AUTISME
DAN PENANGGULANGANNYA
Definisi
Autisme
Autisme
adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita,
yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang
normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam
dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan
dalam bidang:
interaksi
sosial,
komunikasi
(bahasa dan bicara),
perilaku-emosi,
pola
bermain,
gangguan
sensorik dan motorik
perkembangan
terlambat atau tidak normal.
Gejala
ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak
berusia 3 tahun.
Autisme
dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah
satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development
Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD
(Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah
yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di
bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
Autistic
Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan
dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif
serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
Asperger’s
Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas
yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara,
serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
Pervasive
Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah
atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan
keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett
Syndrome).
Rett’s
Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak
laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi
kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan
fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang
berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
Childhood
Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2
tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan
kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa
Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya
digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa
karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information
Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat
menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang
cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3
tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi
kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan
dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya
respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga
dihubungkan pada gejala autisme.Daftar isi [sembunyikan]
1
Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
2
Gejala
3
Prevalensi Individu dengan autisme
4
Implikasi Diagnosa Autisme
5
Perkembangan Penelitian Autisme
6
Penanganan Autisme di Indonesia
7
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
8
Pranala luar
Diagnosa
Autisme Sesuai DSM IV
A.
Interaksi Sosial (minimal 2):
Tidak
mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi
tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
Kesulitan
bermain dengan teman sebaya
Tidak
ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
Kurang
mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B.
Komunikasi Sosial (minimal 1):
Tidak/terlambat
bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
Bisa
bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
Bahasa
aneh & diulang-ulang/stereotip
Cara
bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C.
Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
Mempertahankan
1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas
dan fokusnya
Terpaku
pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
Ada
gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau
pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang
anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala
autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau
ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian.
Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat
intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki
perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan
rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning
autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang
tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan
kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high
functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan
sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang
diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis
menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin
mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi
mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan
tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label
yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat
dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi
baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases)
Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV
tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan
Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme
ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3
bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme
sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen
screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa
autisme:
Childhood
Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang
dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan
perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan
hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap
perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
The
Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada
masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan
oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
The
Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi
kemampuan komunikasi dan sosial mereka
The
Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3
bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa
yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan
membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan
komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa
karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan
orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari
berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim
dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis
ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Gejala
Anak
dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan
kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari
kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari,
menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain)
atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang
dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang
berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal
lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon
yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya;
suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu
dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa
atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada
para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.
Hambatan
dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
Kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Bermain
dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
Sulit
menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
Gerakkan
tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para
penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada
yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya
sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka
yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang
terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu
terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas
dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap
gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus
diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
Anak
tidak bergumam hingga usia 12 bulan
Anak
tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga
usia 12 bulan
Anak
tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
Anak
tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
Anak
kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya
kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang
autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka
seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat
meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi
lainnya yang memahami persoalan autisme.
Prevalensi
Individu dengan autisme
Diperkirakan
terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 –
an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di
pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang
pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh
darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak
tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and
Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun
2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study
Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya
(Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan
terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika
Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum
telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki
dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya
belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian
mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’
yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama
dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan
ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat
melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan
beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
Genetic
susceptibility – different genes may be responsible in different families
Chromosome
7 – speech / language chromosome
Variety
of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun
para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau
bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu
dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan
autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya
karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana
di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr.
Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia
menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu
jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat
menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati;
staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan
terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah
tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut
diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160
juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime
beserta spektrumnya?
Implikasi
Diagnosa Autisme
Secara
historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan
peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat
ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik
yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992)
merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu
pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan
observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri.
Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah
sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka
tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan
lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari
adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari
pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan
hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya
gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak
menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan
negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat
dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme
sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu
adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan
mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat
bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga
mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan
anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya,
kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat
sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri
anak sendiri.
Bagi
para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme
bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama
dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning.
Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam
penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu
perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga
perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak.
Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang
mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya:
Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir
yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna
William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga
dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang
mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi
seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain
yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label
dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi
para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang
anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan
pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.
Perkembangan
Penelitian Autisme
Tahun
1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model
psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential
manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap
tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan
penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka
janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa
ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan
target-target khusus lainnya, seperti:
Rimland
(1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme,
seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti
penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim
(1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile
Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat
itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak
dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara
detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato
(1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka
Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian
berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas
(1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification
kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di
dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan
khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak
dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang
secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga
saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme,
setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri
sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai
autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di
bawah ini:
1960s
Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
1970s
Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
1980s
Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
1990s
Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
2000s
Litigation, school-based services
Penanganan
Autisme di Indonesia
Intensitas
dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun
persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial
untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa
fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di
Indonesia diantaranya adalah:
Kurangnya
tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor
dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak
dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin
kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
Belum
adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya
mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu
sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
Masih
banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika
anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang
dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi
mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang
memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara
merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Belum
terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah.
Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar
bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi)
karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan inklusi.
Permasalahan
akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara
klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik
(Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah
autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang
besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis
tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan
dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan
anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis
treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui
otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas
mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam
proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
Ciri-ciri
anak autis menurut umur
Gejala
anak autis bisa dilihat dari usia dini, karena itu coba perhatikan anak anda
dalam setiap tahap. Terkadang orangtua tidak terlalu peka terhadap tingkah laku
anak, jangan samapai terlambat. Walau autis ini tidak penyakit, tetapi gangguan
kelemahan terhadap sistim saraf akibat faktor geneti yang lemah. Tapi anak
autis ini perlu perhatian yang lebih ekstra sekali. Perinsip penanganan anak peyandang
autis ini sejak awal dan berikut ini gejala autis ini berdasarkan usia: ·
Usia
0 – 6 bulan. Apabila anak anda terlalu tenang dan jarang menangis, terlalu
sensitive, gerakan tangan dan kaki yang terlalu berlebihanterutama pada saat
mandi. Tidak pernah terjadi kontak mata atau senyum yang secara social, dan
digendongakan mengepal tangan atau menegangkan kaki secara berlebihan. ·
Usia
6 – 12 bulan. Kalau digendong kaku atu tegang dantidak berenterasi atautidak
tertarik pada maianan atu tidak beraksi terhadap suara atau kata. Dan selalu
memandang suatu benda atau tangannya sendiri secara lama. Itu akibatterlambat
dalam perkembangan motorik halus dan kasar. ·
Usia
2 - 3 tahun. Tidak berminat atau bersosialisasi terhadap anak-anak lain dan
kontak mata tidak nyambung dan tidak pernah focus.juga kaku terhadap orang lain
dan masih senang digendong dan malas mengerakan tubuhnya. ·
Usia
4 – 5 tahun. Sukanya anak ini berteriak-teriak dan suka membeo atau menirukan
suara orang dan mengeluarkan suara-suara aneh. Dan gampang marag atau emosi
apabila rutinitasnya diganggu dan kemauanya tidak dituruti dan agresif dam
mudah menyakiti diri sendiri
Terapi
Bagi Individu dengan Autisme
Bila
ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan
ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun
merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses
pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat
tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya
mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak
banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang
standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa
terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun
keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya;
komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya
meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy)
dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut
ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan
ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui
saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali
treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional
dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang
lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para
penyandangnya.
Educational
Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA)
yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering
disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan
developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
TEACCH
(Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped
Children).
Biological
Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan
pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas,
hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
Speech
– Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha
penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi,
peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication
System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi
dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan
Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang
memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi
yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational
Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration
Training (AIT).
Dengan
adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat
penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat
meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan
autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung
berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta
menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme.
Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan
gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada
didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol.
Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak
akurat.
Tidak
ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus
disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya
dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara
multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan
terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu
mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat
ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun
keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah
satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat
perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan
terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua
secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka
bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan
tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Autisme
adalah gangguan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan
keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi
sosial. Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri
yang ditujukan kepada 'seseorang yang hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme
terkadang terbawa sejak lahir sehingga sulit terdeteksi secara dini karena
secara awam terlihat sehat dan normal, baru setelah beberapa bulan bahkan
beberapa tahun kemudian baru dikenali kelainan yang mencirikan penyakit
autisme. Autisme baru dapat terdeteksi pada anak yang berumur paling sedikit 1
tahun. Pengenalan gejala penyakit autisme dapat dilakukan dengan mengamati
dengan seksama perkembangan fisik, emosional dan kemampuan bicara anak. Dari
pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan secara naluriah apakah perkembangan
fisik, mental dan emosional anak tergolong normal, hiperaktif atau hipoaktif
(kurang aktif) bila dibandingkan dengan balita sebayanya. Sekitar 80% dari
penderita autis adalah laki-laki.
Gejala-gejala
autisme antara lain:
1. Sikap anak yang menghindari tatapan
mata (eye contaact) secara langsung
2. Melakukan gerakan atau kegiatan yang
sama secara berulang-ulang (repetitive), gerakan yang terlalu aktif atau
sebaliknya terlalu lamban
3. Terkadang pertumbuhan fisik atau
kemampuan bicara sangat terlambat
4. Sangat lamban dalam menguasai bahasa
sehari-hari, hanya mengulang-ulang beberapa kata saja atau mengeluarkan suara tanpa
arti
5. Hanya suka akan mainannya sendiri dan
mainan itu saja yang dia mainkan
6. Serasa dia mempunyai dunianya sendiri,
sehingga sulit untuk berinteraksi dengan orang lain
7. Suka bermain air dan memperhatikan benda
yang berputar, seperti roda sepeda atau kipas angin
8. Kadang suka melompat, mengamuk atau
menangis tanpa sebab. Anak autis sangat sulit dibujuk, bahkan menolak untuk
digendong dan dibujuk oleh siapapun
9. Sangat sensitive terhadap cahaya, suara
maupun sentuhan
10. Mengalami kesulitan mengukur ketinggian dan
kedalaman, sehingga mereka sering takut melangkah pada lantai yang berbeda
tinggi.
Bila
10 - 20 tahun lalu jumlah penyandang autisme hanya 2 - 4 per 10.000 anak, tiga
tahun belakangan jumlah tersebut meningkat menjadi 15 - 20 anak atau 1 per 500
anak. Tahun lalu, di AS ditemukan 20 - 60 anak, kira-kira 1/200 atau 1/250
anak.
Di
Indonesia belum pernah dilakukan survei, namun para profesional yang menangani
anak melaporkan, peningkatan jumlah penyandang autisme amat pesat. Namun tidak
diimbangi dengan meningkatnya jumlah ahli yang mendalami bidang autisme,
sehingga acapkali terjadi salah diagnosis.
Anak-anak
penyandang autisme yang tidak tertangani dengan cepat dan tepat kemungkinan
sembuhnya akan semakin kecil karena akan menimbulkan kerusakan jaringan otak
yang semakin parah serta dikhawatirkan mereka akan menjadi generasi yang
hilang.
walaupun
penyebab autisme belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli
yang menyebutkan bahwa autisme disebabkan oleh multifaktorial sehingga banyak
faktor yang mempengaruhi. Hal ini menyebabkan sulitnya memastikan faktor resiko
pada gangguan autisme. Terdapat beberapa keadaan yang membuat anak-anak
beresiko besar menyandang autisme. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya
dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini
pada anak. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa
periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi. Dengan
penyebabnya berupa faktor genetik, Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein
Basis dasar, Infeksi karena virus Vaksinasi, kelainan saluran cerna
(Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), gangguan neurobiologis pada susunan
saraf pusat (otak), zat-zat beracun dari polusi dan kekurangan Vitamin, mineral
nutrisi tertentu.
Autisme
merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan
bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis
tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi,
sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non-autis, mana anak autis.
Semakin
dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk
"sembuh". Penyandang autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak
kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat
luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang
terberat sampai yang teringan. "Kesembuhan" dipengaruhi oleh berbagai
faktor: gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50% lebih penyandang mempunyai
kecerdasan kurang), cukup cepat dalam belajar berbicara (20% penyandang autisma
tetap tidak bisa berbicara sampai dewasa), usia (2 - 5 tahun), dan tentu saja
intervensi dini yang tepat dan intensif.
Salah
satu metoda intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah
modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metoda Applied Behavioral
Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang
sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara
obyektif. Penatalaksanaannya dilakukan 4 - 8 jam sehari. Anak dilatih melakukan
berbagai macam keterampilan, misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara,
berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan
kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya
sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat.
Biasanya
setelah 1 - 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk
masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka
yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok
khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara
individual. Di sini anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan
pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis
okupasi, dan ortopedagog.
Permasalahan
anak autis di sekolah umum yang menonjol antara lain kurangnya kemampuan
berkonsentrasi, perilaku yang tidak patuh, serta kesulitan bersosialisasi.
Sebab itu pada beberapa bulan pertama mereka masih memerlukan pendamping di
kelas sampau mereka mampu menyesuaikan diri di kelas. Pendamping ini membantu
guru mengendalikan perilaku si anak dan mengingatkan anak setiap kali
perhatiannya beralih.
Tidak
semua penyandang autisme bisa mengikuti pendidikan formal, meski yang tingkat
kecerdasannya kurang masih bisa masuk sekolah luar biasa (SLB-C). Bagaimanapun,
kalau perilaku si anak tidak bisa diperbaiki: sangat semaunya sendiri, agresif,
hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi, memang ia akan sulit ditampung di
sekolah umum karena akan mengganggu tata tertib kelas. Namun hal ini dapat
diatasi dengan memberikan obat untuk menyeimbangkan neurotransmitter agar lebih
responsif dan aware dengan dunia luar setelah itu anak dapat mengikuti proses
belajar.
Ciri dan mitos autisme
Sejauh
ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme.
Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak
dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan
banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain
(bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan
kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
Karena
karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara
diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim
dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak,
ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang
autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit
pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam
men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru
melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa.
Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam
memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat
memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil
pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari
kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi
perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil
diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan
keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan
berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala
tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.
Karenanya
sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga
diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk
menentukan terapi yang tepat.
Seperti
apakah anak yang terkena autisme?
Sejak
lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya
terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti
keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah
kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku
dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.
Komunikasi:
Kemampuan
berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara.
Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.
Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi
dalam waktu singkat.
Bersosialisasi
(berteman)
Lebih
banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik
untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi
atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau
tersenyum.
Kelainan
penginderaan
Sensitif
terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai
ringan sampai berat.
Bermain
Tidak
spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Perilaku
Dapat
menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang
masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas
ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke
orang lain atau dirinya sendiri. Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari
hari.
Mitos
mengenai Autisme
Mitos-1
: Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak
anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata
tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit
berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka,
tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan
baik.
Mitos-2
: Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos
yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius
mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang ditunjukkan oleh anak
penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi
tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun
dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus
menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi
yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis
dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan
keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses
mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun
dibawah normal adalah sangat kecil.
Mitos-3
: Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak
anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian
besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar,
komputer ataupun peralatan elektronik.
Mitos-4
: Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali
mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak
dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi
sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga
mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih
sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat
memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala
anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk
dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam
berhubungan dengan orang lain.
Mitos
- mitos lainnya :
Autisme
adalah akibat salah asuhan orang tua
Anak
autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah
kelainan perilaku.
Kebanyakan
orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan
bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man'
yang diperankan oleh Dustin Hoffman.
Anak
autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi
Anak
autis tidak menyukai daya tarik fisik
Anak
autis tidak tersenyum
Anak
Autis tidak menginginkan teman
Anak
autis dapat berbicara jika mereka mau
Autisme
adalah ketidak mampuan emosional
Sindrom
Asperger, apakah itu?
Andra
(5 tahun), tampak sehat dan cerdas masuk ke ruang praktek dokter. Menjawab
pertanyaan dengan santun, ”Kabar saya baik, bagaimana dengan kabar Anda?”
Ketika dokter bertanya tentang sekolah, tiba-tiba Andra bercerita tentang Anak
Gunung Krakatau yang dikabarkan akan meletus, lengkap dengan cerita bagaimana
terjadinya proses letusan gunung berapi disertai banjir lahar dan lava serta
mengajak sang dokter berdiskusi tentang Gunung Kelud yang memperlihatkan gejala
sama. Topik pembicaraan tidak juga beralih meskipun dokter berusaha mengalihkan
pembicaraan dengan pertanyaan ringan seputar teman sekolahnya. Orang tua Andra
bercerita bahwa putera mereka mengenal huruf sejak usia 18 bulan dan dapat
membaca dengan belajar sendiri sebelum berusia 3 tahun. Sejak bisa membaca Andi
lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca sains ketimbang bermain bola atau
sepeda. Jeniuskah Andi? Pastinya ya, lalu apa yang salah dengan Andi?
Di
sekolah ternyata teman-teman Andi tidak suka bermain dengannya karena
menganggap Andi aneh. Alih-alih membicarakan film Spongebob dengan
teman-temannya, Andi lebih suka bercerita bagaimana pesawat ruang angkasa bisa
mendarat di bulan. Andi pun sering diejek karena tutur katanya sangat sopan
seperti di buku bahasa dengan intonasi yang datar dengan gaya bahasa seperti
orang dewasa. Andi juga kerap balik menirukan pertanyaan yang ditujukan
kepadanya. Di mata guru, Andi anak yang sangat cerdas, ”berbeda” dengan anak
lain, lebih senang menyendiri dan sibuk dengan buku dan kadang tidak perduli
dengan orang lain atau jika diajak bicara. Apa masalah yang terjadi pada Andi?
Autis ? anak super jenius?…… ternyata bukan, Andi menunjukkan gejala sindrom
Asperger.
Apa
itu sindrom Asperger ? apakah termasuk bagian dari autis?
Autis dan Sindrom Asperger
Sindrom
Asperger (SA) termasuk gangguan perkembangan yang mempengaruhi kemampuan
seorang anak untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Anak laki-laki 3-4 kali
lebih banyak terkena dibandingkan anak wanita.
Tanda
dan gejala anak SA antara lain :
Problem
sosialisasi :
Anak
SA sebenarnya ingin berteman tetapi sering ditolak atau diejek oleh
teman-temannya.
Kurang
atau tidak mengerti bagaimana perasaan orang lain.
Tidak
mengerti humor dan norma-norma sosial yang berlaku
Menunjukkan
perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Kurang
fleksibel karena lebih suka pada rutinitas
sehingga sulit beradaptasi.
Problem
komunikasi :
Dalam
percakapan, anak SA akan lebih banyak bicara tentang hal yang diminatinya tanpa
memperdulikan apakah lawan bicaranya tertarik atau mengerti apa yang
dibicarakan.
Tidak
memahami komunikasi non verbal seperti ekspresi dan bahasa tubuh orang lain
serta kurangnya kontak mata.
Terobsesi
pada hal-hal yang sangat spesifik seperti statistik, jadwal kereta, cuaca dll.
Berbicara
dengan suara yang monoton, datar, formal dengan kecepatan yang lambat atau
cepat.
Kurang
mampu berkomunikasi dua arah.
Kerap
menginterupsi pembicaraan.
Problem motorik dan sensorik:
Koordinasi
motorik halus yang kurang atau clumsy (canggung)
Kurang
dapat menjaga keseimbangan dan meniru gerakan yang bersifat cepat, halus dan
ritmik serta tulisan tangan yang tidak rapi,
Sensitif
terdahadap suara, raba, rasa, cahaya, bau, nyeri dan suhu serta tekstur
makanan.
Penyebab
SA belum banyak diketahui, diduga karena faktor genetik dan kelainan struktural
daerah tertentu di otak.
Bagaimana
membedakan SA dengan autis terutama jenis high functioning autis (autis dengan
kemampuan verbal dan kognitif yang baik) ?
Autis
juga bermasalah dalam hal komunikasi dan sosialisasi serta minat yang terbatas.
Beberapa ahli memasukkan SA dalam ASD (Autistic Spectrum Disorder). Ahli lain
menyatakan bahwa SA berbeda dengan autis maupun ASD. Akan tetapi hampir semua
sepakat bahwa perbedaan utama antara SA dengan autis maupun ASD adalah anak SA
memperlihatkan perkembangan bahasa/bicara serta kecerdasan yang normal sesuai
usianya, bahkan kemampuan ini kadang melebihi usia. Sehingga anak SA tidak datang
dengan keluhan terlambat bicara tetapi dengan keluhan masalah di sekolah karena
kurangnya sosialisasi atau dianggap aneh.
Apakah
anak kita menunjukkan gejala SA ?
Kadang
sulit untuk dijawab karena sebagian anak masih bersifat egosentris dalam
bersosialisasi serta membicarakan hal-hal yang itu-itu saja seperti mainan atau
tokoh kartun favoritnya.Tetapi jika hal-hal tersebut sampai mengganggu
sosialisasi dengan teman-temannya , menganggu proses belajar serta anak kita
dianggap eksentrik maka sebaiknya berkonsultasi dengan para ahli.
Referensi
http://www.emedicinehealth.com/
A
parents guide to Asperger Syndrome & High functioning autism, by Sally
Ozanoff PhD, Geraldine Dawson PhD, James Mc Portland, PhD
Autisme
pada anak
Autisme
Autisme
diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan
interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan
pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun.
Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak
perempuan.
Tanda
- tanda Autisme
* - tidak bisa menguasai atau sangat lamban
dalam penguasaan bahasa sehari-hari
* - hanya bisa mengulang-ulang beberapa
kata
* - mata yang tidak jernih atau tidak
bersinar
* -
tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain
* - hanya suka akan mainannya sendiri
(kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan)
* - serasa dia punya dunianya sendiri
* - tidak suka berbicara dengan orang lain
* - tidak suka atau tidak bisa menggoda
orang lain
Penyebab
Autisme Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti.
Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang
lainnya mengenai hal ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak
vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella )bisa
berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini
mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi
penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder. Tapi hal ini masih
diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti
yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini
diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.
Untuk
memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak,
digunakan
standar internasional tentang autis. ICD-10 (International Classification of
Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan
kriteria diagnosis untuk Autis Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai
di seluruh dunia.
Kriteria
tersebut adalah:
Untuk
hasil diagnosa, diperlukan total 6 gejala (atau lebih) dari no. (1), (2), dan
(3), termasuk setidaknya 2 gejala dari no. (1) dan masing-masing 1 gejala dari
no. (2) dan (3).
1.
Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada
dua dari gejala-gejala di bawah ini:
- Tak mampu menjalin interaksi sosial yang
cukup memadai:
kontak mata sangat kurang, ekspresi muka
kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju.
- Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
- Tak ada empati (tak dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain).
- Kurang mampu mengadakan hubungan sosial
dan emosional yang timbal balik.
2.
Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari
gejala-gejala di bawah ini:
- Perkembangan bicara terlambat atau sama
sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara
non-verbal.
- Bila anak bisa bicara, maka bicaranya
tidak dipakai untuk berkomunikasi.
- Sering menggunakan bahasa yang aneh dan
diulang-ulang.
- Cara bermain kurang variatif, kurang
imajinatif, dan kurang dapat meniru.
3.
Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat,
dan kegiatan. Minimal harus ada satu
dari gejala di bawah ini:
- Mempertahankan satu minat atau lebih
dengan cara yang sangat khas dan berlebihan.
- Terpaku pada suatu kegiatan yang
ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
- Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan
diulang-ulang.
- Seringkali sangat terpukau pada
bagian-bagian benda.
