akibat faktor geneti yang lemah. Tapi anak autis ini perlu perhatian yang lebih ekstra sekali. Perinsip penanganan anak peyandang autis ini sejak awal dan berikut ini gejala autis ini berdasarkan usia: ·

Usia 0 – 6 bulan. Apabila anak anda terlalu tenang dan jarang menangis, terlalu sensitive, gerakan tangan dan kaki yang terlalu berlebihanterutama pada saat mandi. Tidak pernah terjadi kontak mata atau senyum yang secara social, dan digendongakan mengepal tangan atau menegangkan kaki secara berlebihan. ·

Usia 6 – 12 bulan. Kalau digendong kaku atu tegang dantidak berenterasi atautidak tertarik pada maianan atu tidak beraksi terhadap suara atau kata. Dan selalu memandang suatu benda atau tangannya sendiri secara lama. Itu akibatterlambat dalam perkembangan motorik halus dan kasar. ·

Usia 2 - 3 tahun. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain dan kontak mata tidak nyambung dan tidak pernah focus.juga kaku terhadap orang lain dan masih senang digendong dan malas mengerakan tubuhnya. ·

Usia 4 – 5 tahun. Sukanya anak ini berteriak-teriak dan suka membeo atau menirukan suara orang dan mengeluarkan suara-suara aneh. Dan gampang marag atau emosi apabila rutinitasnya diganggu dan kemauanya tidak dituruti dan agresif dam mudah menyakiti diri sendiri

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Autisme adalah gangguan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan kepada 'seseorang yang hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme terkadang terbawa sejak lahir sehingga sulit terdeteksi secara dini karena secara awam terlihat sehat dan normal, baru setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian baru dikenali kelainan yang mencirikan penyakit autisme. Autisme baru dapat terdeteksi pada anak yang berumur paling sedikit 1 tahun. Pengenalan gejala penyakit autisme dapat dilakukan dengan mengamati dengan seksama perkembangan fisik, emosional dan kemampuan bicara anak. Dari pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan secara naluriah apakah perkembangan fisik, mental dan emosional anak tergolong normal, hiperaktif atau hipoaktif (kurang aktif) bila dibandingkan dengan balita sebayanya. Sekitar 80% dari penderita autis adalah laki-laki.

Gejala-gejala autisme antara lain:

1.        Sikap anak yang menghindari tatapan mata (eye contaact) secara langsung

2.       Melakukan gerakan atau kegiatan yang sama secara berulang-ulang (repetitive), gerakan yang terlalu aktif atau sebaliknya terlalu lamban

3.       Terkadang pertumbuhan fisik atau kemampuan bicara sangat terlambat

4.       Sangat lamban dalam menguasai bahasa sehari-hari, hanya mengulang-ulang beberapa kata saja atau mengeluarkan suara tanpa arti

5.       Hanya suka akan mainannya sendiri dan mainan itu saja yang dia mainkan

6.       Serasa dia mempunyai dunianya sendiri, sehingga sulit untuk berinteraksi dengan orang lain

7.       Suka bermain air dan memperhatikan benda yang berputar, seperti roda sepeda atau kipas angin

8.       Kadang suka melompat, mengamuk atau menangis tanpa sebab. Anak autis sangat sulit dibujuk, bahkan menolak untuk digendong dan dibujuk oleh siapapun

9.       Sangat sensitive terhadap cahaya, suara maupun sentuhan

10.    Mengalami kesulitan mengukur ketinggian dan kedalaman, sehingga mereka sering takut melangkah pada lantai yang berbeda tinggi.

Bila 10 - 20 tahun lalu jumlah penyandang autisme hanya 2 - 4 per 10.000 anak, tiga tahun belakangan jumlah tersebut meningkat menjadi 15 - 20 anak atau 1 per 500 anak. Tahun lalu, di AS ditemukan 20 - 60 anak, kira-kira 1/200 atau 1/250 anak.

Di Indonesia belum pernah dilakukan survei, namun para profesional yang menangani anak melaporkan, peningkatan jumlah penyandang autisme amat pesat. Namun tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah ahli yang mendalami bidang autisme, sehingga acapkali terjadi salah diagnosis.

Anak-anak penyandang autisme yang tidak tertangani dengan cepat dan tepat kemungkinan sembuhnya akan semakin kecil karena akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang semakin parah serta dikhawatirkan mereka akan menjadi generasi yang hilang.

walaupun penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menyebutkan bahwa autisme disebabkan oleh multifaktorial sehingga banyak faktor yang mempengaruhi. Hal ini menyebabkan sulitnya memastikan faktor resiko pada gangguan autisme. Terdapat beberapa keadaan yang membuat anak-anak beresiko besar menyandang autisme. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi. Dengan penyebabnya berupa faktor genetik, Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, Infeksi karena virus Vaksinasi, kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak), zat-zat beracun dari polusi dan kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu.

Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi, sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non-autis, mana anak autis.

Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk "sembuh". Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai yang teringan. "Kesembuhan" dipengaruhi oleh berbagai faktor: gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50% lebih penyandang mempunyai kecerdasan kurang), cukup cepat dalam belajar berbicara (20% penyandang autisma tetap tidak bisa berbicara sampai dewasa), usia (2 - 5 tahun), dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif.

Salah satu metoda intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metoda Applied Behavioral Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara obyektif. Penatalaksanaannya dilakukan 4 - 8 jam sehari. Anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat.

Biasanya setelah 1 - 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.

Permasalahan anak autis di sekolah umum yang menonjol antara lain kurangnya kemampuan berkonsentrasi, perilaku yang tidak patuh, serta kesulitan bersosialisasi. Sebab itu pada beberapa bulan pertama mereka masih memerlukan pendamping di kelas sampau mereka mampu menyesuaikan diri di kelas. Pendamping ini membantu guru mengendalikan perilaku si anak dan mengingatkan anak setiap kali perhatiannya beralih.

Tidak semua penyandang autisme bisa mengikuti pendidikan formal, meski yang tingkat kecerdasannya kurang masih bisa masuk sekolah luar biasa (SLB-C). Bagaimanapun, kalau perilaku si anak tidak bisa diperbaiki: sangat semaunya sendiri, agresif, hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi, memang ia akan sulit ditampung di sekolah umum karena akan mengganggu tata tertib kelas. Namun hal ini dapat diatasi dengan memberikan obat untuk menyeimbangkan neurotransmitter agar lebih responsif dan aware dengan dunia luar setelah itu anak dapat mengikuti proses belajar.

Ciri dan mitos autisme

Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.

Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.


Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.

Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.

Seperti apakah anak yang terkena autisme?

Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.

Komunikasi:
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.


Bersosialisasi (berteman)
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.

Kelainan penginderaan
Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.

Bermain
Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
  
Perilaku
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari hari.
Mitos mengenai Autisme

Mitos-1 : Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka, tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan baik.

Mitos-2 : Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang ditunjukkan oleh anak penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun dibawah normal adalah sangat kecil.

Mitos-3 : Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer ataupun peralatan elektronik.

Mitos-4 : Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain.

Mitos - mitos lainnya :
Autisme adalah akibat salah asuhan orang tua
Anak autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah kelainan perilaku.
Kebanyakan orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man' yang diperankan oleh Dustin Hoffman.
Anak autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi
Anak autis tidak menyukai daya tarik fisik
Anak autis tidak tersenyum
Anak Autis tidak menginginkan teman
Anak autis dapat berbicara jika mereka mau
Autisme adalah ketidak mampuan emosional

Sindrom Asperger, apakah itu?

Andra (5 tahun), tampak sehat dan cerdas masuk ke ruang praktek dokter. Menjawab pertanyaan dengan santun, ”Kabar saya baik, bagaimana dengan kabar Anda?” Ketika dokter bertanya tentang sekolah, tiba-tiba Andra bercerita tentang Anak Gunung Krakatau yang dikabarkan akan meletus, lengkap dengan cerita bagaimana terjadinya proses letusan gunung berapi disertai banjir lahar dan lava serta mengajak sang dokter berdiskusi tentang Gunung Kelud yang memperlihatkan gejala sama. Topik pembicaraan tidak juga beralih meskipun dokter berusaha mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan ringan seputar teman sekolahnya. Orang tua Andra bercerita bahwa putera mereka mengenal huruf sejak usia 18 bulan dan dapat membaca dengan belajar sendiri sebelum berusia 3 tahun. Sejak bisa membaca Andi lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca sains ketimbang bermain bola atau sepeda. Jeniuskah Andi? Pastinya ya, lalu apa yang salah dengan Andi?

Di sekolah ternyata teman-teman Andi tidak suka bermain dengannya karena menganggap Andi aneh. Alih-alih membicarakan film Spongebob dengan teman-temannya, Andi lebih suka bercerita bagaimana pesawat ruang angkasa bisa mendarat di bulan. Andi pun sering diejek karena tutur katanya sangat sopan seperti di buku bahasa dengan intonasi yang datar dengan gaya bahasa seperti orang dewasa. Andi juga kerap balik menirukan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Di mata guru, Andi anak yang sangat cerdas, ”berbeda” dengan anak lain, lebih senang menyendiri dan sibuk dengan buku dan kadang tidak perduli dengan orang lain atau jika diajak bicara. Apa masalah yang terjadi pada Andi? Autis ? anak super jenius?…… ternyata bukan, Andi menunjukkan gejala sindrom Asperger.
Apa itu sindrom Asperger ? apakah termasuk bagian dari autis?

Autis dan Sindrom Asperger
Sindrom Asperger (SA) termasuk gangguan perkembangan yang mempengaruhi kemampuan seorang anak untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Anak laki-laki 3-4 kali lebih banyak terkena dibandingkan anak wanita.

Tanda dan gejala anak SA antara lain :

Problem sosialisasi :
Anak SA sebenarnya ingin berteman tetapi sering ditolak atau diejek oleh teman-temannya.
Kurang atau tidak mengerti bagaimana perasaan orang lain.
Tidak mengerti humor dan norma-norma sosial yang berlaku
Menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Kurang fleksibel karena lebih suka pada rutinitas  sehingga sulit beradaptasi.

Problem komunikasi :
Dalam percakapan, anak SA akan lebih banyak bicara tentang hal yang diminatinya tanpa memperdulikan apakah lawan bicaranya tertarik atau mengerti apa yang dibicarakan.
Tidak memahami komunikasi non verbal seperti ekspresi dan bahasa tubuh orang lain serta kurangnya kontak mata.
Terobsesi pada hal-hal yang sangat spesifik seperti statistik, jadwal kereta, cuaca dll.
Berbicara dengan suara yang monoton, datar, formal dengan kecepatan yang lambat atau cepat.
Kurang mampu berkomunikasi dua arah.
Kerap menginterupsi pembicaraan.

Problem  motorik dan sensorik:
Koordinasi motorik halus yang kurang atau clumsy (canggung)
Kurang dapat menjaga keseimbangan dan meniru gerakan yang bersifat cepat, halus dan ritmik serta tulisan tangan yang tidak rapi,
Sensitif terdahadap suara, raba, rasa, cahaya, bau, nyeri dan suhu serta tekstur makanan.

Penyebab SA belum banyak diketahui, diduga karena faktor genetik dan kelainan struktural daerah tertentu di otak.
Bagaimana membedakan SA dengan autis terutama jenis high functioning autis (autis dengan kemampuan verbal dan kognitif yang baik) ?

Autis juga bermasalah dalam hal komunikasi dan sosialisasi serta minat yang terbatas. Beberapa ahli memasukkan SA dalam ASD (Autistic Spectrum Disorder). Ahli lain menyatakan bahwa SA berbeda dengan autis maupun ASD. Akan tetapi hampir semua sepakat bahwa perbedaan utama antara SA dengan autis maupun ASD adalah anak SA memperlihatkan perkembangan bahasa/bicara serta kecerdasan yang normal sesuai usianya, bahkan kemampuan ini kadang melebihi usia. Sehingga anak SA tidak datang dengan keluhan terlambat bicara tetapi dengan keluhan masalah di sekolah karena kurangnya sosialisasi atau dianggap aneh.
Apakah anak kita menunjukkan gejala SA ?

Kadang sulit untuk dijawab karena sebagian anak masih bersifat egosentris dalam bersosialisasi serta membicarakan hal-hal yang itu-itu saja seperti mainan atau tokoh kartun favoritnya.Tetapi jika hal-hal tersebut sampai mengganggu sosialisasi dengan teman-temannya , menganggu proses belajar serta anak kita dianggap eksentrik maka sebaiknya berkonsultasi dengan para ahli.
Referensi
http://www.emedicinehealth.com/
A parents guide to Asperger Syndrome & High functioning autism, by Sally Ozanoff PhD, Geraldine Dawson PhD, James Mc Portland, PhD

Autisme pada anak

Autisme

Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Tanda - tanda Autisme

    * - tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari
    * - hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata
    * - mata yang tidak jernih atau tidak bersinar
    * - tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
    * - hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
    * - serasa dia punya dunianya sendiri
    * - tidak suka berbicara dengan orang lain
    * - tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain

Penyebab Autisme Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella )bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder. Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.

Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak,

digunakan standar internasional tentang autis. ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autis Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia.

Kriteria tersebut adalah:

Untuk hasil diagnosa, diperlukan total 6 gejala (atau lebih) dari no. (1), (2), dan (3), termasuk setidaknya 2 gejala dari no. (1) dan masing-masing 1 gejala dari no. (2) dan (3).

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua dari gejala-gejala di bawah ini:
    - Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai:
       kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju.
    - Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
    - Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain).
    - Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari gejala-gejala di bawah ini:
    - Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara
      non-verbal.
    - Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi.
    - Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
    - Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.

3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Minimal harus ada satu
   dari gejala di bawah ini:
    - Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.
    - Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
    - Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
    - Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:
         a. interaksi sosial,
         b. bicara dan berbahasa,
         c. cara bermain yang monoton, kurang variatif.

Autis bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak. Namun, kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autis ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas.

Autis memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, dimana penyandang autis ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhannya lebih besar.

Mempersiapkan & Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum

Pendidikan adalah kunci masa depan setiap individu, apalagi bila ia termasuk penyandang autisme. Setiap orang tua mendambakan agar anaknya bisa mengikuti pendidikan jalur ‘normal’ yang memberikan kesempatan bagi anak mengikuti semua kegiatan. Sayangnya di Indonesia belum menjadi keharusan bagi semua institusi untuk menerima anak dengan masalah autisme bersekolah di tempat mereka. Seringkali kesempatan bersekolah tersebut masih harus diperjuangkan, dan perjuangan yang luar biasa sulitnya bisa menjadi sia-sia karena anak, orang tua maupun guru belum sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi murid ‘istimewa’ ini di tengah-tengah mereka. Atau, ketika anak sudah berada di sekolah dan timbul masalah, sedikit orang yang paham harus bagaimana membantu anak sehingga ia makin terpuruk dalam masalah.

Kiat praktis mempersiapkan dan membantu anak autis ini bersekolah di sekolah umum adalah tema yang dikupas dalam makalah singkat ini.

I.      INDIVIDU AUTISME

Seseorang baru dapat dikatakan sebagai termasuk Autistic Spectrum Disorder, bila ia memiliki  sebagian dari uraian gejala-gejala berikut ini:

a.        Gangguan komunikasi --- cenderung mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai konteks, sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara secara total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya. Biasanya, orang tua khawatir anaknya ASD karena perkembangan bicara yang tidak setara dengan anak lain seusianya.

b.       Gangguan perilaku --- adanya perilaku stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya. Variasi perilaku yang ter-tampil sangatlah beragam, sehingga tidak mungkin dijabarkan satu per satu.

c.        Gangguan interaksi --- secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya.

Masalah di atas sering juga disertai dengan adanya ketidakmampuan untuk bermain, gangguan makan dan atau gangguan tidur. Anak tidak menggunakan permainan sebagaimana mestinya, sangat pemilih dalam hal menu makanannya, cenderung ada masalah pencernaan, atau sangat terbatas asupannya. Anak juga sering sulit tidur atau terbangun tengah malam… dan berbagai jenis permasalahan lainnya.

Beberapa individu yang termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel, 1996):

    Visual thinking 

dimana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya, ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk ‘video’ atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal; akibatnya.. mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. 

     Processing problems

      Sebagian anak ASD mengalam kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami ‘common sense’  atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit  merangkai informasi verbal yang panjang (rangkaian instruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah berpikir secara visual.

    Sensory sensitivities

Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit banyak mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak ASD:

-   Sound sensitivity: dimana anak jadi takut berlebihan pd suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras/ bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap individu juga berbeda-beda.

   Kadang anak mendengung/bergumam untuk menghalangi gangguan suara tadi. Dengan ia mendengung, ia hanya mendengar dengungannya dan tidak mendengar suara lain yang tidak dapat ia prediksi.

-   Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk  masalah perilaku (termasuk masalah makan & pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat ia artikan sebagai hukuman yang menyakitkan.

-   Rhytm difficulties: Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan ‘saat utk masuk dalam percakapan’. Itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali dianggap lingkungan sebagai ‘tidak sopan’. Padahal, ini adalah masalah fisik mereka.

    Communications frustrations

     Gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, tapi terutama bila orang lain bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap sesamanya. Mereka merasa, percakapan itu tidak ditujukan kepada mereka, karena itu mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab meski mereka tidak ditanya secara langsung. Individu ASD juga sulit mengungkapkan diri, sehingga lalu berteriak atau berperilaku negatif lain sekedar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tahu dan atau tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif, kadang harus berada dalam kondisi tertekan untuk dapat ekspresi sehingga seringkali frustrasi bila tidak dimengerti.

    Social & emotional issues

Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu ASD cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu ASD sulit adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Apalagi, bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa penjelasan sama sekali. Keterpakuan akan sesuatu membuat mereka sulit memahami berbagai situasi sosial seperti tata cara pergaulan dan hukum sosialisasi yang sangat bervariasi tergantung kondisi dan situasi sesaat.

Pada umumnya individu ASD tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak. Itu sebabnya, banyak yang sulit empati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan.

     Problems of  control:

Berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. Mereka cenderung berperilaku ritual dengan pola tertentu, dan ada keterpakuan pada beberapa jenis objek. Sebagian dari mereka juga memiliki ketakutan yang luar biasa pada hal-hal yang tidak ia mengerti. 

    Problems of  tolerance:

Kepekaan yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD menarik diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya. Sebagian dari mereka juga cenderung sangat peka terhadap berbagai muatan emosi yang terjadi di sekitarnya. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami pesan-pesan emosi yang terjadi saat bergaul, sehingga kadang memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan.

    Problems of  connection:

Berbagai masalah yang berkaitan dengan ‘kemampuan individu menalar’ adalah 

   Attention problems:  masalah pemusatan perhatian, terus menerus terdistraksi

   Perceptual problems: masalah proses persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.

   Systems integration problems: proses informasi di otak bekerja secara ‘mono’ (tunggal) sehingga sulit memproses beberapa hal sekaligus

   Left-right hemisphere-integration problems: otak kiri tidak secara konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi.

Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun. Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disama-ratakan. Paham “individual differences” (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.

Dalam menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak, kemampuan untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di rumah, guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali: kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia tampilkan, bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap usaha orang tua mengajarkan kebiasaan baru dan sebagainya. 

Karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, para orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistis di tempat belajar “umum”, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara yang khusus (bila perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka.

Gaya belajar individu autisme
Setiap individu mempunyai gaya tersendiri dalam upayanya mencerna informasi secara efektif. Pada umumnya kita belajar melalui indra penglihatan, perabaan dan atau pendengaran. Kita juga punya aneka gaya dalam mengingat. Ada individu yang lebih ingat fakta daripada orang lain. Ada yang lebih suka detil, sementara orang lain tidak suka pada detil. Bagaimana dengan individu autisme ?  Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada diri mereka (Sussman, 1999):

*      Rote learner: Anak yang memakai gaya belajar ini, cenderung menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan itu. Contoh: anak dapat mengucapkan huruf dengan baik secara urut (atau melengkapi urutan abjad yang tak lengkap), tetapi sesungguhnya tidak tahu bahwa huruf itu bila digabung dengan huruf lain akan menjadi kata yang mengandung makna. Atau, anak yang dapat menghafalkan angka, tidak: Anak tahu bahwa simbol itu mewakili 'jumlah' benda.