Sebelum
umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:
a. interaksi sosial,
b. bicara dan berbahasa,
c. cara bermain yang monoton, kurang
variatif.
Autis
bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.
Namun, kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autis ringan.
Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang
menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau
hiperaktivitas.
Autis
memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya
gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang
autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan
berprestasi. Di Amerika, dimana penyandang autis ditangani secara lebih serius,
persentase kesembuhannya lebih besar.
Mempersiapkan
& Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum
Pendidikan
adalah kunci masa depan setiap individu, apalagi bila ia termasuk penyandang
autisme. Setiap orang tua mendambakan agar anaknya bisa mengikuti pendidikan
jalur ‘normal’ yang memberikan kesempatan bagi anak mengikuti semua kegiatan.
Sayangnya di Indonesia belum menjadi keharusan bagi semua institusi untuk
menerima anak dengan masalah autisme bersekolah di tempat mereka. Seringkali
kesempatan bersekolah tersebut masih harus diperjuangkan, dan perjuangan yang
luar biasa sulitnya bisa menjadi sia-sia karena anak, orang tua maupun guru
belum sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi murid ‘istimewa’ ini di
tengah-tengah mereka. Atau, ketika anak sudah berada di sekolah dan timbul
masalah, sedikit orang yang paham harus bagaimana membantu anak sehingga ia
makin terpuruk dalam masalah.
Kiat
praktis mempersiapkan dan membantu anak autis ini bersekolah di sekolah umum
adalah tema yang dikupas dalam makalah singkat ini.
I. INDIVIDU AUTISME
Seseorang
baru dapat dikatakan sebagai termasuk Autistic Spectrum Disorder, bila ia
memiliki sebagian dari uraian
gejala-gejala berikut ini:
a. Gangguan komunikasi --- cenderung
mengalami hambatan mengekspresikan diri, sulit bertanya jawab sesuai konteks,
sering membeo ucapan orang lain, atau bahkan mengalami hambatan bicara secara
total dan berbagai bentuk masalah gangguan komunikasi lainnya. Biasanya, orang
tua khawatir anaknya ASD karena perkembangan bicara yang tidak setara dengan
anak lain seusianya.
b. Gangguan perilaku --- adanya perilaku
stereotipi / khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit,
senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan
benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan
berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya.
Variasi perilaku yang ter-tampil sangatlah beragam, sehingga tidak mungkin
dijabarkan satu per satu.
c. Gangguan interaksi --- secara umum
terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering
terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain
bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya.
Masalah
di atas sering juga disertai dengan adanya ketidakmampuan untuk bermain,
gangguan makan dan atau gangguan tidur. Anak tidak menggunakan permainan
sebagaimana mestinya, sangat pemilih dalam hal menu makanannya, cenderung ada
masalah pencernaan, atau sangat terbatas asupannya. Anak juga sering sulit
tidur atau terbangun tengah malam… dan berbagai jenis permasalahan lainnya.
Beberapa
individu yang termasuk dalam spektrum autisme juga melaporkan bahwa mereka
memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti misalnya (Siegel,
1996):
⋆ Visual thinking
dimana
mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada
hal abstrak. Biasanya, ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk
‘video’ atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti
ini, jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal; akibatnya.. mereka
perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan
tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan
asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika.
⋆ Processing problems
Sebagian anak ASD mengalam kesulitan
memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami ‘common sense’ atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka
sulit merangkai informasi verbal yang
panjang (rangkaian instruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil
mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut
di atas tampak konsisten dengan kecenderungan individu ASD yang lebih mudah
berpikir secara visual.
⋆ Sensory sensitivities
Perkembangan
yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD juga sedikit banyak
mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua
pada sebagian anak ASD:
- Sound sensitivity: dimana anak jadi takut
berlebihan pd suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka
bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk
perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras/ bising ini tidak sama, dan
frekuensi setiap individu juga berbeda-beda.
Kadang anak mendengung/bergumam untuk
menghalangi gangguan suara tadi. Dengan ia mendengung, ia hanya mendengar
dengungannya dan tidak mendengar suara lain yang tidak dapat ia prediksi.
- Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan
terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah
kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makan
& pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan
kita, maka pelukan kita justru dapat ia artikan sebagai hukuman yang
menyakitkan.
- Rhytm difficulties: Individu sulit
mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan ‘saat utk
masuk dalam percakapan’. Itu sebabnya banyak individu ASD terus menerus berbicara,
atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang seringkali
dianggap lingkungan sebagai ‘tidak sopan’. Padahal, ini adalah masalah fisik
mereka.
⋆ Communications frustrations
Gangguan perkembangan bicara bahasa yang
terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah
komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, tapi terutama bila orang lain
bicara langsung kepada mereka. Itu sebabnya mereka seolah tidak mendengar bila
orang lain bercakap-cakap sesamanya. Mereka merasa, percakapan itu tidak
ditujukan kepada mereka, karena itu mereka sulit memahami tuntutan lingkungan
yang meminta mereka menjawab meski mereka tidak ditanya secara langsung.
Individu ASD juga sulit mengungkapkan diri, sehingga lalu berteriak atau
berperilaku negatif lain sekedar untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Mereka tidak tahu dan atau tidak mampu mengungkapkan diri secara efektif,
kadang harus berada dalam kondisi tertekan untuk dapat ekspresi sehingga
seringkali frustrasi bila tidak dimengerti.
⋆ Social & emotional issues
Ciri
lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang
membuat individu ASD cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu ASD sulit
adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari.
Apalagi, bila perubahan tersebut terjadi dengan cepat dan tanpa penjelasan sama
sekali. Keterpakuan akan sesuatu membuat mereka sulit memahami berbagai situasi
sosial seperti tata cara pergaulan dan hukum sosialisasi yang sangat bervariasi
tergantung kondisi dan situasi sesaat.
Pada
umumnya individu ASD tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa
mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, karena hal ini adalah
sesuatu yang sangat abstrak. Itu sebabnya, banyak yang sulit empati bila tidak
dilatih melalui pengalaman dan pengarahan.
⋆ Problems of control:
Berbagai
gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi
makin kompleks. Mereka mengalami kesulitan mengontrol diri sendiri, yang
terwujud dalam berbagai bentuk masalah perilaku. Mereka cenderung berperilaku
ritual dengan pola tertentu, dan ada keterpakuan pada beberapa jenis objek. Sebagian
dari mereka juga memiliki ketakutan yang luar biasa pada hal-hal yang tidak ia
mengerti.
⋆ Problems of
tolerance:
Kepekaan
yang berlebihan akan rangsang stimuli tertentu, membuat individu ASD menarik
diri dari lingkungannya. Mereka kurang dapat mentolerir rangsang-rangsang
tersebut, dan ini merupakan manifestasi masalah sensori di tubuhnya. Sebagian
dari mereka juga cenderung sangat peka terhadap berbagai muatan emosi yang
terjadi di sekitarnya. Mereka bingung dan cemas bila tidak dapat memahami
pesan-pesan emosi yang terjadi saat bergaul, sehingga kadang memutuskan untuk
menarik diri dari pergaulan.
⋆ Problems of
connection:
Berbagai
masalah yang berkaitan dengan ‘kemampuan individu menalar’ adalah
• Attention problems: masalah pemusatan perhatian, terus menerus
terdistraksi
• Perceptual problems: masalah proses
persepsi, bingung sehingga menghindari orang lain.
• Systems integration problems: proses
informasi di otak bekerja secara ‘mono’ (tunggal) sehingga sulit memproses
beberapa hal sekaligus
• Left-right hemisphere-integration problems:
otak kiri tidak secara konsisten tahu apa yang terjadi pada otak kanan (dan
sebaliknya), sehingga tidak sepenuhnya sadar pada apa yang sedang terjadi.
Perbedaan
manifestasi gangguan-gangguan tersebut, menjadikan setiap individu sangat unik.
Tidak ada dua individu autisme yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun.
Itu sebabnya, penanganan juga tidak dapat disama-ratakan. Paham “individual
differences” (Greenspan, 1998) sangat ditekankan, sehingga orang tua dan guru
tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.
Dalam
menghadapi variasi jenis kelebihan dan kekurangan masing-masing anak, kemampuan
untuk mengobservasi menjadi sangat penting. Orang tua adalah pengamat di rumah,
guru adalah pengamat handal di sekolah. Apa yang harus diamati? Banyak sekali:
kebiasaan anak dalam menghabiskan waktu di rumah, perilaku yang sering ia
tampilkan, bagaimana ia mencerna informasi, bagaimana respons anak terhadap
usaha orang tua mengajarkan kebiasaan baru dan sebagainya.
Karena
itu, penting bagi pendidik dan orang tua anak ASD untuk bekerja sama berusaha
mencari penanganan terbaik bagi anak-anak ini. Mau tidak mau, suka tidak suka,
para orang dewasa di sekitar anak ASD-lah yang harus menyesuaikan diri dengan
kebutuhan anak ASD. Berikan mereka kesempatan dan target yang realistis di
tempat belajar “umum”, serta ajarkan ketrampilan-ketrampilan baru melalui cara
yang khusus (bila perlu) sesuai kemampuan dan gaya belajar mereka.
Gaya
belajar individu autisme
Setiap
individu mempunyai gaya tersendiri dalam upayanya mencerna informasi secara
efektif. Pada umumnya kita belajar melalui indra penglihatan, perabaan dan atau
pendengaran. Kita juga punya aneka gaya dalam mengingat. Ada individu yang
lebih ingat fakta daripada orang lain. Ada yang lebih suka detil, sementara
orang lain tidak suka pada detil. Bagaimana dengan individu autisme ? Ada beberapa gaya belajar yang dominan pada
diri mereka (Sussman, 1999):
* Rote learner: Anak yang memakai gaya
belajar ini, cenderung menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti
simbol yang mereka hafalkan itu. Contoh: anak dapat mengucapkan huruf dengan
baik secara urut (atau melengkapi urutan abjad yang tak lengkap), tetapi
sesungguhnya tidak tahu bahwa huruf itu bila digabung dengan huruf lain akan
menjadi kata yang mengandung makna. Atau, anak yang dapat menghafalkan angka,
tidak: Anak tahu bahwa simbol itu mewakili 'jumlah' benda.
* Gestalt learner: Bila anak menghafalkan
kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata-per-kata yang terdapat
pada kalimat tersebut, anak cenderung belajar menggunakan gaya 'gestalt'
(melihat sesuatu secara global). Berbeda dengan anak non-autis yang belajar
bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan
belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian,
tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan
sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
Misalnya, Anda berikan mainan karet yang
biasanya dimainkan sambil mandi dan mengatakan "letakkan di air", ia
akan dapat melakukannya. Tetapi bila Anda berikan mainan yang sama lalu
mengatakan "letakkan di rak mainan", ia akan tetap meletakkannya di
air. Ia tidak paham makna kata 'letakkan' tetapi hanya mengasosiasikan seluruh
kalimat dengan kebiasaannya saja. Berbeda dengan anak non-autis yang belajar
bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan
belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat seluruh kejadian,
tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Ia mungkin akan
sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
* Visual learner: Anak dengan gaya belajar 'visual' senang
melihat-lihat buku atau gambar atau menonton TV dan umumnya lebih mudah
mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang hanya dapat mereka
dengar. Berhubung penglihatan adalah indra terkuat mereka, tidak heran banyak
anak autis sangat menyukai TV/ VCD / gambar.
* Hands-on learner: Anak yang belajar dengan gaya ini, senang
mencoba-coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui pengalamannya.
Mulanya ia mungkin tidak tahu apa arti kata 'buka' tetapi sesudah Anda letakkan
tangannya di pegangan pintu dan membantu tangannya membuka sambil Anda katakan
'buka', ia segera tahu bahwa bila Anda katakan 'buka' berarti .. ia ke pintu
dan membuka pintu itu. Anak-anak ini umumnya senang menekan-nekan tombol,
membongkar mainan dsb.
* Auditory learner: Anak dengan gaya belajar ini senang bicara
dan mendengarkan orang lain bicara. Ia mendapatkan informasi melalui pendengarannya.
Jarang sekali anak autis bergantung sepenuhnya pada gaya ini dan biasanya
menggabungkannya dengan gaya lain.
Tanpa
mengesampingkan fakta bahwa setiap individu autis memiliki ciri khas yang
berbeda-beda, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan
belajar-mengajar, pada umumnya mereka memiliki ciri khas sebagai berikut:
CIRI
YANG DAPAT MEMBANTU
CIRI
YANG DAPAT MENJADI KENDALA
- Daya ingat baik, dapat mengingat in-formasi
(rote learner, gestalt learner)
- Mudah memahami dan mengingat berbagai hal
yang ia lihat atau ia pegang (visual learner & visual thinking)
- Mudah memahami berbagai hal yang ia alami
(hands-on learner)
- Dapat ditingkatkan pemahamannya, bah-kan
sebagian besar di antara mereka tidak terganggu daya tangkapnya
- Dapat diarahkan, dapat dibantu aktualisasi
potensi
• Sulit memahami instruksi yang
disampaikan
secara verbal dan merupakan rangkaian
• Sulit melakukan dua hal sekaligus, karena
berpikir secara ‘mono’ (tunggal)
• Proses berpikir visual lebih lambat daripada
proses berpikir ‘biasa’ sehingga perlu jeda
sebelum berespons
• Ketakutan berlebihan/irasional akan sesuatu
• Fiksasi akan sesuatu, berpikir kaku
• Sulit persepsi irama (ritme)
• Sulit berdialog dan berkomunikasi
• Sulit pahami aturan-aturan sosial
II. PENDIDIKAN BAGI INDIVIDU AUTISME
Fakta
bahwa individu-individu ASD belajar secara berbeda karena perbedaan neurobiologis
bawaan mereka memberikan dampak pada tiga hal (Siegel, 1996):
1. Belajar menjadi tugas yang lebih berat
bagi individu ASD
2. Individu ASD harus diajarkan dalam gaya
yang ‘khusus’ bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan
baik. Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus
3. Bila intervensi dilakukan lebih dini, maka
perjuangan untuk mengajar individu-individu ini diharapkan akan lebih mudah
karena mereka sudah lebih tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku
negatif lainnya)
Intervensi
dini menjadi satu langkah yang penting, dan salah satu teknik/metode yang
banyak digunakan adalah Applied Behavioral Analysis yang ditemukan oleh Ivar O.
Lovaas (Maurice, 1996). Penanganan intervensi dini menggunakan teknik
‘one-on-one’ atau satu guru satu anak, yang sangat intensif dan terfokus dengan
kurikulum yang sangat terstruktur.
Komponen
‘one-on-one’ ini menjadi penting artinya pada proses belajar awal, terutama
bagi anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhan dan imitasi-nya. (Siegel,
1996). Intensitas (jumlah jam per minggu) juga sangat penting, seperti yang
dilaporkan oleh hasil penelitian Lovaas (Lovaas, 1981). Kecenderungan orang tua
untuk panik dan mengharapkan hasil terbaik membuat mereka menjadwalkan
penanganan intensif terstruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya,
anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila di luar penanganan terstruktur
tersebut tidak ada bentuk penanganan lain yang lebih alami sementara penanganan
(terapi) yang ia terima dilakukan secara kaku. Itu sebabnya, Greenspan (1998)
mengusulkan adanya usaha orang tua meluangkan waktu bersama anak dalam bentuk
kegiatan tidak berstruktur tetapi alami.
Ada
beberapa kemungkinan yang dapat ditempuh oleh anak ASD dalam jalur pendidikan.
Penetapan akan menempuh jalur yang mana sangat dipenuhi oleh berbagai aspek,
antara lain: banyaknya gejala autisme pada anak, daya tangkap, kemampuan
berkomunikasi, usia dan harapan (atau tuntutan) orang tua.
Alternatif
pilihan bentuk pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat, antara lain terbagi
atas jalur pendidikan khusus (Siegel,
1996):
1. Individual Therapy, antara lain melalui
penanganan di tempat terapi atau di rumah (home-based therapy dan kemudian
homeschooling).
Intervensi
seperti ini merupakan dasar dari pendidikan individu ASD. Melalui penanganan
one-on-one, anak belajar berbagai konsep dasar dan belajar mengembangkan sikap
mengikuti aturan yang ia perlukan untuk berbaur di masyarakat.
2. Designated Autistic Classes
Salah
satu bentuk transisi dari penanganan individual ke bentuk kelas klasikal,
dimana sekelompok anak yang semuanya autis, belajar bersama-sama mengikuti
jenis instruksi yang khas. Anak-anak ini berada dalam kelompok yang kecil (1-3
anak), dan biasanya merupakan anak-anak yang masih kecil yang belum mampu
imitasi dengan baik.
3. Ability Grouped Classes
Anak-anak
yang sudah dapat melakukan imitasi, sudah tidak terlalu memerlukan penanganan
one-on-one untuk meningkatkan kepatuhan, sudah ada respons terhadap pujian, dan
ada minat terhadap alat permainan; memerlukan jenis lingkungan yang menyediakan
teman sebaya yang secara sosial lebih baik meski juga memiliki masalah
perkembangan bahasa.
4. Social Skills Development and Mixed
Disability Classes
Kelas
ini terdiri atas anak dengan kebutuhan khusus, tetapi tidak melulu autistik.
Biasanya, anak autis berespons dengan baik bila dikelompokkan dengan anak-anak
Down Syndrome yang cenderung memiliki ciri ‘hyper-social’ (ketertarikan berlebihan
untuk membina hubungan sosial dengan orang lain). Ciri ini membuat mereka
cenderung bertahan, memerintah, dan berlari-lari di sekitar anak autis sekedar
untuk mendapatkan respons. Hal ini baik sekali bagi si anak autis.
dan
jalur pendidikan umum (mainstream).
Maksud
kata ‘mainstream’ berarti melibatkan seorang anak dengan kebutuhan khusus ke
dalam kelas-kelas umum. Penanganan anak sungguh-sungguh dilakukan tanpa adanya
perhatian pada kebutuhan khusus yang ada pada anak. Padahal, sebetulnya anak
memang memiliki kebutuhan khusus.
Tujuan
orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic
main-stream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau
“social mainstream” (agar anak dapat mengikuti kegiatan sosialisasi bersama
teman).
III. PERSIAPAN YANG SEBAIKNYA DIJALANKAN
Berdasarkan
uraian di atas, tentu saja kita harus menarik satu kesimpulan: ada jenjang
persiapan yang harus dijalani sebelum anak dengan gangguan perkembangan autisme
ini dimasukkan ke dalam lingkungan sekolah umum.
Persiapan
tersebut perlu dijalani oleh berbagai pihak yang terlibat: anak, sekolah dan
orang tua.
* Anak: dua hal penting yang harus
dipertimbangkan adalah apakah anak siap untuk belajar dalam kelompok (kecil atau
besar, tergantung masing-masing sekolah) dan kesiapan anak mengikuti rutinitas
di sekolah (makan bersama, toileting, olah raga, upacara dsb).
Semua
pihak perlu mempertimbangkan faktor berikut:
- Fungsi kognitif à Tingkatan fungsi kognisi, verbal atau
non-verbal
- Bahasa dan komunikasi à
Tingkatan pemahaman bahasa (bicara ><
tertulis), tingkatan kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan akademis à
Pemahaman konsep bahasa, matematika,
kebutuhan akan bantuan dari orang lain
- Perilaku di kelas à Kesanggupan mengikuti proses belajar
mengajar di kelas (1:3, 1:8,
1:15, 1:30).
Kesanggupan
mengerjakan tugas secara mandiri. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan
transisi atau perubahan di dalam kelas
* Sekolah:
Saat
ini sudah ada beberapa sekolah menerima keberadaan anak autis di dalam kelas
umum. Tetapi sikap menerima saja tidak cukup bila tidak diikuti dengan beberapa
penyesuaian, antara lain:
- Modifikasi lingkungan: Bangunan sekolah, tata-letak di dalam kelas,
lingkungan sekitar
- Pelatihan staf: Menerima perbedaan anak dan mau belajar lagi
Keterbukaan
akan kerja sama dengan pihak lain terkait
Pengetahuan
dan ketrampilan untuk membantu tatalaksana anak autis
- Penyuluhan kepada orang tua/anak lain: Hal
ini tidak mudah, karena banyak orang tua lain beranggapan bahwa sekolah umum
seharusnya tidak menerima anak dengan masalah.
Mereka khawatir sifat autisme anak akan menular pada
anak-anak
mereka.
- Sikap terhadap saudara kandung: apakah
keberadaan saudara sekandung dengan autisme ini menjadi suatu keuntungan atau
kekurangan bagi kakak/adik tsb.
* Orang tua:
Keadaan
orang tua sangat menentukan proses belajar mengajar dan pencapaian
masing-masing anak. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah:
- Pengharapan keluarga: Apa yang diharapkan dicapai dari keberadaan
anak berada di sekolah: apakah full inclusion atau social mainstream ?
Pengharapan
ini sangat menentukan target pendidikan bagi anak di sekolah. Target yang
“lepas dari konteks” dalam arti tidak sesuai potensi yang ditampilkan anak
(berlebihan), tentu akan membuat siapapun yang terlibat menjadi frustrasi. Anak
bahkan bisa tidak suka belajar / sekolah. Sebaliknya, target di bawah kemampuan
anak akan membuat ia bosan dan juga tidak suka sekolah.
- Kebutuhan dari anggota keluarga yang
lain: Anggota keluarga bukan terdiri
atas anak autis ini saja, tetapi tentu saja menyangkut kakak/adik dan orang tua
anak. Keterlibatan anak di lingkungan sekolah umum, mau tidak mau akan
mempengaruhi kegiatan sehari-hari seluruh keluarga. Anak harus mengerjakan
pekerjaan rumah, orang tua harus menunggui, kakak/adik diberi tanggung jawab
mengenai kegiatan anak di rumah dan sekolah, dsb.
- Adanya dukungan lingkungan: Lingkungan
disini, termasuk juga orang tua lain di sekolah tersebut (POMG). Bagaimanakah
sikap mereka, apakah mendukung atau tidak. Bagaimana juga sikap anak lain di
sekolah tersebut, apakah menerima keberadaan anak autis ini atau tidak. Bagaimana
sikap guru di luar kelas ini, sikap kepala sekolah dsb.
* Tenaga profesional terkait:
Adakah
tenaga profesional yang dilibatkan dalam tim pendukung anak:
- Dokter: Peran dokter disini (dokter anak,
psikiater anak, dokter mata, THT, gizi dsb sesuai kebutuhan anak) amat penting
karena proses belajar mengajar anak tidak akan lancar kecuali ia dalam keadaan
sehat.
- Psikolog: Peran psikolog adalah untuk memberikan
gambaran profil psikologis anak (psychological profile), sehingga orang tua dan
pihak sekolah paham kelebihan dan kekurangan anak secara menyeluruh. Gambaran
profil ini dapat membantu semua pihak terkait dalam mengarahkan anak sehingga
potensi aktual dapat terealisir secara optimal tanpa membuat anak tertekan.
- Guru pendamping: Pada umumnya anak
autis memerlukan guru pendamping pada masa awal penyesuaian di lingkungan kelas
yang jelas berbeda dengan lingkungan terapi individual. Masalahnya, tidak semua
sekolah menyediakan guru pendamping dengan kualifikasi yang jelas, atau tidak
semua orang tua bersedia menggunakan guru pendamping yang disediakan pihak
sekolah oleh karena berbagai alasan. Guru pendamping juga sering tidak paham
sebatas mana mereka diperbolehkan membantu anak. Akibatnya, anak tergantung pada
guru pendamping, guru kelas tidak berusaha kenal anak karena anak hampir selalu
berada bersama dengan guru pendamping, dan pada akhirnya anak tetap menjadi
‘anak bawang’ karena ia tidak terlalu berbaur dengan lingkungannya.