*      Gestalt learner: Bila anak menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata-per-kata yang terdapat pada kalimat tersebut, anak cenderung belajar menggunakan gaya 'gestalt' (melihat sesuatu secara global). Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.

     Misalnya, Anda berikan mainan karet yang biasanya dimainkan sambil mandi dan mengatakan "letakkan di air", ia akan dapat melakukannya. Tetapi bila Anda berikan mainan yang sama lalu mengatakan "letakkan di rak mainan", ia akan tetap meletakkannya di air. Ia tidak paham makna kata 'letakkan' tetapi hanya mengasosiasikan seluruh kalimat dengan kebiasaannya saja. Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.

*     Visual learner:  Anak dengan gaya belajar 'visual' senang melihat-lihat buku atau gambar atau menonton TV dan umumnya lebih mudah mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang hanya dapat mereka dengar. Berhubung penglihatan adalah indra terkuat mereka, tidak heran banyak anak autis sangat menyukai TV/ VCD / gambar.

*     Hands-on learner:  Anak yang belajar dengan gaya ini, senang mencoba-coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya. Mulanya ia mungkin tidak tahu apa arti kata 'buka' tetapi sesudah Anda letakkan tangannya di pegangan pintu dan membantu tangannya membuka sambil Anda katakan 'buka', ia segera tahu bahwa bila Anda katakan 'buka' berarti .. ia ke pintu dan membuka pintu itu. Anak-anak ini umumnya senang menekan-nekan tombol, membongkar mainan dsb.

*     Auditory learner:   Anak dengan gaya belajar ini senang bicara dan mendengarkan orang lain bicara. Ia mendapatkan informasi melalui pendengarannya. Jarang sekali anak autis bergantung sepenuhnya pada gaya ini dan biasanya menggabungkannya dengan gaya lain.

Tanpa mengesampingkan fakta bahwa setiap individu autis memiliki ciri khas yang berbeda-beda, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, pada umumnya mereka memiliki ciri khas sebagai berikut:

CIRI YANG DAPAT MEMBANTU
CIRI YANG DAPAT MENJADI KENDALA

-   Daya ingat baik, dapat mengingat in-formasi (rote learner, gestalt learner)

-   Mudah memahami dan mengingat berbagai hal yang ia lihat atau ia pegang (visual learner & visual thinking)

-   Mudah memahami berbagai hal yang ia alami (hands-on learner)

-   Dapat ditingkatkan pemahamannya, bah-kan sebagian besar di antara mereka tidak terganggu daya tangkapnya

-   Dapat diarahkan, dapat dibantu aktualisasi potensi

   Sulit memahami instruksi yang disampaikan  
 secara verbal dan merupakan rangkaian

  Sulit melakukan dua hal sekaligus, karena berpikir secara ‘mono’ (tunggal)

  Proses berpikir visual lebih lambat daripada proses berpikir ‘biasa’ sehingga perlu jeda
 sebelum berespons

  Ketakutan berlebihan/irasional akan sesuatu

  Fiksasi akan sesuatu, berpikir kaku

  Sulit persepsi irama (ritme) 

  Sulit berdialog dan berkomunikasi

  Sulit pahami aturan-aturan sosial

II.     PENDIDIKAN BAGI INDIVIDU AUTISME

Fakta bahwa individu-individu ASD belajar secara berbeda karena perbedaan neurobiologis bawaan mereka memberikan dampak pada tiga hal (Siegel, 1996):

1.     Belajar menjadi tugas yang lebih berat bagi individu ASD

2.     Individu ASD harus diajarkan dalam gaya yang ‘khusus’ bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan baik. Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus

3.     Bila intervensi dilakukan lebih dini, maka perjuangan untuk mengajar individu-individu ini diharapkan akan lebih mudah karena mereka sudah lebih tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku negatif lainnya)

Intervensi dini menjadi satu langkah yang penting, dan salah satu teknik/metode yang banyak digunakan adalah Applied Behavioral Analysis yang ditemukan oleh Ivar O. Lovaas (Maurice, 1996). Penanganan intervensi dini menggunakan teknik ‘one-on-one’ atau satu guru satu anak, yang sangat intensif dan terfokus dengan kurikulum yang sangat terstruktur.

Komponen ‘one-on-one’ ini menjadi penting artinya pada proses belajar awal, terutama bagi anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhan dan imitasi-nya. (Siegel, 1996). Intensitas (jumlah jam per minggu) juga sangat penting, seperti yang dilaporkan oleh hasil penelitian Lovaas (Lovaas, 1981). Kecenderungan orang tua untuk panik dan mengharapkan hasil terbaik membuat mereka menjadwalkan penanganan intensif terstruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya, anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila di luar penanganan terstruktur tersebut tidak ada bentuk penanganan lain yang lebih alami sementara penanganan (terapi) yang ia terima dilakukan secara kaku. Itu sebabnya, Greenspan (1998) mengusulkan adanya usaha orang tua meluangkan waktu bersama anak dalam bentuk kegiatan tidak berstruktur tetapi alami.

Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditempuh oleh anak ASD dalam jalur pendidikan. Penetapan akan menempuh jalur yang mana sangat dipenuhi oleh berbagai aspek, antara lain: banyaknya gejala autisme pada anak, daya tangkap, kemampuan berkomunikasi, usia dan harapan (atau tuntutan) orang tua.

Alternatif pilihan bentuk pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat, antara lain terbagi atas jalur pendidikan khusus  (Siegel, 1996):

1.     Individual Therapy, antara lain melalui penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian homeschooling).

Intervensi seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu ASD. Melalui penanganan one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.      

2.    Designated Autistic Classes

Salah satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal, dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1-3 anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu imitasi dengan baik.

3.    Ability Grouped Classes

Anak-anak yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah perkembangan bahasa.

4.    Social Skills Development and Mixed Disability Classes

Kelas ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak melulu autistik. Biasanya, anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri ‘hyper-social’ (ketertarikan berlebihan untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.

dan jalur pendidikan umum (mainstream).

Maksud kata ‘mainstream’ berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan tanpa adanya perhatian pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Padahal, sebetulnya anak memang memiliki kebutuhan khusus.

Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic main-stream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau “social mainstream” (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).

III.   PERSIAPAN YANG SEBAIKNYA DIJALANKAN

Berdasarkan uraian di atas, tentu saja kita harus menarik satu kesimpulan: ada jenjang persiapan yang harus dijalani sebelum anak dengan gangguan perkembangan autisme ini dimasukkan ke dalam lingkungan sekolah umum.

Persiapan tersebut perlu dijalani oleh berbagai pihak yang terlibat: anak, sekolah dan orang tua.

*      Anak: dua hal penting yang harus dipertimbangkan adalah apakah anak siap untuk belajar dalam kelompok (kecil atau besar, tergantung masing-masing sekolah) dan kesiapan anak mengikuti rutinitas di sekolah (makan bersama, toileting, olah raga, upacara dsb).

Semua pihak perlu mempertimbangkan faktor berikut:

-   Fungsi kognitif                     à  Tingkatan fungsi kognisi, verbal atau

                                                       non-verbal

-   Bahasa dan komunikasi         à  Tingkatan pemahaman bahasa (bicara ><

                                                       tertulis), tingkatan kemampuan berkomunikasi

-   Kemampuan akademis          à  Pemahaman konsep bahasa, matematika,

                                                       kebutuhan akan bantuan dari orang lain

-   Perilaku di kelas                   à  Kesanggupan mengikuti proses belajar

                                                       mengajar di kelas  (1:3, 1:8, 1:15, 1:30).

Kesanggupan mengerjakan tugas secara mandiri. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan transisi atau perubahan di dalam kelas

*      Sekolah:

Saat ini sudah ada beberapa sekolah menerima keberadaan anak autis di dalam kelas umum. Tetapi sikap menerima saja tidak cukup bila tidak diikuti dengan beberapa penyesuaian, antara lain:

-   Modifikasi lingkungan:  Bangunan sekolah, tata-letak di dalam kelas, lingkungan sekitar

-   Pelatihan staf:   Menerima perbedaan anak dan mau belajar lagi

Keterbukaan akan kerja sama dengan pihak lain terkait

Pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu tatalaksana anak autis

-    Penyuluhan kepada orang tua/anak lain: Hal ini tidak mudah, karena banyak orang tua lain beranggapan bahwa sekolah umum seharusnya tidak menerima anak dengan masalah.  Mereka khawatir sifat autisme anak akan menular pada
anak-anak mereka.

-    Sikap terhadap saudara kandung: apakah keberadaan saudara sekandung dengan autisme ini menjadi suatu keuntungan atau kekurangan bagi kakak/adik tsb.

*      Orang tua:

Keadaan orang tua sangat menentukan proses belajar mengajar dan pencapaian masing-masing anak. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah:

-   Pengharapan keluarga:  Apa yang diharapkan dicapai dari keberadaan anak berada di sekolah: apakah full inclusion atau social mainstream ?

Pengharapan ini sangat menentukan target pendidikan bagi anak di sekolah. Target yang “lepas dari konteks” dalam arti tidak sesuai potensi yang ditampilkan anak (berlebihan), tentu akan membuat siapapun yang terlibat menjadi frustrasi. Anak bahkan bisa tidak suka belajar / sekolah. Sebaliknya, target di bawah kemampuan anak akan membuat ia bosan dan juga tidak suka sekolah.

-   Kebutuhan dari anggota keluarga yang lain:  Anggota keluarga bukan terdiri atas anak autis ini saja, tetapi tentu saja menyangkut kakak/adik dan orang tua anak. Keterlibatan anak di lingkungan sekolah umum, mau tidak mau akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari seluruh keluarga. Anak harus mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua harus menunggui, kakak/adik diberi tanggung jawab mengenai kegiatan anak di rumah dan sekolah, dsb.

-   Adanya dukungan lingkungan: Lingkungan disini, termasuk juga orang tua lain di sekolah tersebut (POMG). Bagaimanakah sikap mereka, apakah mendukung atau tidak. Bagaimana juga sikap anak lain di sekolah tersebut, apakah menerima keberadaan anak autis ini atau tidak. Bagaimana sikap guru di luar kelas ini, sikap kepala sekolah dsb.

*      Tenaga profesional terkait:

Adakah tenaga profesional yang dilibatkan dalam tim pendukung anak:

-        Dokter:      Peran dokter disini (dokter anak, psikiater anak, dokter mata, THT, gizi dsb sesuai kebutuhan anak) amat penting karena proses belajar mengajar anak tidak akan lancar kecuali ia dalam keadaan sehat.

-        Psikolog:   Peran psikolog adalah untuk memberikan gambaran profil psikologis anak (psychological profile), sehingga orang tua dan pihak sekolah paham kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Gambaran profil ini dapat membantu semua pihak terkait dalam mengarahkan anak sehingga potensi aktual dapat terealisir secara optimal tanpa membuat anak tertekan.

-        Guru pendamping: Pada umumnya anak autis memerlukan guru pendamping pada masa awal penyesuaian di lingkungan kelas yang jelas berbeda dengan lingkungan terapi individual. Masalahnya, tidak semua sekolah menyediakan guru pendamping dengan kualifikasi yang jelas, atau tidak semua orang tua bersedia menggunakan guru pendamping yang disediakan pihak sekolah oleh karena berbagai alasan. Guru pendamping juga sering tidak paham sebatas mana mereka diperbolehkan membantu anak. Akibatnya, anak tergantung pada guru pendamping, guru kelas tidak berusaha kenal anak karena anak hampir selalu berada bersama dengan guru pendamping, dan pada akhirnya anak tetap menjadi ‘anak bawang’ karena ia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya.

-        Terapis:     Meskipun sudah bersekolah di sekolah umum, sebagian dari anak autis masih memerlukan bimbingan khusus di rumah. Tugas ini biasanya dibebankan kepada terapis rumah, yaitu terapis atau guru yang bertugas untuk mengulang materi yang dipelajari di sekolah lengkap dengan generalisasi-nya, mempersiapkan anak akan materi yang akan datang, dan membantu anak mengkompensasi kelemahannya melalui berbagai teknik dan kiat praktis.

Apakah ada kerja sama yang baik antara tenaga profesional dengan sekolah dan keluarga, dalam arti keterbukaan secara profesional demi kemajuan si anak. Adakah bantuan akademis (dalam bentuk sesi khusus atau modifikasi proses), atau kelompok orang tua dengan masalah sama?

Piramida sasaran pendidikan:

Dr. Lam Chee Meng & Chan Yee Pei, BSc dalam konferensi WeCan di Singapore November 2002 mengungkapkan bahwa semua pihak sebaiknya mengacu pada piramida berikut dalam menerapkan target pendidikan bagi anak autisme:

Bagian piramida yang paling penting adalah bagian bawah, karena seluruh bangunan akan hancur bila pondasi tidak kokoh.

Bagian paling bawah, adalah:

*       Work habits, Self-regulation:

Sikap kerja anak setiapkali diberi tugas dan bagaimana ia mengembangkan kontrol serta strategi setiap ia mengahadapi stres.

*       Self-Help, Independence:

Kemampuan anak membantu dirinya sendiri dan bersikap mandiri sesuai usia tahap perkembangan. Misal: mampu ke kamar mandi sendiri, mampu membereskan buku sendiri, bertanggung jawab atas barang bawaannya, pergi ke guru tanpa harus diarahkan dsb.

*       Functional Communication:

Meskipun sebagian komunitas anak autis dapat bicara, tetapi seringkali kemampuannya masih belum untuk menjawab pertanyaan secara konsisten dan kontekstual. Anak juga terkadang belum dapat menyampaikan keinginan, perasaan dan pendapat sehingga sering frustrasi dan lalu menyebabkan ia berperilaku negatif.

Persiapan bagian bawah piramida tersebut seyogyanya dilakukan sebelum anak masuk ke sekolah umum, karena di sekolah anak akan berhadapan dengan target akademis dan sosialisasi.

Target akademis juga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan anak, sehingga kecenderungan anak untuk frustrasi dapat diperkecil dan bila mungkin dihilangkan. Misal: anak sulit memahami konsep abstrak, jadi sebaiknya sedapat mungkin hal yang abstrak dibuat lebih konkrit. Anak sulit menghadapi perubahan mendadak, sehingga sebaiknya ia diberitahu terlebih dahulu sebelum perubahan itu harus ia hadapi.

IV.  BANTUAN YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN

Lalu, bagaimana bila anak sudah terlanjur masuk ke dalam lingkungan sekolah, dan ia tampak mengalami berbagai masalah yang menghambat aktualisasi potensinya? Tentu saja masih ada alternatif solusi yang dapat dicoba baik oleh orang tua maupun pihak sekolah, yakni:

A.     Memahami kondisi anak secara menyeluruh

Tujuan orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic mainstream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis)  atau “social mainstream” (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).

Di Indonesia belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak ASD usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk menampung individu ASD. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa kewalahan dalam menangani anak-anak ini, karena mereka tidak tahu harus berbuat apa. Untuk itu, penting dilakukan evaluasi dan atau observasi mendalam sebelum anak mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Tujuan evaluasi/observasi mendalam ini adalah untuk mendapatkan profil psikologis anak, yang antara lain mencakup aspek:

-        Gejala autisme yang ada pada anak dan intensitas gejala tersebut (perilaku, komunikasi, interaksi, kecenderungan menyerang diri sendiri atau orang lain, gangguan konsentrasi dsb)

-        Kendala apa yang mungkin dialami anak di kelas (anak diet ketat sehingga mungkin akan frustrasi saat makan bersama, anak sulit pusatkan perhatian sehingga letak duduk akan mempengaruhi pemahaman, masalah motorik halus sehingga sulit menulis dsb).

-        Kelebihan apa yang dimiliki anak, yang mungkin dapat digunakan sebagai kompensasi (daya ingat kuat, sangat visual, pemahaman konsep abstrak cepat tangkap asalkan ada pengalaman aktual dsb).

-        Seberapa besar peran pendukung dibutuhkan oleh anak, dan bagaimana bentuknya (masih harus didampingi guru pendamping, pelajaran harus diulang di rumah secara intensif, harus menggunakan terapi medikasi/terapi lain, dsb).

B.     Memahami peran masing-masing pihak dan menjalankan tugas sesuai batasan peran tersebut

*       Sebagai orang tua, ketat memantau perkembangan anak di kelas dan di sekolah. Siap membantu guru setiap kali terjadi masalah, tidak menunggu hingga masalah menjadi berkepanjangan. Bersedia menerima masukan, baik atau buruk, demi kemajuan anak. Tidak langsung menyalahkan pihak lain, tetapi bersedia melihat permasalahan secara obyektif dari kacamata dua belah pihak.

*       Sebagai guru, memperlakukan anak sesuai harkatnya yang memang terlahir sebagai individu dengan gangguan perkembangan autisme. Bersedia menerima masukan, terutama menyangkut masalah modifikasi proses belajar mengajar demi tercapainya pemahaman materi. Segera memberi tahu bila tampak ada masalah sekecil apapun, guna dapat dicari pemecahannya agar tidak berlarut-larut.

*       Sebagai guru pendamping (shadower), paham batasan peran tersebut dan justru menjadikan “kemandirian anak” sebagai tujuan akhir. Adapun peran/tugas guru pendamping adalah:

-   Memastikan agar anak memahami semua persyaratan untuk menyelesaikan tugas dan menjalani rutinitas prosedur di kelas sehari-hari

-   Mengusahakan agar anak memperoleh dukungan struktur yang ia perlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan di kelas (icon, skedul, simbol, kartu dsb).

-   Menjembatani situasi agar terjadi hubungan antara anak dengan guru kelas. Tugas guru pendamping terbatas pada mempermudah dan memperjelas informasi yang disampaikan oleh guru kelas, tetapi sebatas diperlukan. Hubungan antara anak dengan guru kelas justru adalah tujuan utama yang harus dicapai oleh guru pendamping. Sebaiknya anak tidak hanya berhubungan dengan guru pendamping.

-   Memberikan bantuan dan kesempatan kepada anak agar ia dapat mengembangkan hubungan dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Jangan justru hanya bermain bersama guru pendamping.

-   Berusaha keras agar anak belajar berfungsi secara mandiri di lingkungan sekolah.

Singkat kata, guru pendamping dapat dikatakan berhasil bila ia dapat membimbing anak sedemikian rupa sehingga guru pendamping tidak dibutuhkan lagi kehadirannya di sekolah.

C.     Memperhatikan beberapa prinsip kunci dalam penanganan masalah

Masalah anak di kelas terbagi atas beberapa aspek: komunikasi, pemahaman, interaksi, struktur lingkungan, dan perilaku.

1.    Komunikasi

Komunikasi lebih dari sekedar bicara.

Komunikasi terjadi karena adanya pematangan sistim biologis dan sistim syaraf dalam tubuh anak. Tidak heran bila pematangan sistim tersebut terhambat, maka terhambat pulalah kemampuan komunikasi seseorang. Komunikasi juga terkait dengan kemampuan kognisi, sehingga makin bermasalah seseorang dalam pemahamannya maka akan makin terbatas kemampuan komunikasinya (Quill, 1995). Komunikasi juga melibatkan perkembangan bahasa - bicara, dan penguasaan berbagai kemampuan a.l pemahaman, sosialisasi, bergiliran, pilihan, keinginan, dan pengungkapan. (Hodgdon, 1999; Maurice 1996).

Anak ASD umumnya mengalami hambatan dalam aneka aspek perkembangan yang sudah disebutkan di atas. Awalnya mereka tidak ada alasan untuk berkomunikasi (tidak tertarik, tidak ada kebutuhan), dan ketika mereka sudah tertarik untuk berkomunikasi, mereka memiliki masalah lain (sulit mengungkapkan diri, tidak dapat menjalin kontak mata, sulit memusatkan perhatian dsb).

Menuntut seorang anak ASD untuk bicara lancar tanpa ada masalah, jelas tidak adil. Ia akan semakin tegang, dan ketegangan ini menghambatnya untuk berpikir leluasa. Sebaiknya ia diberi kemampuan yang ia perlukan untuk berkomunikasi (bukan hanya bicara) dan dibantu untuk dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.

Guna membantu anak ASD berkomunikasi dengan efektif, mereka perlu diajarkan untuk:

       Memahami makna “ya” dan “tidak”

       Menetapkan pilihan

       Memahami konsep representasi: bahwa gambar 2 dimensi mewakili sesuatu yang nyata

       Melakukan deskripsi terhadap suatu gambar dan kemudian rangkaian gambar

       Melakukan tanya jawab secara konsisten dan terarah

       Melakukan percakapan (parallel talk)

       Bertanya

       Bercerita

Mengingat bahwa anak ASD cenderung lebih mudah mencerna apapun yang dapat mereka lihat dan mereka pegang, ada baiknya membantu anak ASD berkomunikasi dengan menggunakan visualisasi.

Visualisasi ini membantu anak ASD membayangkan berbagai hal, sehingga pada akhirnya dapat melakukan komunikasi dengan lebih efektif.

Bagi anak ASD yang mungkin tidak terlalu dapat berkomunikasi, penggunaan teknik PECS (Picture Exchange Communication System) juga dapat dipertimbangkan. Sistim ini memungkinkan anak ASD mengekspresikan diri dalam bentuk yang sangat universal, dimengerti oleh semua orang, tanpa ia harus mengucapkan kata-kata.

Guru atau orang tua perlu juga mempermudah gaya berkomunikasi, seperti misal:

*       Instruksi sebaiknya singkat, tepat dan dipasangkan dengan visualisasi; mengingat bahwa anak cenderung sulit memahami pesan-pesan komunikasi (misal: kata-kata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh)

*       Anak cenderung mengalami kesulitan memproses berbagai bentuk informasi yang disampaikan secara auditori apalagi bila suara latar belakang termasuk bising. Ia perlu waktu untuk menterjemahkan dan berespons terhadap instruksi, terutama bila ada tuntutan transisi atau gerakan fisik (misal: instruksi beberapa tahap).

*       Anak mungkin mengalami kesulitan menggunakan beberapa modalitas sekaligus pada proses belajar mengajar (misal: menatap, mendengarkan, menulis). Ia mungkin perlu guru pendamping yang membantunya memutuskan untuk menggunakan satu modalitas dalam presentasi tugas baru atau sulit. (misal: lihat, lalu dengarkan, lalu tulis).

*       Anak tidak selalu sadar bahwa instruksi dalam kelompok ditujukan kepadanya. Karena itu, instruksi yang disampaikan secara kelompok, perlu diulang secara individual kepada anak tersebut bilamana diperlukan. Instruksi ini tidak diberikan oleh guru pendamping, tetapi oleh guru kelas.

*       Anak mungkin bisa terdistraksi setiapkali guru menggunakan penjelasan detil. Karena itu, sebaiknya gunakan isyarat tangan untuk membantu anak.

2.    Pemahaman

Biasanya anak mengalami kesulitan saat berhadapan dengan tugas yang berciri sebagai berikut:

-        Bermuatan bahasa (pemahaman dan pengungkapan)

-        Abstrak

-        Banyak tahapan-nya

-        Tidak jelas ujung pangkalnya

-        Mengandung banyak alternatif solusi

-        Tertulis

-        Cepat penyajiannya

Dalam meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar memberitahu ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman, 1997).

a.   Instruksi verbal  (tell = verbal directions) : 

-      hanya diberikan saat anak memperhatikan

-      sebaiknya singkat, tepat guna, lugas

-      menggunakan kata-kata yang dipahami anak

b.     Contoh    (show = modelling) :

-   demonstrasikan apa yang Anda maksud dengan instruksi verbal tadi

-   efektif bila dilakukan dengan lambat dan berlebihan

-   kurangi porsi sedikit demi sedikit, sejalan dengan penguasaan anak

c.      Pengarahan    (guide = physical guidance):

-    sesudah memberi tahu dan mendemonstrasikan, arahkan tangan anak secara fisik

-    tunjukkan bagaimana melakukanya

-    mulanya, ANDA yang mengerjakan semua hal, tetapi bertahap kurangi peran Anda dalam pengarahan sehingga anak sedikit demi sedikit mengerjakannya sendiri

Mengingat bahwa anak ASD memiliki gaya belajar yang khas, ada baiknya guru mempertimbangkan ciri khas tersebut.

Anak ASD sebagian besar memiliki gaya belajar ‘rote learner’, ‘visual learner’ dan ‘hands-on learner’. Berarti, sebaiknya guru menggunakan sebanyak mungkin pengalaman dan visualisasi untuk membuat berbagai hal yang sulit dicerna anak ASD (terutama konsep verbal dan abstrak) menjadi lebih konkrit dan nyata bagi mereka.

Peran ‘shadower’ disini sangat penting, karena mereka dapat membantu guru membuat berbagai hal menjadi nyata bagi anak ASD. Tidak mungkin membebankan tugas kepada guru yang kadang hanya sendirian di kelas berisi sedikitnya 20 anak. 

Sebaiknya anak juga dihadapkan pada informasi dan aktifitas yang sama secara berulang-ulang, untuk memastikan pemahaman karena biasanya:

*   Anak sering panik-cemas-bingung menghadapi tugas/materi/situasi dan orang baru. Karena itu mereka biasanya menghindari situasi yang tidak mereka kenal dan pada akhirnya, tidak bisa mengerti instruksi yang diberikan.

*   Anak sulit memusatkan perhatian pada ciri suatu tugas pada saat pertama kali diberikan. Akibatnya ia belum sampai bisa memiliki strategi tertentu pada saat tugas ditampilkan untuk kedua kalinya.

*   Anak makin terpacu mempelajari hal baru yang ditampilkan beberapa kali secara konsisten dalam bentuk yang sama.

*   Sering anak tidak bisa belajar di kelas secara efektif, lebih karena situasi kelas dan bukan karena ketidak mampuan anak.

Ada beberapa teknik pengajaran yang dapat digunakan untuk membantu anak belajar ketrampilan baru:

~       Beritahu ‘perilaku yang diharapkan’ menggunakan alat bantu visual

~       Pastikan ‘perilaku yang diharapkan’ tersebut dirasakan berguna dan bermakna ketika ditunjukkan kepada anak

~       Hindari menampilkan ‘harapan’ dalam gaya yang tidak jelas

~       Peragakan bagaimana perilaku tersebut seharusnya

~       Berikan bantuan untuk mengarahkan perhatian anak pada detil yang relevan

~       Gunakan penguat untuk memotivasi anak menggunakan ketrampilan baru tersebut

~       Bila perlu, beri penguat pada langkah-langkah kecil menuju perilaku baru

~       Beri penguat pula untuk usaha anak, agar ia bersemangat mencoba melakukan perilaku tersebut

Yang pasti, anak lebih mudah paham dan lama dapat mengingat materi pelajaran tertentu bila sejak awal dibuat bermakna dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Karena itu, sebaiknya materi yang diajarkan juga sesuatu yang ada gunanya (fungsional) dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (aplikatif).

3.    Interaksi

Ada tiga jenis perilaku sosial yang mencirikan anak ASD (Wing & Gould dalam Wolfberg, 1999):

  Aloof                  - bersikap menjauh/menyendiri

      Anak-anak ini tampak sangat pendiam dan suka menyendiri, serta tidak berrespons terhadap isyarat sosial atau ajakan untuk bercakap dari orang lain. Kemampuan anak untuk ‘joint attention’ (memperhatikan sesuatu bersama orang lain) tidak berkembang, dan biasanya hanya mendekati orang lain untuk memenuhi keinginan mereka. Orang lain bagi mereka bukanlah makhluk sosial, tetapi lebih sebagai ‘alat’ untuk mendapatkan benda yang diinginkan.

  Passive               - bersikap pasif

Anak-anak ini tampak tidak perduli dengan orang lain, tapi secara umum masih dapat diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Mereka cukup patuh dan masih mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Sama seperti anak-anak yang ‘aloof’, anak-anak yang ‘passive’ juga tidak terlalu dapat memperhatikan sesuatu bersama orang lain. Mereka juga kurang dapat mengungkapkan kehendaknya melalui ekspresi wajah dan isyarat tubuh, dan sebaliknya juga sulit memahami isyarat tubuh orang lain.    

  Active and Odd   - bersikap aktif tetapi ‘aneh’

Anak-anak ini senang berada bersama orang lain, tapi terutama dengan orang dewasa. Mereka mendekati orang lain untuk berinteraksi, tetapi caranya agak ‘tidak biasa’. Misalnya, mereka mendatangi seorang  yang tidak mereka kenal dan lalu mereka sentuh. Mereka juga mungkin berusaha bercakap-cakap dengan seseorang, tapi sayangnya  masih belum berkelanjutan, karena mereka cenderung terpaku pada minat tertentu yang kurang disukai orang lain. Sama dengan anak-anak ‘aloof’ dan ‘passive’, mereka juga kurang memiliki kemampuan untuk ‘membaca’ isyarat sosial yang penting untuk berinteraksi secara efektif.

Selain tiga hal tersebut, anak-anak ASD mengalami kesulitan memahami bahwa sesuatu bisa dilihat dari sudut pandang orang lain (Baron-Cohen et al, 1985). Tanpa kemampuan tersebut, mereka sulit mengembangkan kemampuan berinteraksi dan bergaul; karena mereka cenderung melihat berbagai hal dari sudut pandangnya sendiri (=egosentris).

Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak ASD memang sulit berinteraksi. Mereka tidak paham bagaimana menghadapi lingkungan, berinteraksi dengan orang lain, dan karena itu cenderung tidak memiliki banyak teman.

Untuk membantu anak-anak ASD berinteraksi di sekolah, Wolfberg (1999) mengusulkan metode ‘Integrated Playgroup Settings’ dimana anak-anak ASD (pemain pemula) – dengan pengarahan orang dewasa (pengarah bermain) -- berpartisipasi dalam kegiatan bermain dengan teman sebaya yang secara sosial lebih mahir (pemain mahir). Tujuan IPS ini adalah untuk merangsang kegiatan bermain yang timbal balik dan sama-sama disukai anak-anak, sambil mengembangkan kemampuan bermain dan perbendaharaan kegiatan bermain si pemain pemula. Dalam metode ini, teknik mengamati dan menganalisa kegiatan bermain dijabarkan, juga bagaimana mengarahkan partisipasi dalam bermain secara kelompok, dan merancang lingkungan yang mendukung terjadinya kegiatan bermain yang menyenangkan.

Sebaiknya, guru yang berhubungan dengan anak mempertahankan sikap/gaya interaksi yang konsisten dan tidak berubah-ubah:

»   Anak akan bingung bila ia didekati dengan gaya yang berbeda-beda oleh guru yang bekerja bersamanya. Penting untuk menggunakan gaya, intensitas, kecepatan dan kosakata yang kurang lebih sama, terutama pada awal penyesuaian di kelas.

»   Bila anak bingung, anak biasanya akan ‘mencoba’ memakai serangkaian perilaku interaksi yang belum tentu pantas menurut ukuran masyarakat. Pada keadaan seperti ini, bila perilaku yang cenderung kurang pantas ini mendapatkan perhatian, maka justru perilaku tersebut akan dipertahankannya.

»   Anak tidak dapat bekerja efektif di kelas bila ia tidak paham apa yang diharapkan dari dirinya.

»   Bila anak akan bekerja bersama dengan beberapa guru pada satu kesempatan, sebaiknya dipastikan bahwa mereka semua menggunakan gaya dan kosakata yang sama sehingga anak tidak bingung.

4.    Struktur lingkungan

Keadaan lingkungan yang dapat diramalkan oleh anak, membantu anak untuk beradaptasi dengan tuntutan tugas:

»   Anak berfungsi dengan baik bila ia dihadapkan pada rutinitas yang dapat ia prediksi, dan juga pada tuntutan penyelesaian tugas yang jelas. Kejelasan ini mencegah anak menciptakan strategi yang justru tidak tepat.

»   Anak diuntungkan bila ada struktur di lingkungan, tugas, interaksi dan transisi. Misal: memastikan lingkungan rapi bebas barang tak terpakai, menggunakan sistim box atau map untuk menyimpan materi penting sesuai kategori, memastikan ada awal dan akhir yang jelas pada setiap tugas, dsb.

»   Anak sulit memahami konsep-konsep abstrak tak jelas seperti ‘mulai’, ‘selesai’, ‘cepat’, ‘yang bagus’, atau ‘selesaikan nanti’. Sebaiknya semua guru membicarakan perilaku dan kejadian dalam istilah yang jelas dan tepat guna, seperti “duduk di lantai dengan baik” bisa diubah menjadi “duduk di lantai, kaki dilipat, tangan dilipat”. Atau, istilah “kerjakan” diubah menjadi “ambil pinsil, lihat nomer 1, lingkari yang benar”.

»   Kata-kata yang bermakna abstrak, perlu waktu melatihkannya. Tugas guru pendamping atau terapis rumah atau orang tua untuk melatih makna kata sambil memasangkan dengan gerakan/kegiatan/benda sesungguhnya. Begitu anak paham makna tersebut, guru dapat melatih menggunakan visualisasi/kartu sehingga anak dapat mengaplikasi-kan konsep tersebut dalam konteks sesungguhnya tanpa terlalu banyak penjelasan lagi.

5.    Perilaku

Umumnya perilaku diteliti karena alasan “bermasalah” (Linda Hodgdon, 1999), yaitu  bila  :

-    anak tidak berperilaku sesuai dengan lingkungan atau situasi saat itu

-    perilaku anak tidak seperti yang biasa dilakukan teman sebaya mereka

-    mereka tidak melakukan seperti yang kita inginkan: apa-kapan-bagaimana

Batasan diatas, tercakup dalam suatu kontinuum (rentang) yang bervariasi mulai dari kebiasaan yang mengganggu, perilaku yang menimbulkan masalah, perilaku yang menghambat rutinitas sehari-hari, yang menghambat proses belajar, hingga perilaku yang dapat sebabkan celaka pada diri sendiri  atau orang lain.

Dengan demikian, batasan “masalah perilaku” sangat bervariasi, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Misal: perilaku mengeluarkan suara saat sedang belajar, dapat dianggap sekedar sebagai kebiasaan mengganggu, kebiasaan yang SANGAT mengganggu atau perilaku yang meng-hambat proses belajar… tergantung frekuensi, periode dan intensitas perilaku tersebut dan dimana perilaku tersebut terjadi.

Pada anak ASD, masalah perilaku dapat digolongkan dalam 2 kelompok utama (Schopler, 1995): 

-    perilaku tidak patuh, dimana anak tidak mau mengikuti pengarahan atau permintaan orang tua/guru (dan tokoh otoritas lain)

-    perilaku mengganggu/menyerang,  biasanya dalam bentuk tantrum (mengamuk), berteriak, menendang, memukul, menggigit dsb.

Berhubung perilaku bisa dilihat secara subyektif (tergantung sudut pandang pengamat), sudah seharusnya kita berusaha menjadikannya lebih obyektif. Obyektifitas dapat diusahakan melalui pengamatan intensif, pencatatan, analisa dan interpretasi. Setidaknya, obyektifitas dapat diusahakan dengan berpikir bahwa setiap masalah perilaku didasari adanya keterbatasan/ hambatan yang menjadi penyebab. (Schopler, 1995)


                                             MASALAH PERILAKU

 Berbagai hambatan/keterbatasan yang menjadi dasar terjadinya perilaku 

Kesadaran bahwa masalah perilaku didasari adanya keterbatasan atau hambatan, sangat mempengaruhi lingkungan ketika mengupayakan intervensi/penanganan atas berbagai masalah perilaku. Kita selalu harus melihat perilaku sebagai sebuah rangkaian, ada yang menyebabkan (antecedent) dan ada yang mengikuti terjadinya perilaku tersebut (consequence) (Maurice, 1996).

Misal: anak yang berguling-guling ketika spreinya diganti. Penanganan akan sangat berbeda bila penyebabnya ketidak-patuhan (incompliance) atau perasaan tidak tahan terhadap tekstur sprei sesudah dicuci (sensory). Anak yang berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur sprei, tentu akan sangat tertekan bila diberi teguran atau diperingatkan untuk berperilaku baik (consequence). Ia berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur, tapi malah ditegur karena tidak bersikap baik. Perasaan tertekan tadi, tentu saja mendorongnya berperilaku lebih buruk lagi. Karena akar permasalahannya adalah masalah sensoris, seharusnya ia dibantu mengatasi masalah sensorisnya. Sebaliknya akan terjadi, bila sesudah anak berguling-guling, ia malah mendapat hadiah. Bisa saja ia berpikir bahwa dengan berguling-guling, ia akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Ia akan mengulanginya lagi, terlepas dari persoalan apakah masalah sensorisnya terjawabkan atau tidak.

Jadi, penting sekali melakukan analisa (A-B-C) dan mencoba mencari akar permasalahan mengapa suatu perilaku terjadi; sebelum dapat menetapkan akan melakukan apa.

Bila sudah diketahui akar permasalahannya, ada banyak hal yang dapat dilakukan (Fouse & Wheeler, 1997) yakni Punishment, Negative Consequence, Ignorance, Differential Reinforcement, Time Out, Response Cost, Environment Modification.

Dari berbagai cara tersebut di atas, yang penting diingat oleh guru adalah untuk tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun kepada anak saat ia berperilaku negatif (perhatian bisa berupa bujukan, luapan amarah, omelan, tatapan, kata-kata dsb). Biarkan anak meluapkan amarah (bila sebabnya adalah frustrasi), dan baru lakukan intervensi (berupa instruksi tugas yang ia kuasai) begitu ia reda amarahnya. Kadang untuk anak tertentu perlu disediakan ruang terpisah/pojok tertentu bagi dia untuk melampiaskan amarahnya tanpa melukai diri sendiri atau orang lain. Hati-hati, kadang anak autisme senang diberi ‘time-out’ karena bisa melarikan diri masuk dalam dunianya.

Sebelum dapat menggunakan satu atau beberapa kombinasi teknik tersebut di atas, penting sekali bagi guru untuk mengamati beberapa hal berikut:

»   Biasanya perilaku negatif anak di kelas, berkaitan dengan perasaan tidak nyaman yang dialaminya, atau merupakan respons terhadap kesulitannya. Untuk dapat melakukan perubahan terhadap perilaku negatif tersebut, guru atau guru pendamping HARUS melakukan analisa dan melakukan observasi untuk menyimpulkan jawaban atas “kapan”, “dimana”, dan “siapa” yang mewarnai terjadinya perilaku negatif tersebut.

»   Strategi efektif baru bisa dikembangkan sesudah dipahami ‘alasan’ kenapa perilaku negatif tersebut digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan/keadaan tersebut (apakah masalah komunikasi, tidak dapat memahami isyarat lingkungan, terlalu banyak stimulasi, frustrasi akan materi dsb)

»   Kalau anak terus menerus menggunakan perilaku negatif untuk beradaptasi dengan keadaan, bisa saja ia tidak tahu cara lain. Penting mengajarkan cara positif yang dapat ia pakai beradaptasi dengan keadaan yang kurang nyaman tersebut.

»   Pengetahuan atas kelebihan/kekurangan dan kebutuhan anak tersebut yang khas autisme (biasanya berkaitan dengan masalah komunikasi, interaksi dan adaptasi) akan sangat membantu guru/pendamping memahami perilaku anak.

D.     Bersikap fleksibel, kreatif dan terbuka dalam proses belajar mengajar
Anak ASD memiliki ciri khas yang berbeda dengan anak biasa, karena itu sikap pengajaran kita sebaiknya juga tidak sama dengan anak biasa, bila kita mengharapkan hasil optimal.
  
Tabel berikut berusaha memperlihatkan, bahwa sikap kita sebagai guru perlu dimodifikasi sesuai keadaan anak, untuk mendapatkan pemahaman maksimal dan mengarah pada kemandirian optimal.

JENIS BANTUAN    
DESKRIPSI   
KETERLIBATAN ORANG LAIN >< KEMANDIRIAN

Tangan-di atas-tangan           
 Tangan guru pendamping diletakkan di atas tangan anak untuk memungkinkan anak selesaikan tugas.         

Keterlibatan sangat tinggi dari guru/guru pendamping

Fisik   
Kontak fisik digunakan untuk arahkan anak memusatkan perhatian pada sesuatu atau menyelesaikan tugas     

Verbal
Penjelasan atau pengarahan dipakai untuk memulai /mempertahankan penyelesaian tugas.    

Visual 
Bantuan visual konkrit dipakai untuk bantu anak memulai tugas, selesaikan tugas, atau berpindah ke tugas berikutnya.         

Isyarat
Gerakan digunakan untuk pertegas makna informasi verbal dan memusatkan perhatian anak pada tugas.       