- Terapis: Meskipun sudah bersekolah di sekolah umum,
sebagian dari anak autis masih memerlukan bimbingan khusus di rumah. Tugas ini
biasanya dibebankan kepada terapis rumah, yaitu terapis atau guru yang bertugas
untuk mengulang materi yang dipelajari di sekolah lengkap dengan
generalisasi-nya, mempersiapkan anak akan materi yang akan datang, dan membantu
anak mengkompensasi kelemahannya melalui berbagai teknik dan kiat praktis.
Apakah
ada kerja sama yang baik antara tenaga profesional dengan sekolah dan keluarga,
dalam arti keterbukaan secara profesional demi kemajuan si anak. Adakah bantuan
akademis (dalam bentuk sesi khusus atau modifikasi proses), atau kelompok orang
tua dengan masalah sama?
Piramida
sasaran pendidikan:
Dr.
Lam Chee Meng & Chan Yee Pei, BSc dalam konferensi WeCan di Singapore
November 2002 mengungkapkan bahwa semua pihak sebaiknya mengacu pada piramida
berikut dalam menerapkan target pendidikan bagi anak autisme:
Bagian
piramida yang paling penting adalah bagian bawah, karena seluruh bangunan akan
hancur bila pondasi tidak kokoh.
Bagian
paling bawah, adalah:
* Work habits, Self-regulation:
Sikap
kerja anak setiapkali diberi tugas dan bagaimana ia mengembangkan kontrol serta
strategi setiap ia mengahadapi stres.
* Self-Help, Independence:
Kemampuan
anak membantu dirinya sendiri dan bersikap mandiri sesuai usia tahap
perkembangan. Misal: mampu ke kamar mandi sendiri, mampu membereskan buku
sendiri, bertanggung jawab atas barang bawaannya, pergi ke guru tanpa harus
diarahkan dsb.
* Functional Communication:
Meskipun
sebagian komunitas anak autis dapat bicara, tetapi seringkali kemampuannya
masih belum untuk menjawab pertanyaan secara konsisten dan kontekstual. Anak
juga terkadang belum dapat menyampaikan keinginan, perasaan dan pendapat
sehingga sering frustrasi dan lalu menyebabkan ia berperilaku negatif.
Persiapan
bagian bawah piramida tersebut seyogyanya dilakukan sebelum anak masuk ke
sekolah umum, karena di sekolah anak akan berhadapan dengan target akademis dan
sosialisasi.
Target
akademis juga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan anak,
sehingga kecenderungan anak untuk frustrasi dapat diperkecil dan bila mungkin
dihilangkan. Misal: anak sulit memahami konsep abstrak, jadi sebaiknya sedapat
mungkin hal yang abstrak dibuat lebih konkrit. Anak sulit menghadapi perubahan
mendadak, sehingga sebaiknya ia diberitahu terlebih dahulu sebelum perubahan
itu harus ia hadapi.
IV. BANTUAN YANG SEHARUSNYA DIBERIKAN
Lalu,
bagaimana bila anak sudah terlanjur masuk ke dalam lingkungan sekolah, dan ia
tampak mengalami berbagai masalah yang menghambat aktualisasi potensinya? Tentu
saja masih ada alternatif solusi yang dapat dicoba baik oleh orang tua maupun
pihak sekolah, yakni:
A. Memahami kondisi anak secara menyeluruh
Tujuan
orang tua memasukkan anak ke jalur pendidikan umum bisa untuk “academic
mainstream” (agar anak sepenuhnya bisa mengikuti kegiatan akademis) atau “social mainstream” (agar anak dapat
mengikuti kegiatan sosialisasi bersama teman).
Di
Indonesia belum tersedia berbagai fasilitas pendidikan khusus bagi anak ASD
usia sekolah, kecuali sekolah umum. Itu sebabnya orang tua berbondong-bondong
memasukkan anaknya ke sekolah umum yang bersedia memberikan kesempatan untuk
menampung individu ASD. Timbul masalah baru, dimana para guru lalu merasa
kewalahan dalam menangani anak-anak ini, karena mereka tidak tahu harus berbuat
apa. Untuk itu, penting dilakukan evaluasi dan atau observasi mendalam sebelum
anak mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Tujuan
evaluasi/observasi mendalam ini adalah untuk mendapatkan profil psikologis
anak, yang antara lain mencakup aspek:
- Gejala autisme yang ada pada anak dan
intensitas gejala tersebut (perilaku, komunikasi, interaksi, kecenderungan
menyerang diri sendiri atau orang lain, gangguan konsentrasi dsb)
- Kendala apa yang mungkin dialami anak
di kelas (anak diet ketat sehingga mungkin akan frustrasi saat makan bersama,
anak sulit pusatkan perhatian sehingga letak duduk akan mempengaruhi pemahaman,
masalah motorik halus sehingga sulit menulis dsb).
- Kelebihan apa yang dimiliki anak, yang
mungkin dapat digunakan sebagai kompensasi (daya ingat kuat, sangat visual,
pemahaman konsep abstrak cepat tangkap asalkan ada pengalaman aktual dsb).
- Seberapa besar peran pendukung
dibutuhkan oleh anak, dan bagaimana bentuknya (masih harus didampingi guru pendamping,
pelajaran harus diulang di rumah secara intensif, harus menggunakan terapi
medikasi/terapi lain, dsb).
B. Memahami peran masing-masing pihak dan
menjalankan tugas sesuai batasan peran tersebut
* Sebagai orang tua, ketat memantau perkembangan
anak di kelas dan di sekolah. Siap membantu guru setiap kali terjadi masalah,
tidak menunggu hingga masalah menjadi berkepanjangan. Bersedia menerima
masukan, baik atau buruk, demi kemajuan anak. Tidak langsung menyalahkan pihak
lain, tetapi bersedia melihat permasalahan secara obyektif dari kacamata dua
belah pihak.
* Sebagai guru, memperlakukan anak sesuai
harkatnya yang memang terlahir sebagai individu dengan gangguan perkembangan
autisme. Bersedia menerima masukan, terutama menyangkut masalah modifikasi
proses belajar mengajar demi tercapainya pemahaman materi. Segera memberi tahu
bila tampak ada masalah sekecil apapun, guna dapat dicari pemecahannya agar
tidak berlarut-larut.
* Sebagai guru pendamping (shadower),
paham batasan peran tersebut dan justru menjadikan “kemandirian anak” sebagai
tujuan akhir. Adapun peran/tugas guru pendamping adalah:
- Memastikan agar anak memahami semua
persyaratan untuk menyelesaikan tugas dan menjalani rutinitas prosedur di kelas
sehari-hari
- Mengusahakan agar anak memperoleh dukungan
struktur yang ia perlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan di kelas
(icon, skedul, simbol, kartu dsb).
- Menjembatani situasi agar terjadi hubungan
antara anak dengan guru kelas. Tugas guru pendamping terbatas pada mempermudah
dan memperjelas informasi yang disampaikan oleh guru kelas, tetapi sebatas
diperlukan. Hubungan antara anak dengan guru kelas justru adalah tujuan utama
yang harus dicapai oleh guru pendamping. Sebaiknya anak tidak hanya berhubungan
dengan guru pendamping.
- Memberikan bantuan dan kesempatan kepada
anak agar ia dapat mengembangkan hubungan dan berinteraksi dengan teman
sebayanya. Jangan justru hanya bermain bersama guru pendamping.
- Berusaha keras agar anak belajar berfungsi
secara mandiri di lingkungan sekolah.
Singkat
kata, guru pendamping dapat dikatakan berhasil bila ia dapat membimbing anak
sedemikian rupa sehingga guru pendamping tidak dibutuhkan lagi kehadirannya di
sekolah.
C. Memperhatikan beberapa prinsip kunci dalam
penanganan masalah
Masalah
anak di kelas terbagi atas beberapa aspek: komunikasi, pemahaman, interaksi,
struktur lingkungan, dan perilaku.
1. Komunikasi
Komunikasi
lebih dari sekedar bicara.
Komunikasi
terjadi karena adanya pematangan sistim biologis dan sistim syaraf dalam tubuh
anak. Tidak heran bila pematangan sistim tersebut terhambat, maka terhambat
pulalah kemampuan komunikasi seseorang. Komunikasi juga terkait dengan
kemampuan kognisi, sehingga makin bermasalah seseorang dalam pemahamannya maka
akan makin terbatas kemampuan komunikasinya (Quill, 1995). Komunikasi juga
melibatkan perkembangan bahasa - bicara, dan penguasaan berbagai kemampuan a.l
pemahaman, sosialisasi, bergiliran, pilihan, keinginan, dan pengungkapan. (Hodgdon,
1999; Maurice 1996).
Anak
ASD umumnya mengalami hambatan dalam aneka aspek perkembangan yang sudah
disebutkan di atas. Awalnya mereka tidak ada alasan untuk berkomunikasi (tidak
tertarik, tidak ada kebutuhan), dan ketika mereka sudah tertarik untuk
berkomunikasi, mereka memiliki masalah lain (sulit mengungkapkan diri, tidak
dapat menjalin kontak mata, sulit memusatkan perhatian dsb).
Menuntut
seorang anak ASD untuk bicara lancar tanpa ada masalah, jelas tidak adil. Ia
akan semakin tegang, dan ketegangan ini menghambatnya untuk berpikir leluasa.
Sebaiknya ia diberi kemampuan yang ia perlukan untuk berkomunikasi (bukan hanya
bicara) dan dibantu untuk dapat berkomunikasi dengan lebih efektif.
Guna
membantu anak ASD berkomunikasi dengan efektif, mereka perlu diajarkan untuk:
• Memahami makna “ya” dan “tidak”
• Menetapkan pilihan
• Memahami konsep representasi: bahwa
gambar 2 dimensi mewakili sesuatu yang nyata
• Melakukan deskripsi terhadap suatu
gambar dan kemudian rangkaian gambar
• Melakukan tanya jawab secara konsisten
dan terarah
• Melakukan percakapan (parallel talk)
• Bertanya
• Bercerita
Mengingat
bahwa anak ASD cenderung lebih mudah mencerna apapun yang dapat mereka lihat
dan mereka pegang, ada baiknya membantu anak ASD berkomunikasi dengan
menggunakan visualisasi.
Visualisasi
ini membantu anak ASD membayangkan berbagai hal, sehingga pada akhirnya dapat
melakukan komunikasi dengan lebih efektif.
Bagi
anak ASD yang mungkin tidak terlalu dapat berkomunikasi, penggunaan teknik PECS
(Picture Exchange Communication System) juga dapat dipertimbangkan. Sistim ini
memungkinkan anak ASD mengekspresikan diri dalam bentuk yang sangat universal,
dimengerti oleh semua orang, tanpa ia harus mengucapkan kata-kata.
Guru
atau orang tua perlu juga mempermudah gaya berkomunikasi, seperti misal:
* Instruksi sebaiknya singkat, tepat dan
dipasangkan dengan visualisasi; mengingat bahwa anak cenderung sulit memahami
pesan-pesan komunikasi (misal: kata-kata, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh)
* Anak cenderung mengalami kesulitan
memproses berbagai bentuk informasi yang disampaikan secara auditori apalagi
bila suara latar belakang termasuk bising. Ia perlu waktu untuk menterjemahkan
dan berespons terhadap instruksi, terutama bila ada tuntutan transisi atau
gerakan fisik (misal: instruksi beberapa tahap).
* Anak mungkin mengalami kesulitan
menggunakan beberapa modalitas sekaligus pada proses belajar mengajar (misal:
menatap, mendengarkan, menulis). Ia mungkin perlu guru pendamping yang
membantunya memutuskan untuk menggunakan satu modalitas dalam presentasi tugas
baru atau sulit. (misal: lihat, lalu dengarkan, lalu tulis).
* Anak tidak selalu sadar bahwa instruksi
dalam kelompok ditujukan kepadanya. Karena itu, instruksi yang disampaikan
secara kelompok, perlu diulang secara individual kepada anak tersebut bilamana
diperlukan. Instruksi ini tidak diberikan oleh guru pendamping, tetapi oleh
guru kelas.
* Anak mungkin bisa terdistraksi
setiapkali guru menggunakan penjelasan detil. Karena itu, sebaiknya gunakan
isyarat tangan untuk membantu anak.
2. Pemahaman
Biasanya
anak mengalami kesulitan saat berhadapan dengan tugas yang berciri sebagai
berikut:
- Bermuatan bahasa (pemahaman dan
pengungkapan)
- Abstrak
- Banyak tahapan-nya
- Tidak jelas ujung pangkalnya
- Mengandung banyak alternatif solusi
- Tertulis
- Cepat penyajiannya
Dalam
meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar memberitahu
ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi
contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak
mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman, 1997).
a. Instruksi verbal (tell = verbal directions) :
- hanya diberikan saat anak memperhatikan
- sebaiknya singkat, tepat guna, lugas
- menggunakan kata-kata yang dipahami anak
b. Contoh
(show = modelling) :
-
demonstrasikan apa yang Anda maksud
dengan instruksi verbal tadi
- efektif bila dilakukan dengan lambat dan
berlebihan
- kurangi porsi sedikit demi sedikit, sejalan
dengan penguasaan anak
c. Pengarahan (guide = physical guidance):
- sesudah memberi tahu dan mendemonstrasikan,
arahkan tangan anak secara fisik
- tunjukkan bagaimana melakukanya
- mulanya, ANDA yang mengerjakan semua hal,
tetapi bertahap kurangi peran Anda dalam pengarahan sehingga anak sedikit demi
sedikit mengerjakannya sendiri
Mengingat
bahwa anak ASD memiliki gaya belajar yang khas, ada baiknya guru
mempertimbangkan ciri khas tersebut.
Anak
ASD sebagian besar memiliki gaya belajar ‘rote learner’, ‘visual learner’ dan
‘hands-on learner’. Berarti, sebaiknya guru menggunakan sebanyak mungkin
pengalaman dan visualisasi untuk membuat berbagai hal yang sulit dicerna anak
ASD (terutama konsep verbal dan abstrak) menjadi lebih konkrit dan nyata bagi
mereka.
Peran
‘shadower’ disini sangat penting, karena mereka dapat membantu guru membuat
berbagai hal menjadi nyata bagi anak ASD. Tidak mungkin membebankan tugas
kepada guru yang kadang hanya sendirian di kelas berisi sedikitnya 20
anak.
Sebaiknya
anak juga dihadapkan pada informasi dan aktifitas yang sama secara
berulang-ulang, untuk memastikan pemahaman karena biasanya:
* Anak sering panik-cemas-bingung menghadapi
tugas/materi/situasi dan orang baru. Karena itu mereka biasanya menghindari
situasi yang tidak mereka kenal dan pada akhirnya, tidak bisa mengerti
instruksi yang diberikan.
* Anak sulit memusatkan perhatian pada ciri
suatu tugas pada saat pertama kali diberikan. Akibatnya ia belum sampai bisa
memiliki strategi tertentu pada saat tugas ditampilkan untuk kedua kalinya.
* Anak makin terpacu mempelajari hal baru yang
ditampilkan beberapa kali secara konsisten dalam bentuk yang sama.
* Sering anak tidak bisa belajar di kelas
secara efektif, lebih karena situasi kelas dan bukan karena ketidak mampuan
anak.
Ada
beberapa teknik pengajaran yang dapat digunakan untuk membantu anak belajar
ketrampilan baru:
~ Beritahu ‘perilaku yang diharapkan’
menggunakan alat bantu visual
~ Pastikan ‘perilaku yang diharapkan’
tersebut dirasakan berguna dan bermakna ketika ditunjukkan kepada anak
~ Hindari menampilkan ‘harapan’ dalam gaya
yang tidak jelas
~ Peragakan bagaimana perilaku tersebut
seharusnya
~ Berikan bantuan untuk mengarahkan
perhatian anak pada detil yang relevan
~ Gunakan penguat untuk memotivasi anak
menggunakan ketrampilan baru tersebut
~ Bila perlu, beri penguat pada
langkah-langkah kecil menuju perilaku baru
~ Beri penguat pula untuk usaha anak, agar
ia bersemangat mencoba melakukan perilaku tersebut
Yang
pasti, anak lebih mudah paham dan lama dapat mengingat materi pelajaran
tertentu bila sejak awal dibuat bermakna dan dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari. Karena itu, sebaiknya materi yang diajarkan juga sesuatu yang ada
gunanya (fungsional) dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
(aplikatif).
3. Interaksi
Ada
tiga jenis perilaku sosial yang mencirikan anak ASD (Wing & Gould dalam
Wolfberg, 1999):
• Aloof - bersikap menjauh/menyendiri
Anak-anak ini tampak sangat pendiam dan
suka menyendiri, serta tidak berrespons terhadap isyarat sosial atau ajakan
untuk bercakap dari orang lain. Kemampuan anak untuk ‘joint attention’
(memperhatikan sesuatu bersama orang lain) tidak berkembang, dan biasanya hanya
mendekati orang lain untuk memenuhi keinginan mereka. Orang lain bagi mereka
bukanlah makhluk sosial, tetapi lebih sebagai ‘alat’ untuk mendapatkan benda
yang diinginkan.
• Passive - bersikap pasif
Anak-anak
ini tampak tidak perduli dengan orang lain, tapi secara umum masih dapat
diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan sosial. Mereka cukup patuh dan masih
mengikuti ajakan orang lain untuk berinteraksi. Sama seperti anak-anak yang
‘aloof’, anak-anak yang ‘passive’ juga tidak terlalu dapat memperhatikan
sesuatu bersama orang lain. Mereka juga kurang dapat mengungkapkan kehendaknya
melalui ekspresi wajah dan isyarat tubuh, dan sebaliknya juga sulit memahami
isyarat tubuh orang lain.
• Active and Odd - bersikap aktif tetapi ‘aneh’
Anak-anak
ini senang berada bersama orang lain, tapi terutama dengan orang dewasa. Mereka
mendekati orang lain untuk berinteraksi, tetapi caranya agak ‘tidak biasa’.
Misalnya, mereka mendatangi seorang yang
tidak mereka kenal dan lalu mereka sentuh. Mereka juga mungkin berusaha
bercakap-cakap dengan seseorang, tapi sayangnya
masih belum berkelanjutan, karena mereka cenderung terpaku pada minat
tertentu yang kurang disukai orang lain. Sama dengan anak-anak ‘aloof’ dan
‘passive’, mereka juga kurang memiliki kemampuan untuk ‘membaca’ isyarat sosial
yang penting untuk berinteraksi secara efektif.
Selain
tiga hal tersebut, anak-anak ASD mengalami kesulitan memahami bahwa sesuatu
bisa dilihat dari sudut pandang orang lain (Baron-Cohen et al, 1985). Tanpa
kemampuan tersebut, mereka sulit mengembangkan kemampuan berinteraksi dan
bergaul; karena mereka cenderung melihat berbagai hal dari sudut pandangnya
sendiri (=egosentris).
Uraian
tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak ASD memang sulit berinteraksi.
Mereka tidak paham bagaimana menghadapi lingkungan, berinteraksi dengan orang
lain, dan karena itu cenderung tidak memiliki banyak teman.
Untuk
membantu anak-anak ASD berinteraksi di sekolah, Wolfberg (1999) mengusulkan
metode ‘Integrated Playgroup Settings’ dimana anak-anak ASD (pemain pemula) –
dengan pengarahan orang dewasa (pengarah bermain) -- berpartisipasi dalam
kegiatan bermain dengan teman sebaya yang secara sosial lebih mahir (pemain
mahir). Tujuan IPS ini adalah untuk merangsang kegiatan bermain yang timbal
balik dan sama-sama disukai anak-anak, sambil mengembangkan kemampuan bermain
dan perbendaharaan kegiatan bermain si pemain pemula. Dalam metode ini, teknik
mengamati dan menganalisa kegiatan bermain dijabarkan, juga bagaimana
mengarahkan partisipasi dalam bermain secara kelompok, dan merancang lingkungan
yang mendukung terjadinya kegiatan bermain yang menyenangkan.
Sebaiknya,
guru yang berhubungan dengan anak mempertahankan sikap/gaya interaksi yang
konsisten dan tidak berubah-ubah:
» Anak akan bingung bila ia didekati dengan
gaya yang berbeda-beda oleh guru yang bekerja bersamanya. Penting untuk
menggunakan gaya, intensitas, kecepatan dan kosakata yang kurang lebih sama,
terutama pada awal penyesuaian di kelas.
» Bila anak bingung, anak biasanya akan
‘mencoba’ memakai serangkaian perilaku interaksi yang belum tentu pantas
menurut ukuran masyarakat. Pada keadaan seperti ini, bila perilaku yang
cenderung kurang pantas ini mendapatkan perhatian, maka justru perilaku
tersebut akan dipertahankannya.
» Anak tidak dapat bekerja efektif di kelas
bila ia tidak paham apa yang diharapkan dari dirinya.
» Bila anak akan bekerja bersama dengan
beberapa guru pada satu kesempatan, sebaiknya dipastikan bahwa mereka semua
menggunakan gaya dan kosakata yang sama sehingga anak tidak bingung.
4. Struktur lingkungan
Keadaan
lingkungan yang dapat diramalkan oleh anak, membantu anak untuk beradaptasi
dengan tuntutan tugas:
» Anak berfungsi dengan baik bila ia
dihadapkan pada rutinitas yang dapat ia prediksi, dan juga pada tuntutan
penyelesaian tugas yang jelas. Kejelasan ini mencegah anak menciptakan strategi
yang justru tidak tepat.
» Anak diuntungkan bila ada struktur di
lingkungan, tugas, interaksi dan transisi. Misal: memastikan lingkungan rapi
bebas barang tak terpakai, menggunakan sistim box atau map untuk menyimpan
materi penting sesuai kategori, memastikan ada awal dan akhir yang jelas pada
setiap tugas, dsb.
» Anak sulit memahami konsep-konsep abstrak
tak jelas seperti ‘mulai’, ‘selesai’, ‘cepat’, ‘yang bagus’, atau ‘selesaikan
nanti’. Sebaiknya semua guru membicarakan perilaku dan kejadian dalam istilah
yang jelas dan tepat guna, seperti “duduk di lantai dengan baik” bisa diubah
menjadi “duduk di lantai, kaki dilipat, tangan dilipat”. Atau, istilah
“kerjakan” diubah menjadi “ambil pinsil, lihat nomer 1, lingkari yang benar”.
» Kata-kata yang bermakna abstrak, perlu waktu
melatihkannya. Tugas guru pendamping atau terapis rumah atau orang tua untuk
melatih makna kata sambil memasangkan dengan gerakan/kegiatan/benda
sesungguhnya. Begitu anak paham makna tersebut, guru dapat melatih menggunakan
visualisasi/kartu sehingga anak dapat mengaplikasi-kan konsep tersebut dalam
konteks sesungguhnya tanpa terlalu banyak penjelasan lagi.
5. Perilaku
Umumnya
perilaku diteliti karena alasan “bermasalah” (Linda Hodgdon, 1999), yaitu bila :
- anak tidak berperilaku sesuai dengan
lingkungan atau situasi saat itu
- perilaku anak tidak seperti yang biasa
dilakukan teman sebaya mereka
- mereka tidak melakukan seperti yang kita
inginkan: apa-kapan-bagaimana
Batasan
diatas, tercakup dalam suatu kontinuum (rentang) yang bervariasi mulai dari
kebiasaan yang mengganggu, perilaku yang menimbulkan masalah, perilaku yang
menghambat rutinitas sehari-hari, yang menghambat proses belajar, hingga
perilaku yang dapat sebabkan celaka pada diri sendiri atau orang lain.
Dengan
demikian, batasan “masalah perilaku” sangat bervariasi, tergantung dari sudut
mana kita melihatnya. Misal: perilaku mengeluarkan suara saat sedang belajar,
dapat dianggap sekedar sebagai kebiasaan mengganggu, kebiasaan yang SANGAT
mengganggu atau perilaku yang meng-hambat proses belajar… tergantung frekuensi,
periode dan intensitas perilaku tersebut dan dimana perilaku tersebut terjadi.
Pada
anak ASD, masalah perilaku dapat digolongkan dalam 2 kelompok utama (Schopler,
1995):
- perilaku tidak patuh, dimana anak tidak mau
mengikuti pengarahan atau permintaan orang tua/guru (dan tokoh otoritas lain)
- perilaku mengganggu/menyerang, biasanya dalam bentuk tantrum (mengamuk),
berteriak, menendang, memukul, menggigit dsb.
Berhubung
perilaku bisa dilihat secara subyektif (tergantung sudut pandang pengamat),
sudah seharusnya kita berusaha menjadikannya lebih obyektif. Obyektifitas dapat
diusahakan melalui pengamatan intensif, pencatatan, analisa dan interpretasi.
Setidaknya, obyektifitas dapat diusahakan dengan berpikir bahwa setiap masalah
perilaku didasari adanya keterbatasan/ hambatan yang menjadi penyebab.
(Schopler, 1995)
MASALAH PERILAKU
Berbagai hambatan/keterbatasan yang menjadi dasar terjadinya perilaku
Kesadaran
bahwa masalah perilaku didasari adanya keterbatasan atau hambatan, sangat
mempengaruhi lingkungan ketika mengupayakan intervensi/penanganan atas berbagai
masalah perilaku. Kita selalu harus melihat perilaku sebagai sebuah rangkaian,
ada yang menyebabkan (antecedent) dan ada yang mengikuti terjadinya perilaku
tersebut (consequence) (Maurice, 1996).
Misal:
anak yang berguling-guling ketika spreinya diganti. Penanganan akan sangat
berbeda bila penyebabnya ketidak-patuhan (incompliance) atau perasaan tidak
tahan terhadap tekstur sprei sesudah dicuci (sensory). Anak yang
berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur sprei, tentu akan sangat
tertekan bila diberi teguran atau diperingatkan untuk berperilaku baik
(consequence). Ia berguling-guling karena tidak tahan terhadap tekstur, tapi
malah ditegur karena tidak bersikap baik. Perasaan tertekan tadi, tentu saja
mendorongnya berperilaku lebih buruk lagi. Karena akar permasalahannya adalah
masalah sensoris, seharusnya ia dibantu mengatasi masalah sensorisnya. Sebaliknya
akan terjadi, bila sesudah anak berguling-guling, ia malah mendapat hadiah.
Bisa saja ia berpikir bahwa dengan berguling-guling, ia akan mendapatkan
sesuatu yang menyenangkan. Ia akan mengulanginya lagi, terlepas dari persoalan
apakah masalah sensorisnya terjawabkan atau tidak.
Jadi,
penting sekali melakukan analisa (A-B-C) dan mencoba mencari akar permasalahan
mengapa suatu perilaku terjadi; sebelum dapat menetapkan akan melakukan apa.
Bila
sudah diketahui akar permasalahannya, ada banyak hal yang dapat dilakukan
(Fouse & Wheeler, 1997) yakni Punishment, Negative Consequence, Ignorance,
Differential Reinforcement, Time Out, Response Cost, Environment Modification.
Dari
berbagai cara tersebut di atas, yang penting diingat oleh guru adalah untuk
tidak memberikan perhatian dalam bentuk apapun kepada anak saat ia berperilaku
negatif (perhatian bisa berupa bujukan, luapan amarah, omelan, tatapan,
kata-kata dsb). Biarkan anak meluapkan amarah (bila sebabnya adalah frustrasi),
dan baru lakukan intervensi (berupa instruksi tugas yang ia kuasai) begitu ia
reda amarahnya. Kadang untuk anak tertentu perlu disediakan ruang
terpisah/pojok tertentu bagi dia untuk melampiaskan amarahnya tanpa melukai
diri sendiri atau orang lain. Hati-hati, kadang anak autisme senang diberi
‘time-out’ karena bisa melarikan diri masuk dalam dunianya.
Sebelum
dapat menggunakan satu atau beberapa kombinasi teknik tersebut di atas, penting
sekali bagi guru untuk mengamati beberapa hal berikut:
» Biasanya perilaku negatif anak di kelas,
berkaitan dengan perasaan tidak nyaman yang dialaminya, atau merupakan respons
terhadap kesulitannya. Untuk dapat melakukan perubahan terhadap perilaku
negatif tersebut, guru atau guru pendamping HARUS melakukan analisa dan
melakukan observasi untuk menyimpulkan jawaban atas “kapan”, “dimana”, dan
“siapa” yang mewarnai terjadinya perilaku negatif tersebut.
» Strategi efektif baru bisa dikembangkan
sesudah dipahami ‘alasan’ kenapa perilaku negatif tersebut digunakan untuk
beradaptasi dengan lingkungan/keadaan tersebut (apakah masalah komunikasi,
tidak dapat memahami isyarat lingkungan, terlalu banyak stimulasi, frustrasi
akan materi dsb)
» Kalau anak terus menerus menggunakan
perilaku negatif untuk beradaptasi dengan keadaan, bisa saja ia tidak tahu cara
lain. Penting mengajarkan cara positif yang dapat ia pakai beradaptasi dengan
keadaan yang kurang nyaman tersebut.
» Pengetahuan atas kelebihan/kekurangan dan
kebutuhan anak tersebut yang khas autisme (biasanya berkaitan dengan masalah
komunikasi, interaksi dan adaptasi) akan sangat membantu guru/pendamping
memahami perilaku anak.
D. Bersikap fleksibel, kreatif dan terbuka
dalam proses belajar mengajar
Anak
ASD memiliki ciri khas yang berbeda dengan anak biasa, karena itu sikap
pengajaran kita sebaiknya juga tidak sama dengan anak biasa, bila kita
mengharapkan hasil optimal.
Tabel
berikut berusaha memperlihatkan, bahwa sikap kita sebagai guru perlu
dimodifikasi sesuai keadaan anak, untuk mendapatkan pemahaman maksimal dan
mengarah pada kemandirian optimal.
JENIS
BANTUAN
DESKRIPSI
KETERLIBATAN
ORANG LAIN >< KEMANDIRIAN
Tangan-di
atas-tangan
Tangan
guru pendamping diletakkan di atas tangan anak untuk memungkinkan anak
selesaikan tugas.
Keterlibatan
sangat tinggi dari guru/guru pendamping
Fisik
Kontak
fisik digunakan untuk arahkan anak memusatkan perhatian pada sesuatu atau
menyelesaikan tugas
Verbal
Penjelasan
atau pengarahan dipakai untuk memulai /mempertahankan penyelesaian tugas.
Visual
Bantuan
visual konkrit dipakai untuk bantu anak memulai tugas, selesaikan tugas, atau
berpindah ke tugas berikutnya.
Isyarat
Gerakan
digunakan untuk pertegas makna informasi verbal dan memusatkan perhatian anak
pada tugas.
Peragaan
Guru
(atau guru pendamping) mencontohkan penyelesaian tugas dan anak belajar melalui
observasi /pengamatan saja.
Sangat
mandiri.
Guru
pendamping penting sekali memahami bahwa tugas mereka membantu anak sejauh
dibutuhkan. Jadi, lambat laun bantuan tersebut harus dikurangi agar anak dapat
mengerjakan segala sesuatunya secara mandiri.
Kiat
sebagai guru pendamping ( Bitsika, 2002):
* Mulai dari bantuan paling sedikit, siapa
tahu anak bisa.
* Tempatkan diri di luar garis pandang
anak (di samping atau di belakang).
* Nilai sendiri bagaimana Anda memberikan
bantuan tersebut. Bila mungkin, minta orang lain melakukan pengamatan cermat
terhadap kegiatan Anda dalam mendampingi anak, lalu minta orang tersebut
memberikan masukan.
* Gunakan segala upaya untuk memfokuskan
anak pada lingkungan belajar, guru dan tugas.
* Tetapkan peran Anda sebagai ‘guru
pendamping’ atau ‘asisten guru’, jadi sedapat mungkin peran dalam proses
belajar mengajar dipegang oleh guru kelas.
* Alat bantu dalam belajar, jangan sampai
menjadi pusat perhatian anak. Anak harus dilatih untuk memusatkan perhatian
pada instruksi dan materi. Alat bantu bersifat sebagai ‘bantuan bila
diperlukan’.
* Anak jangan sampai melihat ‘bantuan dari
guru pendamping’ sebagai hal terpenting dalam proses belajar mengajar, tetapi
instruksi dan materi –lah yang terpenting.
* Hindari keterlibatan maksimal dalam
interaksi antara Anda dengan anak autisme yang Anda dampingi. Tugas Anda
mendorong agar ia bisa berinteraksi dengan lingkungannya tanpa kehadiran Anda,
jadi sedikit demi sedikit kurangi peran Anda.
PENUTUP:
Penting
diingat oleh para orang tua adalah bahwa kondisi masing-masing anak sangat
berbeda, sehingga modal awal dan hasil akhir setiap individu akan sangat
tergantung pada banyak sekali faktor, antara lain: kuantitas dan kualitas
gejala autisme pada anak, intensitas penanganan dini, tingkat intelegensi anak,
kemampuan anak berkomunikasi, konsistensi pola asuh dalam keluarga, sikap
sekolah dalam membantu anak, pengetahuan guru, dan sebagainya.
Bagi
pihak sekolah, penting diperhatikan bahwa banyak langkah yang dapat dilakukan
untuk membantu anak ASD berprestasi di lingkungan sekolah umum. Selain
kesempatan, mereka juga memerlukan penanganan yang terpadu dan terfokus sesuai
keadaan masing-masing anak.
Pihak
keluarga tidak bisa hanya menuntut pihak sekolah untuk memberikan yang terbaik,
karena tanpa kerja sama dari pihak keluarga, semua upaya memberikan kesempatan
kepada anak menjadi mubazir dan tidak tepat sasaran. Sebaliknya pihak sekolah
tidak dapat menyerahkan segala usaha kepada orang tua, karena bagaimanapun
anak-anak ASD ini adalah bagian dari masa depan bangsa ini. Sebagai pendidik,
sudah sewajarnya kita memberikan yang terbaik kepada anak didik kita. Sebagai
pendidik, kita tidak boleh memilih murid.
Mendidik
anak tidak bermasalah bisa dilakukan siapa saja, tetapi membantu anak
bermasalah – khususnya anak ASD – untuk dapat mengatasi permasalahannya,
memerlukan kemampuan yang luar biasa. Kreativitas, daya juang, kemampuan untuk
bertahan, dan yang terpenting… keikhlasan untuk membantu anak ASD mendapatkan
masa depan yang baik.
Anda
menjadi guru yang luar biasa, bila memberikan upaya untuk membantu anak-anak
ASD meningkatkan mutu kehidupan mereka.
To
my one and only Ikhsan Priatama Sulaiman
and his friends. I love you just the way you are. May God be with us, forever.. and ever.
*) Penulis adalah Psikolog, Pendiri/Pengurus
Yayasan Autisma Indonesia, Penanggung Jawab Pendidikan pada Sekolah Khusus
Autisme “MANDIGA” – Jakarta, dan ibu dari Ikhsan Priatama Sulaiman, individu
autisme berusia 12 tahun.
REFERENSI
Baker,
Bruce L. and Brightman, Alan J, 1997 – Steps to Independence – Teaching
Everyday Skills to Children with Special Needs,
Paul H. Brookes Publishing Co. Inc, Baltimore, US.
2. Bitsika, Vicky, Basic Strategies for the
Effective Shadow Teaching of Children with ASD, 2002, WeCan Conference
Singapore.
3. Fouse, Beth, PhD and Maria Wheeler,
MEd, A Treasure Chest of Behavioral
Strategies for Individuals with Autisme, 1997, Future Horizons, Inc, Texas, US
Greenspan,
Stanley , MD and Serena Wieder, PhD; The Child with Special Needs, 1998Perseus
Publishing, US
5. Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Solving
Behavior Problems in Autisme – Improving Communication with Visual Strategies,
1999, Quick Roberts Publishing, Michigan-US.
6. Hodgdon, Linda A, MEd, CCC-SLP, Visual
Strategies for Improving Communication -
Practical Supports for School and Home, 1995, Quick Roberts Publishing,
Michigan-US.
Lovaas,
O.Ivar, PhD; The 'Me' Book -- Teaching Developmentally Disabled Children; 1981,
Department of Psychology, University of California, Los Angeles, ProEd Inc-USA.
Maurice,
Catherine, Gina Green, PhD and Stephen C. Luce, PhD; Behavioral Intervention
for Young Children with Autisme, 1996, ProEd Inc-USA.
Meng,
Dr. Lam Chee & Chan Yee Pei, BSc,; Assessment for Children for School
Readiness in Singapore Mainstream Education, 2002; WeCAN Third Annual Autisme Best Practices
Conference November 2002
10.
Quill, Kathleen Ann, Teaching Children
with Autisme – Strategies to Enhance Communication and Socialization,
1995, Delmar Publisher, US
Schopler,
Eric, Parent Survival Manual – A Guide
to Crisis Resolution in Autisme and Related Developmental Disoders, 1995, Plenum Press, US
Siegel,
Bryna, PhD; The World of the Autistic Child -- Understanding and Treating
Autistic Spectrum Disorders, 1996, Oxford University Press - New York, 1996.
Sussman,
Fern; More than Words - Helping Parents Promote Communication and Social Skills
in Children with Autisme Spectrum Disorder; 1999, The Hanen Program - A Hanen
Centre Publication, Ontario-Canada
Wolfberg, Pamela J.; 1999; Play & Imagination in
Children with Autisme; Teachers College, Columbia University, New York and
London.
PERAN KELUARGA
pada
penanganan individu Autistic Spectrum Disorder
PENDAHULUAN
Setiap
orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Tetapi selalu saja terjadi
keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini.
Orang tua lalu membawa buah hatinya ini ke dokter, dokter anak, psikiater anak
atau psikolog .. dan betapa terkejutnya bila ternyata gejala anak menunjukkan
bahwa ia individu ASD !
Bagaimana
rasanya sebagai orang tua yang anaknya divonis, proses apa yang dihadapi orang
tua, harapan apa yang ada pada mereka, dan apa yang sebaiknya dilakukan para
dokter/psikiater dalam upaya membantu keluarga memberikan masa depan yang lebih
baik bagi anak-anak dengan resiko tinggi ini, akan dipaparkan dalam makalah
ini.
Anak-anak
Autism Spectrum Disorder termasuk Children At Risk, dan mereka berhak
mendapatkan kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik.
I. SEBELUM DIAGNOSA
Orang
tua yang memperhatikan perkembangan anaknya dan cukup memiliki informasi
mengenai kriteria perkembangan anak, umumnya sudah dapat merasakan dalam hati
kecilnya bila anaknya mengalami penyimpangan dalam perkembangan sejak masa
bayi. Meski demikian, mereka tidak sepenuhnya paham apa yang terjadi, sehingga
memerlukan diri untuk datang pada dokter/psikiater.
Tujuan
mereka datang adalah untuk :
~ Memperoleh pendapat profesional mengenai
keadaan anaknya
~ Mendapatkan pengarahan untuk langkah
penanganan selanjutnya
Tidak
mudah menjalani fase ini, karena orang tua manapun ingin anaknya ‘baik-baik’
saja. Beberapa orang tua bahkan menunda pergi ke dokter atau psikiater karena
khawatir akan menerima berita buruk. Sebaliknya, beberapa orang tua yang sudah
pergi ke dokter atau psikiater, justru malah mendapatkan ‘angin segar’ yang
menjerumuskan (“ah, anak laki biasa seperti ini”, “nanti juga bicara sendiri”
dsb). Orang tua umumnya cenderung mengikuti ‘angin segar’ tersebut, karena
secara manusiawi seseorang lebih bisa menerima berita menyenangkan daripada
berita tidak menyenangkan. Bukannya tidak mungkin, di kemudian hari orang tua
menyalahkan orang lain (termasuk dokter-nya) karena tidak diarahkan ketika
sedang bingung ini.
II. SAAT DIAGNOSA
Siapapun
yang mendapatkan vonis keadaan tidak menyenangkan, pasti bereaksi.
Pada
umumnya, reaksi pertama orang tua yang anaknya dikatakan menyandang ASD adalah
tak percaya (shock). Seperti saat kita kaget, kita biasanya tidak bisa berpikir
dan seolah tidak bereaksi
Sesudah
perasaan shock tersebut mulai teratasi, bergantian muncul berbagai rasa di
bawah ini:
~ limbung, tidak tahu harus berbuat apa,
merasa tak berdaya
~ merasa bersalah, menyalahkan diri
sendiri
~ marah kepada diri sendiri, pasangan,
anak autis tersebut bahkan kepada Tuhan
~ sedih sekali, putus asa yang dapat
berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan
~ merasa tidak diperlakukan dengan adil
~ tidak percaya pada fakta dan berpindah
dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter tersebut salah;
tawar menawar diagnosa
~ menolak kenyataan/fakta lalu bersikukuh
bahwa anak tidak bermasalah
~ dan pada akhirnya: menerima kenyataan
Sebelum
sampai pada tahap terakhir: penerimaan (= acceptance), pada umumnya orang tua
terpaku pada persoalan “masa depan”, “mengapa aku” dan “salah siapa ini” .
Keadaan
ini cenderung memperlambat proses penanganan karena umumnya lalu diikuti saling
menyalahkan diantara pasangan, perasaan tak berdaya, depresi, dan seringkali
berkembang menjadi stres berkepanjangan ataupun sakit secara fisik.
Dokter/psikiater
penting sekali melakukan intervensi bahkan sejak tahap ini. Orang tua yang
sedang limbung dan marah, memerlukan pengarahan. Dalam situasi ini, pengarahan
dari dokter atau psikiater mau tidak mau akan mereka pertimbangkan, karena
mereka merupakan pihak yang dianggap ‘paling tahu’ mengenai persoalan anak-anak
mereka. Tanpa pengarahan, fase ‘denial’ bisa berlangsung berlarut-larut hingga
tahunan, dan berakibat sangat buruk pada anak, orang tua dan lingkungan.
Untuk
dapat mendaya-gunakan peran keluarga dalam penanganan anak-anak ini secara
terpadu, pada fase ‘saat diagnosa’ ini dokter/psikiater sudah dapat melakukan
intervensi dengan:
• Memberikan pengarahan kepada para orang
tua yang sedang berada pada taraf panik, tidak bisa berpikir, limbung, kaget,
tidak tahu harus berbuat apa.
• Memberikan informasi terpadu. Keadaan
orang tua yang limbung diperparah dengan kurangnya informasi dari dokter
mengenai keadaan anak secara utuh (karena dokternya juga kurang paham),
alternatif penanganan yang tersedia, kemungkinan hasil akhir (prognosa) dari
penanganan dan kondisi anak.
Padahal,
kesadaran orang tua bahwa anak memang ‘berbeda’ bila dibandingkan anak lain
seusia dapat dijadikan dasar untuk menyadarkan orang tua, agar “bangkit” dari perasaan negatif dan
mengarahkan energi untuk mencari alternatif penanganan yang dapat menjawab
kebutuhan anak.
• Memberi penekanan bahwa “waktu sangat
berharga”, semakin dini intervensi diberikan, semakin terpadu dan spesifik bagi
kebutuhan setiap anak, semakin besar harapan yang dapat diraih bagi
masing-masing anak.
• Berusaha keras membuat orang tua yang
tampak ‘melarikan diri’ dari fakta (=
denial), untuk segera maju ke tahap penerimaan (acceptance).
Sikap denial sangat buruk dampaknya
karena:
~ Membuang waktu dan kesempatan = masa
depan anak
~ Membuat anak merasa tidak dimengerti dan
tidak diterima apa adanya
~ Menimbulkan penolakan dari anak
(resentment) dan lalu termanifestasi dalam bentuk perilaku yang tidak
diinginkan (acting out/distructive behavior)
~ Memberi orang tua sebanyak mungkin FAKTA
mengenai kondisi anak dan kemudian mengarahkan orang tua untuk menggunakan
logika dan nalar dalam menghadapi musibah ini, sehingga tidak terfokus
menggunakan emosi dan perasaan.
Dokter/psikiater
harus meyakinkan orang tua bahwa mereka harus melakukan sesuatu.
Masalah
individu ASD terutama tertampil dalam 3 aspek masalah: perilaku, komunikasi,
interaksi; meski tidak menutup kemungkinan adanya masalah lain seperti masalah
sensoris, masalah makan, masalah tidur, adaptasi, gangguan belajar dan
sebagainya. Setiap anak sangat unik, sehingga penanganan haruslah dapat
menjawab kebutuhan masing-masing anak.
Keunikan
masing-masing anak dan pengetahuan bahwa masalah individu ASD memang rumit,
harus diberi tahu kepada orang tua untuk memungkinkan penanganan tepat guna.
Ajari mereka teknik-teknik observasi sederhana untuk dapat mengenali masalah
yang ada pada anak mereka. Tekankan bahwa tanpa usaha mereka mengenali masalah
secara akurat, sulit sekali mengupayakan penanganan yang tepat guna dan
menjawab kebutuhan anak.
III. SESUDAH DIAGNOSA
Penegakan
diagnosa autism, biasanya dilakukan setelah diperoleh data cukup dari hasil
wawancara mendalam dengan orang tua, upaya interaksi dengan anak, dan observasi
intensif terhadap perilaku anak.
Tiga
cara di atas penting dilakukan, karena gejala autism bukanlah sesuatu yang
dapat diukur melalui alat diagnostik medis. Umumnya dokter/psikiater
mendasarkan penarikan kesimpulan pada DSM IV atau ICD 10. Kadang
dokter/psikiater mengambil inisiatif menggunakan kuesioner atau formulir untuk
diisi orang tua, yang sifatnya juga untuk mencari data mengenai perilaku anak
yang diamati orang tua/lingkungan di rumah. Atau, meminta orang tua melakukan
pemeriksaan fisik (darah, syaraf telinga, faesces, urine dsb) untuk
mengesampingkan kemungkinan adanya gangguan perkembangan atau masalah kesehatan
lainnya selain autism. Sayangnya, orang tua tidak diberitahu pentingnya setiap
langkah yang diambil oleh dokter/dokter tersebut. Orang tua tidak tahu betapa
penting langkah pengumpulan data ini, juga takut dengan kemungkinan akan
diagnosa sebenarnya, dan lalu berusaha menutupi kenyataan sehingga data yang
diperoleh menjadi tidak akurat. Penjelasan menyeluruh atas ALASAN mengapa
langkah-langkah tersebut di atas dilakukan, diharapkan bisa membuat orang tua
tahu bahwa semua ini untuk kebaikan anaknya, sehingga lalu bisa lebih bekerja
sama dalam menegakkan diagnosa.
Sesudah
dokter/psikiater memberitahu orang tua bahwa anaknya mengalami gangguan
perkembangan autisme, orang tua tidak
tahu harus berbuat apa, mereka seolah ‘terjebak’ dalam rimba raya tanpa arah
keluar yang jelas. Sebagian dari mereka mencari pendapat dari dokter/psikiater
lain (= belanja diagnosa), sebagian lagi terpuruk di bawah payung diagnosa dan
tidak berbuat apa-apa, sebagian lagi terbakar semangatnya untuk mencari
penanganan yang tepat, sebagian lagi berusaha mencari penanganan tapi akhirnya
terperangkap dalam penanganan yang tidak jelas. Yang dikorbankan disini adalah
nasib anak-anak, dan nasib mereka berada di tangan orang tua yang kurang
informasi mengenai keadaan anaknya.