Peragaan        
Guru (atau guru pendamping) mencontohkan penyelesaian tugas dan anak belajar melalui observasi /pengamatan saja.

Sangat mandiri.
Guru pendamping penting sekali memahami bahwa tugas mereka membantu anak sejauh dibutuhkan. Jadi, lambat laun bantuan tersebut harus dikurangi agar anak dapat mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.

Kiat sebagai guru pendamping ( Bitsika, 2002):

*       Mulai dari bantuan paling sedikit, siapa tahu anak bisa.

*       Tempatkan diri di luar garis pandang anak (di samping atau di belakang).

*       Nilai sendiri bagaimana Anda memberikan bantuan tersebut. Bila mungkin, minta orang lain melakukan pengamatan cermat terhadap kegiatan Anda dalam mendampingi anak, lalu minta orang tersebut memberikan masukan.

*       Gunakan segala upaya untuk memfokuskan anak pada lingkungan belajar, guru dan tugas.

*       Tetapkan peran Anda sebagai ‘guru pendamping’ atau ‘asisten guru’, jadi sedapat mungkin peran dalam proses belajar mengajar dipegang oleh guru kelas.

*       Alat bantu dalam belajar, jangan sampai menjadi pusat perhatian anak. Anak harus dilatih untuk memusatkan perhatian pada instruksi dan materi. Alat bantu bersifat sebagai ‘bantuan bila diperlukan’.

*       Anak jangan sampai melihat ‘bantuan dari guru pendamping’ sebagai hal terpenting dalam proses belajar mengajar, tetapi instruksi dan materi –lah yang terpenting.

*       Hindari keterlibatan maksimal dalam interaksi antara Anda dengan anak autisme yang Anda dampingi. Tugas Anda mendorong agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungannya tanpa kehadiran Anda, jadi sedikit demi sedikit kurangi peran Anda.

PENUTUP:

Penting diingat oleh para orang tua adalah bahwa kondisi masing-masing anak sangat berbeda, sehingga modal awal dan hasil akhir setiap individu akan sangat tergantung pada banyak sekali faktor, antara lain: kuantitas dan kualitas gejala autisme pada anak, intensitas penanganan dini, tingkat intelegensi anak, kemampuan anak berkomunikasi, konsistensi pola asuh dalam keluarga, sikap sekolah dalam membantu anak, pengetahuan guru, dan sebagainya.

Bagi pihak sekolah, penting diperhatikan bahwa banyak langkah yang dapat dilakukan untuk membantu anak ASD berprestasi di lingkungan sekolah umum. Selain kesempatan, mereka juga memerlukan penanganan yang terpadu dan terfokus sesuai keadaan masing-masing anak.

Pihak keluarga tidak bisa hanya menuntut pihak sekolah untuk memberikan yang terbaik, karena tanpa kerja sama dari pihak keluarga, semua upaya memberikan kesempatan kepada anak menjadi mubazir dan tidak tepat sasaran. Sebaliknya pihak sekolah tidak dapat menyerahkan segala usaha kepada orang tua, karena bagaimanapun anak-anak ASD ini adalah bagian dari masa depan bangsa ini. Sebagai pendidik, sudah sewajarnya kita memberikan yang terbaik kepada anak didik kita. Sebagai pendidik, kita tidak boleh memilih murid.

Mendidik anak tidak bermasalah bisa dilakukan siapa saja, tetapi membantu anak bermasalah – khususnya anak ASD – untuk dapat mengatasi permasalahannya, memerlukan kemampuan yang luar biasa. Kreativitas, daya juang, kemampuan untuk bertahan, dan yang terpenting… keikhlasan untuk membantu anak ASD mendapatkan masa depan yang baik.

Anda menjadi guru yang luar biasa, bila memberikan upaya untuk membantu anak-anak ASD meningkatkan mutu kehidupan mereka.

To my one and only  Ikhsan Priatama Sulaiman and his friends. I love you just the way you are.   May God be with us, forever.. and ever.

*)  Penulis adalah Psikolog, Pendiri/Pengurus Yayasan Autisma Indonesia, Penanggung Jawab Pendidikan pada Sekolah Khusus Autisme “MANDIGA” – Jakarta, dan ibu dari Ikhsan Priatama Sulaiman, individu autisme berusia 12 tahun.

REFERENSI
Baker, Bruce L. and Brightman, Alan J, 1997 – Steps to Independence – Teaching Everyday Skills to Children with Special Needs,  Paul H. Brookes Publishing Co. Inc, Baltimore, US.

2.     Bitsika, Vicky, Basic Strategies for the Effective Shadow Teaching of Children with ASD, 2002, WeCan Conference Singapore.

3.     Fouse, Beth, PhD and Maria Wheeler, MEd,  A Treasure Chest of Behavioral Strategies for Individuals with Autisme, 1997, Future Horizons, Inc, Texas, US
Greenspan, Stanley , MD and Serena Wieder, PhD; The Child with Special Needs, 1998Perseus Publishing, US

5.     Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in Autisme – Improving Communication with Visual Strategies, 1999, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.

6.     Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Visual Strategies for Improving Communication -  Practical Supports for School and Home, 1995, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.
Lovaas, O.Ivar, PhD; The 'Me' Book -- Teaching Developmentally Disabled Children; 1981, Department of Psychology, University of California, Los Angeles, ProEd Inc-USA.
Maurice, Catherine, Gina Green, PhD and Stephen C. Luce, PhD; Behavioral Intervention for Young Children with Autisme, 1996, ProEd Inc-USA.
Meng, Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for Children for School Readiness in Singapore Mainstream Education, 2002;  WeCAN Third Annual Autisme Best Practices Conference November 2002

10. Quill,  Kathleen Ann, Teaching Children with Autisme – Strategies to Enhance Communication and Socialization, 1995,  Delmar Publisher, US
Schopler, Eric,  Parent Survival Manual – A Guide to Crisis Resolution in Autisme and Related Developmental Disoders, 1995,  Plenum Press, US
Siegel, Bryna, PhD; The World of the Autistic Child -- Understanding and Treating Autistic Spectrum Disorders, 1996, Oxford University Press - New York, 1996.
Sussman, Fern; More than Words - Helping Parents Promote Communication and Social Skills in Children with Autisme Spectrum Disorder; 1999, The Hanen Program - A Hanen Centre Publication, Ontario-Canada
Wolfberg,  Pamela J.; 1999; Play & Imagination in Children with Autisme; Teachers College, Columbia University, New York and London.

PERAN  KELUARGA
pada penanganan individu Autistic Spectrum Disorder

PENDAHULUAN

Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Tetapi selalu saja terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Orang tua lalu membawa buah hatinya ini ke dokter, dokter anak, psikiater anak atau psikolog .. dan betapa terkejutnya bila ternyata gejala anak menunjukkan bahwa ia  individu ASD !

Bagaimana rasanya sebagai orang tua yang anaknya divonis, proses apa yang dihadapi orang tua, harapan apa yang ada pada mereka, dan apa yang sebaiknya dilakukan para dokter/psikiater dalam upaya membantu keluarga memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dengan resiko tinggi ini, akan dipaparkan dalam makalah ini.

Anak-anak Autism Spectrum Disorder termasuk Children At Risk, dan mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik.

I.        SEBELUM DIAGNOSA

Orang tua yang memperhatikan perkembangan anaknya dan cukup memiliki informasi mengenai kriteria perkembangan anak, umumnya sudah dapat merasakan dalam hati kecilnya bila anaknya mengalami penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi. Meski demikian, mereka tidak sepenuhnya paham apa yang terjadi, sehingga memerlukan diri untuk datang pada dokter/psikiater.

Tujuan mereka datang adalah untuk :

~       Memperoleh pendapat profesional mengenai keadaan anaknya

~       Mendapatkan pengarahan untuk langkah penanganan selanjutnya

Tidak mudah menjalani fase ini, karena orang tua manapun ingin anaknya ‘baik-baik’ saja. Beberapa orang tua bahkan menunda pergi ke dokter atau psikiater karena khawatir akan menerima berita buruk. Sebaliknya, beberapa orang tua yang sudah pergi ke dokter atau psikiater, justru malah mendapatkan ‘angin segar’ yang menjerumuskan (“ah, anak laki biasa seperti ini”, “nanti juga bicara sendiri” dsb). Orang tua umumnya cenderung mengikuti ‘angin segar’ tersebut, karena secara manusiawi seseorang lebih bisa menerima berita menyenangkan daripada berita tidak menyenangkan. Bukannya tidak mungkin, di kemudian hari orang tua menyalahkan orang lain (termasuk dokter-nya) karena tidak diarahkan ketika sedang bingung ini.

II.      SAAT DIAGNOSA

Siapapun yang mendapatkan vonis keadaan tidak menyenangkan, pasti bereaksi.

Pada umumnya, reaksi pertama orang tua yang anaknya dikatakan menyandang ASD adalah tak percaya (shock). Seperti saat kita kaget, kita biasanya tidak bisa berpikir dan seolah tidak bereaksi 
Sesudah perasaan shock tersebut mulai teratasi, bergantian muncul berbagai rasa di bawah ini:

~       limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tak berdaya

~       merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri

~       marah kepada diri sendiri, pasangan, anak autis tersebut bahkan kepada Tuhan

~       sedih sekali, putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan

~       merasa tidak diperlakukan dengan adil

~       tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter tersebut salah; tawar menawar diagnosa

~       menolak kenyataan/fakta lalu bersikukuh bahwa anak tidak bermasalah

~       dan pada akhirnya: menerima kenyataan

Sebelum sampai pada tahap terakhir: penerimaan (= acceptance), pada umumnya orang tua terpaku pada persoalan “masa depan”, “mengapa aku” dan  “salah siapa ini”  .

Keadaan ini cenderung memperlambat proses penanganan karena umumnya lalu diikuti saling menyalahkan diantara pasangan, perasaan tak berdaya, depresi, dan seringkali berkembang menjadi stres berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.

Dokter/psikiater penting sekali melakukan intervensi bahkan sejak tahap ini. Orang tua yang sedang limbung dan marah, memerlukan pengarahan. Dalam situasi ini, pengarahan dari dokter atau psikiater mau tidak mau akan mereka pertimbangkan, karena mereka merupakan pihak yang dianggap ‘paling tahu’ mengenai persoalan anak-anak mereka. Tanpa pengarahan, fase ‘denial’ bisa berlangsung berlarut-larut hingga tahunan, dan berakibat sangat buruk pada anak, orang tua dan lingkungan.

Untuk dapat mendaya-gunakan peran keluarga dalam penanganan anak-anak ini secara terpadu, pada fase ‘saat diagnosa’ ini dokter/psikiater sudah dapat melakukan intervensi dengan:

       Memberikan pengarahan kepada para orang tua yang sedang berada pada taraf panik, tidak bisa berpikir, limbung, kaget, tidak tahu harus berbuat apa.

       Memberikan informasi terpadu. Keadaan orang tua yang limbung diperparah dengan kurangnya informasi dari dokter mengenai keadaan anak secara utuh (karena dokternya juga kurang paham), alternatif penanganan yang tersedia, kemungkinan hasil akhir (prognosa) dari penanganan dan kondisi anak.

Padahal, kesadaran orang tua bahwa anak memang ‘berbeda’ bila dibandingkan anak lain seusia dapat dijadikan dasar untuk menyadarkan orang tua, agar  “bangkit” dari perasaan negatif dan mengarahkan energi untuk mencari alternatif penanganan yang dapat menjawab kebutuhan anak.

       Memberi penekanan bahwa “waktu sangat berharga”, semakin dini intervensi diberikan, semakin terpadu dan spesifik bagi kebutuhan setiap anak, semakin besar harapan yang dapat diraih bagi masing-masing anak.

       Berusaha keras membuat orang tua yang tampak ‘melarikan diri’ dari fakta  (= denial), untuk segera maju ke tahap penerimaan (acceptance).

     Sikap denial sangat buruk dampaknya karena:

~       Membuang waktu dan kesempatan = masa depan anak

~       Membuat anak merasa tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya

~       Menimbulkan penolakan dari anak (resentment) dan lalu termanifestasi dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan (acting out/distructive behavior)

~       Memberi orang tua sebanyak mungkin FAKTA mengenai kondisi anak dan kemudian mengarahkan orang tua untuk menggunakan logika dan nalar dalam menghadapi musibah ini, sehingga tidak terfokus menggunakan emosi dan perasaan.

Dokter/psikiater harus meyakinkan orang tua bahwa mereka harus melakukan sesuatu. 

Masalah individu ASD terutama tertampil dalam 3 aspek masalah: perilaku, komunikasi, interaksi; meski tidak menutup kemungkinan adanya masalah lain seperti masalah sensoris, masalah makan, masalah tidur, adaptasi, gangguan belajar dan sebagainya. Setiap anak sangat unik, sehingga penanganan haruslah dapat menjawab kebutuhan masing-masing anak. 

Keunikan masing-masing anak dan pengetahuan bahwa masalah individu ASD memang rumit, harus diberi tahu kepada orang tua untuk memungkinkan penanganan tepat guna. Ajari mereka teknik-teknik observasi sederhana untuk dapat mengenali masalah yang ada pada anak mereka. Tekankan bahwa tanpa usaha mereka mengenali masalah secara akurat, sulit sekali mengupayakan penanganan yang tepat guna dan menjawab kebutuhan anak.

III.       SESUDAH DIAGNOSA

Penegakan diagnosa autism, biasanya dilakukan setelah diperoleh data cukup dari hasil wawancara mendalam dengan orang tua, upaya interaksi dengan anak, dan observasi intensif terhadap perilaku anak.

Tiga cara di atas penting dilakukan, karena gejala autism bukanlah sesuatu yang dapat diukur melalui alat diagnostik medis. Umumnya dokter/psikiater mendasarkan penarikan kesimpulan pada DSM IV atau ICD 10. Kadang dokter/psikiater mengambil inisiatif menggunakan kuesioner atau formulir untuk diisi orang tua, yang sifatnya juga untuk mencari data mengenai perilaku anak yang diamati orang tua/lingkungan di rumah. Atau, meminta orang tua melakukan pemeriksaan fisik (darah, syaraf telinga, faesces, urine dsb) untuk mengesampingkan kemungkinan adanya gangguan perkembangan atau masalah kesehatan lainnya selain autism. Sayangnya, orang tua tidak diberitahu pentingnya setiap langkah yang diambil oleh dokter/dokter tersebut. Orang tua tidak tahu betapa penting langkah pengumpulan data ini, juga takut dengan kemungkinan akan diagnosa sebenarnya, dan lalu berusaha menutupi kenyataan sehingga data yang diperoleh menjadi tidak akurat. Penjelasan menyeluruh atas ALASAN mengapa langkah-langkah tersebut di atas dilakukan, diharapkan bisa membuat orang tua tahu bahwa semua ini untuk kebaikan anaknya, sehingga lalu bisa lebih bekerja sama dalam menegakkan diagnosa.

Sesudah dokter/psikiater memberitahu orang tua bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan autisme,  orang tua tidak tahu harus berbuat apa, mereka seolah ‘terjebak’ dalam rimba raya tanpa arah keluar yang jelas. Sebagian dari mereka mencari pendapat dari dokter/psikiater lain (= belanja diagnosa), sebagian lagi terpuruk di bawah payung diagnosa dan tidak berbuat apa-apa, sebagian lagi terbakar semangatnya untuk mencari penanganan yang tepat, sebagian lagi berusaha mencari penanganan tapi akhirnya terperangkap dalam penanganan yang tidak jelas. Yang dikorbankan disini adalah nasib anak-anak, dan nasib mereka berada di tangan orang tua yang kurang informasi mengenai keadaan anaknya.

Berdasarkan pengalaman beberapa orang tua, rata-rata kecewa atas  beberapa kejadian kurang menyenangkan dalam perjalanan mereka memperoleh diagnosa:

          Dokter-dokter yang menangani anak-anak mereka, memberikan diagnosa yang berbeda-beda bagi kondisi anak yang sama. Hal ini membuat orang tua sangat bingung, sehingga lalu penanganan anaknya kurang terpadu dan berakibat perkembangan anak yang kurang optimal.

          Sesudah diagnosa, dokter tidak memberikan penjelasan mengenai alternatif penanganan, sehingga orang tua tidak tahu harus berbuat apa. Orang tua bisa pergi ke tempat terapi yang salah, karena dokter menganjurkan mereka pergi ke sana. Padahal, dokter tersebut belum pernah bertemu pengelola atau berkunjung ke tempat terapi tersebut. Atau, justru dokter tersebut yang membuka tempat terapi dan karena sibuk tidak sempat memperhatikan mutu penanganan anak.

          Orang tua tidak mendapatkan informasi mengenai positif negatif masing-masing penanganan, dan diharapkan untuk mencari informasi sendiri. Akibatnya mereka mencari informasi dari sumber-sumber yang kurang dapat dipertanggung jawabkan, dan hal ini memperlambat proses penanganan anak.

          Orang tua tidak mendapatkan pengarahan secara sistimatik dan terarah, padahal begitu banyak informasi baru dan perubahan yang harus dicerna orang tua. Akibatnya, orang tua lalu terpaksa mencari penjelasan dari berbagai sumber dan atau mengalami tekanan mental selama proses mencerna perubahan-perubahan tersebut.

          Sebagian orang tua bahkan cenderung melepas tangan, karena tidak sadar bahwa justru peran serta mereka sangat menentukan perkembangan anaknya. Penekanan pada pentingnya keterlibatan mereka, seharusnya diberikan untuk mengurangi kecenderungan lepas tangan tersebut.  

          Dokter/psikiater yang dianggap membantu adalah mereka yang juga memberikan pencerahan bagaimana mengelola permasalahan/musibah ini dengan sebaik mungkin, sehingga stres berkepanjangan akibat salah pengelolaan dapat dihindari. Pencerahan bagi orang tua juga termasuk pemberian obat-obatan sesuai kebutuhan, mengingat bahwa ‘musibah’ ini berkepanjangan dan menimbulkan stres mental/fisik yang berkepanjangan pulan.   

Kurangnya pengarahan dari para dokter/psikiater tersebut, besar kemungkinan karena para dokter/psikiater juga kurang informasi mengenai apa yang dapat dilakukan keluarga dalam membantu proses penanganan individu ASD tersebut.

Bagaimana bentuk peran keluarga dalam penanganan individu ASD ?
1.    Memahami keadaan anak apa-adanya  (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan).

Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua, karena banyak diantara orang tua ‘sulit’ atau ‘enggan’ menangani sendiri anaknya sehari-hari di rumah. Mereka banyak mengandalkan  bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak (bagian dari ‘denial’). Padahal, pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya, karena membuat orang tua

    memahami kebiasaan-kebiasaan anak,

    menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak,

    memahami penyebab perilaku buruk atau baik anak-anak,

    membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan di masa depan.

Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus menerus mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan ‘masuk’ kembali ke dalam dunianya.

Ada baiknya orang tua dibantu melihat sisi positif keberadaan anak, sehingga orang tua bisa bersikap lebih santai dan ‘hangat’ setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autis yang ‘sulit’ untuk diarahkan, dididik dan dibina.

2.    Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.

Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam membantu memberikan ketrampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak.

Satu hal penting yang perlu diingat oleh setiap orang tua adalah bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda dari anak lain. Greenspan (1998) menekankan bahwa setiap anak memiliki profil yang unik dan spesifik. Individual differences (perbedaan individu) ini tertampil pada

-       bagaimana anak memproses informasi (gaya belajar), bereaksi terhadap sensasi, merencanakan tindakan, dan merunut perilaku atau pikiran mereka;

-       derajat kapasitas fungsi emosional, sosial dan intelektual mereka;

-       pola interaksi dan komunikasi mereka;

-       kepribadian mereka;

-       dan pola pengasuhan keluarga mereka.

Tentu saja perbedaan individu ini sangat berpengaruh dalam rancangan intervensi yang melibatkan orang tua, terapis dan pendidik.

Hodgdon (1999) menjelaskan, ada beberapa langkah yang dapat membantu orang tua mengembangkan alternatif solusi efektif bagi masalah mereka yakni:

a.     Observasi perilaku

Mengingat bahwa kebanyakan perilaku didasari kebutuhan tertentu, penting untuk pahami perilaku sehingga dapat mendeskripsikan situasi yang terjadi. Untuk dapat memahami perilaku dan alasan yang mendasarinya, ada beberapa teknik observasi dan pencatatan yang dapat dipilih yaitu: ABC, Functional Behavioral Analysis dan Data Collection.

Dalam makalah ini akan diulas satu teknik saja, yaitu teknik yang paling sederhana tetapi memberikan masukan secara menyeluruh mengenai masalah yang dihadapi:

A – B - C

A =  Antecedent     ( apa yang terjadi SEBELUM perilaku terjadi )

B =  Behavior         ( apa yang dilakukan anak )

C =  Consequence   ( apa yang terjadi SESUDAH perilaku, atau akibat dari perilaku )
Cara ini sederhana tetapi dapat membantu kita mengetahui apa yang mendahului atau mengikuti suatu perilaku sehingga dapat dilakukan modifikasi sesuai kebutuhan.

Contoh: 

Ita sedang duduk di meja sendiri bermain puzzle. Ibu guru Astri mendatangi dan mengajak Ita duduk di teras (consequence). Ita langsung berteriak dan menangis kencang (behavior). Apa sebab?

Ternyata sebelum ibu guru Astri mendatangi Ita, ibu guru Erni sambil berlalu di depan Ita mengatakan (antecedent) “Hati-hati duduk di teras, ada ulat bulu” (tanpa menyadari bahwa Ita mendengar perkataan tersebut). Jadi, Ita berteriak BUKAN karena perilaku ibu guru Astri, tetapi karena membayangkan ada ulat bulu di teras dan ia diminta mendekatinya. Begitu tahu kejadian yang mendahului (antecedent), ibu guru Astri menjelaskan bahwa “Ulat bulu sudah dihilangkan, jadi tidak apa-apa duduk di teras” dan Ita bersedia duduk di teras bersama teman yang lain.

Tanpa upaya mencari tahu apa yang mendahului perilaku, sulit memberikan konsekuensi yang sesuai.

Orang tua harus mahir melakukan pengamatan perilaku anaknya, mengingat bahwa gangguan perkembangan autism banyak termanifestasi dalam bentuk gangguan perilaku.

b.    Analisa dan interpretasi

Sesudah kita mendeskripsikan perilaku, kita perlu memahami dengan melakukan analisa sehingga kita paham apa yang kita lihat. Tujuannya adalah untuk dapat mengetahui KENAPA perilaku tersebut terjadi (setiap masalah perilaku didasari adanya hambatan/kesulitan tertentu (Schopler, 1995)… agar dapat dilakukan pencegahan atau penanganan terhadap perilaku-perilaku tersebut.

Hodgdon (1999) menekankan bahwa langkah ini penting guna dapat menemukan solusi efektif jangka panjang. Dasarnya adalah bahwa:

Ÿ          Masalah perilaku jarang merupakan kejadian sederhana. Semakin kita memahami situasi dari sudut pandang anak, semakin efektif solusi kita.

Ÿ          Mitra komunikasi atau orang yang berhubungan langsung saat terjadinya masalah perilaku mungkin punya sudut pandang yang berbeda dari anak.

Ÿ          Pengamat luar (=observer) mungkin melihat situasi secara berbeda dari orang lain yang secara langsung terlibat. Seringkali lebih mudah melihat perilaku secara utuh bila kita tidak terlibat secara langsung dalam kejadian tersebut (tidak ada keterlibat-an emosional).

Ÿ          Melalui analisa seringkali SEBAB dan ALASAN terjadinya perilaku dapat diketahui. Kadang sulit ditemukan jawaban yang jelas. Dalam keadaan demikian tidak ada salahnya untuk “menebak” atau menetapkan “hipotesa” sampai dapat diperoleh informasi yang lebih jelas (daripada tidak melakukan apapun).

c.     Kembangkan solusi

Sesudah dilakukan analisa dan diketahui penyebab atau konsekuensi dari perilaku tertentu, dapat diupayakan pengembangan solusi atas masalah perilaku.

Tujuan solusi adalah:

-        Pencegahan masalah perilaku di kemudian hari.

-        Menyediakan sarana & prasarana untuk mengatasi masalah bila terjadi lagi

Ingat bahwa: “TIDAK melakukan apapun” seringkali sama pentingnya dengan mengambil langkah solusi, tergantung pada situasi saat masalah perilaku tersebut terjadi.

Misal: bisa diketahui bahwa anak tertawa terkekeh-kekeh tanpa henti sesudah ia mengkonsumsi gula (teh manis), maka dokter perlu menjelaskan mekanisme masalah pencernaan anak sehingga orang tua paham dan bekerja keras mengurangi konsumsi gula di kemudian hari.

Atau, setelah terlihat bahwa anak tantrum karena sesudah tantrum mendapatkan ‘upah’ permen, dokter dapat mengarahkan orang tua untuk menghentikan pemberian tersebut dan menggantinya dengan intervensi lain agar perilaku tantrum menghilang.

d.    Pilih strategi yang sesuai

Banyak strategi yang tersedia, tapi tentu saja pemahaman akan masing-masing strategi penting dijelaskan kepada orang tua. Strategi-strategi tersebut, antara lain didasari prinsip sebagai berikut:

-        Komunikasi sering adalah bagian dari masalah perilaku, maka meningkatkan kemampuan anak berkomunikasi harus dipertimbangkan untuk mengurangi derajat frustrasi yang seringkali mendasari perilaku bermasalah. Beberapa strategi komunikasi dengan alat bantu adalah PECS (Picture Exchange Communication System), Compics (menggunakan simbol Ya/Tidak, melakukan pilihan), dsb.

-        Dengan demikian anak diharapkan dapat memperoleh keinginan dan kebutuhan-nya dengan lebih efektif tanpa perilaku negatif, dapat berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sama-sama mereka nikmati, dan pada akhirnya diharapkan dapat berpartisipasi secara efektif dalam berbagai aspek kehidupannya.

-        Karena hampir semua penyandang ASD adalah visual learner, maka menggunakan  strategi visual perlu dijadikan pertimbangan dalam usaha memodifikasi perilaku. Penggunaan icon-icon visual untuk mengatur perilaku, membuat skedul, mengajar kemandirian dan meningkatkan pemahaman perlu juga dipertimbangkan agar proses pengajaran dapat berlangsung efektif efisien.

-        Sikap mitra komunikasi. Kadangkala perubahan justru harus dimulai dari mitra komunikasi. Bagaimana mitra komunikasi memodifikasi gaya komunikasi atau perilakunya dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku anak.

Mitra komunikasi disarankan untuk berbicara singkat, lugas dan jelas. Kata-kata abstrak, bermakna ganda, sarat dengan perintah dan pertanyaan sebaiknya dihindari. Terus menerus menggunakan ‘bahasa terapi’ juga tidak disarankan, karena cenderung membuat anak tidak fleksibel.

-        Pemahaman memegang peranan besar dalam perkembangan kemampuan berkomunikasi, karena itu peningkatan pemahaman anak perlu dilakukan melalui berbagai cara. Antara lain melalui teknik ABA (applied behavioral analysis), melalui pengalaman sehari-hari yang direkayasa, pendampingan intensif, pengulangan, generalisasi dan sebagainya.

e.       Evaluasi rencana

Rencana yang telah ditetapkan harus selalu dievaluasi, agar kita memperoleh masukan apakah strategi yang dipilih dapat menyelesaikan masalah atau sebaliknya.

3.    Melakukan intervensi di rumah

Bagaimanapun hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tuanya. Orang tua (tidak harus ibu) melakukan apapun demi kebaikan anaknya, tanpa pamrih, dan tidak mengenal kata “percuma”.
Apalagi, dari waktu yang dilewatkan bersama, hubungan kedekatan antara orang tua dan anak dapat terbentuk.

Meskipun semakin intensif semakin baik, intervensi ini tidak harus dalam bentuk penanganan terus menerus setiap hari (karena banyak orang tua harus bekerja). Setidaknya ada usaha dari orang tua dan keluarga untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anaknya sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini SANGAT berpengaruh pada perkembangan anak.

  Apa yang harus diperhatikan dalam menangani anak di rumah ?

**  Fokus kita adalah pada (Hodgdon, 1999):

Meningkatkan pemahaman &  mengajarkan ketrampilan baru.

Jadi, tujuan utama penanganan: pemahaman BUKAN bicara/ pengungkapan.

Orang tua HARUS dibantu mengerti bahwa sebagian populasi autism memang tidak bisa verbal, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi pemahaman mereka. Seringkali orang tua kecil hati dan putus asa karena anaknya tidak bisa verbal (yang berhubungan dengan daerah gangguan perkembangan di otak), padahal anak sudah sangat membaik perkembangannnya. Dokter perlu membantu orang tua melihat sisi positif perkembang-an anak, agar orang tua bisa menghargai perubahan yang terjadi sehingga bersikap lebih positif pula.

Kesadaran bahwa sebagian populasi autism memang non-verbal perlu juga ditekankan, agar orang tua dapat beralih kepada alat bantu komunikasi yang bisa dipelajari. Tujuan kita adalah memberi anak kemudahan untuk mengekspresikan diri melalui berbagai cara, sehingga anak tidak frustrasi, dan bisa berperilaku lebih positif.

**     Salah satu cara yang dapat dilakukan orang tua di rumah dengan segera adalah dengan 
  PENDAMPINGAN INTENSIF.

Pendampingan yang dimaksud disini bukanlah menemani, tetapi memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan pengasuh/orang tua yang ada di sekitarnya.  Tujuan pendampingan intensif bukan saja untuk membina kontak batin terus menerus dengannya (bukan sekedar kontak mata), tetapi meningkatkan PEMAHAMAN anak yang umumnya cenderung terbatas. 

Pendampingan ini dilaksanakan sejak anak mulai membuka mata, hingga saatnya ia tertidur kembali di malam hari. Saat pendampingan intensif, tugas siapapun yang menemani anak untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada anak. Penting sekali untuk TIDAK membiarkan anak sendirian tanpa melakukan apa-apa.

Berikan pengalaman sebanyak mungkin, disertai pengarahan. Anak harus tahu, bahwa dunia ini sarat dengan makna. Dengan mengikuti kemana ia pergi, memberi tahu apa yang ia pegang atau lihat, menjelaskan berbagai kejadian yang ia alami, kita memberi makna pada hidupnya.

Lebih penting lagi, berikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai hal. Mungkin pada awalnya dibantu tetapi sambil mengajarkan cara mengerjakannya sendiri. Jangan layani ia setiap saat, karena anak akan cenderung belajar untuk tidak berdaya bila terus menerus dibantu. Holmes (1997)  menggunakan istilah "learned helplessness" (atau ketidakberdayaan yang dipelajari) untuk melukiskan situasi dimana penyandang autisme cenderung belajar menjadi 'tidak berdaya' sambil tetap mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Keadaan 'tidak berdaya'  juga merupakan kondisi yang menyenangkan bagi anak autis karena ia lalu punya kesempatan untuk kembali 'masuk' ke dalam dunianya -- terbebas dari rasa frustrasi, cemas, dan tertekan saat harus susah payah melalui proses belajar hal baru.

Sebaliknya, keadaan 'tidak berdaya' ini merampas seorang penyandang dari hak-haknya untuk hidup mandiri, untuk menentukan sendiri apa yang ingin ia lakukan dan bagaimana melakukannya. Keadaan tersebut juga seolah mengizinkan mereka untuk berperilaku tidak semestinya, karena mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri..

Singkatnya, ‘learned helplessness’ menghambat seorang anak autis mendapatkan hak akan kehidupan yang layak di kemudian hari.

**  Pertanyaan orang tua berikutnya adalah: apa yang akan diajarkan?

Penting sekali untuk berusaha meningkatkan pemahaman anak dalam berbagai bidang: kemampuan berpikir, kemandirian mengurus diri sendiri, ketrampilan sosial, agar setidaknya mendekati kemampuan anak lain seusianya.

Untuk itu harus ditetapkan target ketrampilan. Bagaimana menetapkannya?

Baker & Brightman (1997) dalam bukunya Steps to Independence menganjurkan kita:

          Melakukan observasi cara anak melewatkan hari-harinya

          Mencatat berbagai hal yang sekarang ANDA lakukan untuknya, dan Anda pikir sudah dapat mulai ia pelajari sendiri (misal: mengikat tali sepatu, membuka baju, mencuci rambut, membereskan mainan, makan, toileting dsb).  Mungkin juga bisa ditambahkan ketrampilan baru (bermain) atau tugas lain yang Anda pikir sudah dapat dipelajari olehnya.

          Menyadari bahwa dari sekian banyak hal yang Anda pikir sudah dapat ia pelajari, ada hal yang harus sudah ia kuasai sebelum ia dapat belajar hal tertentu (prasyarat). Seperti: duduk sebelum berdiri, makan dengan garpu sebelum memotong dengan pisau dsb. Jadi, pertimbangkan apa yang sudah dapat ia lakukan, dan apa yang dapat diajarkan sesudah itu.

          Menetapkan prioritas. Pilih, hal apa yang PALING berarti bagi sekelilingnya bila dapat dikerjakan anak sendiri. Misal: anak tidak bisa makan sendiri berakibat tidak mungkin pergi makan bersama-sama, anak tidak bisa pakai baju sendiri berarti ibu tidak bisa meluangkan waktu bersama anak lain di pagi hari karena sibuk membantu anak berpakaian.

          Melakukan pergerakan dalam langkah-langkah yang kecil, untuk mengupayakan 80%  kemungkinan keberhasilan pada anak. Minta orang tua melakukan analisa tugas (task analysis) dimana kita membagi sebuah tugas dalam langkah kecil untuk diajarkan secara terpisah dan tersendiri. Misal: untuk tugas mandi, langkah-langkah yang tercakup adalah masuk kamar mandi, tutup pintu, buka pakaian, siram badan, pakai sabun, siram badan, keringkan badan dengan handuk, berpakaian, keluar.

          Bila salah satu langkah belum dikuasainya, harus diajarkan tersendiri.

Selain ketrampilan/pengetahuan, penyandang ASD penting sekali untuk diajarkan   KEPATUHAN. Mereka yang cenderung “semau-nya sendiri”, cenderung mengalami masalah di lingkungan masyarakat, bila tidak sejak dini dibantu untuk patuh.

Tanamkan pengertian bahwa “hidup ini sarat dengan aturan, dan kamu harus belajar untuk mematuhi sebagian besar aturan tersebut”. 

Bagaimanapun pandainya seseorang, bila ia tidak dapat mengikuti aturan yang berlaku.. ia akan dikatakan “tidak tahu aturan” dan seringkali ditolak oleh lingkungannya. Karena itu, ingatkan orang tua untuk mengajarkan aturan-aturan sederhana kepada anak sedari dini. Misal: tidak boleh lempar-lempar barang, tidak boleh makan sambil berlari-lari, harus mau membereskan barang dsb. 

Konsistensi disiplin orang tua  =   kunci utama adanya kepatuhan pada anak.

Banyak buku yang dapat dijadikan panduan saat menetapkan program/materi yang akan diajarkan. Buku yang direkomendasikan untuk penanganan awal adalah manual yang disusun oleh seorang ibu dengan dua anak penyandang autisme yang berhasil 'sembuh', yakni Catherine Maurice. Bila anak tampak berespons dengan baik, tidak ada salahnya memperluas materi dengan menggunakan buku A Work in Progress (Mc Leaf, 1999)  yang sarat dengan ide dan bahan untuk diajarkan pada penyandang autisme. Selain itu, bisa juga menggunakan Hanen Program (Sussman, 1999) yang menggunakan banyak gambar dan contoh konkrit sehari-hari dalam membantu penyandang autisme belajar berkomunikasi. Buku-buku di atas dan berbagai informasi lain sudah dapat diperoleh di YAYASAN AUTISMA INDONESIA, Jl. Buncit Raya 55 – Jakarta Selatan, telpon 021-7971945. Beritahu orang tua untuk mencari informasi di tempat tersebut, sehingga mereka tidak mendatangi sumber-sumber informasi yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan.

Yang jelas, program yang dibicarakan disini adalah perluasan dari apa yang diajarkan orang tua saat penanganan anak di rumah. Perluasan disini maksudnya adalah memasukkan berbagai konsep (seperti warna, bentuk, angka, abjad, berbagai kategori dsb.); disamping juga mengajarkan berbagai pengetahuan yang ia perlukan untuk dapat mengikuti aturan di sekolah / kelompok bermain yang akan ia tempuh nantinya.

Perlu juga diingat untuk membantu anak melatih kemampuan motorik kasar dan motorik halusnya, koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketelitian, disamping mempertahankan konsentrasi serta pemusatan perhatian pada detil benda yang ia hadapi. Cara-cara bisa sama, diperluas dengan menggunakan gambar 2 dimensi dan dapat dilakukan di   kamar  khusus dalam posisi duduk, atau menggunakan berbagai teknik aplikatif yang intinya adalah membuat tampilan semenarik mungkin melalui berbagai pengalaman yang memperkaya wawasan anak.   

Ingatkan orang tua untuk memastikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang diajarkan di atas dapat ia gunakan segera dalam kehidupan sehari-hari (fungsional), dan ia diberi kesempatan untuk mengaplikasikannya (aplikatif). Peran orang tua dalam proses generalisasi dan praktek teori ini menjadi sangat penting, karena bila tidak dipraktek-kan maka berbagai konsep yang sudah dikuasai anak menjadi seolah mubazir karena tidak terpakai.

**     Bagaimana CARA mengajarkan berbagai hal tersebut di atas?

Dalam meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar memberitahu ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman1997).

a.        Instruksi verbal  ( tell = verbal directions ) : 

-        hanya diberikan saat anak memperhatikan

-        diberikan dalam kalimat singkat dan lugas, tepat sasaran

-        menggunakan kata-kata yang dipahami anak

b.        Peragaan  ( show = modelling ) :

-          mendemonstrasikan apa yang kita maksud dengan instruksi verbal tadi

-          efektif bila dilakukan dengan lambat dan berlebihan

-           porsi peragaan ini dikurangi sedikit demi sedikit, sejalan dengan penguasaan anak

c.        Pengarahan  ( guide = physical guidance ):

-           sambil memberikan instruksi dan peragaan kepada anak, kita juga mengarahkan tangan anak secara fisik

-           kita menunjukkan bagaimana melakukan apa yang kita instruksikan tersebut

-           mulanya, KITA yang mengerjakan semua hal, tetapi bertahap kita mengurangi peran dalam pengarahan sehingga anak sedikit demi sedikit dapat mengerjakannya secara mandiri.

Dalam upaya menambahkan pengalaman dan kosa kata baru, kita juga dapat membantu anak untuk belajar dengan (Manolson, 1995):

-       menggunakan gerakan yang dapat ditirunya

-       memberikan nama pada benda/gerakan apapun yang ia lihat/lakukan

-       meniru anak sambil menambahkan kata atau gerakan yang sesuai

-       memberi penekanan pada kata-kata yang bermakna

-       mengulang, mengulang, mengulang kata-kata baru

-       menambahkan ide baru pada hal-hal yang sudah dikuasainya.

Lalu, bila anak mampu mengerjakan sesuatu (atau setidaknya, bagian dari sesuatu), pastikan ada imbalan atas perilaku positifnya tersebut (reward).

Imbalan-imbalan ini sangat diperlukan untuk membangkitkan motivasi anak ASD yang umumnya TIDAK tertarik untuk melakukan apapun. Imbalan dapat diberikan dalam bentuk:

-        perhatian

-        cemilan (makanan/minuman)

-        kegiatan yang ia sukai

-        token  (bisa bintang, kupon, chips, tabel jadwal dsb).

** Selain meningkatkan pemahaman, usaha selanjutnya adalah melakukan modifikasi perilaku, untuk sedapat mungkin mengurangi  (bahkan menghilangkan) ciri negatif yang ada pada anak. Cara yang seringkali memberikan perubahan adalah dengan mengalihkan perhatian anak agar ia berhenti melakukannya, sambil mengajarkan perilaku lain yang lebih 'wajar' dan sesuai untuk anak seusianya (differential reinforcement). 

Misal: anak cenderung 'flapping'  saat ia sangat gembira. Ajak ia bicara saat itu dengan memberikan 'label emosi' dan 'deskripsi situasi'. Ajarkan ia cara lain untuk mengungkapkan kegembiraannya, antara lain dengan tepuk tangan atau tertawa.