Berdasarkan
pengalaman beberapa orang tua, rata-rata kecewa atas beberapa kejadian kurang menyenangkan dalam
perjalanan mereka memperoleh diagnosa:
• Dokter-dokter yang menangani
anak-anak mereka, memberikan diagnosa yang berbeda-beda bagi kondisi anak yang
sama. Hal ini membuat orang tua sangat bingung, sehingga lalu penanganan
anaknya kurang terpadu dan berakibat perkembangan anak yang kurang optimal.
• Sesudah diagnosa, dokter tidak
memberikan penjelasan mengenai alternatif penanganan, sehingga orang tua tidak
tahu harus berbuat apa. Orang tua bisa pergi ke tempat terapi yang salah,
karena dokter menganjurkan mereka pergi ke sana. Padahal, dokter tersebut belum
pernah bertemu pengelola atau berkunjung ke tempat terapi tersebut. Atau,
justru dokter tersebut yang membuka tempat terapi dan karena sibuk tidak sempat
memperhatikan mutu penanganan anak.
• Orang tua tidak mendapatkan informasi
mengenai positif negatif masing-masing penanganan, dan diharapkan untuk mencari
informasi sendiri. Akibatnya mereka mencari informasi dari sumber-sumber yang
kurang dapat dipertanggung jawabkan, dan hal ini memperlambat proses penanganan
anak.
• Orang tua tidak mendapatkan
pengarahan secara sistimatik dan terarah, padahal begitu banyak informasi baru
dan perubahan yang harus dicerna orang tua. Akibatnya, orang tua lalu terpaksa
mencari penjelasan dari berbagai sumber dan atau mengalami tekanan mental
selama proses mencerna perubahan-perubahan tersebut.
• Sebagian orang tua bahkan cenderung
melepas tangan, karena tidak sadar bahwa justru peran serta mereka sangat
menentukan perkembangan anaknya. Penekanan pada pentingnya keterlibatan mereka,
seharusnya diberikan untuk mengurangi kecenderungan lepas tangan tersebut.
• Dokter/psikiater yang dianggap
membantu adalah mereka yang juga memberikan pencerahan bagaimana mengelola
permasalahan/musibah ini dengan sebaik mungkin, sehingga stres berkepanjangan
akibat salah pengelolaan dapat dihindari. Pencerahan bagi orang tua juga
termasuk pemberian obat-obatan sesuai kebutuhan, mengingat bahwa ‘musibah’ ini
berkepanjangan dan menimbulkan stres mental/fisik yang berkepanjangan
pulan.
Kurangnya
pengarahan dari para dokter/psikiater tersebut, besar kemungkinan karena para
dokter/psikiater juga kurang informasi mengenai apa yang dapat dilakukan
keluarga dalam membantu proses penanganan individu ASD tersebut.
Bagaimana
bentuk peran keluarga dalam penanganan individu ASD ?
1. Memahami keadaan anak apa-adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan).
Langkah
ini justru yang paling sulit dicapai orang tua, karena banyak diantara orang
tua ‘sulit’ atau ‘enggan’ menangani sendiri anaknya sehari-hari di rumah.
Mereka banyak mengandalkan bantuan
pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak (bagian dari
‘denial’). Padahal, pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan
interpersonal antara anak dengan orang tuanya, karena membuat orang tua
• memahami kebiasaan-kebiasaan anak,
• menyadari apa yang bisa dan belum bisa
dilakukan anak,
• memahami penyebab perilaku buruk atau baik
anak-anak,
• membentuk ikatan batin yang kuat yang akan
diperlukan dalam kehidupan di masa depan.
Sikap
orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap
mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus menerus mengulang-ulang pelajaran,
anak cenderung bersikap menolak dan ‘masuk’ kembali ke dalam dunianya.
Ada
baiknya orang tua dibantu melihat sisi positif keberadaan anak, sehingga orang
tua bisa bersikap lebih santai dan ‘hangat’ setiap kali berada bersama anak.
Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan
pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya,
sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan
individu autis yang ‘sulit’ untuk diarahkan, dididik dan dibina.
2. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai
kebutuhan anak.
Alternatif
penanganan begitu banyak, orang tua tidak tahu harus memberikan apa bagi
anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam membantu memberikan
ketrampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak.
Satu
hal penting yang perlu diingat oleh setiap orang tua adalah bahwa setiap anak
memiliki kebutuhan yang berbeda dari anak lain. Greenspan (1998) menekankan
bahwa setiap anak memiliki profil yang unik dan spesifik. Individual
differences (perbedaan individu) ini tertampil pada
- bagaimana anak memproses informasi (gaya
belajar), bereaksi terhadap sensasi, merencanakan tindakan, dan merunut
perilaku atau pikiran mereka;
- derajat kapasitas fungsi emosional,
sosial dan intelektual mereka;
- pola interaksi dan komunikasi mereka;
- kepribadian mereka;
- dan pola pengasuhan keluarga mereka.
Tentu
saja perbedaan individu ini sangat berpengaruh dalam rancangan intervensi yang
melibatkan orang tua, terapis dan pendidik.
Hodgdon
(1999) menjelaskan, ada beberapa langkah yang dapat membantu orang tua
mengembangkan alternatif solusi efektif bagi masalah mereka yakni:
a. Observasi perilaku
Mengingat
bahwa kebanyakan perilaku didasari kebutuhan tertentu, penting untuk pahami
perilaku sehingga dapat mendeskripsikan situasi yang terjadi. Untuk dapat
memahami perilaku dan alasan yang mendasarinya, ada beberapa teknik observasi
dan pencatatan yang dapat dipilih yaitu: ABC, Functional Behavioral Analysis
dan Data Collection.
Dalam
makalah ini akan diulas satu teknik saja, yaitu teknik yang paling sederhana
tetapi memberikan masukan secara menyeluruh mengenai masalah yang dihadapi:
A
– B - C
A
= Antecedent ( apa yang terjadi SEBELUM perilaku
terjadi )
B
= Behavior ( apa yang dilakukan anak )
C
= Consequence ( apa yang terjadi SESUDAH perilaku, atau
akibat dari perilaku )
Cara
ini sederhana tetapi dapat membantu kita mengetahui apa yang mendahului atau
mengikuti suatu perilaku sehingga dapat dilakukan modifikasi sesuai kebutuhan.
Contoh:
Ita
sedang duduk di meja sendiri bermain puzzle. Ibu guru Astri mendatangi dan
mengajak Ita duduk di teras (consequence). Ita langsung berteriak dan menangis
kencang (behavior). Apa sebab?
Ternyata
sebelum ibu guru Astri mendatangi Ita, ibu guru Erni sambil berlalu di depan
Ita mengatakan (antecedent) “Hati-hati duduk di teras, ada ulat bulu” (tanpa
menyadari bahwa Ita mendengar perkataan tersebut). Jadi, Ita berteriak BUKAN
karena perilaku ibu guru Astri, tetapi karena membayangkan ada ulat bulu di
teras dan ia diminta mendekatinya. Begitu tahu kejadian yang mendahului
(antecedent), ibu guru Astri menjelaskan bahwa “Ulat bulu sudah dihilangkan,
jadi tidak apa-apa duduk di teras” dan Ita bersedia duduk di teras bersama
teman yang lain.
Tanpa
upaya mencari tahu apa yang mendahului perilaku, sulit memberikan konsekuensi
yang sesuai.
Orang
tua harus mahir melakukan pengamatan perilaku anaknya, mengingat bahwa gangguan
perkembangan autism banyak termanifestasi dalam bentuk gangguan perilaku.
b. Analisa dan interpretasi
Sesudah
kita mendeskripsikan perilaku, kita perlu memahami dengan melakukan analisa
sehingga kita paham apa yang kita lihat. Tujuannya adalah untuk dapat
mengetahui KENAPA perilaku tersebut terjadi (setiap masalah perilaku didasari
adanya hambatan/kesulitan tertentu (Schopler, 1995)… agar dapat dilakukan
pencegahan atau penanganan terhadap perilaku-perilaku tersebut.
Hodgdon
(1999) menekankan bahwa langkah ini penting guna dapat menemukan solusi efektif
jangka panjang. Dasarnya adalah bahwa:
Ÿ Masalah perilaku jarang merupakan
kejadian sederhana. Semakin kita memahami situasi dari sudut pandang anak,
semakin efektif solusi kita.
Ÿ Mitra komunikasi atau orang yang
berhubungan langsung saat terjadinya masalah perilaku mungkin punya sudut
pandang yang berbeda dari anak.
Ÿ Pengamat luar (=observer) mungkin
melihat situasi secara berbeda dari orang lain yang secara langsung terlibat.
Seringkali lebih mudah melihat perilaku secara utuh bila kita tidak terlibat
secara langsung dalam kejadian tersebut (tidak ada keterlibat-an emosional).
Ÿ Melalui analisa seringkali SEBAB dan
ALASAN terjadinya perilaku dapat diketahui. Kadang sulit ditemukan jawaban yang
jelas. Dalam keadaan demikian tidak ada salahnya untuk “menebak” atau
menetapkan “hipotesa” sampai dapat diperoleh informasi yang lebih jelas
(daripada tidak melakukan apapun).
c. Kembangkan solusi
Sesudah
dilakukan analisa dan diketahui penyebab atau konsekuensi dari perilaku
tertentu, dapat diupayakan pengembangan solusi atas masalah perilaku.
Tujuan
solusi adalah:
- Pencegahan masalah perilaku di kemudian
hari.
- Menyediakan sarana & prasarana
untuk mengatasi masalah bila terjadi lagi
Ingat
bahwa: “TIDAK melakukan apapun” seringkali sama pentingnya dengan mengambil
langkah solusi, tergantung pada situasi saat masalah perilaku tersebut terjadi.
Misal:
bisa diketahui bahwa anak tertawa terkekeh-kekeh tanpa henti sesudah ia
mengkonsumsi gula (teh manis), maka dokter perlu menjelaskan mekanisme masalah
pencernaan anak sehingga orang tua paham dan bekerja keras mengurangi konsumsi
gula di kemudian hari.
Atau,
setelah terlihat bahwa anak tantrum karena sesudah tantrum mendapatkan ‘upah’
permen, dokter dapat mengarahkan orang tua untuk menghentikan pemberian
tersebut dan menggantinya dengan intervensi lain agar perilaku tantrum
menghilang.
d. Pilih strategi yang sesuai
Banyak
strategi yang tersedia, tapi tentu saja pemahaman akan masing-masing strategi
penting dijelaskan kepada orang tua. Strategi-strategi tersebut, antara lain
didasari prinsip sebagai berikut:
- Komunikasi sering adalah bagian dari
masalah perilaku, maka meningkatkan kemampuan anak berkomunikasi harus
dipertimbangkan untuk mengurangi derajat frustrasi yang seringkali mendasari
perilaku bermasalah. Beberapa strategi komunikasi dengan alat bantu adalah PECS
(Picture Exchange Communication System), Compics (menggunakan simbol Ya/Tidak,
melakukan pilihan), dsb.
- Dengan demikian anak diharapkan dapat
memperoleh keinginan dan kebutuhan-nya dengan lebih efektif tanpa perilaku
negatif, dapat berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sama-sama mereka
nikmati, dan pada akhirnya diharapkan dapat berpartisipasi secara efektif dalam
berbagai aspek kehidupannya.
- Karena hampir semua penyandang ASD
adalah visual learner, maka menggunakan
strategi visual perlu dijadikan pertimbangan dalam usaha memodifikasi
perilaku. Penggunaan icon-icon visual untuk mengatur perilaku, membuat skedul,
mengajar kemandirian dan meningkatkan pemahaman perlu juga dipertimbangkan agar
proses pengajaran dapat berlangsung efektif efisien.
- Sikap mitra komunikasi. Kadangkala
perubahan justru harus dimulai dari mitra komunikasi. Bagaimana mitra
komunikasi memodifikasi gaya komunikasi atau perilakunya dapat secara
signifikan mempengaruhi perilaku anak.
Mitra
komunikasi disarankan untuk berbicara singkat, lugas dan jelas. Kata-kata
abstrak, bermakna ganda, sarat dengan perintah dan pertanyaan sebaiknya
dihindari. Terus menerus menggunakan ‘bahasa terapi’ juga tidak disarankan,
karena cenderung membuat anak tidak fleksibel.
- Pemahaman memegang peranan besar dalam
perkembangan kemampuan berkomunikasi, karena itu peningkatan pemahaman anak
perlu dilakukan melalui berbagai cara. Antara lain melalui teknik ABA (applied
behavioral analysis), melalui pengalaman sehari-hari yang direkayasa,
pendampingan intensif, pengulangan, generalisasi dan sebagainya.
e. Evaluasi rencana
Rencana
yang telah ditetapkan harus selalu dievaluasi, agar kita memperoleh masukan
apakah strategi yang dipilih dapat menyelesaikan masalah atau sebaliknya.
3. Melakukan intervensi di rumah
Bagaimanapun
hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang
tuanya. Orang tua (tidak harus ibu) melakukan apapun demi kebaikan anaknya,
tanpa pamrih, dan tidak mengenal kata “percuma”.
Apalagi,
dari waktu yang dilewatkan bersama, hubungan kedekatan antara orang tua dan
anak dapat terbentuk.
Meskipun
semakin intensif semakin baik, intervensi ini tidak harus dalam bentuk
penanganan terus menerus setiap hari (karena banyak orang tua harus bekerja).
Setidaknya ada usaha dari orang tua dan keluarga untuk terus menerus melakukan
pendampingan pada anaknya sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses
pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini SANGAT berpengaruh pada perkembangan
anak.
Apa yang harus diperhatikan dalam menangani
anak di rumah ?
** Fokus kita adalah pada (Hodgdon, 1999):
Meningkatkan
pemahaman & mengajarkan ketrampilan
baru.
Jadi,
tujuan utama penanganan: pemahaman BUKAN bicara/ pengungkapan.
Orang
tua HARUS dibantu mengerti bahwa sebagian populasi autism memang tidak bisa
verbal, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi pemahaman mereka. Seringkali
orang tua kecil hati dan putus asa karena anaknya tidak bisa verbal (yang
berhubungan dengan daerah gangguan perkembangan di otak), padahal anak sudah sangat
membaik perkembangannnya. Dokter perlu membantu orang tua melihat sisi positif
perkembang-an anak, agar orang tua bisa menghargai perubahan yang terjadi
sehingga bersikap lebih positif pula.
Kesadaran
bahwa sebagian populasi autism memang non-verbal perlu juga ditekankan, agar
orang tua dapat beralih kepada alat bantu komunikasi yang bisa dipelajari.
Tujuan kita adalah memberi anak kemudahan untuk mengekspresikan diri melalui
berbagai cara, sehingga anak tidak frustrasi, dan bisa berperilaku lebih positif.
** Salah satu cara yang dapat dilakukan orang
tua di rumah dengan segera adalah dengan
PENDAMPINGAN INTENSIF.
Pendampingan
yang dimaksud disini bukanlah menemani, tetapi memastikan adanya interaksi
aktif antara anak dengan pengasuh/orang tua yang ada di sekitarnya. Tujuan pendampingan intensif bukan saja untuk
membina kontak batin terus menerus dengannya (bukan sekedar kontak mata),
tetapi meningkatkan PEMAHAMAN anak yang umumnya cenderung terbatas.
Pendampingan
ini dilaksanakan sejak anak mulai membuka mata, hingga saatnya ia tertidur
kembali di malam hari. Saat pendampingan intensif, tugas siapapun yang menemani
anak untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada
anak. Penting sekali untuk TIDAK membiarkan anak sendirian tanpa melakukan
apa-apa.
Berikan
pengalaman sebanyak mungkin, disertai pengarahan. Anak harus tahu, bahwa dunia
ini sarat dengan makna. Dengan mengikuti kemana ia pergi, memberi tahu apa yang
ia pegang atau lihat, menjelaskan berbagai kejadian yang ia alami, kita memberi
makna pada hidupnya.
Lebih
penting lagi, berikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai hal.
Mungkin pada awalnya dibantu tetapi sambil mengajarkan cara mengerjakannya
sendiri. Jangan layani ia setiap saat, karena anak akan cenderung belajar untuk
tidak berdaya bila terus menerus dibantu. Holmes (1997) menggunakan istilah "learned
helplessness" (atau ketidakberdayaan yang dipelajari) untuk melukiskan
situasi dimana penyandang autisme cenderung belajar menjadi 'tidak berdaya'
sambil tetap mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Keadaan
'tidak berdaya' juga merupakan kondisi
yang menyenangkan bagi anak autis karena ia lalu punya kesempatan untuk kembali
'masuk' ke dalam dunianya -- terbebas dari rasa frustrasi, cemas, dan tertekan
saat harus susah payah melalui proses belajar hal baru.
Sebaliknya,
keadaan 'tidak berdaya' ini merampas seorang penyandang dari hak-haknya untuk
hidup mandiri, untuk menentukan sendiri apa yang ingin ia lakukan dan bagaimana
melakukannya. Keadaan tersebut juga seolah mengizinkan mereka untuk berperilaku
tidak semestinya, karena mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas
perilakunya sendiri..
Singkatnya,
‘learned helplessness’ menghambat seorang anak autis mendapatkan hak akan
kehidupan yang layak di kemudian hari.
** Pertanyaan orang tua berikutnya adalah: apa
yang akan diajarkan?
Penting
sekali untuk berusaha meningkatkan pemahaman anak dalam berbagai bidang:
kemampuan berpikir, kemandirian mengurus diri sendiri, ketrampilan sosial, agar
setidaknya mendekati kemampuan anak lain seusianya.
Untuk
itu harus ditetapkan target ketrampilan. Bagaimana menetapkannya?
Baker
& Brightman (1997) dalam bukunya Steps to Independence menganjurkan kita:
▪ Melakukan observasi cara anak
melewatkan hari-harinya
▪ Mencatat berbagai hal yang sekarang
ANDA lakukan untuknya, dan Anda pikir sudah dapat mulai ia pelajari sendiri
(misal: mengikat tali sepatu, membuka baju, mencuci rambut, membereskan mainan,
makan, toileting dsb). Mungkin juga bisa
ditambahkan ketrampilan baru (bermain) atau tugas lain yang Anda pikir sudah
dapat dipelajari olehnya.
▪ Menyadari bahwa dari sekian banyak
hal yang Anda pikir sudah dapat ia pelajari, ada hal yang harus sudah ia kuasai
sebelum ia dapat belajar hal tertentu (prasyarat). Seperti: duduk sebelum
berdiri, makan dengan garpu sebelum memotong dengan pisau dsb. Jadi,
pertimbangkan apa yang sudah dapat ia lakukan, dan apa yang dapat diajarkan
sesudah itu.
▪ Menetapkan prioritas. Pilih, hal apa
yang PALING berarti bagi sekelilingnya bila dapat dikerjakan anak sendiri.
Misal: anak tidak bisa makan sendiri berakibat tidak mungkin pergi makan
bersama-sama, anak tidak bisa pakai baju sendiri berarti ibu tidak bisa meluangkan
waktu bersama anak lain di pagi hari karena sibuk membantu anak berpakaian.
▪ Melakukan pergerakan dalam
langkah-langkah yang kecil, untuk mengupayakan 80% kemungkinan keberhasilan pada anak. Minta
orang tua melakukan analisa tugas (task analysis) dimana kita membagi sebuah
tugas dalam langkah kecil untuk diajarkan secara terpisah dan tersendiri.
Misal: untuk tugas mandi, langkah-langkah yang tercakup adalah masuk kamar
mandi, tutup pintu, buka pakaian, siram badan, pakai sabun, siram badan,
keringkan badan dengan handuk, berpakaian, keluar.
▪ Bila salah satu langkah belum
dikuasainya, harus diajarkan tersendiri.
Selain
ketrampilan/pengetahuan, penyandang ASD penting sekali untuk diajarkan KEPATUHAN. Mereka yang cenderung “semau-nya
sendiri”, cenderung mengalami masalah di lingkungan masyarakat, bila tidak sejak
dini dibantu untuk patuh.
Tanamkan
pengertian bahwa “hidup ini sarat dengan aturan, dan kamu harus belajar untuk
mematuhi sebagian besar aturan tersebut”.
Bagaimanapun
pandainya seseorang, bila ia tidak dapat mengikuti aturan yang berlaku.. ia akan
dikatakan “tidak tahu aturan” dan seringkali ditolak oleh lingkungannya. Karena
itu, ingatkan orang tua untuk mengajarkan aturan-aturan sederhana kepada anak
sedari dini. Misal: tidak boleh lempar-lempar barang, tidak boleh makan sambil
berlari-lari, harus mau membereskan barang dsb.
Konsistensi
disiplin orang tua = kunci utama adanya kepatuhan pada anak.
Banyak
buku yang dapat dijadikan panduan saat menetapkan program/materi yang akan
diajarkan. Buku yang direkomendasikan untuk penanganan awal adalah manual yang
disusun oleh seorang ibu dengan dua anak penyandang autisme yang berhasil
'sembuh', yakni Catherine Maurice. Bila anak tampak berespons dengan baik,
tidak ada salahnya memperluas materi dengan menggunakan buku A Work in Progress
(Mc Leaf, 1999) yang sarat dengan ide
dan bahan untuk diajarkan pada penyandang autisme. Selain itu, bisa juga
menggunakan Hanen Program (Sussman, 1999) yang menggunakan banyak gambar dan
contoh konkrit sehari-hari dalam membantu penyandang autisme belajar berkomunikasi.
Buku-buku di atas dan berbagai informasi lain sudah dapat diperoleh di YAYASAN
AUTISMA INDONESIA, Jl. Buncit Raya 55 – Jakarta Selatan, telpon 021-7971945.
Beritahu orang tua untuk mencari informasi di tempat tersebut, sehingga mereka
tidak mendatangi sumber-sumber informasi yang kurang dapat
dipertanggung-jawabkan.
Yang
jelas, program yang dibicarakan disini adalah perluasan dari apa yang diajarkan
orang tua saat penanganan anak di rumah. Perluasan disini maksudnya adalah
memasukkan berbagai konsep (seperti warna, bentuk, angka, abjad, berbagai
kategori dsb.); disamping juga mengajarkan berbagai pengetahuan yang ia
perlukan untuk dapat mengikuti aturan di sekolah / kelompok bermain yang akan
ia tempuh nantinya.
Perlu
juga diingat untuk membantu anak melatih kemampuan motorik kasar dan motorik
halusnya, koordinasi visual motorik, keseimbangan, ketelitian, disamping
mempertahankan konsentrasi serta pemusatan perhatian pada detil benda yang ia
hadapi. Cara-cara bisa sama, diperluas dengan menggunakan gambar 2 dimensi dan
dapat dilakukan di kamar khusus dalam posisi duduk, atau menggunakan
berbagai teknik aplikatif yang intinya adalah membuat tampilan semenarik mungkin
melalui berbagai pengalaman yang memperkaya wawasan anak.
Ingatkan
orang tua untuk memastikan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang diajarkan di atas
dapat ia gunakan segera dalam kehidupan sehari-hari (fungsional), dan ia diberi
kesempatan untuk mengaplikasikannya (aplikatif). Peran orang tua dalam proses
generalisasi dan praktek teori ini menjadi sangat penting, karena bila tidak
dipraktek-kan maka berbagai konsep yang sudah dikuasai anak menjadi seolah
mubazir karena tidak terpakai.
** Bagaimana CARA mengajarkan berbagai hal
tersebut di atas?
Dalam
meningkatkan pemahaman, cara yang disarankan adalah tidak sekedar memberitahu
ia apa yang harus ia lakukan (tell=verbal directions), tetapi juga memberi
contoh (show=modelling), dan mengarahkan (guide=physical guidance) hingga anak
mengerti apa yang diharapkan darinya (Baker & Brightman1997).
a. Instruksi verbal ( tell = verbal directions ) :
- hanya diberikan saat anak memperhatikan
- diberikan dalam kalimat singkat dan
lugas, tepat sasaran
- menggunakan kata-kata yang dipahami
anak
b.
Peragaan ( show = modelling ) :
- mendemonstrasikan apa yang kita
maksud dengan instruksi verbal tadi
- efektif bila dilakukan dengan lambat
dan berlebihan
- porsi peragaan ini dikurangi sedikit
demi sedikit, sejalan dengan penguasaan anak
c. Pengarahan ( guide = physical guidance ):
- sambil memberikan instruksi dan
peragaan kepada anak, kita juga mengarahkan tangan anak secara fisik
- kita menunjukkan bagaimana melakukan
apa yang kita instruksikan tersebut
- mulanya, KITA yang mengerjakan semua
hal, tetapi bertahap kita mengurangi peran dalam pengarahan sehingga anak
sedikit demi sedikit dapat mengerjakannya secara mandiri.
Dalam
upaya menambahkan pengalaman dan kosa kata baru, kita juga dapat membantu anak
untuk belajar dengan (Manolson, 1995):
- menggunakan gerakan yang dapat ditirunya
- memberikan nama pada benda/gerakan
apapun yang ia lihat/lakukan
- meniru anak sambil menambahkan kata atau
gerakan yang sesuai
- memberi penekanan pada kata-kata yang
bermakna
- mengulang, mengulang, mengulang
kata-kata baru
- menambahkan ide baru pada hal-hal yang
sudah dikuasainya.
Lalu,
bila anak mampu mengerjakan sesuatu (atau setidaknya, bagian dari sesuatu),
pastikan ada imbalan atas perilaku positifnya tersebut (reward).
Imbalan-imbalan
ini sangat diperlukan untuk membangkitkan motivasi anak ASD yang umumnya TIDAK
tertarik untuk melakukan apapun. Imbalan dapat diberikan dalam bentuk:
- perhatian
- cemilan (makanan/minuman)
- kegiatan yang ia sukai
- token
(bisa bintang, kupon, chips, tabel jadwal dsb).
**
Selain meningkatkan pemahaman, usaha selanjutnya adalah melakukan modifikasi
perilaku, untuk sedapat mungkin mengurangi
(bahkan menghilangkan) ciri negatif yang ada pada anak. Cara yang
seringkali memberikan perubahan adalah dengan mengalihkan perhatian anak agar
ia berhenti melakukannya, sambil mengajarkan perilaku lain yang lebih 'wajar'
dan sesuai untuk anak seusianya (differential reinforcement).
Misal:
anak cenderung 'flapping' saat ia sangat
gembira. Ajak ia bicara saat itu dengan memberikan 'label emosi' dan 'deskripsi
situasi'. Ajarkan ia cara lain untuk mengungkapkan kegembiraannya, antara lain
dengan tepuk tangan atau tertawa.
Contoh
lain: anak cenderung membenturkan kepala untuk mencari perhatian. Cermati
gejala awal sebelum ia membenturkan kepala, CEGAH sebelum ia melakukannya
dengan memegang kepalanya sampai ia berhenti berusaha. Tidak perlu membujuk
atau memarahi, karena justru akan membuat anak makin menggunakan perilaku
tersebut untuk mendapatkan perhatian. Bujukan atau omelan Anda, akan ia anggap
sebagai perhatian.
Tentu
saja upaya ini tidak dapat segera membuahkan hasil. Intensitas dan kontinuitas
perlakuan sangat menentukan hasil akhir.
Orang
tua yang mudah menyerah, cenderung akan kecewa karena sering (meski tidak
selalu) perlu waktu bertahun-tahun
sebelum perilaku negatif bisa berhenti. Perubahan positif penanganan terhadap
perilaku, suka atau tidak, berkaitan dengan konsistensi sikap orang tua.
Semakin konsisten, semakin kita bisa mengharapkan hasil optimal. Semakin tidak
konsisten, semakin jauh dan lama langkah perjalanan yang harus ditempuh sebelum
tercapai hasil positif.
Dalam
upaya melakukan modifikasi perilaku tadi, kenali pola perilaku yang ia
tampilkan, karena sering itu merupakan perwujudan kebutuhan fisiknya akan
sesuatu. Misalnya, anak sangat senang melompat di tempat tidur dan ia bisa
lakukan berjam-jam. Upayakan adanya trampolin di rumah Anda dan berikan ia
waktu (atur waktu tersebut) untuk melompat sepuasnya. Contoh lain, anak
cenderung menatap dengan memiringkan wajahnya. Janganlah ia dipaksa untuk
melihat secara lurus. Bukan tidak mungkin, ia memiringkan wajahnya karena
begitulah caranya menyesuaikan diri dengan kekurangan yang (mungkin) ia miliki.
Memaksakan anak untuk bersikap seperti kita, tentu tidak akan menghasilkan
apapun bila ia memiliki kebutuhan yang berbeda dari kita.
4. Melakukan evaluasi secara periodik atas
apapun program penanganan yang diterapkan pada anak.
Bila
orang tua beruntung bisa berbicara dengan mereka yang sudah berpengalaman dan
anak sudah memiliki program pendidikan yang spesifik, tugas berikutnya adalah
me-mastikan bahwa program tersebut berjalan sesuai kaidah seharusnya. Secara
berkala harus ada evaluasi, baik terhadap materi, proses, maupun terhadap hasil
akhir.
Berbekal
akal sehat dan pengetahuan dasar mengenai konsep pendidikan, orang tua dapat
melakukan evaluasi sendiri terhadap pelaksanaan tata-laksana anaknya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang
tua antara lain adalah:
- Ekspresi wajah dan bahasa tubuh anak
/ terapis saat tatalaksana
- Inti materi secara keseluruhan (fungsi, aplikasi, relevansi dsb)
- Kualitas penguasaan materi dan
kemungkinan generalisasi
- Variasi tampilan dan alternatif
kegiatan
- Pencatatan hasil tatalaksana
- Kaitan tujuan belajar kini dengan
target belajar di masa depan
5. Bersikap positif dan percaya diri dalam
menangani perkembangan anak.
Penanganan
intensif dapat membantu penyandang
autisme, tetapi setiap orang yang terlibat mau tidak mau dihadapkan pada rasa
frustrasi dan ketidak-nyamanan saat berusaha berkomunikasi dengan anak yang
'kurang mampu, tidak tertarik, atau bahkan tidak dapat dimengerti'. Di bawah
tekanan seperti ini, orang tua paling
hangat dan penuh kasih sekalipun bisa sungguh-sungguh hilang akal, bahkan
berubah menjadi maniak yang selalu
berteriak-teriak (Lovaas, 1996).
Perjuangan
memperbaiki kualitas hidup individu autis yang bisa berlangsung bertahun-tahun,
ketidak pastian masa depan anak, dan tidak adanya kejelasan hasil akhir
penanganan seringkali mempengaruhi kehidupan orang tua dan keluarga. Dokter
perlu membantu orang tua melalui rasa frustrasi, stres dan putus asa yang
berkepanjangan seperti ini, melalui konseling dan obat-obatan sesuai kebutuhan.
Tidak jarang orang tua yang paling percaya diri sekalipun menjadi depresi dan sakit-sakitan,
karena khawatir akan masa depan anak yang dikasihinya.
Penting
sekali menekankan penanganan secara berkelompok. Pembentukan kelompok juga
mencegah terjadinya kelelahan yang amat sangat ( "burn-out" ) pada orang tua akibat mengerjakan semua hal
sendiri. “Kelompok” ini bisa terdiri atas : terapis/guru, asisten, orang tua, pengasuh, pendidik di sekolah,
saudara orang tua, nenek, maha-siswa, bahkan pembantu sekalipun. Yang penting,
siapapun yang bekerja dalam kelompok anak harus mau belajar, dan mau menerima
keadaan anak apa adanya.
Ketrampilan
apapun yang diperlukan, bisa dipelajari bersama-sama; tetapi kesediaan menerima
keadaan anak harus datang dari lubuk hati terdalam. Umumnya penyandang autisme
sensitif, sehingga respons mereka seringkali dipengaruhi oleh sikap lingkungan
terhadap mereka. Semakin mereka diterima keadaannya, semakin baik kemungkinan
responsnya. Semakin mereka merasa ‘tidak diterima’, semakin sulit membentuk
kontak pribadi dengan mereka.
KESIMPULAN
Tak
dapat dipungkiri lagi, orang tua sangat menentukan dalam setiap aspek
perkembangan anak. Pengasuhan sehari-hari sangat memegang peranan pada
perkembangan individu autis.
Tidak
mudah menjadi orang tua penyandang autisme. Berbagai perasaan berkecamuk dalam
hati, mulai dari tak percaya, marah, sedih, merasa bersalah, lelah, cemas,
bingung sampai putus asa. Karena sulit, orang tua dan keluarga perlu dibantu
dan diarahkan sehingga mereka tidak salah bertindak. Peran serta dokter sangat
diperlukan agar kekeliruan diagnosa atau penanganan dapat diperkecil (bahkan
ditiadakan) di kemudian hari. Bagaimanapun, orang tua menganggap dokter sebagai
‘tokoh’ panutan dan sumber informasi yang dapat dipercaya sehingga petunjuk
dari dokter cenderung dijadikan dasar langkah-langkah penanganan selanjutnya.
Love
is about unconditional acceptance and
doing
your best to make your loved ones happy.
To
my one and only Ikhsan, I love you just
the way you are.
May
God always be with us. Amin.
REFERENSI
1. Baker, Bruce L. and Alan J. Brightman, Steps to Independence
– Teaching Everyday Skills to Children with Special Needs, 1997, Paul H.
Brookes Publishing Co. Inc, Baltimore, US
2. Greenspan, Stanley, MD and Serena Wieder,
PhD, 1998; The Child with Special Needs,
Perseus Publishing, US
3. Hodgdon, Linda A. MEd, CCC-SLP, Solving Behavior Problems in
Autism – Improving Communication with Visual Strategies, 1999, Quick Roberts
Publishing, Michigan-US.
4. Holmes, David L. Ed.D, 1997; Autism through the Life Span, The
Eden Model; Woodbine, USA
5. Leaf, Ron and John McEachin, 1999; A Work
in Progress, Autism Partnership, Publisher: DRL Books, New York.
6. Lovaas, O. Ivar, PhD, 1981; The “ME” book – Teaching Developmentally
Disabled Children; Department of Psychology, University of California, Los
Angeles, ProEd Inc-USA.
7. Manolson, Ayala; with Barbara Ward and
Nancy Dodington, 1995; YOU make the
Difference – In Helping Your Child Learn; A Hanen Centre Publication,
Toronto-Canada.
8. Schopler, Eric; Parent Survival Manual –
A Guide to Crisis Resolution in Autism and Related Developmental Disoders,
1995, Plenum Press, US
9. Sussman, Fern ; 1999; More than Words - Helping Parents
Promote Communication and Social Skills in Children with Autism Spectrum
Disorder; The Hanen Program - A Hanen Centre Publication, Ontario-Canada
A
GIFT FROM HEAVEN
He
was different from the others, he needed extra care.
So
God sent him special parents to watch while he was there.
They
loved him more than life itself, but sometimes wondered why,
God
had sent this special child to them from heaven up on high..
He’s
a gift from up above sent from heaven just to share your love.
You
have the kind of spirit he’ll need, you see
He’s
a gift from heaven, from heaven above.
This
child God has sent to you, because you are special too.
You
have the kind of spirit, he will need to see him through.
Not
just anyone could raise this child
the
way God would want them to.
He’s
counting on you to do, the best that you can do.
God
will help you all along the way, he’ll never leave your side.
He’s
watching you and smiling, in heaven up on high.
PERAN
SAUDARA SEKANDUNG PADA ANAK PENYANDANG ASD
Abstrak
Topik
ini membahas tentang pentingnya peran Saudara Sekandung dalam proses
meningkatkan kemampuan anak penyandang autis dalam halbersosialisasi dan
berinter-aksi dengan orang lain di luar anggota keluarga.
Mengapa
saudara sekandung ? dilihat dari segi hubungan dan emosi, saudarasekandung
adalah orang yang paling dekat, dan sering melakukan kegiatan bersama serta
yang paling mengetahui apa yang telah terjadi pada anak penyandang autis. Oleh
karena itu saudara sekandung adalah orang yang paling tepat dalam membantu
proses belajar.
Pengamatan
ini dilakukan pada 2 anak laki-laki kami yang didiagnosa sebagai penyandang
Sindrom Asperger dan 2 anak perempuan kembar kami yang normal selama 2,5 tahun.
Sebagai orang tua kami berusaha memberikan pengertian dan penjelasan kepada 2
anak perempuan kami mengenai apa itu autis.
Untuk
jangka panjang, saudara sekandung diharapkan dapat menggantikan fungsi orang
tua yang tidak selamanya dapat mendampingi anak penyandang autis karena faktor
usia.
Pendahuluan
Sebagai
orang tua atau calon orang tua atau katakanlah manusia biasa, tentunya kita
selalu berharap bahwa apabila suatu hari kelak tiba saatnya kita dianugerahi
keturunan oleh Yang Maha Kuasa, kita ingin agar anak/keturunan kita adalah anak
yang sehat jasmani dan rohani, sehat jiwa dan raga. Namun adakalanya keinginan
atau harapan kita tidak sesuai dengan kehendak Yang Di Atas. Bagaimana kalau
keadaan itu terjadi pada kita ?
Kehadiran
anak penyandang autis dalam suatu keluarga sudah tentu akan mempengaruhi
kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya, terutama orang tua dan saudara
sekandung. Orang tua dan saudara sekandung akan mempunyai hubungan yang relatif
lebih lama dan lebih intensif dengan anak penyandang autis, dari mulai masa
kecil, remaja, sampai dewasa. Tidak seperti hubungan interpersonal lainnya,
hubungan ini melibatkan ikatan fisik dan emosional pada tahap-tahap kritis
sepanjang kehidupan mereka.
Dibandingkan
hubungan dengan orang tua, hubungan antar saudara sekandung akan bertahan lebih
lama karena faktor usia. Karena itulah sebagian besar orang tua berharap
saudara sekandunglah yang akan merawat dan menemani adik/kakaknya yang memiliki
masalah setelah orang tua meninggal.
Anak
yang memiliki saudara sekandung penyandang autis akan memiliki jenis hubungan
yang berbeda dengan mereka yang sesama anak normal. Biasanya anak yang normal
banyak mengalami stres dalam interaksi dengan anak autis tersebut. Namun
demikian, tidak semua saudara sekandung anak autis akan mengalami stres yang
berlarut-larut, tidak bahagia atau mengalami masalah yang berat.
Satu
hal yang perlu diingat oleh kita sebagai orang tua adalah bahwa hubungan anak
penyandang autis dengan saudara kandungnya adalah hubungan seperti layaknya
hubungan saudara kandung anak-anak normal lainnya, di mana terdapat sisi yang
positif dan di sisi lain ada hal yang negatif. Kadang kala penuh keakraban tetapi
juga ada masanya hubungan itu memburuk. Hubungan tersebut akan terus berubah
sesuai perkembangan usia dan kepribadian mereka.
Penerimaan
Orang tua secara ikhlas terhadap anak penyandang autis
Pada
saat kita menerima diagnosis dari dokter mengenai keadaan anak kita sebagai
penyandang autis, reaksi kita pertama-tama pasti sedih, bingung, ada rasa tidak
mau menerima kenyataan tersebut, dan yang terakhir tapi berbahaya adalah MALU.
Pasti ada masa orang tua harus merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa
yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak
terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga, bahkan keluarga dekat
sekalipun, kecuali kepada dokter yang menangani anaknya itu. Ada juga sebagian
kecil orang tua yang kemudian menyalahkan Tuhan dan berpikir kenapa "nasib
buruk" itu menimpa diri mereka.
Kejadian
tersebut di atas adalah umum dan biasa dialami oleh para orang tua anak
penyandang autis. Namun berdasarkan pengalaman saya sebagai pengelola Website
Puterakembara dan moderator dari Milis Puterakembara, pada saat ini, sejalan
dengan makin banyaknya informasi mengenai autisme, orang tua telah banyak
menyadari bahwa tindakan menyesali dan menutupi keadaan anak autis adalah TIDAK
TEPAT. Memberikan penanganan yang tepat dan terarah serta sedini mungkin pada
anak penyandang autis berarti memberikan kesempatan yang semakin besar pada
mereka untuk dapat hidup Mandiri menuju masa depan yang lebih cerah. Mereka,
anak-anak penyandang autis, anak-anak kita semua, sangat BERHAK untuk juga
mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masyarakat ini, di dunia ini.
Penerimaan
dan keikhlasan kita sebagai orang tua benar-benar dituntut untuk mewujudkan
"impian" dan "cita-cita" itu. Bagaimana kita akan dapat
berbuat sesuatu dengan tepat kalau kita sendiri tertutup pada lingkungan dan
malu mengakui bahwa anak kita ternyata memang berbeda dengan anak-anak normal
lainnya. Anak penyandang autis pun mempunyai perasaan dan emosi seperti anak
normal. Mereka akan mengetahui apakah mereka disayang dan dimengerti atau
tidak.
Sebelum
mengharapkan pengertian dan penerimaan oleh saudara kandung, oleh masyarakat
luas bahkan oleh pemerintah, terhadap anak-anak kita yang "spesial"
ini, terlebih dahulu kita sebagai orang tua yang melahirkan mereka harus
menerima dengan lapang dada, serta menyayanginya dengan sepenuh hati.
Manusia
mempunyai rencana, begitu juga TUHAN, pasti mempunyai rencana akan semua ini.
Penjelasan
mengenai AUTISME kepada saudara kandung
Sebenarnya,
yang paling memiliki peranan dalam hal kualitas hubungan saudara sekandung
dengan anak penyandang autis, adalah orang tua masing-masing. Sejak usia dini,
orang tua harus benar-benar memberikan gambaran dan informasi yang benar serta
apa adanya mengenai apa itu autisme kepada saudara kandung. Dengan begitu
mereka (saudara kandung) dapat pula menerima dan mengerti saudara yang
menyandang autis itu secara apa adanya. Faktor lain yang sangat penting adalah
saudara sekandung anak autis tersebut memang memiliki resilience (ketabahan dalam
menghadapi masalah dan tahan terhadap stres) sehingga tidak mengalami gangguan
yang berat (Harris, 1994; Powers, 1989).
Sebelum
kita berharap bahwa anak kita yang lain yang normal dapat mengerti dan menerima
saudara kandungnya yang penyandang autis, perlu kiranya kita memberikan
penjelasan dan keterangan mengenai apa itu autisme. Penjelasan dapat diberikan
sedini mungkin, tentunya bahasanya dapat disesuaikan dengan usia saudara
kandungnya itu. Bahasa yang digunakan sedapat mungkin dibuat sederhana. Pengalaman
saya, penjelasan kepada saudara kandung penyandang autis dapat dilakukan selagi
si saudara kandung masih berusia balita.
Dengan
perkembangan usia, saudara kandung akan semakin mengerti mengenai apa itu
autisme. Lebih jauh setelah mereka sendiri berinter-aksi, mereka dapat
menangkap bahwa ternyata memang ada perbedaan antara mereka yang normal dengan
saudara kandungnya yang penyandang autis. Dengan kesadaran si saudara kandung
akan keberbedaan mereka, tugas orang tua selanjutnya adalah harus selalu
berusaha tanpa henti untuk menumbuhkan rasa pengertian dan penerimaan secara
ikhlas akan keberbedaan itu. Ini merupakan bagian yang tersulit.
Kalau
kita sebagai orang tua sudah dapat berlaku bijaksana dan adil, serta selalu
memberikan penjelasan pada anak-anak kita yang normal secara berulang-ulang
sampai si anak benar-benar ingat dan mengerti, saudara sekandung dapat menjadi
'terapis' khusus yang manjur bagi anak autis.
Peranan
Saudara Sekandung pada Anak Penyandang Autis
Berdasarkan
pengalaman saya dan beberapa orang tua anak penyandang autis, telah terbukti
bahwa ternyata cukup banyak saudara sekandung anak autis yang bisa mengerti dan
bahkan cukup mampu menyesuaikan diri dengan keadaan adik atau kakaknya yang
menyandang autis. Ada juga sebagian dari mereka yang mengalami banyak konflik
misalnya memiliki rasa iri karena menganggap orangtua mereka lebih sayang pada
anak autis, atau menyesali kenapa mereka mempunyai saudara kandung penyandang
autis.
Pengalaman
saya sendiri, ke dua anak laki-laki saya penyandang Asperger's syndrome sangat
terbantu oleh saudara kandungnya yang normal (2 anak perempuan kembar), dalam
hal bercanda, cara bersosialisasi, bermain seperti layaknya anak normal
lainnya.
Kira-kira
4 tahun yang lalu, ketika anak kembar saya masih berusia 1 tahunan (belum bisa
bermain dengan kakaknya), kedua kakak laki-lakinya penyandang asperger itu sama
sekali tidak mau berteman, lebih suka sendiri, bermain computer, dan tidak suka
dengan cerita anak-anak seperti dora emon, dan cerita-cerita kartun lainnya di
Televisi. Kedua anak laki-laki saya lebih asyik dengan cerita "Animal
planet", "National Geographic", " Animal hunter",
"The Science Inventor", "The Planet", dan
"Encyclopedia".
Hobby
mengetahui hal-hal yang ilmiah sebenarnya tidak salah. Akan tetapi pada saat
mereka harus berbicara dengan teman-teman sebayanya di Sekolah, akan terlihat
ketimpangan di situ. Karena ke dua anak saya itu tidak bermasalah dalam
kemampuan akademis, juga tidak hiper-aktif dan tidak menggangu maka mereka dapat
masuk di Sekolah umum. Teman-temannya di kelas (Sekolah umum) merasa anak saya
aneh, sehingga otomotis mereka pun tidak dapat bermain bersama-sama. Anak saya
pun menganggap teman-temannya nakal dan tidak sejalan dengan pikirannya, maka
anak saya lebih banyak sendiri di kelas.
Seperti
kebanyakan anak perempuan, kedua anak kembar perempuan saya tumbuh menjadi anak
yang cerewet, bawel, dan supel dalam bergaul. Saya mencoba untuk selalu
melibatkan kedua anak perempuan saya dalam setiap kegiatan kedua anak laki-laki
saya di rumah. Contohnya apabila mereka ingin mendapatkan sesuatu, mereka
berempat harus antri. Contoh lain, pada saat tertentu (biasanya hari libur)
mereka selalu berebut ingin dilayani oleh ibunya seperti memakai baju, mandi,
dan masing-masing ingin yang nomor satu. Saya segera mensyaratkan mereka untuk
"dam-suit" atau "hompipah" berempat. Dan mereka laksanakan
itu dengan penuh semangat dan gembira.
Sekarang
anak saya yang pertama laki-laki berumur 10,5 tahun, yang kedua laki-laki
berumur 8 tahun, sedang yang ketiga kembar perempuan dan normal berumur 5 tahun
7 bulan.