Contoh lain: anak cenderung membenturkan kepala untuk mencari perhatian. Cermati gejala awal sebelum ia membenturkan kepala, CEGAH sebelum ia melakukannya dengan memegang kepalanya sampai ia berhenti berusaha. Tidak perlu membujuk atau memarahi, karena justru akan membuat anak makin menggunakan perilaku tersebut untuk mendapatkan perhatian. Bujukan atau omelan Anda, akan ia anggap sebagai perhatian.

Tentu saja upaya ini tidak dapat segera membuahkan hasil. Intensitas dan kontinuitas perlakuan sangat menentukan hasil akhir.

Orang tua yang mudah menyerah, cenderung akan kecewa karena sering (meski tidak selalu)  perlu waktu bertahun-tahun sebelum perilaku negatif bisa berhenti. Perubahan positif penanganan terhadap perilaku, suka atau tidak, berkaitan dengan konsistensi sikap orang tua. Semakin konsisten, semakin kita bisa mengharapkan hasil optimal. Semakin tidak konsisten, semakin jauh dan lama langkah perjalanan yang harus ditempuh sebelum tercapai hasil positif.

Dalam upaya melakukan modifikasi perilaku tadi, kenali pola perilaku yang ia tampilkan, karena sering itu merupakan perwujudan kebutuhan fisiknya akan sesuatu. Misalnya, anak sangat senang melompat di tempat tidur dan ia bisa lakukan berjam-jam. Upayakan adanya trampolin di rumah Anda dan berikan ia waktu (atur waktu tersebut) untuk melompat sepuasnya. Contoh lain, anak cenderung menatap dengan memiringkan wajahnya. Janganlah ia dipaksa untuk melihat secara lurus. Bukan tidak mungkin, ia memiringkan wajahnya karena begitulah caranya menyesuaikan diri dengan kekurangan yang (mungkin) ia miliki. Memaksakan anak untuk bersikap seperti kita, tentu tidak akan menghasilkan apapun bila ia memiliki kebutuhan yang berbeda dari kita.

4.   Melakukan evaluasi secara periodik atas apapun program penanganan yang diterapkan pada anak. 

Bila orang tua beruntung bisa berbicara dengan mereka yang sudah berpengalaman dan anak sudah memiliki program pendidikan yang spesifik, tugas berikutnya adalah me-mastikan bahwa program tersebut berjalan sesuai kaidah seharusnya. Secara berkala harus ada evaluasi, baik terhadap materi, proses, maupun terhadap hasil akhir.

Berbekal akal sehat dan pengetahuan dasar mengenai konsep pendidikan, orang tua dapat melakukan evaluasi sendiri terhadap pelaksanaan tata-laksana anaknya.

     Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua antara lain adalah:

-           Ekspresi wajah dan bahasa tubuh anak / terapis saat tatalaksana

-           Inti materi secara keseluruhan  (fungsi, aplikasi, relevansi dsb)

-           Kualitas penguasaan materi dan kemungkinan generalisasi

-           Variasi tampilan dan alternatif kegiatan

-           Pencatatan hasil tatalaksana

-           Kaitan tujuan belajar kini dengan target  belajar di masa depan

5.    Bersikap positif dan percaya diri dalam menangani perkembangan anak.

Penanganan intensif  dapat membantu penyandang autisme, tetapi setiap orang yang terlibat mau tidak mau dihadapkan pada rasa frustrasi dan ketidak-nyamanan saat berusaha berkomunikasi dengan anak yang 'kurang mampu, tidak tertarik, atau bahkan tidak dapat dimengerti'. Di bawah tekanan seperti ini,  orang tua paling hangat dan penuh kasih sekalipun bisa sungguh-sungguh hilang akal, bahkan berubah menjadi  maniak yang selalu berteriak-teriak (Lovaas, 1996).

Perjuangan memperbaiki kualitas hidup individu autis yang bisa berlangsung bertahun-tahun, ketidak pastian masa depan anak, dan tidak adanya kejelasan hasil akhir penanganan seringkali mempengaruhi kehidupan orang tua dan keluarga. Dokter perlu membantu orang tua melalui rasa frustrasi, stres dan putus asa yang berkepanjangan seperti ini, melalui konseling dan obat-obatan sesuai kebutuhan. Tidak jarang orang tua yang paling percaya diri sekalipun menjadi depresi dan sakit-sakitan, karena khawatir akan masa depan anak yang dikasihinya.

Penting sekali menekankan penanganan secara berkelompok. Pembentukan kelompok juga mencegah terjadinya kelelahan yang amat sangat ( "burn-out" )  pada orang tua akibat mengerjakan semua hal sendiri. “Kelompok” ini bisa terdiri atas : terapis/guru, asisten,  orang tua, pengasuh, pendidik di sekolah, saudara orang tua, nenek, maha-siswa, bahkan pembantu sekalipun. Yang penting, siapapun yang bekerja dalam kelompok anak harus mau belajar, dan mau menerima keadaan anak apa adanya.

Ketrampilan apapun yang diperlukan, bisa dipelajari bersama-sama; tetapi kesediaan menerima keadaan anak harus datang dari lubuk hati terdalam. Umumnya penyandang autisme sensitif, sehingga respons mereka seringkali dipengaruhi oleh sikap lingkungan terhadap mereka. Semakin mereka diterima keadaannya, semakin baik kemungkinan responsnya. Semakin mereka merasa ‘tidak diterima’, semakin sulit membentuk kontak pribadi dengan mereka.

KESIMPULAN

Tak dapat dipungkiri lagi, orang tua sangat menentukan dalam setiap aspek perkembangan anak. Pengasuhan sehari-hari sangat memegang peranan pada perkembangan individu autis.

Tidak mudah menjadi orang tua penyandang autisme. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati, mulai dari tak percaya, marah, sedih, merasa bersalah, lelah, cemas, bingung sampai putus asa. Karena sulit, orang tua dan keluarga perlu dibantu dan diarahkan sehingga mereka tidak salah bertindak. Peran serta dokter sangat diperlukan agar kekeliruan diagnosa atau penanganan dapat diperkecil (bahkan ditiadakan) di kemudian hari. Bagaimanapun, orang tua menganggap dokter sebagai ‘tokoh’ panutan dan sumber informasi yang dapat dipercaya sehingga petunjuk dari dokter cenderung dijadikan dasar langkah-langkah penanganan selanjutnya.

Love is about unconditional acceptance and

doing your best to make your loved ones happy.

To my one and only Ikhsan,  I love you just the way you are.

May God always be with us. Amin.

REFERENSI

1.      Baker, Bruce L.  and Alan J. Brightman, Steps to Independence – Teaching Everyday Skills to Children with Special Needs, 1997, Paul H. Brookes Publishing Co. Inc, Baltimore, US

2.      Greenspan, Stanley, MD and Serena Wieder, PhD,  1998; The Child with Special Needs, Perseus Publishing, US

3.      Hodgdon, Linda A.  MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in Autism – Improving Communication with Visual Strategies, 1999, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.

4.      Holmes, David L.  Ed.D, 1997; Autism through the Life Span, The Eden Model; Woodbine, USA

5.      Leaf, Ron and John McEachin, 1999; A Work in Progress, Autism Partnership, Publisher: DRL Books, New York.

6.      Lovaas, O. Ivar, PhD, 1981;  The “ME” book – Teaching Developmentally Disabled Children; Department of Psychology, University of California, Los Angeles, ProEd Inc-USA.

7.      Manolson, Ayala; with Barbara Ward and Nancy Dodington, 1995;  YOU make the Difference – In Helping Your Child Learn; A Hanen Centre Publication, Toronto-Canada.

8.      Schopler, Eric; Parent Survival Manual – A Guide to Crisis Resolution in Autism and Related Developmental Disoders, 1995,  Plenum Press, US

9.      Sussman, Fern ;  1999; More than Words - Helping Parents Promote Communication and Social Skills in Children with Autism Spectrum Disorder; The Hanen Program - A Hanen Centre Publication, Ontario-Canada

A GIFT FROM HEAVEN

He was different from the others, he needed extra care.
So God sent him special parents to watch while he was there.
They loved him more than life itself, but sometimes wondered why,
God had sent this special child to them from heaven up on high..
He’s a gift from up above sent from heaven just to share your love.
You have the kind of spirit he’ll need, you see
He’s a gift from heaven, from heaven above.
This child God has sent to you, because you are special too.
You have the kind of spirit, he will need to see him through.
Not just anyone could raise this child
the way God would want them to.
He’s counting on you to do, the best that you can do.
God will help you all along the way, he’ll never leave your side.
He’s watching you and smiling, in heaven up on high.


PERAN SAUDARA SEKANDUNG PADA ANAK PENYANDANG ASD

Abstrak

Topik ini membahas tentang pentingnya peran Saudara Sekandung dalam proses meningkatkan kemampuan anak penyandang autis dalam halbersosialisasi dan berinter-aksi dengan orang lain di luar anggota keluarga.

Mengapa saudara sekandung ? dilihat dari segi hubungan dan emosi, saudarasekandung adalah orang yang paling dekat, dan sering melakukan kegiatan bersama serta yang paling mengetahui apa yang telah terjadi pada anak penyandang autis. Oleh karena itu saudara sekandung adalah orang yang paling tepat dalam membantu proses belajar.

Pengamatan ini dilakukan pada 2 anak laki-laki kami yang didiagnosa sebagai penyandang Sindrom Asperger dan 2 anak perempuan kembar kami yang normal selama 2,5 tahun. Sebagai orang tua kami berusaha memberikan pengertian dan penjelasan kepada 2 anak perempuan kami mengenai apa itu autis.

Untuk jangka panjang, saudara sekandung diharapkan dapat menggantikan fungsi orang tua yang tidak selamanya dapat mendampingi anak penyandang autis karena faktor usia.

Pendahuluan

Sebagai orang tua atau calon orang tua atau katakanlah manusia biasa, tentunya kita selalu berharap bahwa apabila suatu hari kelak tiba saatnya kita dianugerahi keturunan oleh Yang Maha Kuasa, kita ingin agar anak/keturunan kita adalah anak yang sehat jasmani dan rohani, sehat jiwa dan raga. Namun adakalanya keinginan atau harapan kita tidak sesuai dengan kehendak Yang Di Atas. Bagaimana kalau keadaan itu terjadi pada kita ?

Kehadiran anak penyandang autis dalam suatu keluarga sudah tentu akan mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya, terutama orang tua dan saudara sekandung. Orang tua dan saudara sekandung akan mempunyai hubungan yang relatif lebih lama dan lebih intensif dengan anak penyandang autis, dari mulai masa kecil, remaja, sampai dewasa. Tidak seperti hubungan interpersonal lainnya, hubungan ini melibatkan ikatan fisik dan emosional pada tahap-tahap kritis sepanjang kehidupan mereka.

Dibandingkan hubungan dengan orang tua, hubungan antar saudara sekandung akan bertahan lebih lama karena faktor usia. Karena itulah sebagian besar orang tua berharap saudara sekandunglah yang akan merawat dan menemani adik/kakaknya yang memiliki masalah setelah orang tua meninggal.

Anak yang memiliki saudara sekandung penyandang autis akan memiliki jenis hubungan yang berbeda dengan mereka yang sesama anak normal. Biasanya anak yang normal banyak mengalami stres dalam interaksi dengan anak autis tersebut. Namun demikian, tidak semua saudara sekandung anak autis akan mengalami stres yang berlarut-larut, tidak bahagia atau mengalami masalah yang berat.

Satu hal yang perlu diingat oleh kita sebagai orang tua adalah bahwa hubungan anak penyandang autis dengan saudara kandungnya adalah hubungan seperti layaknya hubungan saudara kandung anak-anak normal lainnya, di mana terdapat sisi yang positif dan di sisi lain ada hal yang negatif. Kadang kala penuh keakraban tetapi juga ada masanya hubungan itu memburuk. Hubungan tersebut akan terus berubah sesuai perkembangan usia dan kepribadian mereka.

Penerimaan Orang tua secara ikhlas terhadap anak penyandang autis

Pada saat kita menerima diagnosis dari dokter mengenai keadaan anak kita sebagai penyandang autis, reaksi kita pertama-tama pasti sedih, bingung, ada rasa tidak mau menerima kenyataan tersebut, dan yang terakhir tapi berbahaya adalah MALU. Pasti ada masa orang tua harus merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga, bahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali kepada dokter yang menangani anaknya itu. Ada juga sebagian kecil orang tua yang kemudian menyalahkan Tuhan dan berpikir kenapa "nasib buruk" itu menimpa diri mereka.

Kejadian tersebut di atas adalah umum dan biasa dialami oleh para orang tua anak penyandang autis. Namun berdasarkan pengalaman saya sebagai pengelola Website Puterakembara dan moderator dari Milis Puterakembara, pada saat ini, sejalan dengan makin banyaknya informasi mengenai autisme, orang tua telah banyak menyadari bahwa tindakan menyesali dan menutupi keadaan anak autis adalah TIDAK TEPAT. Memberikan penanganan yang tepat dan terarah serta sedini mungkin pada anak penyandang autis berarti memberikan kesempatan yang semakin besar pada mereka untuk dapat hidup Mandiri menuju masa depan yang lebih cerah. Mereka, anak-anak penyandang autis, anak-anak kita semua, sangat BERHAK untuk juga mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masyarakat ini, di dunia ini.

Penerimaan dan keikhlasan kita sebagai orang tua benar-benar dituntut untuk mewujudkan "impian" dan "cita-cita" itu. Bagaimana kita akan dapat berbuat sesuatu dengan tepat kalau kita sendiri tertutup pada lingkungan dan malu mengakui bahwa anak kita ternyata memang berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Anak penyandang autis pun mempunyai perasaan dan emosi seperti anak normal. Mereka akan mengetahui apakah mereka disayang dan dimengerti atau tidak.

Sebelum mengharapkan pengertian dan penerimaan oleh saudara kandung, oleh masyarakat luas bahkan oleh pemerintah, terhadap anak-anak kita yang "spesial" ini, terlebih dahulu kita sebagai orang tua yang melahirkan mereka harus menerima dengan lapang dada, serta menyayanginya dengan sepenuh hati.

Manusia mempunyai rencana, begitu juga TUHAN, pasti mempunyai rencana akan semua ini.

Penjelasan mengenai AUTISME kepada saudara kandung

Sebenarnya, yang paling memiliki peranan dalam hal kualitas hubungan saudara sekandung dengan anak penyandang autis, adalah orang tua masing-masing. Sejak usia dini, orang tua harus benar-benar memberikan gambaran dan informasi yang benar serta apa adanya mengenai apa itu autisme kepada saudara kandung. Dengan begitu mereka (saudara kandung) dapat pula menerima dan mengerti saudara yang menyandang autis itu secara apa adanya. Faktor lain yang sangat penting adalah saudara sekandung anak autis tersebut memang memiliki resilience (ketabahan dalam menghadapi masalah dan tahan terhadap stres) sehingga tidak mengalami gangguan yang berat (Harris, 1994; Powers, 1989).

Sebelum kita berharap bahwa anak kita yang lain yang normal dapat mengerti dan menerima saudara kandungnya yang penyandang autis, perlu kiranya kita memberikan penjelasan dan keterangan mengenai apa itu autisme. Penjelasan dapat diberikan sedini mungkin, tentunya bahasanya dapat disesuaikan dengan usia saudara kandungnya itu. Bahasa yang digunakan sedapat mungkin dibuat sederhana. Pengalaman saya, penjelasan kepada saudara kandung penyandang autis dapat dilakukan selagi si saudara kandung masih berusia balita.

Dengan perkembangan usia, saudara kandung akan semakin mengerti mengenai apa itu autisme. Lebih jauh setelah mereka sendiri berinter-aksi, mereka dapat menangkap bahwa ternyata memang ada perbedaan antara mereka yang normal dengan saudara kandungnya yang penyandang autis. Dengan kesadaran si saudara kandung akan keberbedaan mereka, tugas orang tua selanjutnya adalah harus selalu berusaha tanpa henti untuk menumbuhkan rasa pengertian dan penerimaan secara ikhlas akan keberbedaan itu. Ini merupakan bagian yang tersulit.

Kalau kita sebagai orang tua sudah dapat berlaku bijaksana dan adil, serta selalu memberikan penjelasan pada anak-anak kita yang normal secara berulang-ulang sampai si anak benar-benar ingat dan mengerti, saudara sekandung dapat menjadi 'terapis' khusus yang manjur bagi anak autis.

Peranan Saudara Sekandung pada Anak Penyandang Autis

Berdasarkan pengalaman saya dan beberapa orang tua anak penyandang autis, telah terbukti bahwa ternyata cukup banyak saudara sekandung anak autis yang bisa mengerti dan bahkan cukup mampu menyesuaikan diri dengan keadaan adik atau kakaknya yang menyandang autis. Ada juga sebagian dari mereka yang mengalami banyak konflik misalnya memiliki rasa iri karena menganggap orangtua mereka lebih sayang pada anak autis, atau menyesali kenapa mereka mempunyai saudara kandung penyandang autis.

Pengalaman saya sendiri, ke dua anak laki-laki saya penyandang Asperger's syndrome sangat terbantu oleh saudara kandungnya yang normal (2 anak perempuan kembar), dalam hal bercanda, cara bersosialisasi, bermain seperti layaknya anak normal lainnya.

Kira-kira 4 tahun yang lalu, ketika anak kembar saya masih berusia 1 tahunan (belum bisa bermain dengan kakaknya), kedua kakak laki-lakinya penyandang asperger itu sama sekali tidak mau berteman, lebih suka sendiri, bermain computer, dan tidak suka dengan cerita anak-anak seperti dora emon, dan cerita-cerita kartun lainnya di Televisi. Kedua anak laki-laki saya lebih asyik dengan cerita "Animal planet", "National Geographic", " Animal hunter", "The Science Inventor", "The Planet", dan "Encyclopedia".

Hobby mengetahui hal-hal yang ilmiah sebenarnya tidak salah. Akan tetapi pada saat mereka harus berbicara dengan teman-teman sebayanya di Sekolah, akan terlihat ketimpangan di situ. Karena ke dua anak saya itu tidak bermasalah dalam kemampuan akademis, juga tidak hiper-aktif dan tidak menggangu maka mereka dapat masuk di Sekolah umum. Teman-temannya di kelas (Sekolah umum) merasa anak saya aneh, sehingga otomotis mereka pun tidak dapat bermain bersama-sama. Anak saya pun menganggap teman-temannya nakal dan tidak sejalan dengan pikirannya, maka anak saya lebih banyak sendiri di kelas.

Seperti kebanyakan anak perempuan, kedua anak kembar perempuan saya tumbuh menjadi anak yang cerewet, bawel, dan supel dalam bergaul. Saya mencoba untuk selalu melibatkan kedua anak perempuan saya dalam setiap kegiatan kedua anak laki-laki saya di rumah. Contohnya apabila mereka ingin mendapatkan sesuatu, mereka berempat harus antri. Contoh lain, pada saat tertentu (biasanya hari libur) mereka selalu berebut ingin dilayani oleh ibunya seperti memakai baju, mandi, dan masing-masing ingin yang nomor satu. Saya segera mensyaratkan mereka untuk "dam-suit" atau "hompipah" berempat. Dan mereka laksanakan itu dengan penuh semangat dan gembira.

Sekarang anak saya yang pertama laki-laki berumur 10,5 tahun, yang kedua laki-laki berumur 8 tahun, sedang yang ketiga kembar perempuan dan normal berumur 5 tahun 7 bulan.

Mereka sudah banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, mereka dan kedua saudara perempuannya sudah dapat bermain bersama seperti layaknya anak-anak normal lainnya. Mereka berdiskusi bersama, nonton cartoon di TV bersama. Pada saat nonton, mereka bisa tertawa bersama apabila ada yang lucu. Kedua anak perempuan kembar saya banyak mengajarkan mereka permainan yang layak dimainkan oleh anak-anak normal seusianya. Di Sekolah pun kedua anak laki-laki saya sudah mulai dapat bermain, walaupun hanya dengan 2 atau 3 teman saja. Tapi lumayan, itu sudah merupakan suatu kemajuan bagi saya. Sepulang Sekolah pun mereka sudah mulai dapat bercerita tentang apa yang terjadi di kelas.