Mereka
sudah banyak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, mereka dan kedua
saudara perempuannya sudah dapat bermain bersama seperti layaknya anak-anak
normal lainnya. Mereka berdiskusi bersama, nonton cartoon di TV bersama. Pada
saat nonton, mereka bisa tertawa bersama apabila ada yang lucu. Kedua anak
perempuan kembar saya banyak mengajarkan mereka permainan yang layak dimainkan
oleh anak-anak normal seusianya. Di Sekolah pun kedua anak laki-laki saya sudah
mulai dapat bermain, walaupun hanya dengan 2 atau 3 teman saja. Tapi lumayan,
itu sudah merupakan suatu kemajuan bagi saya. Sepulang Sekolah pun mereka sudah
mulai dapat bercerita tentang apa yang terjadi di kelas.
Tak
bosan-bosannya, saya selalu menjelaskan pada anak perempuan saya akan
keberbedaan kakak-kakaknya. Sebaliknya, pada ke dua anak laki-laki saya
penyandang asperger, saya selalu katakan bahwa mereka tidak boleh terlalu
menuntut dapat dimengerti oleh kedua saudara perempuannya. Ada kalanya kedua
anak perempuan saya juga marah, kesal dan tidak mau mengerti perlakuan dari ke
dua kakak-kakaknya. Tapi itu saya nilai masih dalam tahap wajar.
Yang
paling penting sebenarnya adalah saya ingin menekankan pada mereka bahwa mereka
memang berbeda tapi mereka harus dapat menerima keberbedaan itu dengan
pengertian. Mereka harus tahu dan menyadari bahwa tidak ada manusia yang sama
dan sempurna di dunia ini. Hal itu yang ingin saya tanamkan pada mereka
berempat.
Akibat
yang mungkin timbul dalam melibatkan Saudara Sekandung pada masalah Anak
Penyandang Autis
Setelah
proses penjelasan dan memberi pengertian pada saudara sekandung dilaksanakan,
secara umum ada beberapa kemungkinan masalah yang perlu dipikirkan berupa akibat
yang mungkin akan timbul, terutama apabila mereka telah remaja atau menjelang
dewasa.
Saudara
kandung akan mulai berpikir dan menduga-duga tentang apa yang salah pada anak
autis. Karena menyangkut keturunan, mungkin saja kemudian Ia dapat menjadi takut
akan terkena autis, merasa bersalah atas keadaan saudaranya yang autis atau
merasa bersalah karena perasaan benci yang dirasakannya. Sebagian anak menjadi
terpaksa patuh pada orangtua sebagai kompensasi dari ketidakmampuan saudaranya
yang autis. Ada juga yang memiliki perasaan ambivalen terhadap anak autis :
sayang tetapi kesal dengan keadaan saudaranya, kasihan bila anak autis diejek
teman-temannya tetapi malu dengan kondisi saudaranya itu. Sering pula muncul
perasaan bahwa dunia tidak adil karena ia harus memiliki kakak atau adik yang
autis.
Sebaliknya
apabila pemahaman dan pengertian saudara kandung mengenai autis semakin baik,
dia bahkan yang akan memberikan penjelasan yang cukup baik dan benar kepada
teman-teman mengenai kondisi saudaranya itu.
Namun
demikian, Jangan lupa bahwa masalah yang mungkin dialami oleh anak-anak normal
dalam keluarga dapat juga dialami oleh anak-anak normal yang mempunyai saudara
kandung penyandang autis. Mereka bisa saja merasa iri atas perlakuan khusus
orangtua terhadap saudaranya yang autis. Akibatnya mungkin kadang-kadang mereka
yang normal, sengaja berperilaku buruk untuk memperoleh perhatian orangtua.
Kalau sudah begitu, lagi-lagi kita sebagai orang tua dituntut untuk bersikap
adil. Jangan sampai waktu kita hanya tersita untuk anak kita yang menyandang
autis.
Akibat
yang paling parah adalah apabila kemudian si Saudara kandung merasa terbebani
dengan tugas yang diberikan oleh orang tua untuk membantu dan menjaga
saudaranya yang autis. Kemudian si saudara kandung mulai sering mencemaskan
masa depan saudaranya yang autis dan perannya sebagai pengganti orangtua di
masa depan.
Melihat
begitu banyaknya akibat/masalah yang mungkin timbul akibat proses melibatkan
saudara kandung dalam kehidupan anak penyandang autis, maka kita perlu juga
memikirkan dengan semaksimal kemampuan kita sebagai orang tua untuk mendidik
sejak dini dan membuat anak kita penyandang autis untuk dapat hidup Mandiri dan
berguna minimal bagi dirinya sendiri.
Hal
lain yang perlu dipikirkan juga adalah proses melibatkan saudara kandung, harus
disesuaikan dengan umur dan pengertian dari si saudara kandung itu sendiri.
Janganlah menuntut dan melibatkan terlalu banyak.
Mungkin
saja akibat atau masalah negatif yang dikemukakan di atas itu tidak akan terjadi
pada kita semua. Pada kenyataannya, sejauh pengamatan saya, peran saudara
kandung dalam kehidupan normal pun selalu dapat di andalkan untuk membantu
saudaranya yang lain yang sedang mendapatkan kesusahan.
Penutup
Semua
orang tua yang mempunyai anak penyandang spektrum autisme tentunya merasakan
kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak tersebut.
Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi
semua anak-anak kita baik anak yang autis maupun anak yang lain yang normal.
Masalah
yang terbesar yang saya alami sebagai orang tua adalah Pembagian waktu.
Pembagian waktu antara merawat anak autis dengan anak yang lain secara seimbang
dan seadil-adilnya, waktu dengan pasangan, dengan pekerjaan saya sebagai Pimpinan
Yayasan Puterakembara dan dengan urusan rumah tangga lain. Saya pribadi sangat
membutuhkan bantuan dari banyak pihak dalam hal ini. Yang paling utama adalah
dari pasangan kita, orang tua, dan saudara dekat kita. Dan kebetulan saya
sangat beruntung mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang saya sebutkan itu.
Kalau tidak saya tidak dapat membayangkan akan jadi apa saya sekarang.
Dukungan
dari Yang Di Atas sebagai Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan Maha Tahu tidak dapat
diabaikan begitu saja. Dia lah yang memberikan kita kepercayaan untuk
mendapatkan anak yang "spesial" ini. Oleh karena itu, bagaimana pun
keadaan anak yang telah dipercayakan kepada kita itu, kita harus memelihara dan
merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Kebesaran
hati dalam menerima kenyataan yang ada sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Setiap cobaan yang diberikan oleh Nya pasti mengandung hikmah.
Saya
berharap sedikit uraian saya di atas mengenai "Peran Saudara Sekandung
pada Anak Penyandang ASD", yang diambil berdasarkan dari pengalaman saya
dan referensi dari beberapa tulisan para ahli, dapat membantu para orang tua
lain dalam menghadapi anak-anak mereka.
Referensi
Ginanjar,
S. Adriana, 2002, Peran Orangtua Membantu Saudara Sekandung Anak Autis, Yayasan
Mandiga, Jakarta, 2002
Harris,
S. L. 1994. Siblings of children with autism. A guide for families. Woodbine
House.
Powers,
M.D. 1989. Children with autism. A parents' guide. Woodbine House.
Pengalaman
menyekolahkan anak ‘special need’
Mempunyai
2 anak dimana yang sulung (Andre, 8 tahun) sering sakit karena alergi debu dan
gangguan pencernaan, dan anak bungsu (Thomas, 5 tahun) penyandang ASD (Autism
Spectrum Disorder), sungguh ternyata tidak mudah. Salah satu kesulitan terbesar
adalah mencari sekolah yang tepat untuk Thomas.
Saya
bersyukur sekali, bahwa akhirnya 6 bulan terakhir ini perkembangan di sekolah
sangat besar, dibanding kondisi awalnya. Berjuang melawan autisme ibaratnya
ikut lari maraton : jarak jauh (bisa bertahun-tahun) sehingga perlu persiapan,
stamina dan strategi lari yang tepat, bertahap tapi konsisten. Setelah 3,5
tahun jadi peserta ‘maraton autisme’, kemajuan Thomas di sekolah menjadi
reinforcement besar, obat kuat penambah semangat untuk terus ikut lari, tetap
dalam barisan peserta maraton . . . walaupun garis finish belum terbayang. Jalan mungkin masih sangat panjang, tapi
lebih bersemangat karena ada harapan terus, buah-buah mulai terlihat….
Tanggal
20 Mei 2003, saya, guru kelas, konsultan (acara rutin PTCC :
Parent-Teacher-Consultant Conference) dan juga guru pendamping (Shadow Aid)
bertemu di sekolah untuk membahas perkembangan Thomas di kelas. Hasilnya sangat
menggembirakan : bantuan Shadow Aid sudah sangat minimal, hanya diperlukan saat
singing time (Thomas tidak terlalu suka nyanyi bersama). Selain itu, kontrol
sudah di tangan 3 guru kelasnya. Guru juga sudah berkomunikasi dengan Thomas
dengan nada suara biasa dan tanpa usaha ekstra untuk menarik perhatiannya. Bila
tiba-tiba dia tersadar ada perubahan aktivitas, Thomas sudah bisa bertanya pada
temannya, misalnya : ’kita mau ngapain?’ atau ‘kita mau kemana?’. Dia juga
tidak segan-segan untuk minta bantuan temannya bila ada kesulitan. Walaupun
sedang asyik mengerjakan aktivitas kesukaannya (origami, membaca buku), Thomas
akan segera bergabung dengan teman-temannya untuk melakukan aktivitas baru
lainnya. Menulis sudah lebih rapi, ada spasi. Kemampuan akademis tidak menjadi
masalah, bahkan sering lebih bagus/cepat selesai dari teman-temannya. Yang
menjadi ‘concern’ guru 2 minggu terakhir adalah Thomas tiba-tiba suka teriak,
kadang tanpa sebab yang jelas.
Kesimpulannya,
Juli nanti Thomas benar-benar memenuhi syarat untuk naik ke TK B. Saat itu,
tidak ada berita yang lebih menggembirakan lagi buat kami sekeluarga.
Tanggal
9 Juni saya menerima buku raportnya, dan progres Thomas lebih terlihat jelas
dari kacamata sekolah. Kalau di akhir cawu I Thomas masih sangat perlu
dibimbing untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di kelas, di akhir cawu III
bimbingan masih diperlukan untuk lebih memberikan fokus dan perhatian terhadap
diskusi/presentasi yang diberikan secara group. Selain sudah bisa membaca buku
cerita dalam bahasa Inggris dengan cukup lancar, dia juga sudah mulai mengerti
penjelasan guru dalam kalimat bahasa Inggris yang cukup panjang. Kelemahan yang
lain seperti menggambar, mewarnai, menggunting dan melipat sudah bisa diatasi.
Kegiatan fieldtrip ke tempat2 umum (Planetarium, Kebun Binatang, Pemadam
Kebakaran, dll) menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan buatnya. Yang masih menjadi
kesulitan besar adalah mengikuti permainan2 olah raga atau gerak & lagu.
Semua
hasil ini berkat kerja sama yang baik antara Sekolah dan Team Terapis ABA
(Konsultan, Case Manager, Terapis, Shadow Teacher/Aid). Sejak Oktober 2002
tercipta kerja sama itu dalam bentuk : Observasi di kelas, pencatatan Daily Log
di kelas, Shadow Aid, dan PTCC secara rutin.
Yang
membuat kami terharu, guru-guru mau tahu lebih banyak tentang autis, semangat
untuk ikut seminar/workshop autis, bahkan mau menerapkan apa yang mereka
pelajari maupun yang disarankan oleh konsultan. Untuk mencapai tujuan, mereka
juga meluangkan waktu untuk ‘playday’ khusus dengan Thomas.Waktu saya sharing
di sekolah tentang makalah presentasi yang saya buat untuk eks kantor saya
kerja (dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan public awareness tentang
autism), hampir semua guru-guru di sekolah itu duduk selama 3 jam lebih, serius
menyimak sharing. Banyak pertanyaan, cerminan rasa kepedulian mereka yang
tinggi. Sungguh, di luar pengharapan saya.
Syukur
pada Tuhan, perjuangan panjang mulai membuahkan hasil dan sejak pindah ke
Bintaro kami dipertemukan dengan banyak orang-orang yang sangat membantu :
guru-guru sekolah dan team terapis ABA yang lebih kooperatif, dan teman-teman
special parent sesama peserta ‘maraton’.
Dua
tahun, bahkan setahun yang lalu, hasil seperti ini sama sekali tidak
terbayangkan.
Setelah
menjalani terapi (ABA) selama 1.5 tahun, pada usia 3 tahun 3 bulan, kami
putuskan untuk mencoba memasukkan Thomas ke play group, dengan suatu tujuan :
belajar bersosialisasi (walau saat itu sebenarnya kami tidak begitu paham
artinya sosialisasi).
Setelah
survey beberapa sekolah dan melalui sedikit test akademis, Thomas diterima di
suatu sekolah umum di Jakarta Timur yang cukup besar, satu sekolah dengan
kakaknya yang masuk kelas 1 SD. Jumlah
murid 35 anak dengan 2 guru, tetapi Shadow Aid diijinkan masuk ke kelas sampai
Thomas dianggap bisa mandiri. Di sekolah itu hanya dia yang autis, tapi ada
beberapa anak ADD atau ADHD di kelas lain.
Kami
ceritakan kondisi Thomas apa adanya, dan bahwa sebenarnya masih membutuhkan
banyak terapi, jadi minta diijinkan hanya bersekolah 2-3 hari dalam seminggu,
sambil melihat perkembangannya. Dengan pendekatan yang baik, saya juga
diijinkan untuk secara periodik merekam perkembangan Thomas di sekolah. Kepala
sekolah juga sangat baik, cukup mau tahu tentang autis dengan membaca buku-buku
atau makalah seminar yang saya fotocopy. Kadang mereka malah mereferensikan
beberapa orang tua yang anaknya mengalami gangguan perkembangan untuk sekedar
ngobrol dengan saya. Tetapi mungkin karena sibuk dengan pekerjaan, agak sulit
untuk mengajak guru-guru ikut seminar/workshop tentang autis, atau untuk
mengundang mereka ke rumah, walaupun mereka tertarik.
Seminggu
sebelum sekolah mulai, saya drill Thomas soal makanan (karena diet Gluten dan
Casein, CFGF). Dengan bantuan kakaknya, saya ajarkan untuk tidak ambil atau
minta makanan orang lain. Hari pertama sekolah dia bilang ‘mau kue itu’ sambil
menunjuk temannya yang bawa bekal biskuit Oreo (Oreo dulu jadi reward yang
paling disukai kalau terapi). Saya jawab : ‘itu bukan punya Thomas’, dia
menurut dan diam. Besoknya dia hanya melihat-lihat bekal teman-temannya sambil
menelan ludah, tanpa mengucapkan apa-apa. Duh, rasanya saya yang tidak
tahan….sangat tidak tega. Dengan mengingat bahwa terigu hanya akan menjadi
racun/morfin buat Thomas, saya mencoba bertahan. Akhirnya sukses setelah 1
minggu, sampai sekarang dia tahu bahwa makanan tertentu dia tidak boleh makan,
jadi bila ingin sesuatu dia akan tanya :’Thomas mau ini, boleh nggak?’. Di
sekolah sekarang, bahkan teman-temannya yang suka dengan makanan ‘home-made’
Thomas. Kembang goyang kesukaannya, juga menjadi makanan favorit teman-teman
dan guru-guru.
Setelah
2 bulan sekolah, Thomas bisa ikut ‘antri’ dengan rapi, bahkan di gereja pernah
mengikuti antrian untuk menerima berkat dari pastor, dan dia tetap rapi dalam
barisan sampai kembali ke tempat semula tanpa didampingi. Kemajuan yang sangat
membuat kami bahagia, kalau bukan di gereja rasanya saya mau bersorak atau
menangis.
Tetapi
setelah itu kami jarang melihat kemajuan berarti yang lain, bahkan ilmu
‘antri’nya ikut hilang. Di kelas lebih banyak rewel dan menangis, kelihatan
tersiksa terlalu lama di sekolah. Saat
guru bercerita di depan dan anak-anak duduk mengelilingi guru, Tom terlihat
sangat tidak betah, seringkali rewel minta keluar atau pulang. Tiap pagi
sebelum masuk kelas semua murid playgroup – TK berkumpul di aula untuk
melakukan beberapa aktivitas bersama (nyanyi, mendengarkan cerita, senam, dll),
baru berbaris masuk ke kelasnya di lantai 2. Saat-saat itu menjadi kegiatan
yang paling tidak menyenangkan buatnya, hampir tidak ada aktivitas yang dia
bisa ikuti atau nikmati. Kalau sudah
tidak tahan, dia rewel minta pulang, nangis atau teriak.
Saat
ini kami baru tahu, dulu banyak sekali persiapan yang kurang saat memasukkan
Thomas sekolah playgroup di Jakarta Timur. Pertama, walau secara akademis
diatas rata-rata teman sebaya, Thomas belum dipersiapkan dengan kemampuan
mengikuti aktivitas rutin sekolah maupun (transisi) belajar dalam group.
Kemampuan bantu dirinya juga masih kurang, sehingga sering ngompol atau pup di
kelas. Dengan keterbatasan pengetahuan kami waktu itu, tanpa sadar prioritas
terapi lebih mengejar kemampuan akademis. Kedua, ekspektasi kami sebagai orang
tua tidak jelas, saya hanya coba-coba dan berharap sekolah bisa membantu
banyak. Ketiga, sekolah itu sebenarnya memang kurang tepat untuk kondisi Thomas
: kelas terlalu besar (2 guru 35 murid) seringkali suara guru bahkan tidak
terdengar oleh Thomas, ruang kelas yang terbuka dengan banyak suara-suara dari
luar menjadi gangguan besar buatnya, mainan yang sama tiap hari (dalam kotak
besar) juga tidak cukup kuat menarik minat dan perhatiannya, serta keterbatasan
tenaga guru untuk memberi perhatian ekstra buat Thomas. Keempat, tidak ada
pihak ke-3 atau profesional yang membantu menjembatani kami dan pihak sekolah.
Kelima, pertimbangan keuangan (saya sudah memutuskan berhenti kerja) juga
membuat kami berpikir dua kali untuk menyediakan dana lebih untuk Thomas.
Jadi
dengan keterbatasan pengetahuan, terapis yang jadi shadow aid dan berada tiap
hari di kelaspun, tidak tahu persis apa tugas dan tanggung jawabnya, bagaimana
cara bekerja sama yang efektif dengan guru-guru, dsb. Di daerah tempat tinggal
saat itu juga tidak ada teman ‘seperjuangan’ yang bisa jadi tempat bertanya,
dan tidak ada bantuan dari pusat terapi tentang bagaimana cara mempersiapkan
dan mengatasi masalah di sekolah.
Selain
Thomas, Andrepun tidak menikmati sekolahnya. Mungkin Andre termasuk anak dengan
type belajar dominan kinestetis, yang sulit menerima pelajaran dengan metode
klasikal dan serius, atau mungkin karena kurang perhatian dari ibunya, prestasi
belajarnya pas-pasan. Perlu 5 jam untuk mengajari PPKN menjelang EHB, belum
pelajaran yang lain. Hanya pelajaran agama yang lumayan, karena bisa diajarkan
dengan menarik (misalnya main drama dengannya), sehingga cepat ‘dicerna’.
Setelah tiap malam bersusah payah menidurkan mereka, pagi hari juga menjadi
perjuangan untuk membangunkan & memotivasi ke 2 anak saya untuk bersekolah.
Ada saja alasan Andre, yang pura-pura sakitlah, yang ngantuklah…. kalau Thomas
hanya nangis, teriak-teriak ‘tidak mau sekolah’.
Tahun
itu juga adalah masa-masa paling berat me’manage’ beberapa macam terapi autis
(ABA, Okupasi, Speech, diet CFGF, BT). Untuk bisa ketat menjalani diet CFGF,
saya harus eksperimen makanan2 ‘halal’ untuk Thomas, padahal saya tidak bisa
masak dan tidak suka ke dapur. Untuk sedikit mengerti Biomedical Treatment
(BT), saya harus memaksa diri membaca literatur2 bahasa Inggris dengan banyak
istilah medis. Sampai saat ini juga masih banyak yang tidak saya mengerti.
Hubungan
dengan suami juga menjadi terganggu. Saya menjadi terlalu sensitif dan
defensif, padahal kadang-kadang maksud suami hanya memberi saran atau bantuan.
Karena sudah berhenti kerja, saya merasa benar-benar ‘terjebak’ di rumah, sibuk
mengasihani diri sendiri, dan merasa paling malang sedunia. Syukur Tuhan
memberikan suami yang dari dulu selalu berpikir positif, dialah yang selalu
bisa mengingatkan saya untuk bisa bersyukur atas setiap kemajuan, walaupun
sekecil apapun.
Akhirnya
saya dan suami sepakat, untuk melakukan ‘sesuatu’ yang besar untuk merubah
kondisi ini.
Atas
rekomendasi teman baik, di bulan Maret-April 2002 Thomas ‘trial’ di sebuah
playgroup di Bintaro tiap hari Selasa dan Kamis. Perjalanan panjang (4 jam
pulang pergi) dari Pulo Gebang - Bintaro, tapi untungnya Thomas bisa dan
menikmati terapi di mobil. Ternyata Thomas sangat suka dengan sekolah barunya,
tiap hari minta sekolah ke Bintaro.
Saya
dan suami ambil keputusan ‘nekat’ dalam 2 minggu : pindah rumah ke Bintaro,
cari rumah kontrakan. Banyak teman terkaget-kaget, bahkan kami sendiri juga
kadang tidak habis pikir dengan keputusan kami dulu. Tapi mungkin sudah jalan
Tuhan.
Saya
dan suami juga sepakat Andre harus mendapatkan sekolah yang bagus, sehingga
saya bisa konsentrasi pada Thomas, tanpa ‘mengorbankan’ Andre. Syukurlah Andre
sangat menyukai sekolah barunya, prestasinya cukup bagus tanpa saya sering
ajari, dan kepercayaan dirinya meningkat pesat. Kalau dulu dia melabel dirinya
hanya pintar gambar dan Thomas pintar matematika, sekarang semua pelajaran dia
suka. Happy ending untuk Andre.
Untuk
Thomas, awal pindah ke sekolah baru (SS), saya minta dia tetap di Kindy (play
group). Pertimbangannya, walaupun usia dan kemampuan akademis cukup untuk ke
TKA, tujuan utama kami adalah bisa bersosialisasi dengan teman-temannya (social
mainstream). Thomas masuk Kindy tanpa shadow aid, karena guru-gurunya
confidence untuk mengatasi Thomas di kelas. Saya juga percaya saja, karena
melihat mereka begitu cekatan dan kelihatannya tahu persis bagaimana mengatasi
Thomas saat ngambek dan bagaimana cara menjawab pertanyaan teman-teman sekelas
tentang perilaku Thomas yang kadang aneh buat mereka. Dan selama trial juga
terbukti Thomas menikmati dan cukup bisa mengikuti pelajaran, walaupun
bi-lingual.
Setelah
2 bulan di Kindy, kami kembali bertemu guru dan kepala sekolah untuk
membicarakan perkembangannya. Thomas disarankan mencoba ke TKA, karena secara
akademis jauh diatas teman-temannya, sehingga setelah lebih dulu selesai
mengerjakan tugas, dia selalu minta tugas tambahan atau mengganggu teman-teman
dengan perilakunya.
Akhirnya
naiklah Thomas ke TKA dan masalah akademis cukup teratasi. Teman-teman barunya
yang mungkin karena lebih dewasa daripada di Kindy, ternyata lebih bisa
menerima, menyayangi dan sangat memperhatikan Thomas. Pada akhirnya peranan
mereka memang sangat besar, karena mulai Januari 2003, ‘social influence’ dari
mereka sangat besar buat Thomas. Untuk mengatasi kelemahan Thomas (misalnya
naik lift dan takut suara keras) bahkan berhasil dengan mengikut sertakan
mereka dalam outdoor terapi dan playday.