Tak bosan-bosannya, saya selalu menjelaskan pada anak perempuan saya akan keberbedaan kakak-kakaknya. Sebaliknya, pada ke dua anak laki-laki saya penyandang asperger, saya selalu katakan bahwa mereka tidak boleh terlalu menuntut dapat dimengerti oleh kedua saudara perempuannya. Ada kalanya kedua anak perempuan saya juga marah, kesal dan tidak mau mengerti perlakuan dari ke dua kakak-kakaknya. Tapi itu saya nilai masih dalam tahap wajar.

Yang paling penting sebenarnya adalah saya ingin menekankan pada mereka bahwa mereka memang berbeda tapi mereka harus dapat menerima keberbedaan itu dengan pengertian. Mereka harus tahu dan menyadari bahwa tidak ada manusia yang sama dan sempurna di dunia ini. Hal itu yang ingin saya tanamkan pada mereka berempat.

Akibat yang mungkin timbul dalam melibatkan Saudara Sekandung pada masalah Anak Penyandang Autis

Setelah proses penjelasan dan memberi pengertian pada saudara sekandung dilaksanakan, secara umum ada beberapa kemungkinan masalah yang perlu dipikirkan berupa akibat yang mungkin akan timbul, terutama apabila mereka telah remaja atau menjelang dewasa.

Saudara kandung akan mulai berpikir dan menduga-duga tentang apa yang salah pada anak autis. Karena menyangkut keturunan, mungkin saja kemudian Ia dapat menjadi takut akan terkena autis, merasa bersalah atas keadaan saudaranya yang autis atau merasa bersalah karena perasaan benci yang dirasakannya. Sebagian anak menjadi terpaksa patuh pada orangtua sebagai kompensasi dari ketidakmampuan saudaranya yang autis. Ada juga yang memiliki perasaan ambivalen terhadap anak autis : sayang tetapi kesal dengan keadaan saudaranya, kasihan bila anak autis diejek teman-temannya tetapi malu dengan kondisi saudaranya itu. Sering pula muncul perasaan bahwa dunia tidak adil karena ia harus memiliki kakak atau adik yang autis.

Sebaliknya apabila pemahaman dan pengertian saudara kandung mengenai autis semakin baik, dia bahkan yang akan memberikan penjelasan yang cukup baik dan benar kepada teman-teman mengenai kondisi saudaranya itu.

Namun demikian, Jangan lupa bahwa masalah yang mungkin dialami oleh anak-anak normal dalam keluarga dapat juga dialami oleh anak-anak normal yang mempunyai saudara kandung penyandang autis. Mereka bisa saja merasa iri atas perlakuan khusus orangtua terhadap saudaranya yang autis. Akibatnya mungkin kadang-kadang mereka yang normal, sengaja berperilaku buruk untuk memperoleh perhatian orangtua. Kalau sudah begitu, lagi-lagi kita sebagai orang tua dituntut untuk bersikap adil. Jangan sampai waktu kita hanya tersita untuk anak kita yang menyandang autis.

Akibat yang paling parah adalah apabila kemudian si Saudara kandung merasa terbebani dengan tugas yang diberikan oleh orang tua untuk membantu dan menjaga saudaranya yang autis. Kemudian si saudara kandung mulai sering mencemaskan masa depan saudaranya yang autis dan perannya sebagai pengganti orangtua di masa depan.

Melihat begitu banyaknya akibat/masalah yang mungkin timbul akibat proses melibatkan saudara kandung dalam kehidupan anak penyandang autis, maka kita perlu juga memikirkan dengan semaksimal kemampuan kita sebagai orang tua untuk mendidik sejak dini dan membuat anak kita penyandang autis untuk dapat hidup Mandiri dan berguna minimal bagi dirinya sendiri.

Hal lain yang perlu dipikirkan juga adalah proses melibatkan saudara kandung, harus disesuaikan dengan umur dan pengertian dari si saudara kandung itu sendiri. Janganlah menuntut dan melibatkan terlalu banyak.

Mungkin saja akibat atau masalah negatif yang dikemukakan di atas itu tidak akan terjadi pada kita semua. Pada kenyataannya, sejauh pengamatan saya, peran saudara kandung dalam kehidupan normal pun selalu dapat di andalkan untuk membantu saudaranya yang lain yang sedang mendapatkan kesusahan.

Penutup

Semua orang tua yang mempunyai anak penyandang spektrum autisme tentunya merasakan kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak tersebut. Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi semua anak-anak kita baik anak yang autis maupun anak yang lain yang normal.

Masalah yang terbesar yang saya alami sebagai orang tua adalah Pembagian waktu. Pembagian waktu antara merawat anak autis dengan anak yang lain secara seimbang dan seadil-adilnya, waktu dengan pasangan, dengan pekerjaan saya sebagai Pimpinan Yayasan Puterakembara dan dengan urusan rumah tangga lain. Saya pribadi sangat membutuhkan bantuan dari banyak pihak dalam hal ini. Yang paling utama adalah dari pasangan kita, orang tua, dan saudara dekat kita. Dan kebetulan saya sangat beruntung mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang saya sebutkan itu. Kalau tidak saya tidak dapat membayangkan akan jadi apa saya sekarang.

Dukungan dari Yang Di Atas sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan Maha Tahu tidak dapat diabaikan begitu saja. Dia lah yang memberikan kita kepercayaan untuk mendapatkan anak yang "spesial" ini. Oleh karena itu, bagaimana pun keadaan anak yang telah dipercayakan kepada kita itu, kita harus memelihara dan merawatnya dengan sebaik-baiknya.

Kebesaran hati dalam menerima kenyataan yang ada sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Setiap cobaan yang diberikan oleh Nya pasti mengandung hikmah.

Saya berharap sedikit uraian saya di atas mengenai "Peran Saudara Sekandung pada Anak Penyandang ASD", yang diambil berdasarkan dari pengalaman saya dan referensi dari beberapa tulisan para ahli, dapat membantu para orang tua lain dalam menghadapi anak-anak mereka.

Referensi
Ginanjar, S. Adriana, 2002, Peran Orangtua Membantu Saudara Sekandung Anak Autis, Yayasan Mandiga, Jakarta, 2002
Harris, S. L. 1994. Siblings of children with autism. A guide for families. Woodbine House.
Powers, M.D. 1989. Children with autism. A parents' guide. Woodbine House.

Pengalaman menyekolahkan anak ‘special need’

Mempunyai 2 anak dimana yang sulung (Andre, 8 tahun) sering sakit karena alergi debu dan gangguan pencernaan, dan anak bungsu (Thomas, 5 tahun) penyandang ASD (Autism Spectrum Disorder), sungguh ternyata tidak mudah. Salah satu kesulitan terbesar adalah mencari sekolah yang tepat untuk Thomas.

Saya bersyukur sekali, bahwa akhirnya 6 bulan terakhir ini perkembangan di sekolah sangat besar, dibanding kondisi awalnya. Berjuang melawan autisme ibaratnya ikut lari maraton : jarak jauh (bisa bertahun-tahun) sehingga perlu persiapan, stamina dan strategi lari yang tepat, bertahap tapi konsisten. Setelah 3,5 tahun jadi peserta ‘maraton autisme’, kemajuan Thomas di sekolah menjadi reinforcement besar, obat kuat penambah semangat untuk terus ikut lari, tetap dalam barisan peserta maraton . . . walaupun garis finish belum terbayang.  Jalan mungkin masih sangat panjang, tapi lebih bersemangat karena ada harapan terus, buah-buah mulai terlihat….

Tanggal 20 Mei 2003, saya, guru kelas, konsultan (acara rutin PTCC : Parent-Teacher-Consultant Conference) dan juga guru pendamping (Shadow Aid) bertemu di sekolah untuk membahas perkembangan Thomas di kelas. Hasilnya sangat menggembirakan : bantuan Shadow Aid sudah sangat minimal, hanya diperlukan saat singing time (Thomas tidak terlalu suka nyanyi bersama). Selain itu, kontrol sudah di tangan 3 guru kelasnya. Guru juga sudah berkomunikasi dengan Thomas dengan nada suara biasa dan tanpa usaha ekstra untuk menarik perhatiannya. Bila tiba-tiba dia tersadar ada perubahan aktivitas, Thomas sudah bisa bertanya pada temannya, misalnya : ’kita mau ngapain?’ atau ‘kita mau kemana?’. Dia juga tidak segan-segan untuk minta bantuan temannya bila ada kesulitan. Walaupun sedang asyik mengerjakan aktivitas kesukaannya (origami, membaca buku), Thomas akan segera bergabung dengan teman-temannya untuk melakukan aktivitas baru lainnya. Menulis sudah lebih rapi, ada spasi. Kemampuan akademis tidak menjadi masalah, bahkan sering lebih bagus/cepat selesai dari teman-temannya. Yang menjadi ‘concern’ guru 2 minggu terakhir adalah Thomas tiba-tiba suka teriak, kadang tanpa sebab yang jelas. 

Kesimpulannya, Juli nanti Thomas benar-benar memenuhi syarat untuk naik ke TK B. Saat itu, tidak ada berita yang lebih menggembirakan lagi buat kami sekeluarga.

Tanggal 9 Juni saya menerima buku raportnya, dan progres Thomas lebih terlihat jelas dari kacamata sekolah. Kalau di akhir cawu I Thomas masih sangat perlu dibimbing untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di kelas, di akhir cawu III bimbingan masih diperlukan untuk lebih memberikan fokus dan perhatian terhadap diskusi/presentasi yang diberikan secara group. Selain sudah bisa membaca buku cerita dalam bahasa Inggris dengan cukup lancar, dia juga sudah mulai mengerti penjelasan guru dalam kalimat bahasa Inggris yang cukup panjang. Kelemahan yang lain seperti menggambar, mewarnai, menggunting dan melipat sudah bisa diatasi. Kegiatan fieldtrip ke tempat2 umum (Planetarium, Kebun Binatang, Pemadam Kebakaran, dll) menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan buatnya. Yang masih menjadi kesulitan besar adalah mengikuti permainan2 olah raga atau gerak & lagu.

Semua hasil ini berkat kerja sama yang baik antara Sekolah dan Team Terapis ABA (Konsultan, Case Manager, Terapis, Shadow Teacher/Aid). Sejak Oktober 2002 tercipta kerja sama itu dalam bentuk : Observasi di kelas, pencatatan Daily Log di kelas, Shadow Aid, dan PTCC secara rutin.

Yang membuat kami terharu, guru-guru mau tahu lebih banyak tentang autis, semangat untuk ikut seminar/workshop autis, bahkan mau menerapkan apa yang mereka pelajari maupun yang disarankan oleh konsultan. Untuk mencapai tujuan, mereka juga meluangkan waktu untuk ‘playday’ khusus dengan Thomas.Waktu saya sharing di sekolah tentang makalah presentasi yang saya buat untuk eks kantor saya kerja (dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan public awareness tentang autism), hampir semua guru-guru di sekolah itu duduk selama 3 jam lebih, serius menyimak sharing. Banyak pertanyaan, cerminan rasa kepedulian mereka yang tinggi. Sungguh, di luar pengharapan saya.

Syukur pada Tuhan, perjuangan panjang mulai membuahkan hasil dan sejak pindah ke Bintaro kami dipertemukan dengan banyak orang-orang yang sangat membantu : guru-guru sekolah dan team terapis ABA yang lebih kooperatif, dan teman-teman special parent sesama peserta ‘maraton’.

Dua tahun, bahkan setahun yang lalu, hasil seperti ini sama sekali tidak terbayangkan.

Setelah menjalani terapi (ABA) selama 1.5 tahun, pada usia 3 tahun 3 bulan, kami putuskan untuk mencoba memasukkan Thomas ke play group, dengan suatu tujuan : belajar bersosialisasi (walau saat itu sebenarnya kami tidak begitu paham artinya sosialisasi).

Setelah survey beberapa sekolah dan melalui sedikit test akademis, Thomas diterima di suatu sekolah umum di Jakarta Timur yang cukup besar, satu sekolah dengan kakaknya yang masuk kelas 1 SD.  Jumlah murid 35 anak dengan 2 guru, tetapi Shadow Aid diijinkan masuk ke kelas sampai Thomas dianggap bisa mandiri. Di sekolah itu hanya dia yang autis, tapi ada beberapa anak ADD atau ADHD di kelas lain.

Kami ceritakan kondisi Thomas apa adanya, dan bahwa sebenarnya masih membutuhkan banyak terapi, jadi minta diijinkan hanya bersekolah 2-3 hari dalam seminggu, sambil melihat perkembangannya. Dengan pendekatan yang baik, saya juga diijinkan untuk secara periodik merekam perkembangan Thomas di sekolah. Kepala sekolah juga sangat baik, cukup mau tahu tentang autis dengan membaca buku-buku atau makalah seminar yang saya fotocopy. Kadang mereka malah mereferensikan beberapa orang tua yang anaknya mengalami gangguan perkembangan untuk sekedar ngobrol dengan saya. Tetapi mungkin karena sibuk dengan pekerjaan, agak sulit untuk mengajak guru-guru ikut seminar/workshop tentang autis, atau untuk mengundang mereka ke rumah, walaupun mereka tertarik.

Seminggu sebelum sekolah mulai, saya drill Thomas soal makanan (karena diet Gluten dan Casein, CFGF). Dengan bantuan kakaknya, saya ajarkan untuk tidak ambil atau minta makanan orang lain. Hari pertama sekolah dia bilang ‘mau kue itu’ sambil menunjuk temannya yang bawa bekal biskuit Oreo (Oreo dulu jadi reward yang paling disukai kalau terapi). Saya jawab : ‘itu bukan punya Thomas’, dia menurut dan diam. Besoknya dia hanya melihat-lihat bekal teman-temannya sambil menelan ludah, tanpa mengucapkan apa-apa. Duh, rasanya saya yang tidak tahan….sangat tidak tega. Dengan mengingat bahwa terigu hanya akan menjadi racun/morfin buat Thomas, saya mencoba bertahan. Akhirnya sukses setelah 1 minggu, sampai sekarang dia tahu bahwa makanan tertentu dia tidak boleh makan, jadi bila ingin sesuatu dia akan tanya :’Thomas mau ini, boleh nggak?’. Di sekolah sekarang, bahkan teman-temannya yang suka dengan makanan ‘home-made’ Thomas. Kembang goyang kesukaannya, juga menjadi makanan favorit teman-teman dan guru-guru.

Setelah 2 bulan sekolah, Thomas bisa ikut ‘antri’ dengan rapi, bahkan di gereja pernah mengikuti antrian untuk menerima berkat dari pastor, dan dia tetap rapi dalam barisan sampai kembali ke tempat semula tanpa didampingi. Kemajuan yang sangat membuat kami bahagia, kalau bukan di gereja rasanya saya mau bersorak atau menangis.

Tetapi setelah itu kami jarang melihat kemajuan berarti yang lain, bahkan ilmu ‘antri’nya ikut hilang. Di kelas lebih banyak rewel dan menangis, kelihatan tersiksa terlalu lama di sekolah.  Saat guru bercerita di depan dan anak-anak duduk mengelilingi guru, Tom terlihat sangat tidak betah, seringkali rewel minta keluar atau pulang. Tiap pagi sebelum masuk kelas semua murid playgroup – TK berkumpul di aula untuk melakukan beberapa aktivitas bersama (nyanyi, mendengarkan cerita, senam, dll), baru berbaris masuk ke kelasnya di lantai 2. Saat-saat itu menjadi kegiatan yang paling tidak menyenangkan buatnya, hampir tidak ada aktivitas yang dia bisa ikuti atau nikmati.  Kalau sudah tidak tahan, dia rewel minta pulang, nangis atau teriak.

Saat ini kami baru tahu, dulu banyak sekali persiapan yang kurang saat memasukkan Thomas sekolah playgroup di Jakarta Timur. Pertama, walau secara akademis diatas rata-rata teman sebaya, Thomas belum dipersiapkan dengan kemampuan mengikuti aktivitas rutin sekolah maupun (transisi) belajar dalam group. Kemampuan bantu dirinya juga masih kurang, sehingga sering ngompol atau pup di kelas. Dengan keterbatasan pengetahuan kami waktu itu, tanpa sadar prioritas terapi lebih mengejar kemampuan akademis. Kedua, ekspektasi kami sebagai orang tua tidak jelas, saya hanya coba-coba dan berharap sekolah bisa membantu banyak. Ketiga, sekolah itu sebenarnya memang kurang tepat untuk kondisi Thomas : kelas terlalu besar (2 guru 35 murid) seringkali suara guru bahkan tidak terdengar oleh Thomas, ruang kelas yang terbuka dengan banyak suara-suara dari luar menjadi gangguan besar buatnya, mainan yang sama tiap hari (dalam kotak besar) juga tidak cukup kuat menarik minat dan perhatiannya, serta keterbatasan tenaga guru untuk memberi perhatian ekstra buat Thomas. Keempat, tidak ada pihak ke-3 atau profesional yang membantu menjembatani kami dan pihak sekolah. Kelima, pertimbangan keuangan (saya sudah memutuskan berhenti kerja) juga membuat kami berpikir dua kali untuk menyediakan dana lebih untuk Thomas.

Jadi dengan keterbatasan pengetahuan, terapis yang jadi shadow aid dan berada tiap hari di kelaspun, tidak tahu persis apa tugas dan tanggung jawabnya, bagaimana cara bekerja sama yang efektif dengan guru-guru, dsb. Di daerah tempat tinggal saat itu juga tidak ada teman ‘seperjuangan’ yang bisa jadi tempat bertanya, dan tidak ada bantuan dari pusat terapi tentang bagaimana cara mempersiapkan dan mengatasi masalah di sekolah.

Selain Thomas, Andrepun tidak menikmati sekolahnya. Mungkin Andre termasuk anak dengan type belajar dominan kinestetis, yang sulit menerima pelajaran dengan metode klasikal dan serius, atau mungkin karena kurang perhatian dari ibunya, prestasi belajarnya pas-pasan. Perlu 5 jam untuk mengajari PPKN menjelang EHB, belum pelajaran yang lain. Hanya pelajaran agama yang lumayan, karena bisa diajarkan dengan menarik (misalnya main drama dengannya), sehingga cepat ‘dicerna’. Setelah tiap malam bersusah payah menidurkan mereka, pagi hari juga menjadi perjuangan untuk membangunkan & memotivasi ke 2 anak saya untuk bersekolah. Ada saja alasan Andre, yang pura-pura sakitlah, yang ngantuklah…. kalau Thomas hanya nangis, teriak-teriak ‘tidak mau sekolah’.

Tahun itu juga adalah masa-masa paling berat me’manage’ beberapa macam terapi autis (ABA, Okupasi, Speech, diet CFGF, BT). Untuk bisa ketat menjalani diet CFGF, saya harus eksperimen makanan2 ‘halal’ untuk Thomas, padahal saya tidak bisa masak dan tidak suka ke dapur. Untuk sedikit mengerti Biomedical Treatment (BT), saya harus memaksa diri membaca literatur2 bahasa Inggris dengan banyak istilah medis. Sampai saat ini juga masih banyak yang tidak saya mengerti.

Hubungan dengan suami juga menjadi terganggu. Saya menjadi terlalu sensitif dan defensif, padahal kadang-kadang maksud suami hanya memberi saran atau bantuan. Karena sudah berhenti kerja, saya merasa benar-benar ‘terjebak’ di rumah, sibuk mengasihani diri sendiri, dan merasa paling malang sedunia. Syukur Tuhan memberikan suami yang dari dulu selalu berpikir positif, dialah yang selalu bisa mengingatkan saya untuk bisa bersyukur atas setiap kemajuan, walaupun sekecil apapun.

Akhirnya saya dan suami sepakat, untuk melakukan ‘sesuatu’ yang besar untuk merubah kondisi ini.

Atas rekomendasi teman baik, di bulan Maret-April 2002 Thomas ‘trial’ di sebuah playgroup di Bintaro tiap hari Selasa dan Kamis. Perjalanan panjang (4 jam pulang pergi) dari Pulo Gebang - Bintaro, tapi untungnya Thomas bisa dan menikmati terapi di mobil. Ternyata Thomas sangat suka dengan sekolah barunya, tiap hari minta sekolah ke Bintaro.

Saya dan suami ambil keputusan ‘nekat’ dalam 2 minggu : pindah rumah ke Bintaro, cari rumah kontrakan. Banyak teman terkaget-kaget, bahkan kami sendiri juga kadang tidak habis pikir dengan keputusan kami dulu. Tapi mungkin sudah jalan Tuhan.