Kesediaan
sekolah SS untuk menerima dan membantu Thomas sangat besar, tetapi ‘skill’
mereka untuk mengatasi special need masih terbatas, bahkan Thomas murid spesial
satu-satunya. Masalah tersebut terlihat saat konsultan ABA bisa menjalin
kerjasama dengan sekolah. Aktivitas Thomas di kelas direkam selama 1 minggu
dengan camcorder, dan dianalisa. Walaupun jauh lebih baik dibanding di sekolah
lama, ternyata masih banyak perilaku Thomas yang ‘inappropriate’, tidur-tiduran
di lantai sementara teman-temannya bernyanyi, pipis/pup di kelas, tertawa sendiri,
sering bengong, dll. Interaksi dengan guru maupun teman juga sangat minim.
Sebenarnya, kalau tidak ada intervensi pihak ke –3, saya sudah jauh lebih puas
melihat kemajuan Thomas sejak sekolah di SS. Yang paling terlihat, dia sangat
suka sekolah barunya, dan saya percaya kalau anak-anak belajar dengan senang,
pasti banyak yang dia bisa pelajari.
Untungnya,
guru-guru di SS sangat rendah hati sekaligus semangat tinggi untuk membantu
Thomas: saran untuk ada Shadow Aid di kelas diterima. Berdasarkan hasil observasi
dan pertemuan rutin dengan guru-guru, di rumah dibuatkan program-program
sekolah (school program) yang didesain khusus untuk mendukung perkembangan di
kelas. Salah satunya pernah diterapkan 5-10 menit pelajaran tambahan sebelum
masuk kelas, khusus untuk pelajaran baru yang Thomas belum tahu, supaya dia
confidence di kelas. Tapi setelah ‘social influence’ mulai kuat (hal yang
sangat menggembirakan, karena berarti Thomas mulai ‘keluar’ dari dunia
autisnya), program ini distop karena Thomas tidak ‘nyaman’ lagi berada sendiri
di kelas, sementara teman-temannya masih main di luar. Yang terjadi dia ajak
temannya masuk ke kelas, atau dia nyusul main ke playground.
Sebisa
mungkin pelajaran baru yang akan diberikan, diinformasikan dulu oleh guru,
untuk kami ajarkan dulu di rumah. Kalaupun ada yang terlewat,
pelajaran-pelajaran itu diulang lagi di rumah sampai Thomas bisa, tetap dengan
suasana seperti di kelas. Ruang keluarga di lantai atas bahkan diatur mirip
dengan suasana kelasnya, kadang-kadang kami undang teman sekelasnya untuk main
‘sekolah-sekolahan’ di rumah. Secara periodik ada observasi di sekolah,
pertemuan dengan guru dan konsultan (PTCC), dan playday baik dengan teman
sekelas maupun dengan gurunya.
Program-program
terapi ABA dirancang ulang dengan prioritas mengatasi kelemahan utama Thomas,
misalnya Attending Skill dan Social Skill, untuk meningkatkan interaksi dengan
teman-teman dan gurunya di sekolah. Kalau sebelumnya dia selalu minta bantuan
shadow aid-nya, pelan-pelan diarahkan untuk minta bantuan guru. Setelah
beberapa lama mulai biasa berinteraksi dengan guru, secara bertahap mulai
dipindahkan ke teman sekelas. Jadi kalau ada yang tidak jelas, atau dia
ketinggalan ‘berita’ dari guru, Thomas
diarahkan untuk bertanya pada teman terdekatnya.
Entah
karena memang kurang suka nyanyi atau ada hubungannya dengan masalah sensory,
Thomas sulit sekali mengikuti aktivitas nyanyi bersama di kelas, walau bisa
bernyanyi sendiri dengan cukup keras dan bagus untuk beberapa lagu yang dia
suka. Sampai sekarang ‘nyanyi bersama’ masih menjadi salah satu program terapi
di rumah, kadang-kadang dengan mengundang teman sekelas atau salah satu
gurunya. Pada acara performance akhir cawu I, sementara teman-temannya
bernyanyi bersama, Thomas masih asyik sendiri, kadang keluar dari kelompoknya.
Pada acara Idul Fitri & Natal bersama, karena masih sulit dengan aktivitas
kelompok, Thomas diminta membaca puisi ‘Christmas Day’ sendirian, cukup
berhasil dengan latihan intensif selama 2 minggu. Dan di akhir cawu III, Thomas
sudah bisa ikut acara gerak & lagu (Makarena) dalam kelompok. Dia selalu
berusaha mengikuti gerakan teman-temannya, walau kadang-kadang masih
ketinggalan dan sedikit dibantu shadow aid.
Kemajuan
yang luar biasa menggembirakan kami, karena di awal cawu I Thomas masih sangat
tenggelam di dunia sendiri. Sampai sekarang shadow aid masih berada di kelas,
tetapi selain membantu dalam aktivitas nyanyi bersama atau mendampingi
acara-acara fieldtrip, tugas selebihnya hanya mencatat daily log dan memastikan
Thomas makin mandiri.
Begitulah
sharing saya tentang pengalaman pribadi menyekolahkan Thomas. Buat kami
sekeluarga semua hal di atas adalah kemajuan besar, sesuatu yang sangat patut
disyukuri. Tetapi mungkin, bahkan pasti, tidak sama dengan keluarga lain,
karena memang kondisi awal anak berbeda-beda.
Sudah pasti cara penanganan yang paling tepat untuk tiap anak pasti
berbeda. Yang mestinya sama bahwa pengaruhnya sangat besar untuk kemajuan tiap
anak adalah komunikasi dan kerja sama yang baik dengan suami/istri.
Bila
pengalaman diatas saya rangkum jadi satu, jadilah variabel-variabel yang
menurut saya harus benar-benar direncanakan, dipersiapkan dan dipertimbangkan
untuk mencapai hasil terbaik di sekolah, khususnya buat anak-anak dengan
special need :
Kesiapan
anak (sebagian besar bisa diperoleh dari terapi ABA, Speech, dan Okupasi):
· Kemampuan bantu diri
· Kemampuan akademis yang
cukup
· Kemampuan bersosialisasi
· Komunikasi fungsional
· Transisi belajar dalam
group dan melakukan kegiatan rutin
· Masalah lain (sensory,
Fine/Gross Motor, Medical, Diet, dll)
Kesiapan
orang tua :
· Ekspektasi / pengharapan
yang jelas dan realistis
· Mental, fisik, knowledge
dan skill
· Kerja sama / kesepakatan
untuk mengusahakan yang terbaik, termasuk dana ekstra untuk pendidikan, SDM,
dan materi-materi pendukung
· Manajemen dengan kebutuhan
lain (sibling & anggota keluarga lain, nafkah, dll)
Kesiapan
/ kecocokan sekolah :
· Sumber Daya Manusia
(knowlegde, skill, attitude)
· Fisik (bangunan, tata
ruang kelas, mainan, dll)
· Metode pengajaran, materi, misi
sekolah
Bantuan
Pihak ke-3 (profesional) :
· Behaviorist (terapis,
konsultan), terapist okupasi, speech, dll
· Dokter, Psikiater,
Clinical Psi.
Bantuan
Tuhan, Sang Pemilik Sejati dari ‘special child’, untuk memberikan pada kita :
· Kebijaksanaan untuk
mengambil keputusan dengan tepat
· Bimbingan dan petunjuk
untuk mempersiapkan no 1 s/d 4 di atas
· Ketaatan dan kekuatan
untuk tetap menjalankan tugas sebagai ‘special parent’
· Iman bahwa Dia maha tahu
dan pasti memberikan yang terbaik buat kita
· Kerendahan hati bahwa
Dialah satu-satunya tempat bergantung yang paling tepat
Buat
kami, jalan mungkin masih panjang, bahkan masih banyak PR di luar masalah
sekolahnya. Saat ini kami juga belum tahu SD mana yang paling tepat untuk
Thomas nanti, tapi pengalaman di atas sangat menguatkan hati. Harapan kami
tahun depan, selain bisa mendapatkan SD yang tepat (tidak harus besar, megah
atau hebat), Thomas juga sudah jauh lebih mandiri, terapi-terapi jauh
berkurang, dan kami mulai bisa kembali hidup ‘normal’. Tentunya hidup kami akan
lebih ‘kaya dan bermakna’, karena Tuhan memberi kami kepercayaan dan pengalaman
‘spesial’ membesarkan special child.
Catatan
:
Makalah
ini dibuat khusus untuk sharing masalah sekolah, sehingga kecuali terapi ABA
yang memang berhubungan langsung dengan
kegiatan belajar-mengajar, terapi-terapi lain tidak banyak disinggung.
Walaupun demikian, jauh sebelum sekolah, perjalanan panjang telah dimulai
dengan membangun fondasi dari berbagai macam terapi. Semuanya bekerja sama
untuk mencapai hasil terbaik.
PENCEGAHAN
AUTIS PADA ANAK
ABSTRAK
Autis
adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi
dan interaksi sosial.
Dengan
adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang
ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat. Jumlah penyandang autis
semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autis masih
misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.
Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini
masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor
resikonya.
Dalam
keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar
gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian
autis.
PENDAHULUAN
Kata
autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang
ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya
sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan
ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini
tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka
menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian
istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner,
seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective
Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang
menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri,
perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Autis
dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan
terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan
hasil yang lebih baik.
Jumlah
anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini
mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002
di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis
yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena
Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan
mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan
perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.Di Amerika Serikat disebutkan
autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain
menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang
mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan
dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara
10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4
: 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.
Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa
persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austima dapat
mencapai 150 -- 200 ribu orang.
PENYEBAB
AUTIS
Penyebab
autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan
karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan
biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan
psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena
kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat
beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah
dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa
teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari
penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah :
Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac),
kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori
Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke
Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori
Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut),
teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan
teori orphanin Protein: Orphanin
Tabel
1. Beberapa teori penyebab Autis
Genetik
dan heriditer
Teori
Kelebihan Opioid
Unsur
Opioid-like
Kekurangan
enzyme Dipeptidyl peptidase
Dermorphin
Dan Sauvagine
Opioids
dan secretin
Opioids
dan glutathione
Opioids
dan immunosuppression
Gluten/Casein
Teori Dan Hubungan gangguan Celiac
IgA
urine
Teori
Gamma Interferon
Teori
Metabolisme Sulfat
Kolokistokinin
Oksitosin
Dan Vasopressin
Metilation
Imunitas
Teori Autoimun dan Alergi makanan
Zat
darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
Teori
Infeksi Karena virus Vaksinasi
Teori
Sekretin
Teori
kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
Paparan
Aspartame
Kekurangan
Vitamin, mineral nutrisi tertentu
Orphanin
Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)
Walaupun
paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian
kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori
genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian
anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme
metalotionin.
Metalotionon
adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam
mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat
memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas
tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam
metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan
metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi
Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi
regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk
netalotianin
Perdebatan
yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang
disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard
Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi
terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya
yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa
imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang
autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga
negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini
sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya
bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian
dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan
beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun
penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan
tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..
Banyak
pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh
hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini
dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme.
Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan
cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan
jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin.
Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian
otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada
anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah
terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Karin
Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak
dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal
mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai
kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein
otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson
menyimpulkan autis terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat
ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap
kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan
berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari
perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi
memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik,
neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika
menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang
kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autis. Temuan ini mungkin dapat
menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahannya.
MANIFESTASI
KLINIS DAN DIAGNOSIS
Autis
adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain,
bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan
sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.
Gangguan
dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata
tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.
Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet").
Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai.
nEkolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu
artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk
komunikasi dan imik datar
Gangguan
dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk
bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli.
Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik
tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu
untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila
didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain
dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
Gangguan
dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya
menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan
mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan
dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang
dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti
botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan / reflek dan
tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya
dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan
jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku
yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya
bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui
rute yang sama.
Gangguan
perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian
harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat
hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia
akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah.
Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung
terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau
membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat
pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide,
aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat
agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan
makan dan gangguan perilaku lainnya.
Gangguan
perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis
atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum),
terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak
terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa
menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak
lain
Gangguan
dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya,
pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai
berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya.
Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau
pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak
menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan
diri dari pelukan.
Menegakkan
diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman
dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak
ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis langsung autis. Diagnosis Autis
hanyalah melalui diagnosis klinis bukan dengan pemeriksaan laboratorium.
Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV. Banyak tanda dan gejala
perilaku seperti autis yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis.
Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan
kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
FAKTOR
RESIKO
Karena
penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang
mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak
ahli. Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko
gangguan autis. Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori
penyebab autris yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang
membuat resiko anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut
tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak
dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat
diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan
dan periode usia bayi.
PERIODE
KEHAMILAN
Perkembangan
janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya. Pertumbuhan dan
perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat terjadi pada
periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu tentunya
sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi
perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya
autisme.
Beberapa
keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih diwaspadai dapat berkembang
jadi autism adalah infeksi selama persalinan terutama infeksi virus.
Peradarahan selama kehamilan harus diperhatikan sebagai keadaan yang berpotensi
mengganggu fungsi otak janin. Perdarahan selama kehamilan paling sering
disebabkan karena placental complications, diantaranya placenta previa,
abruptio placentae, vasa previa, circumvallate placenta, and rupture of the
marginal sinus. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen
dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan
awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat
rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah tampaknya juga merupakan resiko
tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi membahayakan adalah pemakaian
obat-obatan yang diminum, merokok dan stres selama kehamilan terutama trimester
pertama. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada
janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut
pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan bayi gerakan refluks
oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama
terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan
dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan
toksik lainnya selama kehamilan.
Infeksi
saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk telah melakukan
penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak autism dibandingkan 209
tanpa autism. Ditemukan kejadian infeksi saluran kencing, panas tinggi dan
depresi pada ibu tampak jumlahnya bermakna pada kelompok ibu dengan anak
autism.
PERIODE
PERSALINAN
Persalinan
adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya.
Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi
bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ
tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka
terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas
hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya.
Gangguan
persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan
tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6
), komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat
lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram).
PERIODE
USIA BAYI
Dalam
kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan yang terjadi
dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko untuk
terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk
terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat
badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan
metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar,
sering buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang,
otot atipikal, kelemahan otot.
PENCEGAHAN
Tindakan
pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya
gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan
strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat
diketahui dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab
dan faktor resiko belum masih belum jelas maka strategi pencegahan mungkin
tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi seperti ini upaya pencegahan
tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin
parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya pencegahan tersebut
berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko autis.
Pencegahan
ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat
kehamilan, persalinan dan periode usia anak.
PENCEGAHAN
SEJAK KEHAMILAN
Untuk
mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan , kita harus melihat dan
mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan perkembangan sejak
dalam kehamilan. Untuk mengurangi atau menghindari resiko yang bisa timbul
dalam kehamilan tersebut dapat melalui beberapa cara.
Adapun
cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam kehamilan
tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis
kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan
kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama infeksi virus
TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes atau hepatitis). Periksa dan
konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara rutin dan
berkala, dan selalu mengikuti nasehat dan petunjuk dokter dengan baik.
Bila
terdapat peradarahan selama kehamilan segera periksa ke dokter kandungan.
Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena kelainan plasenta.
Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke
bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan pada awal
kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat
rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah juga merupakan resiko tinggi
terjadinya autism dan gangguan bahasa lainnya.
Berhati-hatilah
minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter terlebih
dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester pertama.
Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal kehamilan
dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan
autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan berbicara. Bila bayi
beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi berupa asap
rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan. Hindari
paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya selama kehamilan. Jaga
higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan. Konsumsilah makanan yang
bergizi baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan
mineral tertentu sesuai anjuran dokter secara teratur.
Adanya
Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang
diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan
penulis, bila dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial
(hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam
hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan
aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik
lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan hiccups/cegukan pada
janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat gejala alergi
atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu
menghindari atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di
atas 3 bulan. Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang
dipenuhi asap rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan
depresi serta selalu mendekatkan diri dengan Tuhan.
PENCEGAHAN
SAAT PERSALINAN
Persalinan
adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya.
Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi
bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ
tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka
terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas
hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya
Beberapa
hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal
penting. Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan
tentang rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang
resiko yang bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam
persalinan harus diantisipasi kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal bantuan
dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan NICU (Neonatologi
Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.
Bila
terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu
cepat, asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR
SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak
presentasi bayi saat lahir tidak normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram)
maka sebaiknya dilakukan pemantauan perkembangan secara cermat sejak usia dini.
PENCEGAHAN
SEJAK USIA BAYI
Setelah
memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus diwaspadai dan
dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan intervensi
secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda gangguan
perkembangan. Adapun beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukanl
Amati
gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi :
sering muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas
usia 2 minggu lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering
kembung, rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang
angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang paling sering
adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik mengatasi
ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan menghindari
makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang berkepanjangan
akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi perkembangan dan
perilaku anak.
Bila
terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin
nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari
penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan
genetik, kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli.
Harus diamati tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini.
Demikian
pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang
(bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus
lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan.
Pada
bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi
berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi
harus dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama
gangguan perkembangan dan perilaku pada anak.
Bila
didapatkan penyimpangan gangguan perkembangan khususnya yang mengarah pada
gangguan perkembangan dan perilaku maka sebaiknya dilakukan konsultasi sejak
dini kepada ahlinya untuk menegakkan diagnosis dan intervensi sejak dini.
Pada
bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat
riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang
beresiko alergi hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah
telor, ikan laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya.
Bayi
yang mengalami gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari monosodium
glutamat (MSG), amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila gangguan
pencernaan dicurigai sebagai Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan Gluten
maka diet harus bebas casein dan Gluten, Ciptakan lingkungan keluarga yang
penuh kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, hindari rasa permusuhan,
pertentangan, emosi dan kekerasan.
Bila
terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka
kita harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan
semakin besar kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati
secara cermat tanda dan gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan
gejala autism pada usia dini, kalau perlu dilakukan intervensi sejak dini dalam
hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita melakukan intervensi kejadian
autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan keluhan yang akan
timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi tersebut harus
kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan kenaikkan
berat badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan jalan
terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut.
Demikan
pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus segera
dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau
intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi.
Pemberian obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan
alergi atau gangguan pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus
menghindari makanan penyebab gangguan tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan
dapat diberikan sementara bila keluhan yang terjadi cukup berat, bukan untuk
selamanya.
PENUTUP
Autis
adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini masih
belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya.
Sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal. Saat ini
tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar gangguan yang
terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian autis.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap secara jelas misteri
penyebab gangguan autis sehingga nantinya dapat dilakukan strategi pencegahan
agar seorang anak dapat tercegah gangguan autis.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical
Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic
Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)
2.
Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism: A
continuum-based behavioral models. JASH 1999; 24: 162-173.
3.
APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington,
DC: American Psychiatric Association; 1994.
4.
Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self.
New York, NY: Free Press; 1977.
5.
Brett EM: Paediatric Neurology. 2nd ed. London: Churchill Livingstone; 1991.
6.
British Medical Journal: Childhood autism and related conditions. Br Med J 1980
Sep 20; 281(6243): 761-2.
7.
Buka SL, Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and
psychiatric diagnosis. A prospective study. Arch Gen Psychiatry 1993 Feb;
50(2): 151-6.
8.
Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J
Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.
9.
Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors
for autism. J Perinat Med 1999; 27(6): 441-50.
10.
Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental Disorders.
NY: Wiley; 1996.
11.
Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities
in children with autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.
12.
Hoshino Y, Yashima Y, Tachibana R, et al: Sex chromosome abnormalities in
autistic children--long Y chromosome. Fukushima J Med Sci 1979; 26(1-2): 31-42.
13.
Hutt SJ, Hutt C, Lee D, Dunstead C: A behavioural and electroencephalographic
study of autistic children. J Psychiatr Res 1965 Oct; 3(3): 181-97.
14.
Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the basis
of infant screening tests? Dev Med Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.
15.
Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in
children. Curr Opin Pediatr 1995 Aug; 7(4): 392-400.
16.
Lamb JA, Moore J, Bailey A: Autism: recent molecular genetic advances. Hum Mol
Genet 2000 Apr 12; 9(6): 861-8.
17.
Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior
Modification. NY: Irvington Press; 1977.
18.
Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a
review of research. Psychol Bull 1979 Nov; 86(6): 1236-54.
19.
Martineau J, Barthelemy C, Garreau B, Lelord G: Vitamin B6, magnesium, and
combined B6-Mg: therapeutic effects in childhood autism. Biol Psychiatry 1985 May;
20(5): 467-78.
20.
Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism, Autism
Diagnostic Interview- Revised: interrater reliability of the German form of the
interview. Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.
21.
Prior MR, Tress B, Hoffman WL, Boldt D: Computed tomographic study of children
with classic autism. Arch Neurol 1984 May; 41(5): 482-4.
22.
Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13
(Suppl 2): 17.
23.
Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for
physical investigations. Brain Dev 1998 Jun; 20(4): 227-33.
24.
Stern JS, Robertson MM: Tics associated with autistic and pervasive
developmental disorders. Neurol Clin 1997 May; 15(2): 345-55.
25.
Taylor B, Miller E, Farrington CP, et al: Autism and measles, mumps, and
rubella vaccine: no epidemiological evidence for a causal association. Lancet
1999 Jun 12; 353(9169): 2026-9.
26.
Teitelbaum P, Teitelbaum O, Nye J, et al: Movement analysis in infancy may be
useful for early diagnosis of autism. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 10;
95(23): 13982-7.
27.
Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental
disorders. Hosp Community Psychiatry 1991 Jan; 42(1): 33-5.
28.
Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism Behavior
Checklist. J Autism Dev Disord 1988 Mar; 18(1): 81-97.
29.
Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May
26; 318(21): 1390-2.
30.
Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood autism:
a review of screening instruments and rating scales. Child Care Health Dev 1994
May-Jun; 20(3): 165-77.
31.
Vostanis P, Nicholls J, Harrington R: Maternal expressed emotion in conduct and
emotional disorders of childhood. J Child Psychol Psychiatry 1994 Feb; 35(2):
365-76.
32.
Vrono MS, Bashina VM: [Problem of adaptation of patients with the syndrome of
early childhood autism]. Zh Nevropatol Psikhiatr Im S S Korsakova 1987; 87(10):
1511-6.
33.
Werner E, Dawson G, Osterling J, Dinno N: Brief report: Recognition of autism
spectrum disorder before one year of age: a retrospective study based on home
videotapes. J Autism Dev Disord 2000 Apr; 30(2): 157-62.
34.
Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as
predictors of infantile autism. Int J Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98
35.
Wolraich M, Bzostek B, Neu RL, Gardner LI: Lack of chromosome aberrations in
autism. N Engl J Med 1970 Nov 26; 283(22): 1231.
36.
Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic instruments for
identifying high- functioning children with autism. J Autism Dev Disord 1994
Jun; 24(3): 281-91.
37.
Zeanah CH, Davis S, Silverman M: The question of autism in an atypical infant.
Am J Psychother 1988 Jan; 42(1): 135-50.
38.
Zwaigenbaum L, Szatmari P, Jones MB: Decreased obstetric optimality in autism
is a function of genetic liability to the broader autism phenotype. J Dev Behav
Pediatr 1999; 20 (5): 398-399
0 Comments