Saya dan suami juga sepakat Andre harus mendapatkan sekolah yang bagus, sehingga saya bisa konsentrasi pada Thomas, tanpa ‘mengorbankan’ Andre. Syukurlah Andre sangat menyukai sekolah barunya, prestasinya cukup bagus tanpa saya sering ajari, dan kepercayaan dirinya meningkat pesat. Kalau dulu dia melabel dirinya hanya pintar gambar dan Thomas pintar matematika, sekarang semua pelajaran dia suka. Happy ending untuk Andre.

Untuk Thomas, awal pindah ke sekolah baru (SS), saya minta dia tetap di Kindy (play group). Pertimbangannya, walaupun usia dan kemampuan akademis cukup untuk ke TKA, tujuan utama kami adalah bisa bersosialisasi dengan teman-temannya (social mainstream). Thomas masuk Kindy tanpa shadow aid, karena guru-gurunya confidence untuk mengatasi Thomas di kelas. Saya juga percaya saja, karena melihat mereka begitu cekatan dan kelihatannya tahu persis bagaimana mengatasi Thomas saat ngambek dan bagaimana cara menjawab pertanyaan teman-teman sekelas tentang perilaku Thomas yang kadang aneh buat mereka. Dan selama trial juga terbukti Thomas menikmati dan cukup bisa mengikuti pelajaran, walaupun bi-lingual.

Setelah 2 bulan di Kindy, kami kembali bertemu guru dan kepala sekolah untuk membicarakan perkembangannya. Thomas disarankan mencoba ke TKA, karena secara akademis jauh diatas teman-temannya, sehingga setelah lebih dulu selesai mengerjakan tugas, dia selalu minta tugas tambahan atau mengganggu teman-teman dengan perilakunya.

Akhirnya naiklah Thomas ke TKA dan masalah akademis cukup teratasi. Teman-teman barunya yang mungkin karena lebih dewasa daripada di Kindy, ternyata lebih bisa menerima, menyayangi dan sangat memperhatikan Thomas. Pada akhirnya peranan mereka memang sangat besar, karena mulai Januari 2003, ‘social influence’ dari mereka sangat besar buat Thomas. Untuk mengatasi kelemahan Thomas (misalnya naik lift dan takut suara keras) bahkan berhasil dengan mengikut sertakan mereka dalam outdoor terapi dan playday.

Kesediaan sekolah SS untuk menerima dan membantu Thomas sangat besar, tetapi ‘skill’ mereka untuk mengatasi special need masih terbatas, bahkan Thomas murid spesial satu-satunya. Masalah tersebut terlihat saat konsultan ABA bisa menjalin kerjasama dengan sekolah. Aktivitas Thomas di kelas direkam selama 1 minggu dengan camcorder, dan dianalisa. Walaupun jauh lebih baik dibanding di sekolah lama, ternyata masih banyak perilaku Thomas yang ‘inappropriate’, tidur-tiduran di lantai sementara teman-temannya bernyanyi, pipis/pup di kelas, tertawa sendiri, sering bengong, dll. Interaksi dengan guru maupun teman juga sangat minim. Sebenarnya, kalau tidak ada intervensi pihak ke –3, saya sudah jauh lebih puas melihat kemajuan Thomas sejak sekolah di SS. Yang paling terlihat, dia sangat suka sekolah barunya, dan saya percaya kalau anak-anak belajar dengan senang, pasti banyak yang dia bisa pelajari.

Untungnya, guru-guru di SS sangat rendah hati sekaligus semangat tinggi untuk membantu Thomas: saran untuk ada Shadow Aid di kelas diterima. Berdasarkan hasil observasi dan pertemuan rutin dengan guru-guru, di rumah dibuatkan program-program sekolah (school program) yang didesain khusus untuk mendukung perkembangan di kelas. Salah satunya pernah diterapkan 5-10 menit pelajaran tambahan sebelum masuk kelas, khusus untuk pelajaran baru yang Thomas belum tahu, supaya dia confidence di kelas. Tapi setelah ‘social influence’ mulai kuat (hal yang sangat menggembirakan, karena berarti Thomas mulai ‘keluar’ dari dunia autisnya), program ini distop karena Thomas tidak ‘nyaman’ lagi berada sendiri di kelas, sementara teman-temannya masih main di luar. Yang terjadi dia ajak temannya masuk ke kelas, atau dia nyusul main ke playground.

Sebisa mungkin pelajaran baru yang akan diberikan, diinformasikan dulu oleh guru, untuk kami ajarkan dulu di rumah. Kalaupun ada yang terlewat, pelajaran-pelajaran itu diulang lagi di rumah sampai Thomas bisa, tetap dengan suasana seperti di kelas. Ruang keluarga di lantai atas bahkan diatur mirip dengan suasana kelasnya, kadang-kadang kami undang teman sekelasnya untuk main ‘sekolah-sekolahan’ di rumah. Secara periodik ada observasi di sekolah, pertemuan dengan guru dan konsultan (PTCC), dan playday baik dengan teman sekelas maupun dengan gurunya.

Program-program terapi ABA dirancang ulang dengan prioritas mengatasi kelemahan utama Thomas, misalnya Attending Skill dan Social Skill, untuk meningkatkan interaksi dengan teman-teman dan gurunya di sekolah. Kalau sebelumnya dia selalu minta bantuan shadow aid-nya, pelan-pelan diarahkan untuk minta bantuan guru. Setelah beberapa lama mulai biasa berinteraksi dengan guru, secara bertahap mulai dipindahkan ke teman sekelas. Jadi kalau ada yang tidak jelas, atau dia ketinggalan ‘berita’ dari guru,  Thomas diarahkan untuk bertanya pada teman terdekatnya.

Entah karena memang kurang suka nyanyi atau ada hubungannya dengan masalah sensory, Thomas sulit sekali mengikuti aktivitas nyanyi bersama di kelas, walau bisa bernyanyi sendiri dengan cukup keras dan bagus untuk beberapa lagu yang dia suka. Sampai sekarang ‘nyanyi bersama’ masih menjadi salah satu program terapi di rumah, kadang-kadang dengan mengundang teman sekelas atau salah satu gurunya. Pada acara performance akhir cawu I, sementara teman-temannya bernyanyi bersama, Thomas masih asyik sendiri, kadang keluar dari kelompoknya. Pada acara Idul Fitri & Natal bersama, karena masih sulit dengan aktivitas kelompok, Thomas diminta membaca puisi ‘Christmas Day’ sendirian, cukup berhasil dengan latihan intensif selama 2 minggu. Dan di akhir cawu III, Thomas sudah bisa ikut acara gerak & lagu (Makarena) dalam kelompok. Dia selalu berusaha mengikuti gerakan teman-temannya, walau kadang-kadang masih ketinggalan dan sedikit dibantu shadow aid.

Kemajuan yang luar biasa menggembirakan kami, karena di awal cawu I Thomas masih sangat tenggelam di dunia sendiri. Sampai sekarang shadow aid masih berada di kelas, tetapi selain membantu dalam aktivitas nyanyi bersama atau mendampingi acara-acara fieldtrip, tugas selebihnya hanya mencatat daily log dan memastikan Thomas makin mandiri.

Begitulah sharing saya tentang pengalaman pribadi menyekolahkan Thomas. Buat kami sekeluarga semua hal di atas adalah kemajuan besar, sesuatu yang sangat patut disyukuri. Tetapi mungkin, bahkan pasti, tidak sama dengan keluarga lain, karena memang kondisi awal anak berbeda-beda.  Sudah pasti cara penanganan yang paling tepat untuk tiap anak pasti berbeda. Yang mestinya sama bahwa pengaruhnya sangat besar untuk kemajuan tiap anak adalah komunikasi dan kerja sama yang baik dengan suami/istri.

Bila pengalaman diatas saya rangkum jadi satu, jadilah variabel-variabel yang menurut saya harus benar-benar direncanakan, dipersiapkan dan dipertimbangkan untuk mencapai hasil terbaik di sekolah, khususnya buat anak-anak dengan special need  :
Kesiapan anak (sebagian besar bisa diperoleh dari terapi ABA, Speech, dan Okupasi):

·                     Kemampuan bantu diri

·                     Kemampuan akademis yang cukup

·                     Kemampuan bersosialisasi

·                     Komunikasi fungsional

·                     Transisi belajar dalam group dan melakukan kegiatan rutin

·                     Masalah lain (sensory, Fine/Gross Motor, Medical, Diet, dll)
Kesiapan orang tua :

·                     Ekspektasi / pengharapan yang jelas dan realistis

·                     Mental, fisik, knowledge dan skill

·                     Kerja sama / kesepakatan untuk mengusahakan yang terbaik, termasuk dana ekstra untuk pendidikan, SDM, dan materi-materi pendukung

·                     Manajemen dengan kebutuhan lain (sibling & anggota keluarga lain, nafkah, dll)


Kesiapan / kecocokan sekolah :

·                     Sumber Daya Manusia (knowlegde, skill, attitude)

·                     Fisik (bangunan, tata ruang kelas, mainan, dll)

·                     Metode pengajaran, materi, misi sekolah
Bantuan Pihak ke-3 (profesional) :

·                     Behaviorist (terapis, konsultan), terapist okupasi, speech, dll

·                     Dokter, Psikiater, Clinical Psi.
Bantuan Tuhan, Sang Pemilik Sejati dari ‘special child’, untuk memberikan pada kita :

·                     Kebijaksanaan untuk mengambil keputusan dengan tepat

·                     Bimbingan dan petunjuk untuk mempersiapkan no 1 s/d 4 di atas

·                     Ketaatan dan kekuatan untuk tetap menjalankan tugas sebagai ‘special parent’

·                     Iman bahwa Dia maha tahu dan pasti memberikan yang terbaik buat kita

·                     Kerendahan hati bahwa Dialah satu-satunya tempat bergantung yang paling tepat

Buat kami, jalan mungkin masih panjang, bahkan masih banyak PR di luar masalah sekolahnya. Saat ini kami juga belum tahu SD mana yang paling tepat untuk Thomas nanti, tapi pengalaman di atas sangat menguatkan hati. Harapan kami tahun depan, selain bisa mendapatkan SD yang tepat (tidak harus besar, megah atau hebat), Thomas juga sudah jauh lebih mandiri, terapi-terapi jauh berkurang, dan kami mulai bisa kembali hidup ‘normal’. Tentunya hidup kami akan lebih ‘kaya dan bermakna’, karena Tuhan memberi kami kepercayaan dan pengalaman ‘spesial’ membesarkan special child.

Catatan :

Makalah ini dibuat khusus untuk sharing masalah sekolah, sehingga kecuali terapi ABA yang memang berhubungan langsung dengan  kegiatan belajar-mengajar, terapi-terapi lain tidak banyak disinggung. Walaupun demikian, jauh sebelum sekolah, perjalanan panjang telah dimulai dengan membangun fondasi dari berbagai macam terapi. Semuanya bekerja sama untuk mencapai hasil terbaik.

PENCEGAHAN AUTIS PADA ANAK
ABSTRAK

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.

Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat. Jumlah penyandang autis semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia. Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya.

Dalam keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis.

PENDAHULUAN

Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).

Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.

Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.

Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austima dapat mencapai 150 -- 200 ribu orang.

PENYEBAB AUTIS

Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin

Tabel 1. Beberapa teori penyebab Autis
  
Genetik dan heriditer
Teori Kelebihan Opioid

Unsur Opioid-like
Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
Dermorphin Dan Sauvagine
Opioids dan secretin
Opioids dan glutathione
Opioids dan immunosuppression

Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan Celiac
IgA urine
Teori Gamma Interferon
Teori Metabolisme Sulfat

Kolokistokinin
Oksitosin Dan Vasopressin
Metilation
Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
Teori Sekretin
Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
Paparan Aspartame
Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)

Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin.

Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin

Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.

Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..

Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.

Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autis terjadi sebelum kelahiran bayi.

Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autis. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.

Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. nEkolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.

Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.

Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis langsung autis. Diagnosis Autis hanyalah melalui diagnosis klinis bukan dengan pemeriksaan laboratorium. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autis yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.

FAKTOR RESIKO

Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak ahli. Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko gangguan autis. Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori penyebab autris yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat resiko anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi.

PERIODE KEHAMILAN

Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya. Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme.

Beberapa keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih diwaspadai dapat berkembang jadi autism adalah infeksi selama persalinan terutama infeksi virus. Peradarahan selama kehamilan harus diperhatikan sebagai keadaan yang berpotensi mengganggu fungsi otak janin. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena placental complications, diantaranya placenta previa, abruptio placentae, vasa previa, circumvallate placenta, and rupture of the marginal sinus. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah tampaknya juga merupakan resiko tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi membahayakan adalah pemakaian obat-obatan yang diminum, merokok dan stres selama kehamilan terutama trimester pertama. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan.

Infeksi saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk telah melakukan penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak autism dibandingkan 209 tanpa autism. Ditemukan kejadian infeksi saluran kencing, panas tinggi dan depresi pada ibu tampak jumlahnya bermakna pada kelompok ibu dengan anak autism.

PERIODE PERSALINAN

Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya.

Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram).

PERIODE USIA BAYI

Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal, kelemahan otot.

PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat diketahui dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab dan faktor resiko belum masih belum jelas maka strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi seperti ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko autis.

Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan periode usia anak.

PENCEGAHAN SEJAK KEHAMILAN

Untuk mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan , kita harus melihat dan mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan perkembangan sejak dalam kehamilan. Untuk mengurangi atau menghindari resiko yang bisa timbul dalam kehamilan tersebut dapat melalui beberapa cara.

Adapun cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam kehamilan tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama infeksi virus TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes atau hepatitis). Periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara rutin dan berkala, dan selalu mengikuti nasehat dan petunjuk dokter dengan baik.

Bila terdapat peradarahan selama kehamilan segera periksa ke dokter kandungan. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena kelainan plasenta. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan pada awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah juga merupakan resiko tinggi terjadinya autism dan gangguan bahasa lainnya.

Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan berbicara. Bila bayi beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi berupa asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan. Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya selama kehamilan. Jaga higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan. Konsumsilah makanan yang bergizi baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan mineral tertentu sesuai anjuran dokter secara teratur.

Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, bila dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat gejala alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu menghindari atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3 bulan. Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu mendekatkan diri dengan Tuhan.

PENCEGAHAN SAAT PERSALINAN

Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya

Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal penting. Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.

Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat, asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi saat lahir tidak normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan perkembangan secara cermat sejak usia dini.

PENCEGAHAN SEJAK USIA BAYI

Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan intervensi secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda gangguan perkembangan. Adapun beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukanl

Amati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi : sering muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering kembung, rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang paling sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik mengatasi ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak.

Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harus diamati tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini.

Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang (bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan.

Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama gangguan perkembangan dan perilaku pada anak.

Bila didapatkan penyimpangan gangguan perkembangan khususnya yang mengarah pada gangguan perkembangan dan perilaku maka sebaiknya dilakukan konsultasi sejak dini kepada ahlinya untuk menegakkan diagnosis dan intervensi sejak dini.

Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang beresiko alergi hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah telor, ikan laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya.

Bayi yang mengalami gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari monosodium glutamat (MSG), amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila gangguan pencernaan dicurigai sebagai Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan Gluten maka diet harus bebas casein dan Gluten, Ciptakan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, hindari rasa permusuhan, pertentangan, emosi dan kekerasan.

Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka kita harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan semakin besar kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat tanda dan gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala autism pada usia dini, kalau perlu dilakukan intervensi sejak dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita melakukan intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi tersebut harus kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan kenaikkan berat badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan jalan terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut.

Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi. Pemberian obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan alergi atau gangguan pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus menghindari makanan penyebab gangguan tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan dapat diberikan sementara bila keluhan yang terjadi cukup berat, bukan untuk selamanya.


PENUTUP

Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya. Sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap secara jelas misteri penyebab gangguan autis sehingga nantinya dapat dilakukan strategi pencegahan agar seorang anak dapat tercegah gangguan autis.


DAFTAR PUSTAKA

1. American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)

2. Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism: A continuum-based behavioral models. JASH 1999; 24: 162-173.

3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 1994.

4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self. New York, NY: Free Press; 1977.

5. Brett EM: Paediatric Neurology. 2nd ed. London: Churchill Livingstone; 1991.

6. British Medical Journal: Childhood autism and related conditions. Br Med J 1980 Sep 20; 281(6243): 761-2.

7. Buka SL, Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and psychiatric diagnosis. A prospective study. Arch Gen Psychiatry 1993 Feb; 50(2): 151-6.

8. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.

9. Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors for autism. J Perinat Med 1999; 27(6): 441-50.

10. Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental Disorders. NY: Wiley; 1996.

11. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.

12. Hoshino Y, Yashima Y, Tachibana R, et al: Sex chromosome abnormalities in autistic children--long Y chromosome. Fukushima J Med Sci 1979; 26(1-2): 31-42.

13. Hutt SJ, Hutt C, Lee D, Dunstead C: A behavioural and electroencephalographic study of autistic children. J Psychiatr Res 1965 Oct; 3(3): 181-97.

14. Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the basis of infant screening tests? Dev Med Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.

15. Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in children. Curr Opin Pediatr 1995 Aug; 7(4): 392-400.

16. Lamb JA, Moore J, Bailey A: Autism: recent molecular genetic advances. Hum Mol Genet 2000 Apr 12; 9(6): 861-8.

17. Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior Modification. NY: Irvington Press; 1977.

18. Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a review of research. Psychol Bull 1979 Nov; 86(6): 1236-54.

19. Martineau J, Barthelemy C, Garreau B, Lelord G: Vitamin B6, magnesium, and combined B6-Mg: therapeutic effects in childhood autism. Biol Psychiatry 1985 May; 20(5): 467-78.

20. Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism, Autism Diagnostic Interview- Revised: interrater reliability of the German form of the interview. Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.

21. Prior MR, Tress B, Hoffman WL, Boldt D: Computed tomographic study of children with classic autism. Arch Neurol 1984 May; 41(5): 482-4.

22. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13 (Suppl 2): 17.

23. Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for physical investigations. Brain Dev 1998 Jun; 20(4): 227-33.

24. Stern JS, Robertson MM: Tics associated with autistic and pervasive developmental disorders. Neurol Clin 1997 May; 15(2): 345-55.

25. Taylor B, Miller E, Farrington CP, et al: Autism and measles, mumps, and rubella vaccine: no epidemiological evidence for a causal association. Lancet 1999 Jun 12; 353(9169): 2026-9.

26. Teitelbaum P, Teitelbaum O, Nye J, et al: Movement analysis in infancy may be useful for early diagnosis of autism. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 10; 95(23): 13982-7.

27. Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental disorders. Hosp Community Psychiatry 1991 Jan; 42(1): 33-5.

28. Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism Behavior Checklist. J Autism Dev Disord 1988 Mar; 18(1): 81-97.

29. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May 26; 318(21): 1390-2.

30. Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood autism: a review of screening instruments and rating scales. Child Care Health Dev 1994 May-Jun; 20(3): 165-77.

31. Vostanis P, Nicholls J, Harrington R: Maternal expressed emotion in conduct and emotional disorders of childhood. J Child Psychol Psychiatry 1994 Feb; 35(2): 365-76.

32. Vrono MS, Bashina VM: [Problem of adaptation of patients with the syndrome of early childhood autism]. Zh Nevropatol Psikhiatr Im S S Korsakova 1987; 87(10): 1511-6.

33. Werner E, Dawson G, Osterling J, Dinno N: Brief report: Recognition of autism spectrum disorder before one year of age: a retrospective study based on home videotapes. J Autism Dev Disord 2000 Apr; 30(2): 157-62.

34. Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as predictors of infantile autism. Int J Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98

35. Wolraich M, Bzostek B, Neu RL, Gardner LI: Lack of chromosome aberrations in autism. N Engl J Med 1970 Nov 26; 283(22): 1231.

36. Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic instruments for identifying high- functioning children with autism. J Autism Dev Disord 1994 Jun; 24(3): 281-91.

37. Zeanah CH, Davis S, Silverman M: The question of autism in an atypical infant. Am J Psychother 1988 Jan; 42(1): 135-50.

38. Zwaigenbaum L, Szatmari P, Jones MB: Decreased obstetric optimality in autism is a function of genetic liability to the broader autism phenotype. J Dev Behav Pediatr 1999; 20 (5): 398-399


Post a Comment

0 Comments